Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Muthmainnah (Karya Aufa Nasihat Innisa)

 

(Sumber: Unsplash)


Muthmainnah

Karya: Aufa Nasihat Innisa

(Dibukukan dalam buku berjudul Terima Kasih untuk tidak Menyerah)


“Jika engkau menginginkan derajat yang tinggi duhai sahabatku. Baik di dunia atau di akhirat maka bergelutlah dengan pena. Ikhlaskan niat untuk Rabbmu, serta amalkanlah ilmu yang sudah engkau ketahui, sekalipun rasa pedih kau dapatkan.

Tetaplah bersabar, dan senantiasa tekun, jangan bermalas-malasan. Memang rasa letih itu sesuai kadar cita-cita seseorang.”

~ Rudi Yulianto

 

Air mukanya kini berubah pias. Air mata sudah tak mampu kubendung lagi, teriakanku semakin menggema di ruangan bernuansa putih tulang.

“Ma, tolong temani Aisyah, Ma. Kali ini saja!” teriaknya parau.

“Aisyah, mama juga minta tolong ya sama kamu, kali ini saja. Kamu mengalah dulu sama kakakmu, dia baru pulang dari kota. Kamu kan setiap hari di rumah, dan selalu bersama Mama,” ucap Mama berusaha menjelaskan.

“Kenapa selalu Kakak, Ma? Aisyah juga anak Mama.” Ujarku sambil terisak.

“Udahlah Syah, kamu jangan kek anak kecil. Cape Mama.” Ucap Mama meninggalkanku yang terisak.

Aku segera berlari menuju kamarku, tersudut dengan luka sendiri. Di kejauhan, terdengar suara pintu yang tertutup dengan keras. Aku tahu, aku salah. Tapi bolehkah sekali saja orang tuaku hadir di hari yang begitu bermakna dalam hidupku?

“Aisyah, kamu kenapa?”

Aku terperanjat mendapati seseorang tengah duduk di jendela. Memandangiku tanpa kusadari. Ia adalah sahabatku, Zahra.

“Zahra, kamu ngapain di jendela?”

“Nungguin kamu lah.”

Zahra menerobos masuk melalui jendela. Terlihat seperti anak kecil yang kabur melalui jendela untuk pergi bermain. Dan dahulu kala, ketika kami masih kanak-kanak pun begitu. Kami tak menyangka kebiasaan itu masih saja kami lakukan.

“Gimana? Besok Mama kamu bisa datang acara wisuda kamu?” ujar Zahra tenang.

“Nggak, Ra. Mama udah pergi sama Ka Ardi. Dan, mereka pulang pekan depan.”

Zahra mendaratkan dagunya di kedua lututnya. Terdiam dengan kedua pipinya yang tebal. Jika melihatnya seperti itu, apa pun masalah yang tengah menimpa, tetap saja menghadirkan tawa. Aku tak bisa menahan untuk tidak mencubit pipinya itu.

“Aisyah, sakiiittttt ... ” ujarnya menggerutu.

“Abisnya kamu nggemesin banget si, Ra.” Sambungnya.

Aku tersenyum simpul.

Zahra merengkuh tubuhku, mencoba memberikan kekuatan. Sebagai seorang anak, ia juga merasakan perbedaan kasih sayang yang di berikan orang tuaku. Namun, ia juga menghargai alasan orang tuaku.

“Gimana kalau Aisyah duluan yang bertemu malaikat maut? Apakah mereka akan merasa kehilangan?” ujarku parau.

“Hus, Aisyah. Nggak boleh ngomong gitu. Lebih baik sekarang kamu mandi, lalu kita ke taman. Ok?” ujarnya mengelus kepalaku.

“Kenapa begitu? Kan itu perjalanan selanjutnya sebelum kita bertemu dengan Allah kan?”

“Kita jangan bahas itu dulu ya. Sekarang kita nikmati saja apa yang ada, dan apa yang terjadi saat ini. Besok, aku pasti datang kok. Aku yang akan nemenin kamu.”

“Terima kasih ya, Ra.”

***

 

Dear: Aisyah Muthmainnah

Wahai jiwa yang tenang, jiwa yang bahagia, jiwa yang tumbuh menjadi insan yang penuh cinta. Sepucuk daun hijau kusematkan sebagai simbol kedamaian. Ku abadikan cinta dalam ukiran perjalanan. Cerita indah, pahit, hambar, asam, manis telah kita rasakan.

Tidak terasa kini mulai terhitung detik menuju puncak dewasa terindah. Detik demi detiknya telah berlalu dengan penuh suka cita. Di mana kita harus berdiri dengan hati yang lapang, walau terkadang terasa sangat rapuh. Tapi kita punya Allah yang senantiasa membersamai.

Ku ucapkan selamat dan terima kasih untuk diriku dan dirimu yang telah bertumbuh dengan amat kuat. Tumbuhlah dengan hati yang senantiasa bahagia lahir maupun batin. Tumbuhlah dengan jiwa yang tenang dengan penuh kedamaian.

Aku berjalan dengan penuh cinta mengisi hati yang sepi dengan seni, hingga ku temukan kehangatan pada sebuah perjalanan.

Ketulusanmu telah merobohkan dinding traumaku. Kepercayaanmu telah menguatkan pondasi bangunanku. Untuk mencapai Ridho-Nya, tentu aku butuh sosok sepertimu. Yang senantiasa membimbingku, berjalan berdampingan menuju puncak terindah-Nya.

Aku ingin nanti kita mempunyai tempat terindah di setiap ruangnya, ruang dimensi yang menakjubkan di setiap sudutnya, ruang penghangat untuk insan-insan yang kedinginan, ruang yang di penuhi cahaya kebahagiaan.

Karena aku tahu, di luar terlalu dingin untuk berjalan sendiri. Terlalu lemah di kala badai menerpa, terlalu pekat tanpa cahaya.

Ya Allah ...

Jika ini adalah jalan terbaik-Mu, ikhlaskan kami untuk melanjutkan perjalanan dengan hati yang lapang, hati yang kuat. Teduhkanlah di setiap perjalanan kamu, terangilah dengan cahaya kasih sayang-Mu.

Dengan seiring waktu berjalan, dengan lika-liku yang telah dihadapi, berjalan secara tertatih-tatih, kini telah tiba di awal untuk melanjutkan serta memulai hidup untuk lebih baik lagi. Terima kasih telah memberikan memori kehidupan baik suka maupun duka.

Semoga doa yang telah terurai bisa terwujud di tahun ini, semoga akan banyak kabar-kabar indah menghampiri, dan semoga mutiara cinta Allah senantiasa membersamai.

Saudarimu, Zahra J

 

Malam semakin larut. Aku dan Zahra masih terpaku menatap langit. Bersama secarik kertas dalam genggamanku.

“Tak semudah yang diharapkan, Ra.” Ucapku lirih.

“Aku tahu, Aisyah. Tak semudah itu engkau melaluinya untuk meraih mimpi-mimpimu. Tapi nyatanya, engkau sudah berhasil sampai di titik sejauh ini.”

“Cukup jalani saja, Aisyah Muthmainnah ...

Usia tidak ada yang tahu, namun kita punya cerita yang berbeda. Tentang dahsyatnya badai ujian dan rumitnya perjalanan di dunia.

Terpaan badai dan likuan terjal pun sering kali mematahkan langkah kaki. Namun nyatanya, hingga kini segalanya masih bisa terlewati.

Cukup jalani saja. Apa pun itu, semua ada porsinya, dan Allah maha tahu jika kita mampu.”

Suasana menjadi hening sejenak. Membisikkan angin malam yang berkesiur.

“Benar, Ra ...!”

Belum tentu orang lain yang sengaja menyakiti. Bisa saja karena kita terlalu mudah memberi celah untuk dihinggapi luka itu sendiri.

Jika orang lain tak pernah meminta untuk kita sukai, harusnya kita cukup paham untuk tidak mengharap untuk disukai kembali.

Dan andai belum mampu setulus itu, maka jangan sampai cinta sejatuh itu.”

Zahra beranjak dari duduknya. Membenahi buku-buku yang masih berserakan di meja. Malam ini Zahra lah yang menemaniku, hingga esok menyapa. Namun di hari esok, masihkah ku dapati kedua bola mata ini melihat dirinya?

“Sudah terlalu larut, tidur yuk. Kamu harus bersiap untuk esok.”

“Mengapa engkau begitu yakin? Sedangkan diriku yang kan menjalaninya saja masih terambang.” Ucapku tertawa tipis.

Zahra menarik lenganku. Menatapku lekat, begitu lekat. Entah kenapa rasanya begitu ganjal di hari ini.

“Aisyah ...

Yakinlah, masalah yang menimpamu saat ini merupakan cara Allah untuk mengingatkan agar kamu lebih dekat dengan Allah.”

“Aisyah, aku ada di sini. Aku bersamamu. Dan aku adalah saudarimu, ok.” Ujarnya lembut.

***

Sang fajar mulai memancarkan semburatnya. Zahra terbangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia tersenyum mendapati Aisyah masih terlelap di sampingnya. Ia hendak memberi kejutan untuk Aisyah.

“Aisyah, ayo bangun. Ini hari yang begitu bermakna untukmu.”

Zahra kembali membangunkan Aisyah, akan tetapi ia tak berkutik sedikit pun. Tergenanglah butiran bening di kelopak matanya. Ia mulai cemas.

“Aisyah, kamu jangan bercanda. Ini nggak lucu.”

Setelah beberapa saat sederet kalimat itu terucap, Aisyah masih terdiam dengan wajah pucat. Awalnya, Zahra mengira itu karena ia tertidur terlalu larut. Namun, takdir berkata lain. Meski di hari yang begitu bermakna ini, ia tetap pergi jua.

Semudah itu kau meninggalkanku, Aisyah. Meninggalkan sejuta penyesalan dalam diri. Entah ini anugerah untukmu atau karma untukku. Pada dasarnya yang hidup akan mati, dan yang mati tak bisa kembali.

“Aisyah, perjalananmu masih panjang. Masih banyak mimpi-mimpimu yang belum kau raih. Namun Allah jauh lebih menyayangimu. Semoga engkau dapat meraih mimpimu di surga kelak.”

Dan di hari itu pula, Zahra yang menggantikan Aisyah ketika di wisuda. Meski begitu berat, namun hanya dirinya yang bisa menggantikannya.

Proses mengikhlaskan memang hebat. Bukankah kematian itu rahasia Allah?

Sehebat apa pun kita melangkah sampai ke pelosok negeri, selama apa kita menunggu sampai tak lagi menunggu.

Dan, sekeras apa pun kita bersabar, sampai merasa tak lagi bersabar.

Yakinlah, bahwa semuanya telah ditetapkan-Nya. Kita cukup mempercayai-Nya, dengan sepenuh hati.

~Rudi Yulianto

[]


 

Profil Penulis



Aufa Nasihat Innisa. Lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, pada tahun 2003. Pemilik nama pena Nisya Nasihat ini tengah melanjutkan pendidikannya di kota kelahirannya. Aktif menulis di beberapa bidang kepenulisan. Beberapa karyanya dapat di temukan di beberapa buku antologinya seperti, Epigram Rasa, Sajak Luka, Setulus Tulip Putih, Lentera Jiwaku, dan lain sebagainya. Karya solo pertamanya juga telah terbit dalam buku fiksi berjudul Secarik Kain Sorban. Jejaknya bisa di jelajahi melalui akun Instagramnya; @nisyanasihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640