Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Problem Pernikahan Dini dan Kesetaraan Gender (Sebagai Juara 2 Event Essai Internasional Tema Women & Gender Equality)

 



Problem Pernikahan Dini dan Kesetaraan Gender

Oleh Budianto Sutrisno

 (Sebagai Juara 2 Event Essai Internasional Tema Women & Gender Equality)


            Kendati kita telah memasuki era digital di mana akses berbagai informasi tentang kesehatan, keluarga, dan parenting telah tersebar luas fenomena pernikahan dini masih saja terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Sungguh ini merupakan hal yang memprihatinkan yang seharusnya tak perlu terjadi. Diperlukan langkah-langkah yang bijaksana demi tercapainya hari depan bangsa yang lebih baik.

 Dampak negatif

            Fenomena pernikahan dini masih relatif banyak terjadi di tanah air kita. Itu sebabnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatur batas usia minimal yang ideal untuk menikah, yakni 25 tahun untuk pria dan 21 tahun untuk wanita.

Lebih jauh, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, mengatakan bahwa angka pernikahan dini di Indonesia itu adalah 20 : 1.000. Ini berarti, terdapat 20 pernikahan dini dalam setiap 1.000 orang.

Sementara itu, meski angka yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan dari tahun 2019 (10,82 %) ke tahun 2020 (10,18 %), persentase pernikahan anak berusia di bawah 20 tahun dinilai relatif tinggi. Indonesia menduduki peringkat ke-8 dunia dalam angka pernikahan dini. Sebuah prestasi’ yang sangat tidak menggembirakan.

            Akhir-akhir ini masalah pernikahan dini marak dibicarakan di berbagai media, mengingat dampaknya yang sangat negatif. Itu sebabnya banyak negara tidak menganjurkan adanya pernikahan dini. Apalagi jika hal itu terjadi karena unsur paksaan.

            Pembatasan usia minimal pernikahan itu terutama bertujuan untuk melindungi kesehatan calon pengantin yang masih berusia muda. Mereka yang melakukan pernikahan dini mungkin tidak memperhitungkan risiko bahaya yang akan dialaminya.

            Pernikahan dini dapat memicu sejumlah dampak negatif, antara lain: rentan putus sekolah, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), keguguran, kematian pada ibu muda serta bayi, stunting pada bayi, depresi, stres serta trauma pada pasangan, meningkatnya kemiskinan, dan penularan penyakit seksual.

 

Beberapa penyebab                                                                

            Jika dikaji, penyebab terjadinya pernikahan dini adalah faktor budaya dan sosioekonomi. Sejumlah orang tua masih menganggap bahwa anak yang belum menikah itu merupakan beban rumah tangga. Jika anak (perempuan) menikah, dia dianggap menjadi penyelamat keuangan keluarga. Ini sebuah pemikiran yang egoistis, bukan? Menjadikan menantu pria sebagai sapi perahan.                            Ada pula orang tua yang berpendapat jika anak cepat menikah akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Cepat menikah berarti putus sekolah, yang hanya memperpanjang rantai kemiskinan. Pernikahan dini jelas merampas hak dan kewajiban anak perempuan untuk belajar, yang pada gilirannya mengakibatkan kebodohan dan kemalasan yang bermuara pada kemiskinan. Harus ada keadilan. Perempuan juga memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki dalam hal pendidikan.                

            Hal negatif ini diperparah dengan sikap sementara orang tua yang khawatir kalau anak perempuannya diberi label perawan tua dan hanya menjadi bahan olokan tetangga.   Kalau hal semacam ini terus berlangsung, lalu apa makna emansipasi yang dicanangkan oleh R.A. Kartini berpuluh tahun lampau? Bukankah perempuan juga bisa berprestasi di berbagai bidang sebagaimana yang diraih laki-laki? Sudah ada sejumlah perempuan yang berhasil menjadi presiden, menteri, pilot, dan ilmuwan di berbagai bidang. Mestikah calon-calon pengharum nama bangsa ini terpuruk dalam jerat pernikahan dini?                    

            Dampak yang lebih luas lagi dari pernikahan dini adalah kerugian ekonomi negara. Pendapatan negara bisa berkurang 1,7 % karena absennya generasi yang produktif dan inovatif. Rentetannya, kualitas sumber daya manusia di masa mendatang juga bisa ikut merosot secara drastis.

 

Langkah pencegahan

            Mengingat banyaknya kerugian yang dialami oleh kaum perempuan dalam pernikahan dini, perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, melalui kerja sama dengan orang tua remaja, guru, dan Bina Keluarga Remaja (BKR). Tugas BKR adalah memberikan bimbingan agar orang tua mampu memahami pertumbuhan dan perkembangan anak serta remaja, khususnya tentang kesehatan organ reproduksi mereka.

            Para remaja perlu disibukkan dengan kegiatan yang melibatkan asah kreasi dan prestasi. Anak yang belum cukup umur sangat rentan mengalami eksploitasi seksual dan penganiayaan setelah menikah. Mereka ini perlu mendapatkan informasi tentang bahaya pernikahan dini, pergaulan bebas, dan narkoba. Para guru, tokoh agama, dan petugas BKR memegang peranan penting dalam hal ini.

            Kemungkinan terjadinya risiko buruk saat melahirkan karena alat reproduksi belum sempurna, perlu dijelaskan kepada kaum remaja. Demikian juga perihal risiko KDRT dan masalah perceraian. Bila dipandang perlu, topik pernikahan dini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

            Sudahlah jelas, pernikahan dini sangat berdampak negatif, baik bagi pasangan muda maupun bangsa secara keseluruhan. Sementara, kesetaraan gender memiliki implikasi serius bagi hari depan sebuah bangsa. Pendidikan yang tepat akan mencegah para remaja berpikir naif dalam jangka pendek.


PROFIL PENULIS

1.      Budianto Sutrisno. Penulis kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah. Menekuni karier sebagai guru selama 19 tahun di  sekolah swasta di Jakarta. Di tengah kiprahnya dalam dunia pendidikan, penulis menyempatkan diri untuk menulis sejumlah puisi, cerpen, dan esai. Beberapa di antaranya telah memenangi sejumlah lomba tingkat nasional dan internasional. Sejumlah tulisan lainnya telah dibukukan. Penulis dapat dihubungi di 0811829960, atau di akun Ig @budianto.s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640