Harmoni Ilmu : Menyatukan Sains dan Agama dalam Studi Islam
Penulis :
Vega Faisal Amri, A’yuna Dzil Ma’unah, Adillah Shinta Al Azizati, Sriyanto, A. Rima Mustajab, Ni’matul Maula, Sukesi, Muchlisin, Fahrur Rifki, Devi Lusiana Putri
Tebal : 248 hlm
Ukuran : 18 x 25,5 cm
Harga : 130.000
QRCBN : 62-250-7840-594
Integrasi antara sains dan agama merupakan isu yang terus berkembang, terutama dalam konteks pendidikan dan studi Islam. Kedua bidang ini, yang sering dianggap berseberangan, sebenarnya memiliki potensi besar untuk saling melengkapi (Sanusi, 2017). Dalam sejarah peradaban Islam, integrasi sains dan agama pernah mencapai puncaknya pada era keemasan Islam, di mana para ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Al-Khawarizmi, dan Ibnu Sina mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa memisahkan nilai-nilai agama dari proses intelektual. Namun, di era modern, dikotomi antara sains dan agama cenderung semakin mengemuka akibat pengaruh sekularisme yang membatasi agama hanya pada ranah privat, sementara sains dianggap sebagai domain yang sepenuhnya bebas dari nilai-nilai spiritual.
Fenomena ini membawa dampak signifikan terhadap cara pandang manusia, khususnya dalam studi Islam (Akbar, 2020: 23-39). Dalam banyak kasus, pendekatan studi Islam tradisional sering kali hanya berfokus pada aspek-aspek normatif dan tekstual agama, sementara perkembangan sains modern tidak sepenuhnya terakomodasi dalam analisis keagamaan. Akibatnya, studi Islam terjebak dalam pendekatan yang fragmentaris, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menjawab tantangan global seperti isu lingkungan, bioteknologi, dan kecerdasan buatan (D. R. Astuti & M. Y. Wibisono,). Di sisi lain, sains yang berkembang pesat tanpa panduan moral sering kali memunculkan persoalan etika, seperti eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan eksperimen yang melibatkan manipulasi genetik.
Integrasi sains dan agama dalam konteks studi Islam menawarkan jalan keluar dari permasalahan tersebut (Jalil, 2018: 57). Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan sintesis antara nilai-nilai agama dan temuan sains modern, sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang lebih holistik tentang dunia. Dalam konteks pendidikan, integrasi ini telah diterapkan melalui pengembangan kurikulum yang memadukan ajaran agama dan sains secara harmonis. Beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia, seperti UIN Walisongo Semarang, telah mengadopsi konsep Unity of Sciences sebagai landasan filosofis untuk mengintegrasikan kedua bidang tersebut dalam sistem pembelajarannya (Rahmi, 2019).
Implikasi integrasi ini terhadap studi Islam sangatlah luas. Pertama, integrasi ini mendorong studi Islam untuk lebih terbuka terhadap temuan-temuan ilmiah dan menggunakan pendekatan interdisipliner (Nuryanto, 2018). Pendekatan ini memungkinkan studi Islam untuk tidak hanya fokus pada dimensi normatif agama tetapi juga mengkaji aspek-aspek empiris dan kontekstual yang relevan dengan isu-isu kontemporer. Kedua, integrasi sains dan agama dapat memperkaya diskusi etika dalam Islam, terutama terkait isu-isu baru seperti bioetika, perubahan iklim, dan keadilan sosial. Ketiga, pendekatan ini juga dapat meningkatkan relevansi studi Islam di era modern dengan menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi moral dalam menghadapi perkembangan teknologi dan tantangan global (Depdikbud. 1995: 74).
Namun, integrasi sains dan agama juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari sebagian kelompok yang melihat sains sebagai ancaman terhadap ajaran agama (Aziz Dahlan, 1997: 67). Di sisi lain, ada juga tantangan dalam mengembangkan kurikulum yang benar-benar mengakomodasi integrasi ini tanpa mengurangi kedalaman masing-masing disiplin (Taib Tahir, 1992: 112). Dibutuhkan upaya serius dari berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi pendidikan, dan pemimpin agama, untuk mengembangkan model integrasi yang efektif.
Berpijak pada urgensi integrasi ini, penting untuk terus mengembangkan paradigma yang menghubungkan antara sains dan agama secara produktif, sehingga studi Islam dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menjawab tantangan zaman (Ali Yatim, 2004: 112). Dengan menjadikan integrasi sains dan agama sebagai salah satu kerangka utama dalam studi Islam, diharapkan umat Islam mampu mengembangkan pemahaman yang holistik dan komprehensif, yang tidak hanya relevan dengan konteks modern tetapi juga tetap berakar pada nilai-nilai agama yang mendalam (Nuryanto, 2011).
Diskursus tentang integrasi antara sains dan agama kembali menjadi pembahasan yang relevan dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pembukaan Fakultas Umum atau Non-Agama di sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia. Dalam membahas hubungan antara sains dan agama, kita dihadapkan pada dimensi interaksi simbolik sekaligus maknawi (Abu Ahmadi, 1977: 9-10). Secara historis, interaksi ini mencerminkan kompleksitas perdebatan antara pemahaman keimanan yang bersifat tekstual dan pendekatan ilmu pengetahuan yang sering kali mengesampingkan doktrin agama karena dianggap kurang sejalan dengan logika rasional. Padahal, baik ilmu pengetahuan maupun agama berasal dari akar yang sama, yaitu pengalaman manusia, yang mencakup pengalaman hushuli (pengetahuan konseptual) dan hudhuri (pengetahuan langsung).
Namun, hingga saat ini masih ada pandangan kuat yang menyatakan bahwa "agama" dan "ilmu pengetahuan" merupakan dua entitas yang terpisah dan sulit dipertemukan (Mukti Ali, 1969], 9–10.). Kedua bidang ini dianggap memiliki wilayah masing-masing yang berbeda, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, maupun peran para ilmuwan di dalamnya (Amiruddin, 2019). Ada yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan bersifat empiris dan objektif, sementara agama mengandalkan keimanan terhadap hal-hal gaib yang sulit dibuktikan secara material. Pandangan ini memunculkan persepsi bahwa integrasi antara sains dan agama tidak mungkin dilakukan karena akan menimbulkan konflik yang mendasar.
Sebaliknya, sejumlah filsuf ilmu pengetahuan menyatakan bahwa hubungan antara sains dan agama sebenarnya lebih kompleks dan saling melengkapi. Thomas S. Kuhn, misalnya, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari paradigma yang dipengaruhi oleh tradisi budaya, sehingga memiliki kesamaan dengan agama (Sanusi, 2017). Michael Polanyi menegaskan bahwa semua bentuk pengetahuan bersifat pribadi, sehingga seorang ilmuwan tetap dipengaruhi oleh intuisi dan nilai-nilai subjektif dalam praktik ilmiahnya. Polanyi bahkan menekankan pentingnya komitmen moral dalam sains, sebagaimana ditemukan dalam agama.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling, dua fisikawan yang menyatakan bahwa metode dalam sains dan agama memiliki banyak kesamaan. Schilling, misalnya, menyebut bahwa kedua bidang ini melibatkan tiga komponen utama, yaitu pengalaman, interpretasi teoretis, dan aplikasi praktis (Melsen, 1994). Coulson menambahkan bahwa ilmu pengetahuan, seperti agama, membutuhkan imajinasi kreatif yang melibatkan refleksi kritis terhadap pengalaman. Bahkan, bahasa sains dan bahasa agama menunjukkan adanya paralelitas yang signifikan.
Ian G. Barbour, seorang fisikawan dan teolog, mencoba menawarkan empat model hubungan antara sains dan agama, yaitu konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Menurut Barbour, pendekatan integrasi menjadi pilihan yang menjanjikan karena memungkinkan kedua bidang ini saling mendapatkan manfaat melalui pendekatan-pendekatan tertentu. Integrasi ini membuka ruang untuk menjembatani perbedaan mendasar antara keduanya, sehingga menciptakan pemahaman yang lebih holistik.
Dalam konteks ini, muncul dua pertanyaan utama: pertama, bagaimana cara efektif untuk mengintegrasikan sains dan agama? Kedua, bagaimana implikasi integrasi ini terhadap Studi Islam? Pertanyaan-pertanyaan ini mengundang diskusi mendalam untuk merumuskan pendekatan yang mampu menyatukan nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan secara harmonis, sehingga keduanya dapat berkontribusi secara konstruktif dalam membentuk pemikiran dan pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar