Ame
Penulis: Umi Latifah
Tebal: 332 halaman
Ukuran: 14,5 cm x 20,5 cm
Harga: 120.000
ISBN: 978-602-61605-5-3
Aku sangat suka hujan. Karena ia datang dengan membawa aroma dari langit.
Terkadang, aku sengaja berlari keluar saat hujan. Tanpa peneduh. Berjalan,
berlarian, hingga melompat. Menghindari genangan air yang menghalangi jalanku.
Entah kenapa, itu terasa sangat menyenangkan. Saat malam, aku selalu suka
ketika menunggu hujan datang. Sengaja terlambat menutup mata, menanti irama
hujan. Ahh!! ... Sungguh merdu.
Begitulah apa yang di rasakan anak laki-laki berusia 14 tahun itu tentang
hujan. Bergemul dibalik selimut tebal dan memandagi langit-langit
kamarnya, memejamkan mata dan berdo’a untuk hujan yang begitu dinanti.
"Ame, Kau sudah tidur?"
Terdengar suara dari ambang pintu. Itu Haru, pangeran kedua dari kerajaan
Noctricus, kakak Ame.
"Ah! Pangeran Haru, ada apa?" Ame menjawab pelan.
“Aku dengar, kau membolos dipelajaranmu lagi. Para guru marah besar kau,
tahu? Aku sampai tak habis pikir, kau akan selalu melakukan itu." Omel pangeran Haru
pada Ame yang kini terduduk di tepi ranjangnya. Menatap sosok kakaknya
dengan wajah datar tanpa rasa bersalah.
"Aku, Hanya merasa bosan!!"
Ame menjawab, setelah beberapa saat terdiam.
"Astaga!! Kau ini benar-benar ...." gerutu pangeran Haru
tertahan, lalu mendesah pasrah. "Haaah .... Yasudahlah, lagipula ku rasa
kau sudah menguasai semuanya." Katanya sembari mengibas tangannya naik
turun. Ame hanya terdiam, dan terus menatap datar Pangeran
Haru yang terlihat frustasi dengan tingkahnya.
"Baiklah!! Baiklah! Aku tahu kau jenius.”sambil berkacak
pinggang “Mungkin karena itulah kau
merasa bosan.” Pangeran Haru balas menatap tajam Ame- “Tapi setidaknya hadiri kelasmu, aku sebal
mendengar para orang tua itu menggerutu. Oke!! ..." –dan terus
bicara, menasehati Ame layaknya guru sejarah saat memergokinya tertidur dalam
kelas.
"Aku akan berusaha." Kata Ame pasrah. Pangeran Haru mendengus lelah, sebelum kemudian
memutuskan untuk pergi. "Kalau
begitu aku pergi, kau istirahatlah!" ujar Pangeran Haru sambil berlalu pergi.
"Ah, Ame!” panggilnya tiba-tiba. “Besok aku akan mengunjungi Ayah. Kau mau
ikut?" Haru memberitahu Ame, kemudian tersenyum dan pergi setelah
mendengar penolakannya.
Ame, putra ketiga dari Ayahnya. Ayahnya adalah seorang raja. Keturunan
langsung, Raja pahlawan Noctricus. Guru sejarahnya selalu berkata, adalah
sebuah kehormatan, bisa terlahir dengan mewarisi darah Raja pahlawan.
Saat itu, Ame masih tidak mengerti apa maksud dari hal itu. Toh, ia merasa
bahwa ia hanya putera dari
seorang selir. Ia selalu diperlakukan berbeda, ada banyak cerita tak
mengenakkan tentangnya.
Di istana tempatnya tinggal,
ia dikenal sebagai Trouble Maker. Tapi Haru berbeda, dia memperlakukannya
sebagai saudara. Usia mereka sama tapi sekali lagi, Haru berbeda darinya yang
terlahir dari pernikahan sah. Ibunya seorang Ratu.
Ia peduli pada Ame, dan mungkin satu-satunya orang yang mengkhawatirkan Ame
di istana ini. Mungkin.
***
"Pangeraaan! Pangeran Ameee!!"
"Pangeraaaan! Anda di mana?"
Guru dan pengawal itu selalu berteriak begitu. Saat mereka sadar Ame sudah
tidak lagi ada dalam kelasnya, untuk menerima pelajaran.
Ame merasa bosan, karena Mereka terus saja mengulang dan mengulang bagian
dasar sampai menengah pelajaran literatur. Ame sudah menguasai semuanya,
termasuk di bagian tertinggi, bagian ke 12.
Ia sudah menghafal seluruh isi buku itu saat usianya masih 7 tahun. Ia
ingin tahu lebih banyak lagi. Karena itulah ia lebih memilih bersantai
diranting pohon, membaca buku berbeda dengan tingkat yang lebih tinggi,
didapatnya dari menyelinap di perpustakaan Istana tentunya.
"Ah, Pangeran! Anda di sini rupanya?" seru
Linna.
Dia pengawal pribadi Ame. Ia tampan. Tubuhnya juga menjanjikan sebagai
seorang pria. Tidak! Lebih
tepatnya sebagai prajurit. Wajahnya begitu sumringah karena berhasil menemukan
tuannya.
"Apa yang Anda baca? Apa Anda menyelinap lagi?" kata Linna dengan
wajah yang tersenyum. Ramah. Mengabaikan picingan mata Ame di atas pohon
sana.
"Bukan urusanmu!” balas Ame seta merta. Sebal dan tak suka diganggu saat sedang membaca.
"Ha–hamba minta maaf."
Kata Linna kaku. Ia merasa sangat menyesal, ia tahu benar jika Tuannya tak
suka diganggu saat sedang membaca.
"Kenapa kau masih di sini??" Ame bertanya, nadanya cukup pelan
hingga Linna hanya bisa mendengarnya samar-samar.
"Ma- Maaf??" jawab
Linna tak mengerti apa maksud perkataan Ame.
"Kenapa kau masih bertahan disini? Di sisiku, menjagaku. Kau tahu? Aku hanya anak selir! Entah aku hidup atau
mati, takkan ada yang peduli.” Ame menjeda kalimatnya sebentar, menghela
nafas dan melanjutkan.” Aku hanyalah
trouble maker, bahkan para prajurit saja menyebutku sebagai perampas.
Pelayan menamaiku anak haram. Jadi, kenapa kau masih disini?" Ame berkata mantap,
tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. Ada nada pilu
dalam bicaranya itu.
Ia selalu ingin menanyakan hal itu pada Linna, tapi tak pernah sempat.
Karena ia selalu sibuk lari, dikejar, dan menyelinap. Ame pun tak merasa dekat denganya.
Baginya, dia hanyalah prajurit yang diperintahkan Ayahnya sang Raja, untuk menjaganya
agar tetap aman. Entah, aman dari apa, Ame juga ingin tahu. Tapi tetap saja, ia
merasa heran dan aneh.
Linna satu-satunya orang yang bertahan di sisi Ame, meski sikapnya selalu saja
merepotkan. Banyak dari mereka yang ditugaskan untuk menjaganya tapi, tak lebih
dari satu bulan mereka berhenti, tidak tahan karena sikapnya yang tak pernah
berubah katanya.
"A-aa ...."
Wajah Linna terkejut. Matanya lekat menatap Ame dengan mulut yang sedikit
terbuka, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Lalu ia
berlutut, menundukkan kepala dalam-dalam, dan meletakkan satu tanganya di dada. Mereka
menyebutnya sebagai bentuk penghotmatan, Ame tidak tahu dan juga tidak ingin
tahu. Jadi dia abaikan saja, tidak peduli.
"Tolong! Jangan
berkata seperti itu, yang mulia!” Linna mulai membuka suaranya, “Hamba tidak tahu apa yang sudah Anda
dengar dari orang lain. Tapi bagi hamba, sudah menjadi tugas hamba untuk
melindungi Anda, sebagai pewaris kerajaan.” Katanya, “Itu mimpiku! Melindungi darah dari Raja pahlawan. Merupakan
sebuah kehormatan, bisa mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Anda. Tidak
peduli Anda putra seorang selir, ataupun Ratu. Hamba akan tetap disisi Anda.
Jadi, tolong terimalah pengabdianku ini, Yang Mulia Pangeran Ame." Linna berkata dengan
sepenuh hatinya. Tidak ada keraguan didalam kalimatnya. Ia tidak berbohong, Ame
merasa terkejut, tak pernah ia menyangka, akan mendapatkan reaksi semacam ini
dari Linna.
Ini kali pertama kalinya, bagi Ame mendapat perlakuan tulus, ia tak percaya,
sungguh. Dadanya terasa aneh, sesak,
dan juga lega. Matanya panas, tapi tak ingin menangis. Tidak, lebih tepatnya
tidak boleh. Status Pangeranya tidak mengizinkan untuk itu.
Ame tergagap, tidak tau harus berbuat apa. Cukup lama ia terdiam, hingga
hujan datang mengguyur, membuatnya kuyup. Begitu juga Linna, pohon, tanah.
Semuanya. Diam-diam ia menangis, bersama hujan. Tidak ada yang tahu. Pohon,
Linna, bahkan ia sendiripun, mungkin tidak tahu jika ia menangis.
"Kenapa kau lakukan ini? Harusnya kau tunjukan itu di hadapan kakaku, aku
tak merasa layak untuk itu! Ame berkata dalam hujan. Seluruh tubuhnya sudah
basah karenanya. Linna yang sedari tadi berlutut kemudian berdiri dan meraih satu
tangannya sambil meciumnya, mengucap
sumpah setia ia berkata,
"Hamba mengakui Anda sebagai Tuanku. Pewaris ketiga dari kerajaan
Noctricus. Yang Mulia Pangeran Ame Noctricus, akan dengan senang hati kutukar
nyawaku untuk melindungimu!!."
Lantang Linna tegas, setiap katanya ia ucapkan penuh penghayatan. Ia
berkata dengan sepenuh jiwanya. Mengabdikan dirinya pada Tuan yang dia pilih
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar