Pro Kontra Kesetaraan Gender dalam Bingkai Pelabelan Makna dari Sebuah Pernyataan Ibu Megawati Soekarnoputri
Oleh Daffa Berlian Prameswari
(Juara Harapan Essai Internasional Tema Women & Gender Equality)
"Negara Indonesia adalah negara hukum"
-Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945-
Isi Undang-Undang di atas menegaskan bahwasanya Indonesia merupakan negara hukum, segala peraturan yang telah ditetapkan memiliki sifat tegas terutama peraturan UUD. Adapun contoh peraturan yang sangat dijunjung tinggi oleh rakyat Indonesia di era sekarang yakni tentang Hak Asasi Manusia yang tertera dalam UU Tahun 1999 NO.39. Seperti yang kita ketahui, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrat melekat pada manusia yang harus dilindungi dan ditegakkan demi meningkatkan martabat kemanusiaan serta kesejahteraan. Salah satu jenis hak yang diakui secara nasional maupun internasional adalah hak asasi perempuan. Persoalan perempuan yang berhubungan dengan kesetaraan gender masih berlanjut hingga saat ini.
Di sisi lain, kesetaraan gender merupakan salah satu hak kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan leluasa menentukan pilihan hidup bukan hanya diperuntukan bagi laki-laki melainkan perempuan juga memiliki hak yang sama pada hakikatnya. Namun, seringkali perempuan takut dalam menitih karir sebab adanya desakan peran menjadi housewife (Ibu Rumah Tangga). Banyak yang menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang lebih dirugikan dari pada laki-laki.
Adapun isu-isu utama kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi yakni seperti, Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan, kesenjangan gender di dunia pekerjaan serta munculnya statement bahwa perempuan sebaiknya berada di rumah saja mengurus suami dan anak. Seperti yang sedang viral baru-baru ini, pernyataan presiden ke-5 RI Ibu Megawati Soekarnoputri yang disampaikan dalam acara “Kick Off Pancasila dalam Tindakan Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting”.
Pernyataan tersebut berisi, "Saya lihat ibu-ibu itu ya, maaf ya, sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf, jangan lagi nanti saya di-bully, kenapa to seneng banget ngikut pengajian ya? Iyaa, maaf berkali-kali maaf, saya mikir gitu, ini pengajian ki sampai kapan? Anak e arep diapakke (anaknya mau diapakan)? Iya dong? Bukan berarti tidak boleh, boleh, saya pernah pengajian kok," kata Ibu Megawati.
Pernyataan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Bagian pro-nya yaitu disampaikan oleh Ketua DPP PDIP Said Abdullah memberi penjelasan terkait pernyataan Megawati. Beliau menaksir penjelasan tersebut seakan-akan menghalau ibu-ibu mengikuti pengajian, padahal beliau sekadar menganjurkan supaya ibu-ibu lebih mampu dalam manage waktu. Selanjutnya untuk kontra, banyak pihak yang mengartikan bahwa Ibu Megawati melarang ibu-ibu untuk mengikuti pengajian agar lebih fokus pada anak dan suami. Pastinya dalam pidato Megawati tersebut menimbulkan problematik baru yakni dugaan pelabelan negatif praktik bentuk ketidakadilan gender.
Dalam persoalan ini, penulis tidak akan membahas mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi sebaiknya Ibu Megawati selaku pembicara lebih berhati-hati lagi ketika menyampaikan pendapat. Apalagi ini berhubungan dengan pengajian di mana kegiatan tersebut dapat membantu dalam penambahan ilmu yang nantinya dapat kita bekalkan pada anak.
Pernyataan tersebut juga sejalan dengan pendapat Koalisi Pegiat HAM Yogyakarta meminta Ibu Megawati sebaiknya arif dan bijak dalam menyampaikan pandangan yang semestinya didasari data ilmiah, bukan opini bernuansa pelabelan negatif. Sebab apabila kita menempatkan posisi pada ibu rumah tangga pastinya kita akan mengestimasi waktu terlebih dahulu, apakah waktu kita cukup untuk mengikuti kegiatan lain setelah memprioritaskan anak, suami dan kegiatan rumah tangga lainnya. Di luar sana juga banyak sekali wanita yang menjamak banyak peran dengan tetap memprioritaskan keluarganya dan sebenarnya seorang suami juga diharuskan ikut serta dalam membantu istrinya menyelesaikan pekerjaan serta urusan rumah tangga. Dengan ini sangat membuktikan adanya kesetaraan gender.
Adapun role model yang dapat kita ambil contoh yaitu Ibu Herma Prabayanti. Beliau merupakan salah satu dari sekian banyak wanita yang memanfaatkan hak asasi perempuan dengan sangat baik. Ibu Herma adalah seorang ibu rumah tangga, istri, influencer, wanita karir, tik toker, dosen, dan juga pebisnis.
Beliau membuktikan bahwa perempuan juga dapat mengeksplore dirinya sendiri dan dapat melakukan apa pun yang mereka suka selagi hal tersebut mendapat dukungan dari orang sekitar dan tidak mengurangi porsi perannya sebagai ibu rumah tangga. Di sisi lain, kesetaraan gender merupakan sesuatu yang tidak harus dilihat sama tanpa adanya pertimbangan lebih lanjut.
Kemudian, kesetaraan gender juga tidak bisa kita artikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Sebab perempuan pada hakikatnya tidak akan mampu apabila harus memikul brat beban yang pada umumnya dipikul oleh laki-laki. Begitupun laki-laki, mereka juga tidak mampu menghandel seluruh tugas rumah tangga yang biasa dikerjakan oleh perempuan.
Profil Penulis
Daffa Berlian Prameswari, lahir di Ponorogo pada tanggal 28 Juni 2006. Ayah saya bernama Kurniawan Jeni Arifin dan Ibu Dian Ratnasari. Saat ini saya menduduki bangku kelas X SMAN 1 BADEGAN, PONOROGO. Saya tinggal di Jalan Madukoro NO.38 Desa Somoroto, Kec, Kauman, Kab, Ponorogo. Salah satu hobby saya yaitu menulis esai. Perihal kritik dan saran karya esai saya dapat menghubungi alamat email diansomoroto@gmail.com, instagram @daffabp28, atau nomor telepon saya (081216379295).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar