Menggugat Fikih Bias Gender
Oleh
Achmad Bahrur Rozi
(Sebagai Juara 1 Event Essai Internasional Tema Women & Gender Equality)
Kita semua mungkin sepakat bahwa persoalan gender adalah persoalan
budaya di mana budaya patriarki menjadi penyebab terjadinya subordinasi,
ketidakadilan, sterotype, kekerasan, beban ganda, dan marjinalisasi
terhadap perempuan. Tetapi jangan lupa bahwa tafsir agamalah yang sesungguhnya
memberi stempel dan justifikasi
budaya tersebut.
Fikih berkontribusi besar dalam
mengubah fenomena budaya yang temporal dan dinamis menjadi sakral dan stagnan.
Atas nama syariat, tafsir agama turut memberi rasa tenang dan rasa tidak
bersalah terhadap berlangsungnya ketidakadilan terhadap perempuan selama
berabad-abad lamanya.
Benarkah ajaran Islam bias
gender? Setidaknya pengakuan Umar bin Khattab mengafirmasi bahwa spirit Islam
sesungguhnya mengangkat derajat perempuan dari posisinya yang terpuruk di masa
jahiliah menjadi manusia yang setara dengan laki-laki (Shahih Bukhari,
5055).
Ketetapan bahwa perempuan mendapat separuh dari jatah
laki-laki harus dipahami dalam perspektif rasa keadilan dan social culture
yang berlaku kala itu di mana perempuan masih berada dalam fase pemulihan dari
setengah manusia menjadi manusia seutuhnya. Sesuai dengan prinsip pemberlakuan
hukum Tuhan yang gradual dan bertahap.
Bukti bahwa Islam menempatkan
perempuan setara dengan laki-laki dikemukakan oleh Agung Danarta dalam
“Perempuan Periwayat Hadis”. Menurutnya, total periwayat hadis masa sahabat
yang tercatat dalam Kutub Tis’ah sebanyak 1.046.132, 12,6% di
antaranya adalah
perempuan. Sayangnya, eksistensi perempuan periwayat hadis hanya bertahan
hingga generasi ketujuh saja, setelah itu lenyap ditelan bumi.
Kualitas hadis para periwayat perempuan juga dinilai lebih
positif dibandingkan periwayat laki-laki. Al-Dzahabi misalnya, dengan tegas
mengatakan tidak menemukan satu perempuan pun yang tertuduh dusta dan
riwayatnya ditinggalkan.
Fakta tersebut membuktikan bahwa
telah terjadi gelombang arus balik menghantam kebangkitan perempuan yang
fondasinya kala itu belum begitu kokoh. Masa-masa selanjutnya perempuan kembali
terhanyut gelombang budaya patriarki. Pelan namun pasti, watak asli budaya Arab
jahiliah kembali menginfiltrasi jantung peradaban Islam. Perempuan dianggap
makhluk lemah akal, lemah agama, perhiasan setan, dll.
Otomatis keulamaan perempuan hanya berlangsung
kurang lebih hanya tiga abad lamanya. Setelah generasi kesebelas perempuan kembali
dirumahkan. Padahal sebelumnya sulit menemukan ulama yang tidak berguru kepada
ulama perempuan. Ulama sekaliber imam Syafi’i saja berguru pada dua ulama
perempuan; Sayyidah Nafisah dan Zubaidah
binti Abu Jakfar.
Aktualisasi
Fikih Minoritas
Seiring padamnya cahaya peradaban Islam, masa
depan perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan juga ikut suram. Aktivitas mereka
di ruang publik dipandang negatif karena dianggap berpotensi menimbulkan fitnah
dan penyimpangan moral. Perempuan kembali ke titik nol masa jahiliah sebagai
makhluk yang nilainya separuh laki-laki.
Ketetapan dua banding satu antara
laki-laki dan perempuan dalam persaksian mendapatkan momentum justifikasinya
dalam kebudayaan yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Padahal
seharusnya ketentuan tersebut dimaknai dalam hubungannya dengan tradisi masa
lalu yang kurang melibatkan perempuan dalam urusan publik.
Mayoritas
pendapat ulama menolak kesaksian perempuan seorang diri serta menolak kehadiran
perempuan dalam wilayah kehakiman. Neraca yang digunakan sangat bias karena
harus ada empat orang saksi perempuan agar setara dua orang saksi laki-laki.
Meskipun Imam Malik dan Ibnu Abi Laila menerima kesaksian dua orang perempuan,
namun hanya mengenai hal-hal yang tidak diketahui laki-laki.
Ironisnya, penolakan mayoritas ulama terhadap status
perempuan sebagai saksi dan hakim dibangun di atas
asumsi-asumsi misoginis. Misalnya bahwa perempuan dianggap lebih dominan emosi
daripada akal, kurang jernih melihat persoalan, terbatas pengetahuan, makhluk
pelupa, dan sebagainya.
Hanya Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, yang tidak memberikan batasan
mana masalah yang boleh menghadirkan perempuan sebagai saksi dan mana yang
tidak. Abu Hanifah membolehkan perempuan menjadi saksi dalam seluruh persoalan,
yang penting memenuhi syarat umum.
Para ulama sepertinya juga satu suara bahwa perempuan terlarang menjadi
imam salat laki-laki. Hanya Abu Tsaur (240 H), Al-Muzani (264 H), murid utama
imam Syafi’i, dan At-Thabari (310 H) yang mutlak membolehkan perempuan menjadi
imam laki-laki. Sayangnya dalam konteks diskusi fikih pendapat ketiga ulama
tersebut senantiasa dipandang nyeleneh dan menyimpang.
Atas nama mayoritas ketiga pendapat ulama tersebut dianggap sesat tanpa
mempertimbangkan sisi kekuatan dalil dan argumentasinya. Ini membuktikan bahwa
hegemoni mayoritas telah menggeser konsep fikih sebagai sebuah tafsir yang
dinamis dan progresif menjadi sakral dan stagnan.
Kesetaraan
gender merupakan tuntutan realitas yang semakin ke sini semakin menunjukkan
bahwa persepsi lama tentang superioritas laki-laki atas perempuan tidak mungkin
lagi dipertahankan. Realitas menunjukkan perempuan mampu bahkan lebih baik
dalam menyelesaikan
pekerjaan yang selama ini
dipandang hanya mungkin dilakukan laki-laki.
Oleh karena itu, reaktualisasi fikih minoritas menggantikan fikih
mayoritas yang bias gender dipandang penting saat ini guna memberi landasan
epistemologis bagi pengembangan fikih perempuan berbasis keadilan gender.
PROFIL PENULIS
Achmad Bahrur Rozi, Sumenep, 17 Januari 1980. Alumni PP. Annuqayah. S1 Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003). S2 di UGM Yogyakarta (2006). Menulis di berbagai media lokal dan nasional: Koran Madura, Radar Madura, Jawa Pos, Republika, dll. Menulis buku Logika Lengkap diterbitkan Diva Press Yogyakarta 2012. Menulis buku Madura dalam Pertaruhan Harga Diri diterbitkan Cakrawala Pustaka Yogyakarta 2020. Sebagai kontributor buku Menarasikan Islam, Pluralisme, dan Keberagaman di Indonesia diterbitkan Cakrawala Satria Mandiri 2021. Karya artikel diterbitkan di berbagai jurnal kampus terakreditasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar