Menyoal
Implementasi Literasi Digital di Indonesia
Oleh Budianto Sutrisno
Dibukukan dalam buku berjudul Literasi Digital
Roda zaman terus bergerak. Saat ini
kita telah menapaki era teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang pesat.
Jagat literasi tak luput dari pengaruh kemajuan teknologi ini. Segala jenis
tulisan—baik yang bersifat positif maupun negatif—begitu mudah didapat melalui
jaringan internet. Materi tulisan yang diunggah di belahan bumi sana, dapat
diakses di belahan bumi sini pada saat yang bersamaan. Begitu pula sebaliknya.
Jarak antarnegara seperti dinihilkan.
Pertumbuhan dan perkembangan
Gerak laju TIK telah melahirkan istilah baru, yakni
literasi digital. Menurut sebuah berita di www.kominfo.go.id
(26 Januari 2022) penggagas istilah ini adalah Paul Gilster, seorang pemerhati
teknologi informasi dari Amerika Serikat. Akhirnya, “literasi
digital” menjadi istilah baku lewat buku karyanya Digital Leteracy yang diterbitkan tahun 1997.
Tak pelak, penerapan TIK berkembang
pesat seiring dengan inovasi di bidang komputer dan gawai yang makin
diperlengkapi dengan fitur canggih. Setiap jenama seolah berlomba menjadi yang
terbaik dan tercanggih. Kecepatan mengakses tulisan/berita makin meningkat. Teknologi
5G telah memungkinkan semua itu terjadi. Di samping itu, 5G juga memiliki
koneksi yang lebih konsisten dan kapasitas yang lebih besar.
Pertumbuhan dan perkembangan TIK tak
bisa dibendung dan dielakkan. Apalagi bila dipadukan dengan kecanggihan kecerdasan
buatan (Artificial Intelligence/AI).
Kemajuan zaman menuntut kecepatan dan keakuratan. Bukan tak mungkin, dalam
beberapa tahun lagi, bakal muncul inovasi yang lebih canggih lagi, sehingga
membuat literasi digital makin berkembang. Penulis berharap, para cendekiawan
Indonesia dapat berperan serta untuk menyumbangkan pikiran dan ilmunya bagi
pertumbuhan dan perkembangan literasi digital yang lebih baik lagi, dalam skala
nasional maupun global.
Implementasi di Indonesia
Tak perlu diragukan lagi, literasi digital memegang peranan sangat penting di era digital,
karena TIK sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan modern sekarang ini.
TIK dimanfaatkan di bidang pendidikan, bisnis, dan komunikasi. Lalu bagaimana
implementasi literasi digital di Indonesia?
Berbicara tentang literasi digital
di tanah air, kita tak bisa menafikan apa yang disebut sebagai indeks literasi
digital Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo) dan Katadata Insight Center (KIC) pada 2021, indeks literasi
digital Indonesia itu bertengger di bilangan 3,49 (https://binus.ac.id/character-building/2023/02/rendahnya-literasi-digital-indonesia/).
Indeks ini disusun berdasarkan 4 pilar, yakni digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture. Angka ini meningkat
menjadi 3,54 pada tahun 2022. Berada di tataran menengah dalam skala 1-5. Cukup
menggembirakan, tetapi belum memuaskan.
Sementara itu, ekonom senior
Aviliani menyatakan bahwa tingkat literasi digital Indonesia hanya sebesar 62
%. Terendah di kawasan ASEAN, yang secara rata-rata bisa mencapai 70 %.
Karenanya, diperlukan percepatan penerapan literasi digital, terutama untuk digital safety—pilar terlemah. Dengan
demikian, masyarakat dapat terhindar dari kejahatan di dunia digital. Sebagai
pelindung, perangkat antivirus tertentu dapat mencegah masyarakat memasuki
situs berbahaya.
Peristiwa pandemi Covid-19 selain
mendatangkan musibah, juga membawa rahmat tersembunyi berupa percepatan
penerapan literasi digital. Kok bisa?
Pasalnya, wabah ini memaksa banyak sekolah menerapkan pengajaran jarak jauh
(PJJ) lewat sarana Zoom. Semua PR dan pengerjaannya dikomunikasikan lewat
Google Drive. Hal ini, mau tak mau, memaksa guru dan peserta didik untuk melek
literasi digital.
Selaku pendidik, penulis
memanfaatkan literasi digital, terutama untuk pemutakhiran bahan pelajaran yang
sesuai dengan kondisi peserta didik. Di samping itu, penulis juga memanfaatkan
blog pribadi untuk menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Selain digunakan
untuk mengasah kemampuan literasi diri, aktivitas ini dapat memberikan dorongan
bagi para peserta didik untuk ikut aktif dalam kegiatan literasi digital.
Mereka itu cenderung mengikuti jejak gurunya, bukan?
Jadi, dalam perkembangan literasi
digital, guru—baik guru mata pelajaran TIK maupun bukan—memegang peranan yang
sangat penting. Para guru perlu memberikan semangat dan petunjuk kepada para
peserta didik untuk bergiat diri dalam literasi digital. Mengajak mereka
membuat blog pribadi dan menuliskan berbagai aspirasi yang bermanfaat.
Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Youtube, misalnya, seyogianya
dimanfaatkan untuk hal-hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan sastra,
bukan untuk ajang pamer kemewahan hidup.
Sebagai penutup, izinkanlah penulis
mengutip wejangan seorang mahaguru: “Makin
canggih teknologi, makin dituntut pula nilai adab yang baik, sehingga kehadiran
teknologi tidak menjadikan manusia tercerabut dari akar kemanusiaannya.”
Budianto Sutrisno.
Penulis kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah. Menekuni karier
sebagai guru selama 19 tahun di sekolah
swasta di Jakarta. Di tengah kiprahnya dalam dunia pendidikan, penulis
menyempatkan diri untuk menulis sejumlah puisi, cerpen, dan esai. Beberapa di
antaranya telah memenangi sejumlah lomba tingkat nasional dan internasional.
Sejumlah tulisan lainnya telah dibukukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar