RETORIKA DAKWAH
Penulis: Ahmad Zaini & Mansur Hidayat
Tebal: 207 halaman
Ukuran: 15,4 cm x 23 cm
ISBN: on proses
Retorika secara mendasar diartikan sebagai
keterampilan berbahasa secara efektif; studi tentang pemakaian bahasa secara
efektif dalam karang-mengarang; dan seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis.[1] Retorika telah ada sejak awal mula umat manusia.
Akan tetapi, baru pada abad ke-5 SM hal ini menjadi subjek akademis. Setelah
era Kristen, kaum Sofis berkelana ke seluruh Yunani untuk mengajarkan tentang politik dan pemerintahan, dengan
penekanan khusus pada retorika. Untuk memenangkan pemilu, pemerintah harus
berupaya membujuk rakyat. Retorika yang dikembangkan untuk membenarkan distorsi
realitas demi mencapai suatu tujuan. Kita dapat menarik perhatian dan
meyakinkan audiens melalui retorika. Retorika dipelajari, diprakarsai, dan
diterapkan di negara-negara yang menganut demokrasi langsung, yaitu Yunani dan
Roma.[2]
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara
adalah tindakan mengucapkan kata-kata atau frasa kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan
tertentu (seperti memberikan informasi atau menyampaikan motivasi). Berbicara
merupakan salah satu kemampuan khusus
manusia. Oleh karena itu, percakapan sudah ada sejak lama. Bahasa dan
berbicara muncul ketika orang ingin mengungkapkan gagasan mereka dan
mengkomunikasikannya kepada orang lain. Retorika modern melibatkan ingatan yang
kuat, kreativitas dan imajinasi yang tinggi, keterampilan presentasi yang
tepat, dan kemampuan untuk menggunakan bukti dan penilaian dalam argumen.[3]
Dewasa ini, retorika memfokuskan perhatiannya pada
segala hal yang terkait dengan cara orang menggunakan simbol untuk memengaruhi
sesama manusia dan membangun dunia tempat mereka tinggal.[4]
Hakikat retorika adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan
menggunakan bahasa sebagai alat. Dalam
suatu peristiwa komunikasi, tujuan utama komunikator adalah menyampaikan pesan
yang diharapkan dapat dikenali, dipahami, dan
diterima oleh penerima..[5]
B.
Perkembangan
Retorika pada Masa Yunani
Sejak zaman Yunani dan Roma hingga saat ini, retorika
dan politik selalu saling terkait. Banyak pendekar pedang juga dikenal karena
kefasihan mereka yang menawan. Deskripsi retorika sistematis pertama diciptakan oleh masyarakat Syracuse,
sebuah koloni Yunani di pulau Sisilia, pada masa ketika koloni tersebut
diperintah oleh seorang tiran. Para tiran senang mengusir orang-orang dari
tanah mereka kapan pun dan di mana pun. Sekitar tahun 465 SM, tepatnya tahun
104 M, rakyat memulai revolusi. Kediktatoran digulingkan dan demokrasi
didirikan. Pemerintah akan mengembalikan
tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.[6]
Di sinilah permasalahan terjadi. Untuk mengambil
haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu
itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus
meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil
memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.[7]
Untuk membantu orang mendapatkan hak di pengadilan,
Corax menulis risalah tentang retorika berjudul Techne Logon (Seni Kata-kata). Makalah
ini tidak lagi tersedia dari penulis kontemporernya, tetapi kita tahu bahwa di
dalamnya ia berbicara tentang "seni perhitungan probabilitas." Saat
kita tidak yakin tentang sesuatu, kita berasumsi pada kemungkinan-kemungkinan
umum. Seorang pria kaya melakukan pencurian dan dipanggil ke pengadilan untuk
pertama kalinya. Dengan menggunakan teori probabilitas, kami bertanya,
"Mungkinkah orang kaya mengorbankan kehormatannya dengan mencuri?"
Bukankah benar bahwa dia tidak pernah diadili atas tuduhan pencurian sepanjang
hidupnya? Lalu, ketika orang miskin itu melakukan pencurian dan diadili untuk
kedua kalinya, kita bertanya, "Dia pernah mencuri sebelumnya dan dihukum
karenanya. Bagaimana mungkin dia berani melakukan pekerjaan yang sama lagi? "
Bagaimanapun, retorika mirip dengan ilmu "silat lidah".[8]
Selain metode teori probabilitas, Corax juga meletakkan dasar-dasar
pengorganisasian berita. Dia membagi pidatonya menjadi lima bagian, pembukaan,
uraian, argumen, penjelasan, tambahan, dan kesimpulan. Dari sini para ahli
retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.[9]
Aristoteles menulis tiga jilid buku berjudul De Arte
Rhetorica yang di antaranya berisi lima tahap penyusunan satu pidato atau Lima
Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric) yang terdiri dari Inventio
(penemuan), Dispositio (penyusunan), Elocutio (gaya), Memoria (memori), dan
Pronounciatio (penyampaian).
1.
Inventio
(Penemuan). Penemuan adalah tentang membangun argumen
yang relevan dengan tujuan pidato Anda. Penemuan secara umum dipahami sebagai jumlah informasi
dan pengetahuan yang dibawa pembicara
ke situasi berbicara. Kekayaan informasi
ini akan membantu pembicara menyampaikan
presentasi yang menarik. Pada tahap ini, pembicara mempertimbangkan topik
pembicaraan dan mempelajari khalayak umum untuk memahami metode persuasi yang
paling tepat.
2.
Arrangement
(Pengaturan). Pengaturan
berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk mengatur pidatonya. Aristoteles
percaya bahwa pembicara harus mencari pola bicara yang sistematis untuk
meningkatkan efektivitas. Pidato secara umum memiliki tiga bagian. Pendahuluan,
isi, kesimpulan.
3.
Style
(Gaya). Penggunaan bahasa untuk mengekspresikan
gagasan dengan cara tertentu disebut gaya. Aristoteles juga membahas pilihan
kata, penggunaan metafora, dan kesesuaian bahasa. Ia percaya bahwa setiap jenis
retorika memiliki gayanya sendiri, yang sering diabaikan. Ia menyatakan bahwa
kata-kata aneh harus dihindari. Berbicara menggunakan istilah terlalu sederhana
juga dapat menyebabkan khalayak bosan, karenanya untuk menjembatani hal
tersebut Aristoteles memperkenalkan metafora atau majas yang membantu untuk
membuat sesuatu yang kurang jelas menjadi lebih mudah dipahami.
4.
Delivery
(Penyampaian). Penyampaian biasanya mencakup berbagai
perilaku seperti kontak mata, isyarat vokal, ejaan, artikulasi, dialek, gerakan
tubuh, dan penampilan. Bagi Aristoteles, komunikasi secara khusus terhubung
dengan manipulasi suara. Ia secara
khusus mendesak para pembicara untuk menggunakan nada, irama, volume, dan emosi yang tepat. Ia
yakin bahwa cara bagaimana sesuatu dikatakan memengaruhi kejelasan kata
tersebut.
5.
Memory
(Ingatan). Menyimpan penemuan, pengaturan, dan gaya di
dalam benak pembicara disebut dengan memori. Aristoteles mengingatkan kita untuk
mempertimbangkan beberapa isu sebelum presentasi, semisal entimem, tanda,
metafora, teknik penyampaian dan sebagainya. Menurutnya seorang pembicara harus
memiliki pemahaman yang mendasar mengenai banyak dari alat-alat ini ketika
menyusun dan menyampaikan pidato.[10]
[1] “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),”
n.d., https://kbbi.web.id/retorika.
[2] Sejarah D A N
Perkembangan, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” Humaniora 17, no. 2 (2005): 142–53.
[3] Andi Tenri
Sua, Heriyanti, and Asrul Nazar, Retorika
(Purbalingga: Eureka Media Aksara, 2023), 1.
[4] Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), 62.
[5] G.A.
Sulistyarini, D. & Zainal, Buku Ajar
RETORIKA, CV. AA. Rizky, 2020, 7.
[6] Jalaluddin
Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan
Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 3.
[7] Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis.
[8] Rakhmat.
[9] Rakhmat.
[10] Richard West
and Lynn H. Turner, Pengantar Teori
Komunikasi: Analisis Dan Aplikasi, Buku 1, Terj. Brian Marswendy (Jakarta:
Salemba Humanika, 2014), 11–16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar