Sejarah Peradaban Islam
Penulis:
Heny Kusmawati, M.S.I, Khanisaningtyas Nurul Syahara, Meyra Fara Dilla, Ragil Umilatul Asfiah, Sholikhatun Nisa', Yusriana Rofiqoh Putri, Muhammad Luthfi Amin Mubarok Rochim, Nuriyatul Azizah
Tebal: 101 halaman
Ukuran: 15,5 cm x 23 cm
Harga: 75.000
QRCBN: 62-250-2710-753
Dasar-dasar peradaban Islam pertama kali ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw. Tujuannya adalah untuk memperkokoh masyarakat dan negara baru. Beliau menetapkan dasar-dasar tersebut pada saat beliau berada di Yastrib atau yang sekarang dikenal dengan nama Madinah. Berbeda halnya dengan di Mekah, di Madinah Allah swt banyak menurunkan wahyu yang berhungungan dengan kehidupan masyarakat. Nabi Muhammad saw mempunyai kedudukan, tidak hanya sebagai pemimpin Agama, tetapi juga sebagai kepala Negara. 1 Dengan kata lain nabi Muhammad saw memilki dua kekuasaan sekaligus, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasan sekuler yang dimana kedunya dapat berjalan seimbang atas berkat bimbingan Allah swt melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.
Bangsa Arab pra- Islam biasanya disebut Arab jahiliyah. Bangsa yang belum berperadapan, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah” . Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam . Hanya saja baca tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai penting, tidak pula menjadi tolak ukur kepintaran dan kecendikiaan seseorang .
Secara asal-muasalnya masyarakat keturunan Arab terbagi menjadi dua golongan besar. Pertama, berasal dari keturunan Qathan yaitu golongan Qathaniyun yang berada bewilayah di bagian Selatan. Kedua, dari keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu golongan Adnaniyun yang berada di wilayah bagian Utara. Tetapi, dalam perjalanannya, kedua golongan ini saling berbaur akibat dari perpindahan penduduk Jauh sebelum kedatangan Islam, jazirah Arab bagian Utara telah ditemukan tradisi baca tulis. Tradisi tulis menulis di jazirah Arab terus berlanjut sampai datangnya Islam. Berdasarkan kabar dari sebagian sejarawan bahwa pada saat datangnya Islam di Mekah hanya terdapat tujuh belas orang yang dapat menulis. Namun kabar itu menurut Azami belum lengkap mengingat Mekah merupakan kota kosmopolitan, pasar barter, dan persimpangan jalan yang dilalui para kafilah. Lagi pula, data yang dikemukakan ternyata belum memasukkan sejumlah nama yang juga dikenal memiliki kemampuan tulis menulis. Meskipun sumbernya benar. Shubhiy al- Shalih berpendapat bahwa kabar ini pasti bukan berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif, melainkan hanya perkiraan yang masih samar-samar.
Bangsa Arab, terutama Arab bagian Utara, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah sebuah syair. Syair-syair itu diperlombakan kemudian yang unggul ditulis dan digantungkan di dinding Ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut, diketahui bahwa peristiwa peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh serta mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai- nilai yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa penting itu, mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian dan syair . Orang Arab pra-Islam dan awal kebangkitan Islam, tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah disimpan dalam ingatan mereka. Bukan hanya karena mereka buta aksara, tetapi juga karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka lebih terhormat. Semua peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulagulang secara turun-temurun. Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi.
Dalam tradisi keilmuwan Islam, ilmu sejarah dianggap sebagai ilmu- ilmu keagamaan karena pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti pada masa pra Islam dan awal Islam Bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan, hal ini dikarenakan mereka tidak mengenal tulisan, tapi tradisi lisan lebih dihargai dan diutamakan ketimbang tradisi tulisan. Karena itu sejarah awal Bangsa Arab hanya berupa ungkapan mengenai berbagai peristiwa dan perperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan . Jika dilihat pada konteks lain, sosial-politik pra-Islam sangat rendah dan tidak berkembang. Apalagi dalam konteks ini, masyarakat Arab pra-Islam telah terbentuk kabilah. Kemudian dari beberapa kabilah terbentuknya suku. Jadi, sebetulnya pada masa Arab pra-Islam sudah terbentuk identitas masyarakat Arab itu sendiri. Namun, karena penekanannya pada hubungan kesukuan yang kuat, kesetian terhadap suku harus dijaga dan solidaritas yang tinggi, maka sering terjadi kekacauan dan peperangan diantara suku-suku yang ada.
Masyarakat Arab pra-Islam merupakan kancah peperangan terus menerus. Sehingga kebudayaan mereka tidak berkembang. Itulah salah-satu penyebab bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langkah untuk ditemukan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan tentang Arab pra-Islam diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Contohnya, pada masa pra-Islam selalu diadakan perlombaan syair di pasar Ukaz, kemudian syair-syair yang dinyatakan menang langsung digantung di dinding Ka’bah oleh panitianya. Walaupun syair-syair yang melalui tradisi lisan, tetapi tetap menekankan pada unsur fakta. Terlepas dari kondisi lingkungannya, sedapat-dapatnya tidak mengalami perubahan dalam proses berfikir manusia . Jadi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi atau kebiasaan tersendiri untuk mengukir semua sejarah yang ada pada zamannya. Mereka tidak menggunakan tulisan untuk mengabadikan sejarah, melainkan dengan tradisi lisan yang mereka anggap lebih dihargai dan hormati. Untuk melacak jauh kebelakang sejarah perjalanan dan warisan turun temurun masyarakat Arab pada masa jahiliyah. Maka kita harus mengarahkan pada tradisi lisan yang mereka miliki. Orang-orang Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan. Itulah yang disebut dengan hari-hari penting (al-Ayyam) dan silsilah (al-Ansab) pada masyarakat Arab pra-Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar