(Sumber: Unsplash)
Muthmainnah
Karya: Aufa Nasihat Innisa
(Dibukukan dalam buku berjudul Terima Kasih untuk tidak Menyerah)
“Jika
engkau menginginkan derajat yang tinggi duhai sahabatku. Baik di dunia atau di
akhirat maka bergelutlah dengan pena. Ikhlaskan niat untuk Rabbmu, serta
amalkanlah ilmu yang sudah engkau ketahui, sekalipun rasa pedih kau dapatkan.
Tetaplah
bersabar, dan senantiasa tekun, jangan bermalas-malasan. Memang rasa letih itu
sesuai kadar cita-cita seseorang.”
~ Rudi Yulianto
Air mukanya kini berubah
pias. Air mata sudah tak mampu kubendung lagi, teriakanku semakin menggema di
ruangan bernuansa putih tulang.
“Ma, tolong temani Aisyah,
Ma. Kali ini saja!” teriaknya parau.
“Aisyah, mama juga minta
tolong ya sama kamu, kali ini saja. Kamu mengalah dulu sama kakakmu, dia baru
pulang dari kota. Kamu kan setiap hari di rumah, dan selalu bersama Mama,” ucap
Mama berusaha menjelaskan.
“Kenapa selalu Kakak, Ma?
Aisyah juga anak Mama.” Ujarku sambil terisak.
“Udahlah Syah, kamu jangan
kek anak kecil. Cape Mama.” Ucap Mama meninggalkanku yang terisak.
Aku segera berlari menuju
kamarku, tersudut dengan luka sendiri. Di kejauhan, terdengar suara pintu yang
tertutup dengan keras. Aku tahu, aku salah. Tapi bolehkah sekali saja orang
tuaku hadir di hari yang begitu bermakna dalam hidupku?
“Aisyah, kamu kenapa?”
Aku terperanjat mendapati
seseorang tengah duduk di jendela. Memandangiku tanpa kusadari. Ia adalah
sahabatku, Zahra.
“Zahra, kamu ngapain di
jendela?”
“Nungguin kamu lah.”
Zahra menerobos masuk
melalui jendela. Terlihat seperti anak kecil yang kabur melalui jendela untuk
pergi bermain. Dan dahulu kala, ketika kami masih kanak-kanak pun begitu. Kami
tak menyangka kebiasaan itu masih saja kami lakukan.
“Gimana? Besok Mama kamu
bisa datang acara wisuda kamu?” ujar Zahra tenang.
“Nggak, Ra. Mama udah
pergi sama Ka Ardi. Dan, mereka pulang pekan depan.”
Zahra mendaratkan dagunya
di kedua lututnya. Terdiam dengan kedua pipinya yang tebal. Jika melihatnya seperti
itu, apa pun masalah yang tengah menimpa, tetap saja menghadirkan tawa. Aku tak
bisa menahan untuk tidak mencubit pipinya itu.
“Aisyah, sakiiittttt ... ” ujarnya
menggerutu.
“Abisnya kamu nggemesin
banget si, Ra.” Sambungnya.
Aku tersenyum simpul.
Zahra merengkuh tubuhku,
mencoba memberikan kekuatan. Sebagai seorang anak, ia juga merasakan perbedaan
kasih sayang yang di berikan orang tuaku. Namun, ia juga menghargai alasan
orang tuaku.
“Gimana kalau Aisyah
duluan yang bertemu malaikat maut? Apakah mereka akan merasa kehilangan?”
ujarku parau.
“Hus, Aisyah. Nggak boleh
ngomong gitu. Lebih baik sekarang kamu mandi, lalu kita ke taman. Ok?” ujarnya
mengelus kepalaku.
“Kenapa begitu? Kan itu
perjalanan selanjutnya sebelum kita bertemu dengan Allah kan?”
“Kita jangan bahas itu
dulu ya. Sekarang kita nikmati saja apa yang ada, dan apa yang terjadi saat
ini. Besok, aku pasti datang kok. Aku yang akan nemenin kamu.”
“Terima kasih ya, Ra.”
***
Dear:
Aisyah Muthmainnah
Wahai
jiwa yang tenang, jiwa yang bahagia, jiwa yang tumbuh menjadi insan yang penuh
cinta. Sepucuk daun hijau kusematkan sebagai simbol kedamaian. Ku abadikan cinta dalam ukiran perjalanan.
Cerita indah, pahit, hambar, asam, manis telah kita rasakan.
Tidak
terasa kini mulai terhitung detik menuju puncak dewasa terindah. Detik demi
detiknya telah berlalu dengan penuh suka cita. Di mana kita harus berdiri
dengan hati yang lapang, walau terkadang terasa sangat rapuh. Tapi kita punya
Allah yang senantiasa membersamai.
Ku
ucapkan selamat dan terima kasih untuk diriku dan dirimu yang telah bertumbuh
dengan amat kuat. Tumbuhlah dengan hati yang senantiasa bahagia lahir maupun
batin. Tumbuhlah dengan jiwa yang tenang dengan penuh kedamaian.
Aku
berjalan dengan penuh cinta mengisi hati yang sepi dengan seni, hingga ku
temukan kehangatan pada sebuah perjalanan.
Ketulusanmu
telah merobohkan dinding traumaku. Kepercayaanmu telah menguatkan pondasi
bangunanku. Untuk mencapai Ridho-Nya, tentu aku butuh sosok sepertimu. Yang
senantiasa membimbingku, berjalan berdampingan menuju puncak terindah-Nya.
Aku
ingin nanti kita mempunyai tempat terindah di setiap ruangnya, ruang dimensi
yang menakjubkan di setiap sudutnya, ruang penghangat untuk insan-insan yang
kedinginan, ruang yang di penuhi cahaya kebahagiaan.
Karena
aku tahu, di luar terlalu dingin untuk berjalan sendiri. Terlalu lemah di kala
badai menerpa, terlalu pekat tanpa cahaya.
Ya
Allah ...
Jika
ini adalah jalan terbaik-Mu, ikhlaskan kami untuk melanjutkan perjalanan dengan
hati yang lapang, hati yang kuat. Teduhkanlah di setiap perjalanan kamu,
terangilah dengan cahaya kasih sayang-Mu.
Dengan
seiring waktu berjalan, dengan lika-liku yang telah dihadapi, berjalan secara
tertatih-tatih, kini telah tiba di awal untuk melanjutkan serta memulai hidup
untuk lebih baik lagi. Terima kasih telah memberikan memori kehidupan baik suka
maupun duka.
Semoga
doa yang telah terurai bisa terwujud di tahun ini, semoga akan banyak
kabar-kabar indah menghampiri, dan semoga mutiara cinta Allah senantiasa
membersamai.
Saudarimu, Zahra J
Malam semakin larut. Aku
dan Zahra masih terpaku menatap langit. Bersama secarik kertas dalam
genggamanku.
“Tak semudah yang diharapkan,
Ra.” Ucapku lirih.
“Aku tahu, Aisyah. Tak
semudah itu engkau melaluinya untuk meraih mimpi-mimpimu. Tapi nyatanya, engkau
sudah berhasil sampai di titik sejauh ini.”
“Cukup jalani saja, Aisyah
Muthmainnah ...”
Usia tidak ada yang tahu,
namun kita punya cerita yang berbeda. Tentang dahsyatnya badai ujian dan
rumitnya perjalanan di dunia.
Terpaan badai dan likuan
terjal pun sering kali mematahkan langkah kaki. Namun nyatanya, hingga kini
segalanya masih bisa terlewati.
Cukup jalani saja. Apa pun
itu, semua ada porsinya, dan Allah maha tahu jika kita mampu.”
Suasana menjadi hening
sejenak. Membisikkan angin malam yang berkesiur.
“Benar, Ra ...!”
Belum tentu orang lain
yang sengaja menyakiti. Bisa saja karena kita terlalu mudah memberi celah untuk
dihinggapi luka itu sendiri.
Jika orang lain tak pernah
meminta untuk kita sukai, harusnya kita cukup paham untuk tidak mengharap untuk
disukai kembali.
Dan andai belum mampu
setulus itu, maka jangan sampai cinta sejatuh itu.”
Zahra beranjak dari
duduknya. Membenahi buku-buku yang masih berserakan di meja. Malam ini Zahra
lah yang menemaniku, hingga esok menyapa. Namun di hari esok, masihkah ku
dapati kedua bola mata ini melihat dirinya?
“Sudah terlalu larut,
tidur yuk. Kamu harus bersiap untuk esok.”
“Mengapa engkau begitu
yakin? Sedangkan diriku yang kan menjalaninya saja masih terambang.” Ucapku
tertawa tipis.
Zahra menarik lenganku.
Menatapku lekat, begitu lekat. Entah kenapa rasanya begitu ganjal di hari ini.
“Aisyah ... “
Yakinlah, masalah yang
menimpamu saat ini merupakan cara Allah untuk mengingatkan agar kamu lebih
dekat dengan Allah.”
“Aisyah, aku ada di sini.
Aku bersamamu. Dan aku adalah saudarimu, ok.” Ujarnya lembut.
***
Sang fajar mulai
memancarkan semburatnya. Zahra terbangun dengan lingkaran hitam di bawah
matanya. Ia tersenyum mendapati Aisyah masih terlelap di sampingnya. Ia hendak
memberi kejutan untuk Aisyah.
“Aisyah, ayo bangun. Ini
hari yang begitu bermakna untukmu.”
Zahra kembali membangunkan
Aisyah, akan tetapi ia tak berkutik sedikit pun. Tergenanglah butiran bening di
kelopak matanya. Ia mulai cemas.
“Aisyah, kamu jangan
bercanda. Ini nggak lucu.”
Setelah beberapa saat
sederet kalimat itu terucap, Aisyah masih terdiam dengan wajah pucat. Awalnya,
Zahra mengira itu karena ia tertidur terlalu larut. Namun, takdir berkata lain.
Meski di hari yang begitu bermakna ini, ia tetap pergi jua.
Semudah itu kau
meninggalkanku, Aisyah. Meninggalkan sejuta penyesalan dalam diri. Entah ini
anugerah untukmu atau karma untukku. Pada dasarnya yang hidup akan mati, dan
yang mati tak bisa kembali.
“Aisyah, perjalananmu
masih panjang. Masih banyak mimpi-mimpimu yang belum kau raih. Namun Allah jauh
lebih menyayangimu. Semoga engkau dapat meraih mimpimu di surga kelak.”
Dan di hari itu pula,
Zahra yang menggantikan Aisyah ketika di wisuda. Meski begitu berat, namun
hanya dirinya yang bisa menggantikannya.
Proses
mengikhlaskan memang hebat. Bukankah kematian itu rahasia Allah?
Sehebat
apa pun kita melangkah sampai ke pelosok negeri, selama apa kita menunggu
sampai tak lagi menunggu.
Dan,
sekeras apa pun kita bersabar, sampai merasa tak lagi bersabar.
Yakinlah,
bahwa semuanya telah ditetapkan-Nya. Kita cukup mempercayai-Nya, dengan sepenuh
hati.
~Rudi Yulianto
[]
Profil Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar