Universitas Tertua di Mesir
Pernah baca novel “Ayat-ayat Cinta” buah karya Kang Abik (Habiburrahman el-Shirazy)? Novel yang sempat booming sekitar 10 tahun silam. Waktu itu saya masih memakai seragam putih abu-abu. Kesuksesannya merambah ke layar lebar, yang melambungkan nama aktor Ferdy Nuril dan Ryanti Chartwright. Itu yang saya tahu, meskipun saya sendiri tidak pernah menontonnya. Tapi, bagi saya, “Ayat-ayat Cinta”, adalah novel pertama yang membuat saya terlena dengan keindahan dan kemesraan Mesir sampai membuat saya ingin melanjutkan studi di Negeri Nil itu. Penulisnya dengan apik, teliti, dan memesona, memukau pembaca dengan menampilkan sosok Fahri sebagai mahasiswa Universitas al-Azhar yang shalih lagi baik hati. Ya, al-Azhar. Kau tahu kan, universitas Islam bersejarah di dunia yang telah melahirkan banyak ulama-ulama dan tokoh muslim yang mendunia? Al-Azhar, baik masjid maupun universitasnya pun punya sejarah.....
***
Kau masih ingat kan dengan tragedi
Karbala? Tragedi terbunuhnya Husain, cucu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah terbunuhnya Husain, muncul
berbagai macam kelompok Syiah. Di antara kelompok itu adalah Syiah Ismailiyah,
yang mengklaim Ismail bin Ja’far ash-Shadiq sebagai imam mereka. Syiah
Ismailiyah ini adalah kelompok Syiah yang ekstrim dan radikal.
Di kemudian hari, orang-orang Syiah
Ismailiyah telah memiliki kekuatan yang besar di kawasan Afrika Utara. Ada dua
tokoh terkenal yang menyebarkan madzhab Syiah ini ke masyarakat Afrika Utara,
yaitu Abu Sufyan al-Hasan bin al-Qasim dan Abdullah bin Ali bin Ahmad yang
dikenal dengan panggilan al-Hilwani. Katanya, mereka berdua dikirim oleh Imam
Ja’far ash-Shadiq sebagai da’i (juru dakwah) di Afrika Utara. Mereka berdualah
yang berperan penting mempromosikan para imam Syiah dan keutamaan mereka.
Abu Sufyan al-Hasan bin al-Qasim
menetap di perkampungan pinggiran kota Marmajannah, Ifriqiyyah (Tunisia). Ia
memulai dakwah di masjid yang dibangunnya. Karena kebaikan dan ketekunan
ibadahnya, banyak orang-orang yang simpati padanya. Mereka menghadiri pengajian
yang diisi olehnya di masjid. Dalam pengajian itu, Abu Sufyan sedikit demi
sedikit menanamkan rasa cinta kepada Ahlul
Bait[1].
Ia gencar mempromosikan Imam ar-Radhi, cucu Husain dan menyampaikan kabar
gembira kemunculannya tidak akan lama lagi sebagai Imam al-Mahdi yang
ditunggu-tunggu.
Lambat laun, perlahan tapi pasti,
pemikiran Syiah yang dibawa oleh Abu Sufyan menyebar ke berbagai kota di
Ifriqiyyah. Banyak juga orang-orang Syiah dari Kufah pindah ke sana sehingga
jadilah negeri ini sebagai negeri orang-orang Syiah. Terlebih di sana adalah
pusat perdagangan. Banyak para pedagang yang singgah menjadi tertarik dan ikut
dalam dakwah Abu Sufyan.
Sementara al-Hilwani, memulai
dakwahnya dari an-Nazhur (Nadhour) di wilayah Maghrib, yang merupakan
perkampungan orang-orang Berber, penduduk asli Afrika Utara. Sebagaimana Abu
Sufyan, al-Hilwani, dengan dakwah tak kenal lelah selama berpuluh-puluh tahun
berhasil mempengaruhi penduduk setempat sehingga mereka menerima dakwahnya.
Meskipun dakwah mereka telah tersebar luas di Afrika Utara, khususnya Maghrib
dan Ifriqiyyah, Syiah waktu itu baru sebatas ideologi dan keyakinan. Mereka belum
membangun negara yang berasaskan ideologi Syiah.
Setelah lebih 100 tahun wafatnya
dua da’i Syiah ini, muncul lagi da’i Syiah lainnya yang cerdas bernama Abu
Abdillah al-Husain bin Ahmad ad-Dai, biasa juga disebut asy-Syi’i. Sebagaimana
Abu Sufyan dan al-Hilwani, Abu Abdillah juga berasal dari Kufah, negeri
pencetak da’i Syiah terbesar. Dia mengajarkan pemikiran Syiah Ismailiyah
Bathiniyah kepada penduduk Afrika Utara.
Pelan tapi pasti, dengan kemampuan
retorika dan debat yang memukau, Abu Abdillah menarik banyak pengikut terutama
dari kabilah-kabilah bangsa Berber (Kitamah di antaranya) sehingga memiliki
kekuatan yang besar. Dia membuat hadits-hadits palsu tentang munculnya Imam
Mahdi serta menggunakan sihir
dan mantera-mantera untuk menarik minat orang banyak.
Abu Abdillah yang semula hanya
pemimpin agama, berubah menjadi pemimpin politik. Ia menggerakkan massa untuk
mengangkat senjata lalu melakukan pemberontakan kepada rezim penguasa, Daulah
Aghlabiyah (Aghalibah). Padahal waktu itu, Daulah Aghlabiyah juga disibukkan
dengan serangan dari Daulah Abbasiyah di bawah Khalifah al-Mu’tadhid. Daulah
Aghlabiyah akhirnya runtuh di tangan Abu Abdillah asy-Syi’i, penguasa
Aghlabiyah melarikan diri keluar dari Ifriqiyyah.
Abu Abdillah menunjuk tokoh-tokoh
Syiah untuk mengisi posisi penting di Qairuwan. Ia menunjuk al-Hasan bin Abu
Khinzir sebagai walikota Qairuwan dan menunjuk saudaranya, Habib, untuk menjadi
walikota al-Qashr al-Qadim. Sementara jabatan Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) dia serahkan kepada seorang faqih dari Qairuwan penganut Syiah
bernama Muhammad bin Umar al-Marwarraudzi. Ia mengangkat orang-orang Syiah
sebagai imam dan khatib di Masjid Jami’ Raqqadah dan Masjid Jami’ Qairuwan,
menginstruksikan agar khutbah yang disampaikan memuat shalawat kepada Nabi Muhammad,
keluarganya, Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib, al-Hasan, al-Husain, dan Fathimah az-Zahra. Ia juga
menginstruksikan agar redaksi adzan ditambah dengan kalimat, “Hayya ‘ala khair
al-amal”[2].
Dia juga membuat lambang-lambang kekuasaan yang memuat gambar-gambar dan
simbol-simbol khas Syiah. Sangat mengherankan sebenarnya mengapa orang-orang di
Afrika Utara bisa mengikuti keyakinan menyimpang ini.
Setelah kemenangan besar kelompok
Syiah Ismailiyah atas orang-orang Aghlabiyah, Abu Abdillah mengirim surat
kepada Ubaidillah al-Mahdi yang berada di Salmiya, Homs. Ia mengundangnya
datang ke Maghrib untuk menerima daulahnya. Ketika al-Mahdi datang ke Maghrib,
Abu Abdillah sangat senang melihatnya. Bagi Abu Abdillah, Ubaidullah al-Mahdi
adalah imam orang-orang Syiah yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Ia berkata
kepada para pengikutnya, “Ini adalah tuanku dan tuan kalian semua. Sesungguhnya
Allah telah menepati janji-Nya, memberikan haknya dan menampakkan urusannya.”
Di Raqqadah, para fuqaha Syiah dan tokoh-tokoh masyarakat
keluar menyambut al-Mahdi. Ia lalu dibaiat menjadi pemimpin mereka, dan memakai
gelar “Amirul Mukminin”, seperti yang digunakan oleh para khalifah Abbasiyah di
Baghdad. Pemerintahan mereka dinamakan Fathimiyah karena mengaku berasal dari keturunan
Fathimah az-Zahra’. Nah, jika di Baghdad ada khalifah Sunni, di Maghrib
(Maroko-Afrika Utara) ada khalifah Syiah.
Ketika al-Mahdi telah mantap
kedudukannya, ia malah membunuh Abu Abdillah asy-Syi’i karena takut menghalangi
kebijakan dan langkahnya. Air susu
dibalas dengan air tuba. Ia memerintahkan bawahannya, Arubah bin Yusuf dan
Habasah untuk membunuh Abu Abdillah. Kematian Abu Abdillah menimbulkan
kemarahan dari pengikut setianya. Mereka melakukan perlawanan terhadap
Ubaidillah al-Mahdi, tapi al-Mahdi berhasil menggagalkan semua pemberontakan
mereka itu. Lalu, al-Mahdi berpikir bahwa Maghrib tidak lagi aman baginya, ia
pasti akan mengalami banyak kesulitan di sana. Akhirnya, ia berpikir untuk
memindahkan pemerintahannya di salah satu dari dua negeri, Andalusia atau
Mesir. Ia telah berusaha masuk dan menaklukkan Andalusia tapi gagal karena
kuatnya pasukan Khalifah Abdurrahman an-Nashir di Andalusia. Maka ia melupakan
Andalusia, dan memfokuskan perhatiannya ke Mesir. Mesir ketika itu dikuasai
oleh Dinasti Ikhsyidiyah. Tapi, al-Mahdi keburu meninggal dunia sebelum
berhasil menaklukkan Mesir.
Fathimiyah baru bisa menguasai
Mesir pada masa al-Mu’iz li Dinillah tahun 969 (358 Hijriyah). Penguasaan Mesir
oleh Dinasti Fathimiyah ini tidak lepas dari peran Jauhar ash-Shiqili, pemimpin
militer Fathimiyah yang berhasil mengalahkan pasukan Ikhsyidiyah yang dibantu
oleh pasukan Abbasiyah. Di Mesir, Jauhar membangun kota baru yang mereka beri
nama Kairo. Kota inilah yang menjadi ibu kota Mesir sampai hari ini. Ia juga
membangun Masjid Jami’ al-Azhar pada 970 (359 Hijriyah) dan baru selesai
pembangunannya dua tahun kemudian. Sampai sekarang kau masih dapat melihat
kemegahannya. Awalnya, masjid ini dijadikan sebagai tempat belajar-mengajar
orang-orang Syiah Fathimiyah. Jadi, selain sebagai sarana ibadah, al-Azhar juga
berfungsi sebagai tempat untuk mentransfer fiqih madzhab Syiah Ismailiyah.
Al-Azhar terus berkembang dari tahun ke tahun sehingga yang diajarkan tidak
hanya fiqih Ismailiyah saja, tapi juga merambah ke ilmu-ilmu umum seperti
matematika, astronomi, geografi, dan lainnya.
Universitas al-Azhar menjadi kampus
yang berorientasi ke Syiah, sampai datang Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang
menaklukkan Dinasti Fathimiyah pada 1171 M (567 Hijriyah). Sultan lalu memusnahkan buku-buku Syiah yang dapat
merusak aqidah umat Islam. Ia juga menghentikan khutbah Jum’at yang memuji-muji
para khalifah Fathimiyah dari Masjid al-Azhar. Menghapuskan syiar-syiar Syiah,
di antaranya adzan Syiah yang menggunakan lafazh, “hayya ‘ala khairil ‘amal”.
Juga menghapus gambar-gambar dan mata uang khusus Dinasti Fathimiyah, dimana di
koin mereka tertulis, “Laa ilaha illallah, Muhammad Rasulullah, dan Ali adalah
kekasih Allah.” Sehingga, atas jasa Shalahuddin, Mesir kembali kepada madzhab Sunni
setelah 250 tahun lamanya berada dalam genggaman Syiah Fathimiyah. Dan al-Azhar
pun berubah menjadi universitas yang mengajarkan fiqih-fiqih madzhab
Sunni.
Universitas al-Azhar di kemudian
hari melahirkan tokoh-tokoh besar dan ulama-ulama terkenal semisal Ibnu Hajar
al-Atsqalani, Jalaluddin as-Suyuthi, Ibn Khallikan, al-Maqrizi, sejarawan
terkenal Abdurrahman al-Jabarti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Hassan
al-Banna, Mahmud Shaltut, Mustafa as-Siba’i, Syaikh Abdullah Azzam, Syaikh
Ahmad Yassin, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, sampai dengan Syaikh Yusuf
al-Qaradhawi. Alumni al-Azhar asal Indonesia juga sangat banyak, di antaranya
Prof. Dr. Amin Rais, Dr. Harun Nasution, dan Prof. Dr. Quraish Shihab.
Sumber Buku: https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/sejarah-islam-untuk-pemuda-muslim.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar