(Sumber: Pixabay)
Impian yang Terwujud
Karya: Yulia Citra
(Dibukukan dalam buku berjudul Terima Kasih untuk tidak Menyerah)
Suara angin berbisik
pelan, menerpa rambut tipis Yura yang sedang berdiri di tepi pantai. Matanya
tertuju pada cakrawala yang tak terbatas, layaknya potensi dalam dirinya yang
belum tersentuh. Arceline Sky Yura adalah seorang gadis muda dengan mimpi
besar, ia ingin menjadi seorang penulis terkenal. Namun, selama ini ia selalu
berpikir bahwa mimpinya terlalu jauh dan tak mungkin tercapai.
Hari itu, Yura baru saja
selesai membaca novel yang berjudul “HUJAN” karya Tere Liye. Yura merasa senang
karena bisa menyelesaikan bacaan novel yang sangat luar biasa indahnya, dengan
sekumpulan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat yang membuatnya lebih
terlihat sempurna
“Syukurlah, akhirnya gue
selesai membaca novel ini.” Kata Yura dengan menegangkan kedua tangannya
“Kalau gue bisa jadi
penulis terkenal kaya Tere Liye, pasti semua orang akan mengenalku lewat
karya-karyaku. Nantinya buku itu akan dipajang di gramedia, dan dilihat oleh
sekumpulan orang-orang.” Lanjutnya sambil memilah-milah buku-buku yang
berserakan di meja baca.
Keesokan paginya, Yura
bersiap untuk pergi ke sekolah. Saat ini, Yura menduduk bangku kelas XI SMANSA.
Deruman suara motor terdengar jelas di parkiran SMA Negeri 1 Prembun. Setelah
ke sana kemari mencari akhirnya ketemu juga tempat parkir yang kosong. Sungguh,
pemandangan ini mungkin sudah biasa terjadi di sekolah sebelumnya. Bahkan
sampai ada beberapa orang bertengkar karena banyaknya motor yang beradu klakson
di mana-mana. Belum saja Yura menaruh kendaraan motornya, ada suara gadis
memekik memanggil dirinya dari arah parkiran sebelah selatan.
“Haiii Yura, tumben banget
lo berangkat pagi-pagi gini,” canda Ibil.
Lika berkata, “Apa yang
salah ... ga kaya biasanya.”
Vina berkata, “Itu biasaaa.”
“Hehe ... yang penting gue ga
telat kaya biasanya!”
***
Hari itu, sepulang
sekolah, Yura berkumpul dengan teman-temannya yang duduk di sebuah bangku taman
sekolah. Tatapan lembut dari ketiga temannya seolah dapat membaca kegalauan
dalam hati Yura. Tanpa ragu, teman-temannya mulai mendekati dan duduk di
sampingnya.
“Ra, lo mikirin apa?”
tanya Vina penuh perhatian.
Yura tersenyum dan
berkata, “Gue setiap duduk di sini, melihat orang-orang lewat, dan mengingat
kenangan masa lalu. Namun, lebih dari itu, gue datang ke sini untuk
mengingatkan diriku sendiri tentang satu hal penting.”
“Dan itu apa, Ra?” Ibil
bertanya, perasaan penasaran mulai memenuhi dirinya
“Percaya sama impian gue.”
Jawab Yura itu sambil menyentuh jantungnya. “Gue punya impian besar. Gue pengen
jadi seorang penulis terkenal, yang bisa menerbitkan banyak buku. Gue pengen
nulis seseorang lewat tulisan-tulisan gue. Namun, takdir berkata lain. Gue
takut gagal.”
Lika terdiam sejenak,
merenungkan kata-kata dari Yura tersebut. Ia merasa apa yang diharapkan Yura
menyentuh inti hatinya.
“Apa yang harus gue
lakukan?” Yura bertanya, mencari panduan.
“Tak ada jalan pintas
untuk mencapai impian, Ra,” kata Lika. “Semua dimulai dengan langkah pertama.
Tulislah cerita-cerita kecilmu, bagikan kata-katamu dengan dunia, dan jangan
biarkan ketakutan merampas mimpimu. Setiap langkah akan membawamu lebih dekat
pada impianmu.”
Yura merasa ada kekuatan
di balik kata-kata teman-temannya itu. Ia merasa bersemangat dan yakin bahwa ia
bisa meraih impian itu.
***
Langit mulai gelap dengan
diterangi rembulan dan bintang-bintang angin dingin yang ringan. Namun, sangat dingin mulai
berhembusan, Yura duduk di meja belajarnya dengan secangkir susu putih hangat
di sampingnya. Yura mulai menulis cerita kecilnya, menggambarkan dunia
imajinasinya dengan kata-kata yang indah. Setiap kata yang tercipta seperti
membebaskan dirinya dari belenggu ketakutan dan keraguan.
Prolog hingga empat puluh
bab, telah ia selesaikan.
“Ya, selesai, pada waktu
itu, baru aja senang banget,” katanya menanggapi cerita yang baru saja ia
tulis.
Helaan nafas dari seorang
gadis terdengar begitu berat. Mata gelapnya menyapu seluruh area yang ada di
kamarnya sembari tegap bersandar pada dinding kasur yang ia tempati. Cukup
berantakan, karena beberapa jam yang lalu.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, namun ia masih terjaga
dengan satu cerita yang ada di laptopnya. Dia Awan, buku bergenre fiksi atau
kisah nyata yang terkemas sebagai imajinasi.
Suatu hari, sebuah surat tiba di rumah Yura. Surat tersebut
berisi undangan dari sebuah penerbit untuk menerbitkan ceritanya yang sudah
dibaca oleh 2,99 juta pembaca. Hati Yura berbunga-bunga, mimpi-mimpinya mulai
menjadi nyata. Yura tak lupa memberitahukan kepada teman-temannya melalui grup
whatsapp yang dimilikinya
***
Vazi kemudian menatap
Yura, “Oiya, kemarin gue abis ke Gramedia.”
“Buku lo yang judulnya
“DIA AWAN,” best seller
dimana-mana, ya, Ra.”
Pembahasan tentang karya
tulisnya itu, adalah pembahasan yang selalu Yura ingin hindari. Ia juga tidak
tahu kenapa buku itu memiliki banyak peminat, kenapa orang-orang dengan
mudahnya bisa tersentuh dengan apa yang ia tulis. Padahal Yura cuman iseng
menulis itu waktu ia sedang patah hati.
“Keren! Buku lo terkenal
dimana-mana, Ra,” ungkap Vazi lagi.
Yura tersenyum.
“Gue udah baca sampe abis.
Itu kisah nyata, ya, Ra?” tanya Vazi.
“Kenapa emang?” tanya Yura
balik.
“Beruntung, laki-laki yang
jadi tokohnya, soalnya bisa punya sosok perempuan yang cantiknya apa adanya,
sederhana, tapi layak untuk disyukuri dengan sangat.”
“Tapi, kisah mereka gagal.
Zi.” Gumam Yura.
Meski sudah hukum alam,
bahwa setiap yang dimulai pasti punya akhir, Yura hanya menyayangkan karena
pada kenyataan maupun pada yang ia tulis, kisah itu tidak berakhir happy
ending. Kisah itu berakhir menyedihkan.
Melihat mimik wajah Yura
berubah usai mengatakan itu, Vazi tertarik untuk memancing Yura bercerita.
“Jadi kisah itu, emang nyata?”
“Dan lo punya sosok
laki-laki itu?” tanya Vazi.
Yura berusaha untuk menjawabnya
dengan biasa. “Udah lewat, Zi. Gue udah jauh banget pergi dari hari itu. Kisah
ini harusnya udah terlupakan, hehe.”
“Anggap aja sebagai fiksi
biasa, yang ketika lo udah beres baca, lo akan lupa dengan alurnya juga semua
tokohnya,” papar Yura.
“Siapa orangnya, Ra?”
desak Vazi, seperti sangat ingin tahu.
“Ada, udahlah, udah lama
juga,” jawab Yura. Tidak mungkin Yura secara bebas menceritakan kepada Vazi
tentang sosok Awan. Mau bagaimanapun, biarkan saja Awan hidup di sana, sebagai
sosok manusia yang sudah lupa dengannya. Persis sebagaimana yang ia tulis di
dalam novel.
“Tapi, masih dia?” tanya
Vazi, serius.
“Apa?”
“Masih dia yang ada di
hati lo?”
Yura tidak menjawabnya.
Karena tidak tahu harus memberikan jawaban yang seperti apa. Ia selalu jadi
bingung setiap kali orang-orang menanyakan posisi Awan di dalam hatinya.
Sehingga dengan cepat Vazi bisa membuat sebuah asumsi tentang perasaan Yura.
“Pantes aja, Ra. Gue
capek-capek ngedobrak hati lo, ternyata pemenangnya cowok yang lo tulis di
novel.” Vazi menyuarakan kekalahan rasanya.
“Gue iri sama cowok itu,
Ra ....”
“Mau iri sama siapa?”
tanya Yura penasaran
“Yaa, Awan yang dijadiin salah satu karakter yang gak bisa lo
lupain,” ungkapnya lirih
***
Hingga suatu hari, tanpa
disadari novel Dia Awan, Karya tulis Arceline Sky Yura berhasil dibaca oleh tokoh
utamanya. Beberapa pesan singkat dari sang tokoh utama untuk si penulis yang
memiliki senyum manis.
Impian Yura menjadi
kenyataan, bukan karena tidak ada rintangan atau kegagalan, tetapi karena ia
memilih untuk percaya pada dirinya sendiri dan berani mengambil langkah
pertama. Maka, ingatlah, setiap langkah pertama dalam hidup adalah awal dari
kisah besar yang menanti untuk dituliskan. Beberapa orang menulis, supaya bisa
hidup lebih lama dalam karya tulis tersebut.
[]
Profil Penulis
Instagram:
@yuliaa.citra_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar