Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Mentari itu Masih Bersinar (Karya Emelia Karta Lena)

 

(Sumber: Unsplash)


Mentari itu Masih Bersinar

Karya: Emelia Karta Lena

(Dibukukan dalam buku berjudul Terima Kasih untuk tidak Menyerah)



Hiruk pikuk dan gelak tawa masih mewarnai keceriaan di aula sekolah yang tengah bersukacita menyambut kedatangan guru baru.

Ada yang berbeda dan istimewa dari penyambutan karena ibu guru baru yang cantik, modis, dan berwibawa itu adalah alumni sekolah ini. Sebuah kebanggaan ketika bisa kembali dan mengabdi, menjadi sebuah simbol keberhasilan anak-anak pedalaman dalam menggapai cita-cita di tengah segala keterbatasan.

Aku menyelinap ke ruang guru yang masih sepi, ada haru yang menyeruak di dadaku, bukan hanya sebatas tentang kebanggaan ketika anak didikku sekarang menjadi partner kerjaku, tapi tentang kenangan yang melintas saat aku juga mengawali karierku di sini.

“Yakin tetap berangkat, Nak?” tanya Ibu melihatku mengemasi barang-barang ke dalam tas ransel besar.

Aku tersenyum untuk mengurangi raut khawatir yang perpendar dari sudut mata Ibu, “Ini udah menjadi pilihanku, Bu, aku ingin berarti bagi mereka di sana,” kugenggam jemari Ibu yang keriput dimakan usia, jemari yang tiada henti menangkup berdoa untukku.

“Di sana kehidupannya berat, Nak, mau kemana-mana jauh, ndak ada sinyal, ndak ada listrik, masyarakatnya masih primitif, semua serba terbatas, sementara kamu terbiasa hidup di kota yang serba ada,” puluhan kali kata-kata itu mengalir dari bibirnya sejak aku dinyatakan lulus sebagai guru yang diperbantukan khusus untuk daerah terpencil, terluar, dan tertinggal di pelosok negeri ini. Daerah-daerah yang belum terjamah modernisasi dan jauh dari kata menyenangkan untuk wanita muda sepertiku yang biasa bergelut dengan fashion trendy.

“Selalu berdoa untukku, Bu, hanya doa Ibu yang selalu menguatkan langkahku melewati semua masalah,” pintaku sambil memeluk tubuh ringkih Ibu.

Dan perjuangan pun dimulai. Bergabung dengan teman-teman yang mengemban tugas yang sama aku menempuh perjalanan lebih 200 km dari ibu kota kabupaten. Lagu masa kecil yang sangat kusukai ‘Naik-Naik Ke Puncak Gunung’ bisa sedikit menggambarkan perjalananku. Kontur geografis daerah perbukitan dengan infrastuktur jalan yang belum terjamah pembangunan membuat kami harus jatuh bangun ke dalam kubangan lumpur. Di kiri dan kanan hijaunya belantara seperti hamparan jamrud yang indah, tapi bukan pohon cemara seperti pada laguku, melainkan tengkawang tungkul atau biasa disebut meranti merah, kayu ulin atau belian, kayub bengkirai, kayu alau, kayu keruing, kayu merbau, kayu kapur, flora khas yang tumbuh di hutan Kalimantan dengan tinggi bisa mencapai 100 meter dengan diameter lebih dari 160 cm dan berusia lebih dari seratus tahun.

Lelah saja tak cukup mewakili rasa yang membuat tubuhku remuk redam. Perjalanan selama 12 jam hanya mengantar kami sampai di ibu kota kecamatan. Masih ada sekitar 4 jam waktu normal atau seharian jika hujan turun, untuk sampai ke tempat tugasku. Sesuai dengan nama tempatnya di hulu anak Sungai Kapuas.

“Makan dulu Bu Tari, tadi Pak Heru udah beli di satu-satunya warung makan yang ada di sini, tapi adanya cuma telur,” Bu Hesti, teman seprofesi yang baru kukenal menyodorkan sebungkus nasi padaku.

“Makasih Bu Hes, kawan-kawan yang lain pada ke mana?” tanyaku sambil memperbaiki posisi dudukku yang setengah berbaring, meluruskan pinggangku yang serasa tak bertulang.

“Udah pada mandi ke sungai, ntar kita mandi ke sungai juga yuk,” ajak Bu Hesti bersemangat. 

“Oke, tapi makan dulu yuk, aku lapar berat,” telur mata sapi, tumisan kangkung dan sambal terasi, menu sederhana namun mampu mencharge tubuh letihku. 

Jatuh cinta, dua kata yang menggambarkan perasaanku ketika netraku menatap desa terpencil tempatku ditugaskan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti jatuh cinta adalah menaruh cinta kepada. Dan aku jatuh cinta pada Bukit Kelingkang yang membentang panjang seperti benteng raksasa yang memisahkan negeriku dengan negeri Jiran. Aku jatuh cinta pada pesona penuh misteri aliran berwarna gelap Sungai Ketungau yang menghidupi warga di sekitarnya. Aku jatuh cinta pada anak–anak suku Dayak Bugau yang masih polos dan lugu.

Seperti cinta pertamaku ketika masih remaja. Saat teman seusiaku mengidolakan artis–artis barat yang tampan, cantik, dan keren atau artis–artis Korea yang sedang naik daun, aku jatuh cinta pada sosok yang kubaca dalam buku biografi usang di sudut perpustakaan sekolah. Raden Adjeng Kartini, pahlawan emansipasi wanita. Pemikirannya menginspirasiku, bukan hanya tentang kesetaraan gender tapi juga perjuangannya untuk dunia pendidikan bagi masyarakat pribumi kala itu. 

Dan jadilah aku di sini. Mengabdi sebagai guru di sudut negeri. Berjuang memutus mata rantai kemiskinan dengan memotivasi anak-anak pedalaman untuk sekolah, agar kelak aku bisa bangga bercerita bahwa Indonesia sudah termasuk negara maju dan aku turut membangun pilar-pilar di tapal batasnya.

“Bu Tari, baranya harus ditiup supaya apinya tetap menyala,” Aini salah satu siswi yang menemaniku mengajariku cara memasak menggunakan kayu api.

“Ini lampunya Bu, letakkan jauh dari barang yang mudah terbakar, kalo Ibu udah tidur sebaiknya dimatikan supaya hidung ndak hitam waktu bangun tidur,” jelas Gina sambil mengantarkan lampu minyak tanah untukku.

“Bu Tari, ayo cari sayur ke hutan!” ajak ibu-ibu warga desa dengan ramah. Pengalaman pertama yang sangat berkesan ketika aku belajar membedakan tumbuhan mana yang bisa dimakan, belajar menangkap ikan di sungai menggunakan alat tradisional yang disebut pemansai. Dan banyak hal baru yang menyenangkan kupelajari di alam liar yang tidak akan kudapatkan jika menjadi guru di kota.

 Suara notifikasi Whatsapp membuyarkan lamunanku, postingan teman-teman di dunia maya yang aktif menawarkan barang di pasar abstrak. Aku tersenyum terkenang kala pertama datang harus mendaki bukit dan memanjat pohon demi mencari sinyal untuk bertanya kabar dengan keluarga di kota. Sesekali deru mobil truck melintas membawa berbagai material untuk membangun infrastruktur jalan. Desaku telah bersentuhan dengan modernisasi. 

Kutatap wajah yang terpantul di kaca jendela. Tampak kerutan halus membayang dan helaian putih mengintip dari rambutku yang terikat rapi. Tak terasa belasan lembar tahun terlewat, pantaslah jika hari ini aku menyambut siswaku sebagai guru baru, teman seprofesiku.

“Ternyata Ibu di sini, pantasan tadi kucari di aula ndak ada,” suara lembut menyapaku dari depan pintu.

“Tadi ibu ke toilet terus melamun di sini, jadi ingat kenangan waktu kalian masih SMP ndak terasa sekarang udah jadi guru juga ya, Bu Linda,” aku tersenyum pada gadis muda cantik yang terakhir dulu kuingat masih polos dan lugu.

“Panggil Linda aja Bu, jadi malu saya dipanggil ibu,” katanya sambil tersipu.

“Harus dibiasakan Bu, selamat ya sekarang udah jadi guru juga,” kujabat eret tangannya yang halus mulus, menyesapi bahagia yang sama dengannya.

“Terima kasih untuk semuanya Bu Tari,” jawabnya sambil menggenggam lembut tanganku. “Tahukah, Ibu bahwa sebenarnya yang menginspirasiku untuk menjadi guru adalah sosok Ibu?” lanjut Linda sambil memelukku.

“Benarkah?” tanyaku tak percaya.

“Aku kagum sama Ibu, cantik, pintar, sabar dan lemah lembut, Ibu juga berani dan tegas, Ibu sangat luar biasa bagiku dan aku ingin menjadi seperti Ibu,” jawabnya dengan mata berbinar.

“Ibu ndak seistimewa itu nak, Ibu hanya punya cinta untuk kalian,” aku membelai lembut tangannya, “Ibu bangga dengan keberhasilan kalian dan itu karena usaha kalian sendiri, Ibu hanya bisa berdoa untuk kalian.”

“Iya Bu, terima kasih udah mau datang ke sini untuk kami, tetaplah menjadi Mentari yang bersinar di tempat kami ya, Bu!” pintanya.

Namaku Mentari, seperti makna namaku, aku ingin terus bersinar walau kadang hanya membisa terhalang awan atau redup tertutup mendung kelabu, dan menghilang ditelan senja. []

Profil Penulis


Emelia Karta Lena, lahir pada pertengahan bulan Oktober di kota Sintang, Kalimantan Barat. Alumni FKIP UNTAN Pontianak dan bekerja sebagai guru di daerah terpencil. Penyuka warna hijau ini hobi membaca dari kecil dan bersama sahabat Al Qalam Media Lestari menulis beberapa buku antologi puisi dan cerpen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640