Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Refleksi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada Siswa Melalui Penelusuran Filosofi Huma Betang

 



Refleksi Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada Siswa Melalui Penelusuran Filosofi Huma Betang

Oleh Renny Veronika Marbun, S.Sos.

  Dibukukan dalam buku berjudul Aku dan LKLB 



Bangsa Indonesia mempunyai masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam kebudayaan. Kemajemukan inilah yang dapat meningkatkan jiwa nasionalisme siswa dimana pemahaman akan perbedaan bukanlah sebuah kelemahan melainkan kekuatan bangsa perlu ditanamkan. Perbedaan tersebut merupakan realitas sosial yang memang sudah seharusnya terjadi dalam kondisi masyarakat heterogen. Jika dikaitkan kembali dengan permasalahan bangsa yang saat ini sering terjadi seperti masalah SARA dan kurangnya nasionalisme bangsa, maka keberadaan ikrar satu nusa dan satu bangsa serta satu bahasa sangat perlu untuk digiatkan kembali dalam konstruksi masyarakat Indonesia sekarang terutama pada siswa yang merupakan sumber daya manusia dalam membangun negara.

Menguatkan pemahaman dan menanamkan keyakinan bahwa keragaman adalah kekuatan sangat tepat jika siswa diberikan penguatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Melalui LKLB siswa diajak untuk memaknai bahwa kemajemukan merupakan suatu keniscayaan. Keragaman agama, kepercayaan, etnis dan budaya tak seharusnya ditolak atau dipaksakan untuk seragam akan tetapi disikapi dengan menghargai, toleransi, empati sosial terhadap keberagaman. Selain itu pendekatan multikultural sangatlah diperlukan masyarakat multikultur seperti bangsa Indonesia, karena diharapkan ada pengakuan terhadap kesetaraan dalam perbedaan. Setiap agama dan kebudayaan mempunyai cara hidupnya sendiri yang harus dipahami dari konteks masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.

Dalam penerapan prinsip multikultural, masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki Huma Betang yaitu sebuah hunian, rumah tradisional. Rumah panjang berbentuk panggung yang dibangun di atas tiang yang cukup tinggi, Huma Betang dapat menampung penghuni sekitar 100-an jiwa. Di dalam Huma Betang, terdapat kamar atau ruangan untuk tempat tinggal, dan dapur. Di ruangan depan tempat untuk menerima tamu atau sebagai ruang pertemuan dan biasanya pintu rumah dan tangga untuk ke dalam rumah hanya satu saja.

Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah memiliki kebudayaan unik dan menyimpan nilai-nilai persatuan yang direpresentasikan dalam hunian tradisional mereka yaitu Huma Betang. Ikon masyarakat Dayak ini masih berdiri dan tetap lestari ratusan tahun lamanya. Selain karena dibangun dengan bahan dasar yang kuat, setiap penghuninya juga senantiasa melestarikan dan merawat Huma Betang sebagai ikon budaya Dayak.

Huma Betang dapat dilihat sebagai sebuah konsep pembangunan makro dengan integrasi berbagai macam unsur yang dapat mendukung pelaksanaan pembangunan. Perlambangan konsep tersebut berupa rumah besar dengan fungsi sebagai tempat tinggal masyarakat dengan corak pluralitas agama serta budaya. Masyarakat tersebut tinggal di dalam sebuah rumah besar yang terdiri dari sejumlah kamar sebagai wujud dari kebersamaan dengan dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Bakas Lewu (Abubakar, 2016).

Dalam Huma Betang terdapat konsep masyarakat multikulturalisme karena penghuninya terdiri dari bermacam agama dan kepercayaan. Konsep ini juga berlaku pada masyarakat Indonesia, dimana merupakan sebuah ideologi yang mengakui serta mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik individual dan kebudayaan. Terdapat mosaik berupa budaya yang berlaku secara umum di masyarakat Indonesia yang bersifat multikultur. Mosaik tersebut mencakup kebudayaan-kebudayaan di masyarakat dengan lingkup lebih kecil serta turut membentuk terwujudnya masyarakat dengan lingkup lebih besar.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka dapat dilihat bahwa keberadaan masyarakat multikultur di Indonesia sejalan dengan ideologi bangsa yaitu Bhineka Tungal Ika. Kenyataan bahwa kebhinekaan masyarakat Indonesia tidak hanya terdapat dalam suku dan agama serta ras, akan tetapi mencakup juga dengan evolusi kebudayaan baik dari yang simple hingga mempunyai kompleksitas tinggi (Hikam, 2000).

Di dalam masyarakat multikultur dengan berbasis Bhineka Tunggal Ika sekalipun masih dapat dijumpai konflik. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dengan kondisi masyarakat yang plural terkadang masih bisa mengalami perpecahan baik karena isu politik maupun agama serta sosial, terutama akhir-akhir ini. Kepentingan golongan tertentu berusaha menekan anggota lainnya sehingga menciptakan konflik. Konflik yang berkepanjangan mampu mengancam keutuhan Indonesia sebagai suatu bangsa.  Konflik tersebut dikarenakan adanya fenomena konfigurasi pemilahan sosial yang cenderung menuju kepada subjective conflict. Penerjemahan objective conflict menuju ke ranah subjektif sering terjadi di masyarakat Indonesia. Pemilahan sosial ini mengarahkan ke rawan konflik. Batas-batas budaya tercipta dari adanya segregasi sosial di masyarakat. Sebenarnya multikulturalisme jika bisa diterapkan dengan sempurna akan membentuk situasi dingin dan terciptanya kondisi accepting dan tolerance antar individu masyarakat, sehingga kebhinekaan akan tetap terpatri di konstruksi sosial masyarakat Indonesia.

Kehidupan masyarakat di Huma Betang tersebut dibatasi oleh tatanan nilai tertentu yang diberlakukan secara adil ke semua komponen masyarakat (Sulang, 2011). Kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yang merupakan nilai-nilai budaya lokal tampak pada falsafah yang sangat dijunjujung tinggi yaitu belom bahadat.  ‘’Belom Bahadat”  adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum  alam”. Apabila telah  mampu melaksanakan perilaku hidup “belom bahadat”, maka akan teraktualisasi dalam wujud “Belom Penyang Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama”. 

Kondisi plural juga terjadi di masyarakat Dayak yang tinggal di Huma Betang dari keberagaman agama, dan hal ini bukanlah menjadi penghalang dalam kerukunan antar penghuni. Ada falsafah yang tidak kalah penting yaitu minimalisasi gesekan sosial antar individu yang tinggal di Huma Betang dengan musyawarah. Kepemimpinan terdapat di konstruksi sosial masyarakat Dayak, pemimpin dihormati karena merupakan sosok representatif dari masyarakat. Pengambilan keputusan dalam menghadapi suatu masalah dapat dilihat dari pola perilaku yang diambil ketika terjadi konflik tersebut. Pola tersebut tidak lepas dari musyawarah untuk mencapai mufakat. Menghargai pendapat serta mendengarkan sisi lain dari suatu permasalahan dengan dipimpin oleh pemimpin yang bijak, merupakan representasi dari kebhinekaan.

Selain tindakan represif aktif maupun kuratif yang dilaksanakan pada saat terjadi masalah, terdapat pula tindakan preventif yang dilakukan warga Huma Betang. Tindakan preventif yang dilakukan misalnya mengajarkan sejak kecil kepada anak mengenai hidup dengan sopan santun dan beradab. Pembelajaran tersebut secara tidak langsung akan menjadi panduan hidup seorang anak menuju proses kedewasaan. Sifat-sifat luhur yang ditanamkan dari kecil akan menjadi penghias kehidupan penuh rukun dan tentram. Keberadaan falsafah-falsafah di atas sudah seharusnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di zaman modern ini. Penyelesaian konflik baik agama, suku dan ras dapat dengan mudah tercapai jika masyarakat Indonesia mempunyai itikad dalam refleksi kearifan lokal. Mau mengenal, memahami, belajar hidup bahagia bersama secara harmoni, toleransi dan kolaborasi akan mampu menumbuhkan sikap nasionalisme dalam diri karena telah memahami keberadaan nilai-nilai mulia dari keberadaan masyarakat multikultural.


Profil Penulis

Penulis merupakan Alumni Antropologi UGM tahun 1998 dan melanjutkan karir sebagai seorang guru. Berbagai prestasi pernah diperoleh diantaranya Juara 2 Tingkat Guru MA pada Ajang Anugerah GTK Madrasah Tahun 2018 Tkt. Prov. Kalteng. Pernah Finalis Tkt. Nasional di Lomba OGN 2018 Jenjang Pendidikan Menengah Mapel Antropologi yang diselenggarakan Kemendikbud. Di tahun yang sama juga aktif menulis di Jurnal Guru Dikmen dan Diksus yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud RI dan menulis Buku Antropologi Untuk SMA/MA Program Bahasa. Tahun 2019 terpilih sebagai Finalis Lomba Karya INOBEL Guru Madrasah Tkt. Nasional Bidang Soshum yang diselenggarakan oleh Dirjen Pendis Kemenag RI. Akhir 2019 mendapat Penghargaan sebagai Guru Madrasah Berprestasi oleh Kanwil Kemenag Prov. Kalteng. Tahun 2020 Juara 1 OGN SMA dan SMK Mapel Sosiologi Tkt. Prov. Kalteng. Selain itu juga  pernah menang diajang Sayembara Literasi Esai Bagi Guru Tkt. Prov. Kalteng. Bersama teman sesama guru, Agustus 2020 ikut serta menulis Buku Antologi berjudul Moderasi Beragama di Indonesia: Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan Jilid 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640