Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Impian yang Terwujud (Karya Yulia Citra)

 

(Sumber: Pixabay)



Impian yang Terwujud

Karya: Yulia Citra

(Dibukukan dalam buku berjudul Terima Kasih untuk tidak Menyerah)


 

Suara angin berbisik pelan, menerpa rambut tipis Yura yang sedang berdiri di tepi pantai. Matanya tertuju pada cakrawala yang tak terbatas, layaknya potensi dalam dirinya yang belum tersentuh. Arceline Sky Yura adalah seorang gadis muda dengan mimpi besar, ia ingin menjadi seorang penulis terkenal. Namun, selama ini ia selalu berpikir bahwa mimpinya terlalu jauh dan tak mungkin tercapai.

Hari itu, Yura baru saja selesai membaca novel yang berjudul “HUJAN” karya Tere Liye. Yura merasa senang karena bisa menyelesaikan bacaan novel yang sangat luar biasa indahnya, dengan sekumpulan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat yang membuatnya lebih terlihat sempurna

“Syukurlah, akhirnya gue selesai membaca novel ini.” Kata Yura dengan menegangkan kedua tangannya

“Kalau gue bisa jadi penulis terkenal kaya Tere Liye, pasti semua orang akan mengenalku lewat karya-karyaku. Nantinya buku itu akan dipajang di gramedia, dan dilihat oleh sekumpulan orang-orang.” Lanjutnya sambil memilah-milah buku-buku yang berserakan di meja baca.

Keesokan paginya, Yura bersiap untuk pergi ke sekolah. Saat ini, Yura menduduk bangku kelas XI SMANSA. Deruman suara motor terdengar jelas di parkiran SMA Negeri 1 Prembun. Setelah ke sana kemari mencari akhirnya ketemu juga tempat parkir yang kosong. Sungguh, pemandangan ini mungkin sudah biasa terjadi di sekolah sebelumnya. Bahkan sampai ada beberapa orang bertengkar karena banyaknya motor yang beradu klakson di mana-mana. Belum saja Yura menaruh kendaraan motornya, ada suara gadis memekik memanggil dirinya dari arah parkiran sebelah selatan.

“Haiii Yura, tumben banget lo berangkat pagi-pagi gini,” canda Ibil.

Lika berkata, “Apa yang salah ... ga kaya biasanya.”

Vina berkata, “Itu biasaaa.

“Hehe ... yang penting gue ga telat kaya biasanya!

***

Hari itu, sepulang sekolah, Yura berkumpul dengan teman-temannya yang duduk di sebuah bangku taman sekolah. Tatapan lembut dari ketiga temannya seolah dapat membaca kegalauan dalam hati Yura. Tanpa ragu, teman-temannya mulai mendekati dan duduk di sampingnya.

“Ra, lo mikirin apa?” tanya Vina penuh perhatian.

Yura tersenyum dan berkata, “Gue setiap duduk di sini, melihat orang-orang lewat, dan mengingat kenangan masa lalu. Namun, lebih dari itu, gue datang ke sini untuk mengingatkan diriku sendiri tentang satu hal penting.”

“Dan itu apa, Ra?” Ibil bertanya, perasaan penasaran mulai memenuhi dirinya

“Percaya sama impian gue.” Jawab Yura itu sambil menyentuh jantungnya. “Gue punya impian besar. Gue pengen jadi seorang penulis terkenal, yang bisa menerbitkan banyak buku. Gue pengen nulis seseorang lewat tulisan-tulisan gue. Namun, takdir berkata lain. Gue takut gagal.”

Lika terdiam sejenak, merenungkan kata-kata dari Yura tersebut. Ia merasa apa yang diharapkan Yura menyentuh inti hatinya.

“Apa yang harus gue lakukan?” Yura bertanya, mencari panduan.

“Tak ada jalan pintas untuk mencapai impian, Ra,” kata Lika. “Semua dimulai dengan langkah pertama. Tulislah cerita-cerita kecilmu, bagikan kata-katamu dengan dunia, dan jangan biarkan ketakutan merampas mimpimu. Setiap langkah akan membawamu lebih dekat pada impianmu.”

Yura merasa ada kekuatan di balik kata-kata teman-temannya itu. Ia merasa bersemangat dan yakin bahwa ia bisa meraih impian itu.

***

Langit mulai gelap dengan diterangi rembulan dan bintang-bintang angin dingin yang ringan. Namun, sangat dingin mulai berhembusan, Yura duduk di meja belajarnya dengan secangkir susu putih hangat di sampingnya. Yura mulai menulis cerita kecilnya, menggambarkan dunia imajinasinya dengan kata-kata yang indah. Setiap kata yang tercipta seperti membebaskan dirinya dari belenggu ketakutan dan keraguan.

Prolog hingga empat puluh bab, telah ia selesaikan.

“Ya, selesai, pada waktu itu, baru aja senang banget,” katanya menanggapi cerita yang baru saja ia tulis.

Helaan nafas dari seorang gadis terdengar begitu berat. Mata gelapnya menyapu seluruh area yang ada di kamarnya sembari tegap bersandar pada dinding kasur yang ia tempati. Cukup berantakan, karena beberapa jam yang lalu.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, namun ia masih terjaga dengan satu cerita yang ada di laptopnya. Dia Awan, buku bergenre fiksi atau kisah nyata yang terkemas sebagai imajinasi.

  Minggu demi minggu berlalu, cerita Yura semakin berkembang dan ia membagikannya secara daring. Ia mendapat dukungan dan pujian dari teman-teman serta orang-orang yang membaca tulisannya.

Suatu hari, sebuah surat tiba di rumah Yura. Surat tersebut berisi undangan dari sebuah penerbit untuk menerbitkan ceritanya yang sudah dibaca oleh 2,99 juta pembaca. Hati Yura berbunga-bunga, mimpi-mimpinya mulai menjadi nyata. Yura tak lupa memberitahukan kepada teman-temannya melalui grup whatsapp yang dimilikinya

***

Vazi kemudian menatap Yura, “Oiya, kemarin gue abis ke Gramedia.”

“Buku lo yang judulnya “DIA AWAN,” best seller dimana-mana, ya, Ra.”

Pembahasan tentang karya tulisnya itu, adalah pembahasan yang selalu Yura ingin hindari. Ia juga tidak tahu kenapa buku itu memiliki banyak peminat, kenapa orang-orang dengan mudahnya bisa tersentuh dengan apa yang ia tulis. Padahal Yura cuman iseng menulis itu waktu ia sedang patah hati.

“Keren! Buku lo terkenal dimana-mana, Ra,” ungkap Vazi lagi.

Yura tersenyum.

“Gue udah baca sampe abis. Itu kisah nyata, ya, Ra?” tanya Vazi.

“Kenapa emang?” tanya Yura balik.

“Beruntung, laki-laki yang jadi tokohnya, soalnya bisa punya sosok perempuan yang cantiknya apa adanya, sederhana, tapi layak untuk disyukuri dengan sangat.”

“Tapi, kisah mereka gagal. Zi.” Gumam Yura.

Meski sudah hukum alam, bahwa setiap yang dimulai pasti punya akhir, Yura hanya menyayangkan karena pada kenyataan maupun pada yang ia tulis, kisah itu tidak berakhir happy ending. Kisah itu berakhir menyedihkan.

Melihat mimik wajah Yura berubah usai mengatakan itu, Vazi tertarik untuk memancing Yura bercerita. “Jadi kisah itu, emang nyata?”

“Dan lo punya sosok laki-laki itu?” tanya Vazi.

Yura berusaha untuk menjawabnya dengan biasa. “Udah lewat, Zi. Gue udah jauh banget pergi dari hari itu. Kisah ini harusnya udah terlupakan, hehe.”

“Anggap aja sebagai fiksi biasa, yang ketika lo udah beres baca, lo akan lupa dengan alurnya juga semua tokohnya,” papar Yura.

“Siapa orangnya, Ra?” desak Vazi, seperti sangat ingin tahu.

“Ada, udahlah, udah lama juga,” jawab Yura. Tidak mungkin Yura secara bebas menceritakan kepada Vazi tentang sosok Awan. Mau bagaimanapun, biarkan saja Awan hidup di sana, sebagai sosok manusia yang sudah lupa dengannya. Persis sebagaimana yang ia tulis di dalam novel.

“Tapi, masih dia?” tanya Vazi, serius.

“Apa?”

“Masih dia yang ada di hati lo?”

Yura tidak menjawabnya. Karena tidak tahu harus memberikan jawaban yang seperti apa. Ia selalu jadi bingung setiap kali orang-orang menanyakan posisi Awan di dalam hatinya. Sehingga dengan cepat Vazi bisa membuat sebuah asumsi tentang perasaan Yura.

“Pantes aja, Ra. Gue capek-capek ngedobrak hati lo, ternyata pemenangnya cowok yang lo tulis di novel.” Vazi menyuarakan kekalahan rasanya.

“Gue iri sama cowok itu, Ra ....”

“Mau iri sama siapa?” tanya Yura penasaran




“Yaa, Awan yang dijadiin salah satu karakter yang gak bisa lo lupain,” ungkapnya lirih

***

Hingga suatu hari, tanpa disadari novel Dia Awan, Karya tulis Arceline Sky Yura berhasil dibaca oleh tokoh utamanya. Beberapa pesan singkat dari sang tokoh utama untuk si penulis yang memiliki senyum manis.

Impian Yura menjadi kenyataan, bukan karena tidak ada rintangan atau kegagalan, tetapi karena ia memilih untuk percaya pada dirinya sendiri dan berani mengambil langkah pertama. Maka, ingatlah, setiap langkah pertama dalam hidup adalah awal dari kisah besar yang menanti untuk dituliskan. Beberapa orang menulis, supaya bisa hidup lebih lama dalam karya tulis tersebut. []



Profil Penulis

 



Yulia Citra, anak bungsu dari tiga bersaudara, lahir pada salah satu hari di bulan Juli 2007 di Jakarta. Penulis merupakan alumni dari SMP Negeri 1 Prembun, dan sekarang melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Prembun. Memiliki hobi pada dunia kepenulisan dan mulai menulis sejak berada di bangku kelas 10 SMA Negeri 1 Prembun. Hal yang menjadi motivasi citra untuk berkarya adalah, “setiap hal akan pergi, hilang, dan dilupakan”, tapi tidak dengan sebuah tulisan yang akan hidup seribu tahun lebih lama.

Instagram: @yuliaa.citra_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640