Media
Sosial Menjadi Bumerang bagi Kesehatan Mental
Oleh
Aniva Nur Fadillah
(Juara 1 Event Essai Internasional Tema Healing and Mental Health)
Berhasil menjadi dirimu merupakan
satu kunci utama dari kesehatan mental yang baik. Masa transisi dari anak-anak
mengindah dewasa ialah masa kritis dalam kehidupan perkembangan seseorang.
Dalam masa perkembangan seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikososial yang
bisa dilihat dari kepribadian serta lingkungan sosialnya. Adanya interaksi
sosial sangat berkaitan dengan kesehatan mental seseorang. Kesehatan mental
seseorang mampu ditularkan dari dua sudut yakni sudut internal dan sudut
eksternal. Secara internal yang berasal dari dalam diri sendiri seperti turunan
emosi, potensi, dll. Sedangkan secara eksternal yang berasal dari luar diri
sendiri seperti lingkungan, agama, keluarga, dll. Jika memiliki mental yang
baik pasti seseorang berada dalam lingkungan yang berpengaruh baik, begitu
sebaliknya jika memiliki mental yang buruk maka lingkungan seseorang tersebut
juga buruk.
Dalam menjalani kehidupan, teknologi
sudah menjadi sahabat sesorang, bahkan sudah dinyatakan sebagai kebutuhan
primer masyarakat. Dalam bidang komunikasi dan informasi, teknologi sangat
membantu masyarakat dalam hal memberikan informasi, berkomunikasi jarak jauh,
bahkan bisa membantu masyakarat dalam mencari uang. Menurut data dari
Kementrian Komunikasi dan Informatik Republik Indonesia dinyatakan bahwa remaja
memiliki tingkat paling banyak pengguna sosial media. Dalam menggunakan sosial
media, remaja bisa menampakkan kegiatan pribadinya seperti curhatan, serta
foto-foto pribadinya. Adanya sosial media ini, masyarakat luas bebas
berkomentar dan menyalurkan pendapatnya.
Zaman sekarang, seseorang bisa
memalsukan dirinya untuk melakukan kegiatan tidak baik. Yang mana saat ini,
remaja memandang bahwa memakai media sosial ialah tergolong remaja yang gaul,
dan sesorang yang non-aktif dalam sosial media sering dipandang ketinggalan.
Pengguna sosial media tanpa kita sadari dapat menjadi boomerang untuk kita,
sehingga menimbulkan hal-hal buruk. Dan sosial media merupakan salah satu
penyebab hancurnya kesehatan mental di masyarakat. Penelitian yang dilaporkan
dalam jurnal JAMA Psychiatry menemukan bahwa remaja yang menggunakan media
sosial lebih dari tiga jam perhari berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan
mental terutama masalah internalisasi atau biasa yang disebut citra diri.
World Health
Organization melaporkan pada tahun 2017 terdapat 10–20% anak-anak dan remaja
yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Gangguan yang paling sering ditemukan
pada kelompok tersebut adalah gangguan ansietas dan depresi, dengan prevalensi
yang meningkat hingga 70% dalam 25 tahun terakhir. Dampak sosial media yang
paling sering dalam kehidupan remaja yakni adanya sifat cemas dan depresi.
Salah satu bukti nyata bahwa mengonsumsi sosial media secara berlebihan dapat
menyebabkan sakit mental yakni contohnya mengurangi kualitas tidur, FOMO fear
of missing out cemas saat ketinggalan berita atau tren, radiasi pada otak
sehingga memengaruhi masa pertumbuhan, tidak peduli akan sekitar,
cyberbullying, tidak percaya diri karena menitikberatkan standar diri pada
orang lain. Adapun postingan yang di-upload dalam sosial media dapat
mengundang rasa iri. Dengan adanya rasa iri tersebut dapat menyebabkan gangguan
mental seperti tertekan, depresi, bahkan bisa menyebabkan bunuh diri karena
bisa dipermalukan di media sosial.
Dalam sosial
media, pengguna lebih menampilkan manipulasi dibandingkan kejujuran. Maka dari
itu dapat mengundang aktivitas kriminalitas. Mengapa? Karena mereka bisa
menggunakan identitas palsu dan tidak bertanggung jawab jika memakai media
sosial sebagai alat untuk bersembunyi serta dapat melakukan aksi jahat seperti
penipu, berdagang yang terlarang, bullying, dll.
Sosial media
sudah menjadi ancaman kesehatan mental remaja, sehingga kita sebagai generasi z
dapat melangkah dalam menanggulangi kecanduan sosial media seperti melakukan
pembatasan penggunaan sosial media. Ketika pengguna mampu terbiasa dalam
membatasi sosial media, maka pengguna berhasil mengontrol dirinya untuk tidak
menjadi seseorang yang kecanduan. Mencari kegiatan yang positif salah satu cara
dalam membatasi sosial media. Mustahil jika seorang remaja tidak memiliki hobby/
kesenangan.
Jika kita ada niat membatasi sosial media, kita dapat memanfaatkan hobi kita seperti berolahraga, berkreasi, ataupun mengikuti lomba-lomba. Perbanyak aktivitas yang dapat memberikan kenyamanan baik dari segi pikiran, badan, hingga kesehatan mental. Jika kita tidak bisa membatasi, dapat kita lakukan dengan bijak dalam bermedia sosial. Jika tidak ingin mental kita hancur, maka juga kita tidak boleh menghancurkan mental seseorang serta hindari penyebaran informasi yang hoax.
Profil Penulis:
Aniva Nur Fadillah, lahir di Samarinda pada 12 Juli 2001 dan sekarang menetap di Bogor. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 012, dan melanjutkan pendidik menengah MTS dan MA di pondok pesantren modern Ibadurrahman. Sekarang tengah menempuh pendidikan di Universitas Institut Agama Islam Tazkia Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan mengambil konsentrasi pada bidang peminatan Manajemen Keuangan Islam semester VI. Pengalaman organisasi di kampus sebagai Ketua Kohati HMI, Dirjen FP internal BEM, serta anggota kepanitian di beberapa kampus. Aniva Nur Fadillah, seorang yang berdomisili di Bogor dan memiliki nama pena Khalwa yang gemar mengikuti beberapa lomba akademik seperti karya tulis, essay, jurnal. Sehingga baginya menulis essay, karya tulis sudah menjadi rutinitas yang menemani ia setiap harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar