Askara
Penulis: Ensy atau Endang Siti Sarisih
Tebal: 149 halaman
Ukuran: 14,5 cm x 20,5 cm
Harga: 70.000
QRCBN: 62-250-1657-598
Novel ini adalah karya pertama dari tinta seorang penulis kecil, Endang Siti Sarisih. Melalui lembaran halaman ini, kalian akan terlibat dalam kisah persahabatan yang mengharukan dan tak terlupakan, terdapat juga kisah kasih juga yang mengajarkan tentang pengorbanan, disajikan juga sebuah komedi dari persahabatan mereka. Novel ini, bukan hanya sekedar cerita melainkan juga persembahan indah tentang hebatnya persahabatan dan senangnya berdamai dengan banyak manusia.
Dalam kisah ini, kita akan merasakan perjalanan penuh makna dari lima jiwa yang terpaut dalam solidaritas. Setiap halaman membawa kita menjadi lebih menghargai adanya waktu. Salah satu keunikan novel ini, “ASKARA” adalah bahasa yang digunakan tidak formal dan dipenuhi rangkaian diksi. Setiap kalimat disusun menggunakan perasaan, membawa kita merasakan detik-detik kisah yang mengharukan. Saat kalian terlibat dalam kisah ini, kalian akan merasakan kilatan emosi, kebahagiaan dan kehangatan dari berdamai dengan banyak manusia. Karakter yang diciptakan hidup dan penuh warna, seolah-olah kalian mengenalnya secara pribadi.
PROLOG
Mentari mulai menampakkan sinar terangnya. Menyapa seluruh makhluk seisi bentala. Seorang lelaki dengan pakaian santainya menghampiri seorang gadis dengan rambut yang dibiarkan terurai, duduk ditaman rumahnya.
“ARA,” teriak lelaki itu, lalu duduk disamping gadis itu.
Sang gadis hanya menatap sahabatnya, Aska yang duduk disampingnya. Sedetik berikutnya, Ara memilih nelanjutkan membaca puluhan lembaran yang terikat menjadi satu membentuk sebuah buku.
“Rajin banget belajarnya, ini kan, hari libur.” Aska mengacak-acak surai indah sahabatnya. Gadis berparas dahayu itu mendengus kesal, lalu merapikan rambut hitamnya. Ide jahil namun bermanfaat muncul dalam akal gadis itu.
Ara tersenyum. “Mumpung lo disini, mending kita belajar bareng aja.”
Aska menggeleng, pertanda menolak. “Nggak mau, gua benci tulisan.”
“Kalau benci tulisan, kapan mau belajarnya?” Ara memutar bola mata malasnya.
“Belajar itu butuh membaca juga,ka,” imbuhnya.
Aska tersenyum jahil. “Belajarnya besok aja, mending lo sekarang ikut, gua.”
Cowok bermata elang itu menarik tangan sahabatnya begitu saja. Ara sudah memberontak, tapi hasilnya nihil. Tenaga Aska jauh lebih kuat daripada Ara. Memang dasarnya juga tenaga cowok lebih kuat daripada cewek.
“Lepasin,ka!” tegas gadis itu.
Sepanjang perjalanan, Ara memberontak meminta Aska untuk melepaskan tangannya. Tapi tetap saja, tenaga Aska lebih kuat.
“Lepasin atau gua hukum, lo udah lancang sama ketua osis.”
Bukanya takut dengan ancaman gadis itu, Aska justru terkekeh kemudian menghentikan langkahnya, menatap sahabatnya, “Ini nggak disekolah, ra.”
“Gua ketua gemstone geng,” kata cowok itu bangga sedangkan Ara mendengus kesal. Aska memang menyebalkan.
“Lo itu anggota gua, jadi harus nurut sama ketua!”
Ara memutar bola mata malasnya, mencebikkan bibirnya, sangat kesal. Sedangkan Aska justru terkekeh melihat sahabatnya marah. Sungguh Ara terlihat sangat menggemaskan Ketika marah.
“Lo makin imut kalau marah, mirip ayam gua yang namanya, Muku.”
Ara bergidik ngeri. Dia itu manusia, mengapa harus disamakan sama ayam?
Dasar Aska aneh!
“Jangan samain gua sama ayam.”
“Nggak nyamain ra, emang nyatanya mirip, kok”
Jika saja Ara tidak memiliki rasa kemanusiaan, ia sudah mencakar wajah sahabatnya, bahkan membabi butanya juga.
“50 % lo ganggu gua belajar, 50 % nya lagi lo buat mood gua berantakan.”
Aska tersenyum. “Kalau gitu gua ubah mood lo jadi baik.”
Ara mengusap kasar wajahnya. “Lo mau ajak gua kemana lagi?”
“Naik pohon apel.”
Sang Penjaga
Mama papa Aska pamit mau kerumah Ara.” Teriak Aska yang berjalan keluar rumah. Razka dan Alana saling memandang satu sama lain karena tingkah dari putra sulungnya. Tak perlu waktu lama, hanya beberapa langkah saja Aska sudah sampai ke rumah sahabatnya. Niat hendak mengetuk pintu ia urungkan, telinganya menangkap sebuah percakapan seseorang.
“Berhenti maksa gua, kalau gua nggak mau, ya nggak mau.” Aska menggelengkan kepalanya, suara Ara terdengar sangat jelas, tentunya gadis itu pasti berteriak. Ara adalah putri dari keluarga Ceystar, anak dari pasangan Rayyanka Ceystar dan Rayna Arabella. Mereka memiliki Perusahaan ternama, rumahnya juga megah nan luas. Aska langsung diizinkan masuk oleh penjaga pintu rumah itu, hal itu sudah biasa. Bahkan, seisi rumah Ara kenal dengan cowok bermata elang itu. Aska langsung naik ke lantai dua, tempat dimana letak kamar sahabatnya. “Gua nggak butuh penjaga kayak kalian!” kata Ara pada kedua bodyguardnya, Leo dan Reno.
“Tapi nona, ini perintah dari Nyonya Rayna,” tutur salah satu dari mereka degan sopan, Leo.
Ara memutar bola mata malasnya. “Gua udah punya penjaga, gua udah punya bodyguard yang lebih tampan, lebih kuat, lebih jago dan lebih muda daripada kalian.”
Reno mengernyitka dahinya. “Siapa nona?”
“Gua!”
Mereka semua menoleh, dilihatnya seorang cowok bermata elang berdiri dengan gagah diambang pintu. Kedua pria itu cukup lama memperhatikannya cukup lama. Berbeda dengan Ara, gadis itu justru tersenyum seolah senang dengan kehadirannya.
“Penjaga gua udah datang, sana pergi!”
“Tapi nona___”
“Pergi atau gua hukum.” Ara mengancam, terdengar sederhana namun mampu mengusir kehadiran mereka. Pria bernama Leo dan Reno itu pergi tanpa lupa berpamitan. Mereka tau sopan santun.
Ara tersenyum, menghampiri Aska, menyambut kehadirannya. “Lo dateng tepat waktu, ka.”
Bukannya menyahut, cowok itu justru langsung masuk, mendudukkan dirinya diranjang milik Ara. “Emangnya mereka apain lo?”
“Cuma disuruh tidur dan parahnya mereka mau jagain diluar, kalau menurut gua sih, kayak tahanan.”
Aska menggelengkan kepalanya. “Daripada tahanan, lo lebih mirip tuan putri, tidur aja masih ada yang jagain.”
“Gua itu anak motor, bukan tuan putri.”
“Gua takut lo dalam bahaya, ra.”
“Ngapain takut? Lo kan, selalu jagain gua, kan juga masih ada si setan, Angkasa galak sama Reyhan cowok batu.”
“Mereka itu selalu ngejagain gua,” imbuhnya penuh keyakinan.
Ara mendekat pada sahabatnya, ikut duduk disampingnya. “Gua itu bukan cewek lemah, ka! Gua bisa ngelawan geng rinso titisan abu lahab durjana itu.”
“Lorenzo ra, bukan rinso,” koreksi Aska.
“Gua nggak peduli apa namanya yang bener, intinya gua pengen banget cakar-cakar muka Aspal jalan itu.”
“Aslan ra, bukan aspal jalan,” koreksi Aska lagi.
Ara memutar bola mata malasnya. “Terserah gua mau manggil apa? Kan, gua yang ngomong.”
Aska menghela nafas pasrah, membiarkan gadis itu sesukanya lebih baik daripada harus berdebat tiada habisnya, asal itu tidak membahayakan untuknya. Sedetik berikutnya memori masa kecil mereka kembali berputar dalam benak cowok bermata elang itu.
“Ternyata lo udah besar ra, udah nggak ingusan lagi.”
“Kan gua nggak bochil lagi, makanya nggak ingusan, dulu lo juga ingusan.”
“Nanti kalau kita udah nikah kita buat anak tujuh ya, ra.”
Seketika tatapan Ara menuju cowok disampingnya. Apakah dia salah mendengar?
Ataukah Aska menjadi korban pecinta drama Indonesia? Sungguh aneh permintaanya.
“Iya kalau kita jodoh, kalau nggak gimana?”
“Gua rayu tuhan biar kita dijodohin, gampang, kan?”
***
“Bagaimana bunyi hukum I newton?”
Bukanya menjawab, cowok itu justru memberikan senyuman. “Bunyinya ada dibuku gua ra.”
“Dibuku lo itu tulisan bukan suara yang ngehasilin bunyi.”
“Itu lo tau, pinter banget sahabat gua.”
Ara segera menutup bukunya, beranjak dari duduknya untuk duduk disamping sahabatnya. Jadwalnya malam ini sebenarnya menghafalkan, akan tetapi Aska menatapnya terlalu lama, hafalannya menjadi tidak fokus. Entah karena salting ataupun risih? Ara tidak tau.
“Gua nggak mood hafalan.”
Aska mengernyit. ” Ternyata cewek kutu buku kayak lo juga bisa badmood hafalan.”
Ara tak menjawab, gadis itu hanya diam. Aska menatap sahabatnya penuh rasa iba. Bukan hanya tentang gadis itu saja, bahkan Aska mengetahui bagaimana kondisi keluarga sahabatnya. Tangannya bergerak mengusap lembut surai hitam milik Ara.
“Kenapa lo masih maksa terus belajar, padahal Tante Rayna nggak pernah ngasih dukungan sama sekali, bisanya cuma ngasih tekanan.”
“Cuma itu cara yang bisa bikin bunda bangga sama gua, ka.”
Aska memilih membaringkan kepalanya dipangkuan gadis itu. Ara tidak menolak, lagi pula sahabatnya menyukai posisi seperti ini. Katanya sangat nyaman.
“Masih ada banyak hal yang bisa bikin Tante Rayna bangga ra, nggak harus pinter sama berprestasi doang.”
Ara menatap sendu foto keluarga dinakasnya. Apakah memori indah itu tidak bisa terulang Kembali? Walaupun kurangnya kehadiran seseorang, jika bisa? Ara ingin merasakannya lagi, Tak apa jika sekali.
“Udah malem ra, tidur, ya” pinta cowok itu.
Ara mengangguk, kemudian membaringkan tubuhnya sedangkan Aska menutupi tubuh gadis itu dengan selimut sebelum akhirnya keluar dari kamar gadis itu. Alat penerangan ruangan itu sudah redup. Dari ambang pintu, Aska masih menatap sahabatnya yang sudah terlelap.
“Gua sayang sama lo, ra.”
Hukuman
Denting suara di SMA Bina Taruna masih belum berbunyi. Remaja yang dikenal dengan perkumpulan berlogo pedang dan berlian berada di gazebo kecuali satu-satunya gadis yang ikut bergabung dalam perkumpulan mereka. Pasti karena perihal osis, sebab jabatan gadis itu adalah ketua osis.
“Tadi malem Aslan sama anak buahnya buat keributan, nggak?” Aska memulai dengan pertanyaan.
“Lo kenapa, ka?” Angkasa, wakil ketua Gemstone geng justru bertanya sebab wajah Aska daritadi terlihat menahan amarah. Kedua tangannya saja mengepal.
“Gua bingung sama isi otak orang tua, kalau nggak kerja, pasti pengen anaknya pinter.”
“Nggak semuanya kayak gitu, ka,” Sahut Septian, cowok dengan sejuta senyuman ceria diwajahnya.
“Kebanyakan dari mereka itu mikirin kebahagiaan anaknya,” imbuhnya.
“Tapi mereka ketinggalan zaman, sekarang zaman udah modern, masih aja mau jodoh-jodohin,” Sahut Angkasa.
Septian terkekeh. “Bukan mereka sa, yang bener itu bokap sama nyokap, lo aja.”
Angkasa memutar bola mata malasnya. “Nggak usah dibahas, telinga gua panas dengernya.”
“Siapa yang mulai? Siapa yang nggak terima?” Reyhan menyahut.
“Ara mana, ka?” tanya septian, sadar jika ada yang kurang.
“Tadi disuruh pak kepsek ke kantor bentar.”
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, suara dentingan itu kembali terdengar. Pertanda telah habis massa untuk istirahat.
“Mumbazir kalau makanannya nggak dihabisin,” keluh Septian.
Angkasa menyahut. “ Habisin aja, mumpung ketua osisnya belum dateng.”
Cowok dengan sejuta senyuman ceria itu melanjutkan aktivitas makannya. Septian Erlangga namanya, cowok dengan sejuta rasa belas kasihan terhadap sesama, dia juga ramah kepada siapa saja terkecuali ada yang mengusiknya.
“Bel udah bunyi, kenapa kalian masih disini?” kata seorang gadis yang baru saja datang. Ia selalu berkeliling untuk memeriksa ketertiban para siswa dan siswi di SMA Bina Taruna.
“Panjang umur juga lo,” ucap angkasa cengengesan.
“Cepet pergi ke kelas atau berdiri di lapangan?” Ancam ara. Mereka berlari ke kelas kecuali Reyhan yang berjalan dengan santai.
“Maaf kalau gue kasar,” batin ara yang menyusul mereka.
Di kelas XI IPS 2, semua siswa dan siswi diam tak ada yang berani bersuara karena hari ini adalah jam Pelajaran Bu Kaina. Guru yang terkenal karena wajah yang menyeramkan.
“Sekarang kalian semua rangkum bab 3 dikertas folio setelah itu kerjakan dari halaman 62-65!” perintahnya mutlak. Banyak yang ingin menolak, namun tidak ada yang berani. Mereka hanya bisa melaksanakan dengan terpaksa. Bahkan, untuk negosiasi saja tidak ada yang berani.
Salah satu diantara mereka tidak bisa menahan lagi, ia sudah muak. “Permisi Bu Kaina.” Aska mengangkat satu tangannya. Sang guru mempersilahkan cowok itu menyampaikan tanggapannya.
“Apakah lebih baik jika Bu Kaina menjelaskan materinya terlebih dahulu sebelum memberi soal?”
“Selama ini Bu Kaina hanya memberi kami tugas dan lebih fakus dengan ponsel Bu Kaina daripada kami yang sudah menjadi tanggung jawab Ibu.”
“Jika kamu tidak setuju dengan aturan saya, silahkan keluar dari kelas!” Nada Wanita itu tinggi namun merendah. Tentunya penuh ketegasan.
“Saya siap keluar dari kelas kalau Ibu Kaina menjelaskan materi bab ini.”
***
Siapapun manusia yang melakukan sebuah kesalahan pasti akan mendapatkan hukuman. Sebagian dari mereka bisa belajar dari kesalahannya sebagian justru sebaliknya. Hal ini diseabkan karena setiap sifat manusia berbeda.
“Nggak bisa diringanin satu jam, ra?” tanya Angkasa.
Ara menggeleng. “Gua cuma dikasih tau kalau hukuman lo dua jam, jadinya gua nggak bisa ambil keputusan, kalau mau diringanin minta sama guru BK aja.”
“Lagian Guru BK nya nggak bakal tau kalau hukumannya diringanin.”
Ara menggeleng. “Gua nggak peduli.”
“Gimana kalau nanti malam gua ngajak lo balapan? Tapi hukumannya diringanin.”
“lo nyogok, gua?”
Septian hanya cengengesan, sedetik berikutnya ia mengangguk. Hanya Septian dan Angkasa saja yang mengeluh sedangkan Aska dan Reyhan hanya diam. Angkasa menoleh pada cowok pemilik mata elang itu.
“Kenapa lo nggak rayu Ara aja, ka?” tanyanya.
Aska menghela nafasnya lalu menatap wajah tegas Ara kemudian berganti pada wajah wakilnya, Angkasa. “Ara sekarang ketua osis sa, bukan Ara yang kayak tadi malem.”
“Kita pantes nerima semua ini,” imbuhnya.
Angkasa menghela nafas Panjang. ”Dua jam itu lama, ka.”
“Jalanin aja, nanti juga selesai sendiri.” Reyhan menyahut.
Keempat remaja itu berjemur dibawah teriknya sinar matahari sebagai hukuman karena melanggar aturan sekolah.
“Gua capek, Rey,” keluh Angkasa.
“Makanya nggak usah bolos,” Sahut Septian.
“Kan, lo yang ngajak, gua kehasut sama omongan lo, nggak salah juga Ara manggil lo setan, ciptaan yang sukanya nyesatin manusia.”
Septian memutar bola mata malasnya. “Siapa suruh mau.”
“Lagian kita semua kan, emang nggak suka pelajaran bahasa inggris,” kata Septian lagi.
“Berani berbuat, berani bertanggung jawab,” ucap Reyhan dengan suara khas beratnya. Kalimat itu mampu menghentikan perdebatan kedua remaja itu. Tanpa disadari Ara memperhatikan wajah Aska yang mengeluarkan banyak keringat, dari raut wajahnya, cowok bermata elang itu terlihat kelelahan. Sinar matahari semakin bersinar benderang sedangkan sisa hukumannya masih sekitar setengah jam lagi.
“Aska minum dulu.” Ara mengulurkan sebotol air putih dihadapan Aska. Dengan bantuan sedotan cowok itu meminum airnya dengan mudah.
“Makasih, cantik.”
Ara memutar bola mata malasnya. “Makanya nggak usah bolos biar nggak dijemur, untung rasa kemanusiaan gua masih ada buat lo.”
“Buat kita nggak ada, ra?” tanya Septian yang juga sama dahaganya.
“Nggak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar