Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Menggugat Fikih Bias Gender (Sebagai Juara 1 Event Essai Internasional Tema Women & Gender Equality

 


Menggugat Fikih Bias Gender

Oleh Achmad Bahrur Rozi

 (Sebagai Juara 1 Event Essai Internasional Tema Women & Gender Equality)


Kita semua mungkin sepakat bahwa persoalan gender adalah persoalan budaya di mana budaya patriarki menjadi penyebab terjadinya subordinasi, ketidakadilan, sterotype, kekerasan, beban ganda, dan marjinalisasi terhadap perempuan. Tetapi jangan lupa bahwa tafsir agamalah yang sesungguhnya memberi stempel dan justifikasi budaya tersebut.

Fikih berkontribusi besar dalam mengubah fenomena budaya yang temporal dan dinamis menjadi sakral dan stagnan. Atas nama syariat, tafsir agama turut memberi rasa tenang dan rasa tidak bersalah terhadap berlangsungnya ketidakadilan terhadap perempuan selama berabad-abad lamanya.

Benarkah ajaran Islam bias gender? Setidaknya pengakuan Umar bin Khattab mengafirmasi bahwa spirit Islam sesungguhnya mengangkat derajat perempuan dari posisinya yang terpuruk di masa jahiliah menjadi manusia yang setara dengan laki-laki (Shahih Bukhari, 5055).  

Ketetapan bahwa perempuan mendapat separuh dari jatah laki-laki harus dipahami dalam perspektif rasa keadilan dan social culture yang berlaku kala itu di mana perempuan masih berada dalam fase pemulihan dari setengah manusia menjadi manusia seutuhnya. Sesuai dengan prinsip pemberlakuan hukum Tuhan yang gradual dan bertahap.

Bukti bahwa Islam menempatkan perempuan setara dengan laki-laki dikemukakan oleh Agung Danarta dalam “Perempuan Periwayat Hadis”. Menurutnya, total periwayat hadis masa sahabat yang tercatat dalam Kutub Tis’ah sebanyak 1.046.132, 12,6% di antaranya adalah perempuan. Sayangnya, eksistensi perempuan periwayat hadis hanya bertahan hingga generasi ketujuh saja, setelah itu lenyap ditelan bumi.

Kualitas hadis para periwayat perempuan juga dinilai lebih positif dibandingkan periwayat laki-laki. Al-Dzahabi misalnya, dengan tegas mengatakan tidak menemukan satu perempuan pun yang tertuduh dusta dan riwayatnya ditinggalkan.

Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi gelombang arus balik menghantam kebangkitan perempuan yang fondasinya kala itu belum begitu kokoh. Masa-masa selanjutnya perempuan kembali terhanyut gelombang budaya patriarki. Pelan namun pasti, watak asli budaya Arab jahiliah kembali menginfiltrasi jantung peradaban Islam. Perempuan dianggap makhluk lemah akal, lemah agama, perhiasan setan, dll.

Otomatis keulamaan perempuan hanya berlangsung kurang lebih hanya tiga abad lamanya. Setelah generasi kesebelas perempuan kembali dirumahkan. Padahal sebelumnya sulit menemukan ulama yang tidak berguru kepada ulama perempuan. Ulama sekaliber imam Syafi’i saja berguru pada dua ulama perempuan; Sayyidah Nafisah dan Zubaidah binti Abu Jakfar.


Aktualisasi Fikih Minoritas

Seiring padamnya cahaya peradaban Islam, masa depan perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan juga ikut suram. Aktivitas mereka di ruang publik dipandang negatif karena dianggap berpotensi menimbulkan fitnah dan penyimpangan moral. Perempuan kembali ke titik nol masa jahiliah sebagai makhluk yang nilainya separuh laki-laki.

Ketetapan dua banding satu antara laki-laki dan perempuan dalam persaksian mendapatkan momentum justifikasinya dalam kebudayaan yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Padahal seharusnya ketentuan tersebut dimaknai dalam hubungannya dengan tradisi masa lalu yang kurang melibatkan perempuan dalam urusan publik.

Mayoritas pendapat ulama menolak kesaksian perempuan seorang diri serta menolak kehadiran perempuan dalam wilayah kehakiman. Neraca yang digunakan sangat bias karena harus ada empat orang saksi perempuan agar setara dua orang saksi laki-laki. Meskipun Imam Malik dan Ibnu Abi Laila menerima kesaksian dua orang perempuan, namun hanya mengenai hal-hal yang tidak diketahui laki-laki.

Ironisnya, penolakan mayoritas ulama terhadap status perempuan sebagai saksi dan hakim dibangun di atas asumsi-asumsi misoginis. Misalnya bahwa perempuan dianggap lebih dominan emosi daripada akal, kurang jernih melihat persoalan, terbatas pengetahuan, makhluk pelupa, dan sebagainya.

Hanya Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, yang tidak memberikan batasan mana masalah yang boleh menghadirkan perempuan sebagai saksi dan mana yang tidak. Abu Hanifah membolehkan perempuan menjadi saksi dalam seluruh persoalan, yang penting memenuhi syarat umum.

Para ulama sepertinya juga satu suara bahwa perempuan terlarang menjadi imam salat laki-laki. Hanya Abu Tsaur (240 H), Al-Muzani (264 H), murid utama imam Syafi’i, dan At-Thabari (310 H) yang mutlak membolehkan perempuan menjadi imam laki-laki. Sayangnya dalam konteks diskusi fikih pendapat ketiga ulama tersebut senantiasa dipandang nyeleneh dan menyimpang.

Atas nama mayoritas ketiga pendapat ulama tersebut dianggap sesat tanpa mempertimbangkan sisi kekuatan dalil dan argumentasinya. Ini membuktikan bahwa hegemoni mayoritas telah menggeser konsep fikih sebagai sebuah tafsir yang dinamis dan progresif menjadi sakral dan stagnan.

Kesetaraan gender merupakan tuntutan realitas yang semakin ke sini semakin menunjukkan bahwa persepsi lama tentang superioritas laki-laki atas perempuan tidak mungkin lagi dipertahankan. Realitas menunjukkan perempuan mampu bahkan lebih baik dalam menyelesaikan pekerjaan yang selama ini dipandang hanya mungkin dilakukan laki-laki.

Oleh karena itu, reaktualisasi fikih minoritas menggantikan fikih mayoritas yang bias gender dipandang penting saat ini guna memberi landasan epistemologis bagi pengembangan fikih perempuan berbasis keadilan gender.


PROFIL PENULIS

Achmad Bahrur Rozi, Sumenep, 17 Januari 1980. Alumni PP. Annuqayah. S1 Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003). S2 di UGM Yogyakarta (2006). Menulis di berbagai media lokal dan nasional: Koran Madura, Radar Madura, Jawa Pos, Republika, dll. Menulis buku Logika Lengkap diterbitkan Diva Press Yogyakarta 2012. Menulis buku Madura dalam Pertaruhan Harga Diri diterbitkan Cakrawala Pustaka Yogyakarta 2020. Sebagai kontributor buku Menarasikan Islam, Pluralisme, dan Keberagaman di Indonesia diterbitkan Cakrawala Satria Mandiri 2021. Karya artikel diterbitkan di berbagai jurnal kampus terakreditasi.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640