Sebuah Harapan Wanita
Sholihah dengan Kisah Ta’arufnya
Nur
Zaytun Hasanah
Hari itu, hari dimana aku diminta Kodisia untuk menjadi
perwakilan pada sebuah perlombaan Da’i/ Da’iah di Institut Teknologi Nasional
Yogyakarta (ITNY). Adzan berkumandang dengan suara lantang membuat langkah kaki
ini bersegera menuju masjid untuk sholat subuh.
Setelah selesai sholat, aku pun segera mengerjakan
aktivitasku sehari-hari, menyapu halaman, mencuci baju, memasak, dan lain-lain.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, aku langsung bersiap-siap untuk
berangkat menuju perlombaan.
Sesampainya di sana, aku mendapatkan seorang sahabat
yang baik bernama Puja. Dia adalah teman seperjuanganku di kampus ITNY. Sebelum
kuinjakkan kakiku di atas panggung, aku melihat ada peserta dari UIN Sunan
Kalijaga yang mirip sekali dengan Habib Bahar. Aku pun tak mempedulikan ikhwan
itu. Aku dan Puja kemudian keluar dari ruangan itu untuk mencari udara sejuk.
Acara lomba pun sudah dimulai. Aku melihat peserta lain
yang tampil, ingin rasanya mengundurkan diri dari perlombaan. Tapi, aku
mengingat firman Allah di dalam QS. Ali-Imran ayat 110, “Kamu adalah umat
terbaik yang dilahirkan untuk manusia karena kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”
Tak lama kemudian, namaku dipanggil untuk maju ke depan.
Dengan percaya diri aku langsung maju, tak mempedulikan siapapun yang
melihatku. Tak peduli apakah nanti mendapatkan juara atau tidak. Karena bagiku,
Allah tidak melihat pada hasil tetapi yang Allah lihat adalah bagaimana usaha
kita, jerih payah kita, untuk meraih ridho-Nya.
Setelah selesai mengikuti lomba, aku dan Puja pun
bergegas pulang. Sesampainya di rumah, wallahua’lam
kenapa aku bisa salah menghubungi kontak dalam grup lomba da’i. Padahal, yang
mau kuhubungi adalah panitia lomba Da’i/ Dai’ah. Akhirnya, ikhwan itu mengajakku berkenalan dan dia pun memperkenalkan
dirinya.
“Aku Yuda dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karena aku
asli Bogor—Sunda, panggil aja aku Akang. Namamu siapa?”
“Aku Fasanah dari Universitas Islam Indonesia.”
“Oalah, kamu jurusan apa di sana?”
“Pendidikan Agama Islam.”
“Oalah iya, saya ge pernah nginep di kost-nya temen UII
Prodi Ilmu Hukum, suka ikut grup musik.”
“Maksudnya ge itu nggak pernah kah?”
“Ge itu artinya juga, Neng.” jawabnya sambil tertawa.
“Oalah, maaf nggak tahu.” tuturku sambil tersipu malu.
“Hehe, nggak apa-apa. Lewat jalur apa tesnya?” tanya
Yuda padaku.
“Jalur CBT, Kang.”
“Tinggal di kostan atau rumah asli, Neng?”
“Akang ini tanyanya banyak sekali. Udah kayak wartawan
aja.”
“Hehe. Namanya juga kepo.”
“Rumah asli, Kang.”
“Sebelah mana emang?”
“Di Sleman.”
“Deket Tempel?”
“Bukan. Coba saja Akang cari sendiri. Atau tanya saja
sama temen akang yang di UII.”
“Pokoknya sebelum UII-nya kan?”
“Aku save
nomor kamu ya.”
Detik-detik kehidupan terus berputar seperti roda yang
berputar. Entah kenapa ikhwan ini
terus berusaha mencari tahu tentang diriku.
“Eneng kenal
sama Irma UII?”
“Akhwat?”
“Iya akhwat, Neng.”
“Enggak. Kayaknya
itu kating. Emang kenapa?”
“Enggak
kenapa-kenapa Neng, soale Akang lihat pengikutnya Eneng tuh ada yang temenan
sama temenku di organisasi JQH Al-Mizan UIN Sunan Kalijaga.”
Tuttt.. Bunyi dari
Hpku, ada WhatsApp masuk.
“Eneng marah sama
akang? Maaf ya, Neng. Akang nggak bermaksud apa-apa kok, Cuma tanya aja, siapa
tahu Eneng kenal temenku organisasi JQH Al-Mizan juga dari UII.”
“Oh iya, Neng. Bolehkah sekiranya Akang bertanya?”
“Boleh. Tentang apa?”
“Eneng emang nggak pernah buat status di WhatsApp gitu
ya?
“Iya, jarang. Eneng lebih suka berdakwah di media
sosial. Kadang status itu ada positifnya, tapi juga ada negatifnya. Positifnya ya,
bisa untuk share
dakwah. Negatifnya ya, kalau status itu digunakan agar orang lain tahu kegiatan
kita. Karena di era milenial saat ini banyak wanita yang berlomba-lomba menjadi
pusat perhatian. Mereka rela menghabiskan banyak uang hanya untuk membuat diri
mereka merasa cantik atau dibilang cantik supaya dapat pujian dari seorang
laki-laki. Tak jarang dari mereka yang saling beradu untuk mendapatkan panggung
ketenaran. Mereka tak peduli lagi harga diri mereka. Padahal di dalam Islam,
Allah telah berikan sejumlah aturan yang harus ditaati para muslimah. Seorang
perempuan diperintahkan untuk menundukkan pandangan mereka. Bukan malah
mengumbar fisik mereka,” tuturku kepada Yuda.
“Masya Allah Akang jadi makin penasaran. Memang benar, wanita seperti Eneng tuh di zaman sekarang sudah tidak banyak ditemukan. Mereka lebih senang menampakkan dirinya di medsos dan itu menjadi hal yang biasa.”
Baca Juga: Secarik Kain Sorban
Semenjak pembicaraan itu, hati dia semakin tergugah untuk kenal lebih dekat denganku. Tapi tebersit dalam benakku, entah kenapa jemari ini seolah-olah mengatakan agar aku harus mengorek siapa dia sebenernya.
“Maaf, Kang. Ini maksudnya sudah pernah punya mantan apa?”
“Kalau itu’kan sudah lama, Neng.”
“Ya, lama.” jawabku singkat.
“Jujur ya Neng, dulu memang Akang pernah pacaran waktu
di SMP sama di pondok. Ya berangkat dari situ Akang ketika kuliah berniat untuk
tidak pacaran lagi, Neng. Sebelum Akang mengenal Eneng, jujur Akang pun bingung.
Akang selalu bertanya pada diri sendiri, banyak wanita yang Akang temui. Pernah
terlintas melihat wanita cantik itu suka tetapi mengapa kalau hati nurani ini
biasa saja.”
“Akang kadang suka curhat sama sahabat satu kamar
tentang siapa sih pasangan Akang, karena ketika itu walaupun Akang aktif
organisasi, pondok, dan lain-lain. Jujur, Akang terkadang merasa hampa di
samping orang tua sebagai penyemangat utama. Akang membutuhkan sosok perempuan
yang berkomitmen saling menjaga, mendoakan, saling mendukung, dan mengingatkan.
Semoga Enenglah orang dalam doa dan harapan Akang tersebut.” tutur Yuda lagi.
Tubuhku beku tak
berdaya, berusaha merenungi kata-kata yang dia ucapkan dengan panjang lebar,
seakan-akan dia ingin berikhtiar untuk mendapatkanku dan ingin agar aku jadi
jodoh dia kelak dimasa depan.
“Bisakah Neng, kita ta’aruf? Kita ketemu saling memahami
antara satu sama lain, dengan perantara Akang bawa temen laki-laki, Eneng bawa
temen perempuan. Gimana, Neng?”
Aku
kaget. Entah apa yang harus kujawab pada ikhwan ini. Meskipun banyak ikhwan
yang suka sama aku, tapi aku tidak semudah itu langsung menerima semua ikhwan
yang datang padaku. Sementara tugas-tugas kuliahku juga masih menumpuk.
“Maaf, Kang. Eneng
nggak bisa.”
“Kenapa, Neng?”
“Eneng nggak bisa jawab sekarang, soalnya lagi ada tugas
kuliah banyak.”
“Siap nggak apa-apa,
Neng. Nggak harus jawab sekarang kok.” tutur Yuda.
Suasana malam yang sangat sunyi, disertai langit dan
rumah-rumah tetangga yang dihalangi oleh kabut, tak ada lagi suara hewan dan
manusia yang menggema, membuat diriku tergugah untuk mengambil air wudhu dari
pancuran gentong belakang. Kemudian aku beranjak untuk sholat istikharah,
memanjatkan doa dan meminta petunjuk kepada Allah. Keesokan harinya..
“Maaf Kang, kalau Akang bener-bener serius mau ta’aruf sama
Eneng, silahkan Akang datang ke rumah dan ketemu sama bapak Eneng.”
“Ini ketemu sama bapak Eneng aja? Ibu?”
“Maksudnya orang tua Eneng.”
“Kamu rumahnya di mana tah? Akang lupa. Kalau ta’aruf,
pas Aa’ sudah di Jogja bagaimana, Neng?”
Waktu terus
berjalan. Pada saat dia mau pergi ke pondok, tiba-tiba dia berubah 180 derajat.
Yang jelas, aku memutuskan untuk menolak ta’aruf dengannya. Aku pun
menyampaikan dengan alasan yang syar’i.
Satu bulan kemudian, tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba ada pesan masuk dari
seseorang.
“Assalamu’alaikum,
Neng.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Alhamdulillah,
aku sudah di Jogja.”
Singkat cerita. Ta’aruf
pun dijalankan. Dia sebenarnya masih belum siap untuk menikah. Dia ingin
mengukir prestasi sebanyak-banyaknya mumpung di usianya yang masih muda, dia
ingin membuat bangga orang-orang sekitar dan menjadi orang yang bermanfaat
untuk orang lain.
Waktu itu, hari dimana aku benar-benar tak tahu harus
bilang apa, dan aku pun memutuskan untuk tutup buku dengannya.
Dua bulan
kemudian, aku diminta Ketua Kodisia untuk donasi ke Pondok Wahid Hasyim
Yogyakarta. Dan ternyata Allah mempertemukanku dengan dia. Aku pun tetap
mengingat tujuanku yaitu donasi. Setelah acara usai, aku dan Yeni berpamitan
dengan takmir masjid Mas Buddin dan Yuda. Ikhwan yang tadinya di dalam ruangan
kemudian keluar dan memberiku sebuah benda berbentuk smile dan tiga jenis buku yang salah satu judulnya adalah Baiti
Jannati Memasuki Pintu-Pintu Surga dalam Rumah Tangga.
Sejak saat itu, aku memilih untuk tidak lagi berkomunikasi
dengannya. Meskipun dia beranggapan bahwa dia masih ada apa-apa denganku, tapi
aku ingin fokus dengan tujuan hidupku yaitu akhirat.
Bertahun-tahun sudah berlalu. Seketika itu, aku
tersentak dengan suara ketukan pintu dari luar, dan terdengar suara Ibu dari
luar.
“Dek, ada tamu. Keluar sebentar ya dan jangan lupa
memakai kerudung dan jilbabmu.”
“Baik, Ibu,” tuturku lagi.
Aku keluar dari kamar dengan balutan kerudung merah
berpadu serasi dengan gamis merah. Dan, ternyata tamu yang datang itu adalah Yuda
dan keluarganya.
“Assalamu’alaikum,” tuturku.
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka semuanya.
“Dek, maksud kedatangan mereka ke sini ingin
mengkhitbahmu. Bapak dan Ibu sudah mendengar penjelasan dari Nak Yuda
semuanya.”
“Sekarang tinggal kamu. Mau atau tidak?” tanya Ibu
padaku.
“Menurut Ibu dan Ayah bagaimana? Fasanah serahkan
semuanya sama Ayah dan Ibu saja.”
“Kalau begitu, kita terima ya.”
“Insya Allah Fasanah terima, Ibu.”
“Alhamdulillah,” kata Yuda dan keluarganya.
“Bagaimana jika sekarang kita melakukan akad nikahnya?
Apakah kamu siap, Nak Yuda?” tanya ayahku.
“Saya siap Bapak,” tutur Yuda.
Setelah semua selesai. Aku membuat kesimpulan. Tak perlu
menjalin hubungan yang tidak jelas, namun akhirnya tak bisa bahagia. Karena
kebahagiaan, bukan ketika punya fisik rupawan, punya bisnis, rumah megah, mobil
mewah, terkenal, penghasilan berlimpah, dan punya jabatan. Kalau semua itu
standar hidup bahagia, kita nggak akan dan nggak akan pernah bahagia.
Kalau ta’aruf distandarkan pada cinta atau tidak cinta,
bahkan cocok atau tidak cocok, maka yang akan terjadi adalah berujung pada
penyesalan. Tidak menyesal sekarang, tapi dampaknya jangka panjang. Karena
Allah banyak mengkritik di dalam Al-Qur’an, bahkan Allah berkali-kali
menyatakan penyesalan orang-orang yang tidak beriman ketika mereka sudah
melihat neraka.
Pernikahan itu bukan tentang hal yang fana’ dunia. Bukan
juga tentang indahnya fisik. Jika cinta berdasarkan hal itu, maka
bersiap-siaplah, cinta akan dirusak oleh waktu, jarak, dan orang sekitar. Akan
tetapi, jika kita mau terikat dengan hukum Allah, maka waktu tak bisa berani
mengikis cinta, tak pula jarak menjadi pemisah. Sebab Allah hanya akan
menurunkan Sakinah Mawaddah Warahmah, ketika kita mau taat kepada Allah SWT.
Nur Zaytun Hasanah. Tahun 2017 pernah mengabdi 8 bulan sebagai staf Tata Usaha dan Guru Ekstrakurikuler Baca Tulis Al-Qur’an di SDN Brengosan 2. Pernah bekerja di Swalayan dan Grosir Mukena Online. Tahun 2018 melanjutkan studi S1 Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam di Universitas Islam Indonesia. Tahun 2020 aktif dan bergabung menjadi keluarga besar Beasiswa Cendekia BAZNAS Angkatan 2 UII. Aktivitas sehari-hari: menjadi guru les, aktif berorganisasi di kampus, aktif mengkaji Islam. Pengalaman yang pernah diikuti: ESC, LDK Al-Fath UII, Seni Baca Al-Qur’an, dan Korps Dakwah UII (Ketua Divisi PDU). Prestasi yang pernah diraih: Menerbitkan 2 Artikel Jurnal Ilmiah secara kolaborasi dengan dosen (Jurnal Shibghah dan terindeks Google Schoolar), berprestasi dalam Lomba Puisi Tingkat Nasional (Penulis Terbaik), dan berprestasi di bidang Lomba Kultum/Da’i Tingkat Nasional (Juara II). WA: 082265448422.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar