Problem Pernikahan Dini dan Kesetaraan Gender
Oleh Budianto Sutrisno
(Sebagai Juara 2 Event Essai Internasional Tema Women & Gender Equality)
Kendati kita telah memasuki era digital di mana akses berbagai informasi tentang kesehatan, keluarga, dan parenting telah tersebar luas fenomena pernikahan dini masih saja terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Sungguh ini merupakan hal yang memprihatinkan yang seharusnya tak perlu terjadi. Diperlukan langkah-langkah yang bijaksana demi tercapainya hari depan bangsa yang lebih baik.
Fenomena pernikahan dini masih relatif banyak terjadi di tanah air kita.
Itu sebabnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
mengatur batas usia minimal yang ideal untuk menikah, yakni 25 tahun untuk pria
dan 21 tahun untuk wanita.
Lebih jauh,
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, mengatakan bahwa angka pernikahan dini di
Indonesia itu adalah 20 : 1.000. Ini berarti, terdapat 20 pernikahan dini dalam
setiap 1.000 orang.
Sementara itu,
meski angka yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya
penurunan dari tahun 2019 (10,82 %) ke tahun 2020 (10,18 %), persentase
pernikahan anak berusia di bawah 20 tahun dinilai relatif tinggi. Indonesia
menduduki peringkat ke-8 dunia dalam angka pernikahan dini. Sebuah ‘prestasi’ yang sangat tidak menggembirakan.
Akhir-akhir ini masalah pernikahan dini
marak dibicarakan di berbagai media, mengingat dampaknya yang sangat negatif.
Itu sebabnya banyak negara tidak menganjurkan adanya pernikahan dini. Apalagi
jika hal itu terjadi karena unsur paksaan.
Pembatasan
usia minimal pernikahan itu terutama bertujuan untuk melindungi kesehatan calon
pengantin yang masih berusia muda. Mereka yang melakukan pernikahan dini
mungkin tidak memperhitungkan risiko bahaya yang akan dialaminya.
Pernikahan
dini dapat memicu sejumlah dampak negatif, antara lain: rentan putus sekolah,
perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), keguguran, kematian pada ibu
muda serta bayi, stunting pada bayi, depresi, stres serta trauma pada pasangan,
meningkatnya kemiskinan, dan penularan penyakit seksual.
Beberapa penyebab
Jika dikaji, penyebab terjadinya pernikahan dini adalah faktor budaya dan
sosioekonomi. Sejumlah orang tua masih menganggap bahwa anak yang belum menikah
itu merupakan beban rumah tangga. Jika anak (perempuan) menikah, dia dianggap
menjadi penyelamat keuangan keluarga. Ini sebuah pemikiran yang egoistis,
bukan? Menjadikan menantu pria sebagai sapi perahan. Ada
pula orang tua yang berpendapat jika anak cepat menikah akan memiliki kehidupan
yang lebih baik. Cepat menikah berarti putus sekolah, yang hanya memperpanjang
rantai kemiskinan. Pernikahan dini jelas merampas hak dan kewajiban anak
perempuan untuk belajar, yang pada gilirannya mengakibatkan kebodohan dan
kemalasan yang bermuara pada kemiskinan. Harus ada keadilan. Perempuan juga
memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki dalam hal pendidikan.
Hal negatif ini diperparah
dengan sikap sementara orang tua yang khawatir kalau anak perempuannya diberi
label perawan tua dan hanya menjadi bahan olokan tetangga. Kalau hal semacam ini terus berlangsung, lalu
apa makna emansipasi yang dicanangkan oleh R.A. Kartini berpuluh tahun lampau?
Bukankah perempuan juga bisa berprestasi di berbagai bidang sebagaimana yang
diraih laki-laki? Sudah ada sejumlah perempuan yang berhasil menjadi presiden,
menteri, pilot, dan ilmuwan di berbagai bidang. Mestikah calon-calon pengharum
nama bangsa ini terpuruk dalam jerat pernikahan dini?
Dampak yang lebih luas lagi dari pernikahan dini adalah kerugian ekonomi
negara. Pendapatan negara bisa berkurang 1,7 % karena absennya generasi yang
produktif dan inovatif. Rentetannya, kualitas sumber daya manusia di masa
mendatang juga bisa ikut merosot secara drastis.
Langkah pencegahan
Mengingat banyaknya kerugian yang dialami oleh kaum perempuan dalam
pernikahan dini, perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan. Hal ini bisa
dilakukan, misalnya, melalui kerja sama dengan orang tua remaja, guru, dan Bina
Keluarga Remaja (BKR). Tugas BKR adalah memberikan bimbingan agar orang tua mampu
memahami pertumbuhan dan perkembangan anak serta remaja, khususnya tentang
kesehatan organ reproduksi mereka.
Para remaja perlu
disibukkan dengan kegiatan yang melibatkan asah kreasi dan prestasi. Anak yang
belum cukup umur sangat rentan mengalami eksploitasi seksual dan penganiayaan
setelah menikah. Mereka ini perlu mendapatkan informasi tentang bahaya
pernikahan dini, pergaulan bebas, dan narkoba. Para guru, tokoh agama, dan
petugas BKR memegang peranan penting dalam hal ini.
Kemungkinan terjadinya
risiko buruk saat melahirkan karena alat reproduksi belum sempurna, perlu
dijelaskan kepada kaum remaja. Demikian juga perihal risiko KDRT dan masalah
perceraian. Bila dipandang perlu, topik pernikahan dini bisa dimasukkan ke
dalam kurikulum sekolah.
Sudahlah jelas, pernikahan
dini sangat berdampak negatif, baik bagi pasangan muda maupun bangsa secara
keseluruhan. Sementara, kesetaraan gender memiliki implikasi serius bagi hari
depan sebuah bangsa. Pendidikan yang tepat akan mencegah para remaja berpikir
naif dalam jangka pendek.
PROFIL PENULIS
1.
Budianto Sutrisno. Penulis
kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah. Menekuni karier sebagai guru selama 19 tahun
di sekolah swasta di Jakarta. Di tengah
kiprahnya dalam dunia pendidikan, penulis menyempatkan diri untuk menulis
sejumlah puisi, cerpen, dan esai. Beberapa di antaranya telah memenangi
sejumlah lomba tingkat nasional dan internasional. Sejumlah tulisan lainnya
telah dibukukan. Penulis dapat
dihubungi di 0811829960, atau di akun Ig @budianto.s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar