Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Universitas Tertua di Mesir

 


 

Universitas Tertua di Mesir

 

 

Pernah baca novel “Ayat-ayat Cinta” buah karya Kang Abik (Habiburrahman el-Shirazy)? Novel yang sempat booming sekitar 10 tahun silam. Waktu itu saya masih memakai seragam putih abu-abu. Kesuksesannya merambah ke layar lebar, yang melambungkan nama aktor Ferdy Nuril dan Ryanti Chartwright. Itu yang saya tahu, meskipun saya sendiri tidak pernah menontonnya. Tapi, bagi saya, “Ayat-ayat Cinta”, adalah novel pertama yang membuat saya terlena dengan keindahan dan kemesraan Mesir sampai membuat saya ingin melanjutkan studi di Negeri Nil itu. Penulisnya dengan apik, teliti, dan memesona, memukau pembaca dengan menampilkan sosok Fahri sebagai mahasiswa Universitas al-Azhar yang shalih lagi baik hati. Ya, al-Azhar. Kau tahu kan, universitas Islam bersejarah di dunia yang telah melahirkan banyak ulama-ulama dan tokoh muslim yang mendunia? Al-Azhar, baik masjid maupun universitasnya pun punya sejarah.....

***

Kau masih ingat kan dengan tragedi Karbala? Tragedi terbunuhnya Husain, cucu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah terbunuhnya Husain, muncul berbagai macam kelompok Syiah. Di antara kelompok itu adalah Syiah Ismailiyah, yang mengklaim Ismail bin Ja’far ash-Shadiq sebagai imam mereka. Syiah Ismailiyah ini adalah kelompok Syiah yang ekstrim dan radikal.

Di kemudian hari, orang-orang Syiah Ismailiyah telah memiliki kekuatan yang besar di kawasan Afrika Utara. Ada dua tokoh terkenal yang menyebarkan madzhab Syiah ini ke masyarakat Afrika Utara, yaitu Abu Sufyan al-Hasan bin al-Qasim dan Abdullah bin Ali bin Ahmad yang dikenal dengan panggilan al-Hilwani. Katanya, mereka berdua dikirim oleh Imam Ja’far ash-Shadiq sebagai da’i (juru dakwah) di Afrika Utara. Mereka berdualah yang berperan penting mempromosikan para imam Syiah dan keutamaan mereka.

Abu Sufyan al-Hasan bin al-Qasim menetap di perkampungan pinggiran kota Marmajannah, Ifriqiyyah (Tunisia). Ia memulai dakwah di masjid yang dibangunnya. Karena kebaikan dan ketekunan ibadahnya, banyak orang-orang yang simpati padanya. Mereka menghadiri pengajian yang diisi olehnya di masjid. Dalam pengajian itu, Abu Sufyan sedikit demi sedikit menanamkan rasa cinta kepada Ahlul Bait[1]. Ia gencar mempromosikan Imam ar-Radhi, cucu Husain dan menyampaikan kabar gembira kemunculannya tidak akan lama lagi sebagai Imam al-Mahdi yang ditunggu-tunggu.

Lambat laun, perlahan tapi pasti, pemikiran Syiah yang dibawa oleh Abu Sufyan menyebar ke berbagai kota di Ifriqiyyah. Banyak juga orang-orang Syiah dari Kufah pindah ke sana sehingga jadilah negeri ini sebagai negeri orang-orang Syiah. Terlebih di sana adalah pusat perdagangan. Banyak para pedagang yang singgah menjadi tertarik dan ikut dalam dakwah Abu Sufyan.

Sementara al-Hilwani, memulai dakwahnya dari an-Nazhur (Nadhour) di wilayah Maghrib, yang merupakan perkampungan orang-orang Berber, penduduk asli Afrika Utara. Sebagaimana Abu Sufyan, al-Hilwani, dengan dakwah tak kenal lelah selama berpuluh-puluh tahun berhasil mempengaruhi penduduk setempat sehingga mereka menerima dakwahnya. Meskipun dakwah mereka telah tersebar luas di Afrika Utara, khususnya Maghrib dan Ifriqiyyah, Syiah waktu itu baru sebatas ideologi dan keyakinan. Mereka belum membangun negara yang berasaskan ideologi Syiah.

Setelah lebih 100 tahun wafatnya dua da’i Syiah ini, muncul lagi da’i Syiah lainnya yang cerdas bernama Abu Abdillah al-Husain bin Ahmad ad-Dai, biasa juga disebut asy-Syi’i. Sebagaimana Abu Sufyan dan al-Hilwani, Abu Abdillah juga berasal dari Kufah, negeri pencetak da’i Syiah terbesar. Dia mengajarkan pemikiran Syiah Ismailiyah Bathiniyah kepada penduduk Afrika Utara.

Pelan tapi pasti, dengan kemampuan retorika dan debat yang memukau, Abu Abdillah menarik banyak pengikut terutama dari kabilah-kabilah bangsa Berber (Kitamah di antaranya) sehingga memiliki kekuatan yang besar. Dia membuat hadits-hadits palsu tentang munculnya Imam Mahdi serta menggunakan sihir dan mantera-mantera untuk menarik minat orang banyak.

Abu Abdillah yang semula hanya pemimpin agama, berubah menjadi pemimpin politik. Ia menggerakkan massa untuk mengangkat senjata lalu melakukan pemberontakan kepada rezim penguasa, Daulah Aghlabiyah (Aghalibah). Padahal waktu itu, Daulah Aghlabiyah juga disibukkan dengan serangan dari Daulah Abbasiyah di bawah Khalifah al-Mu’tadhid. Daulah Aghlabiyah akhirnya runtuh di tangan Abu Abdillah asy-Syi’i, penguasa Aghlabiyah melarikan diri keluar dari Ifriqiyyah.

Abu Abdillah menunjuk tokoh-tokoh Syiah untuk mengisi posisi penting di Qairuwan. Ia menunjuk al-Hasan bin Abu Khinzir sebagai walikota Qairuwan dan menunjuk saudaranya, Habib, untuk menjadi walikota al-Qashr al-Qadim. Sementara jabatan Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) dia serahkan kepada seorang faqih dari Qairuwan penganut Syiah bernama Muhammad bin Umar al-Marwarraudzi. Ia mengangkat orang-orang Syiah sebagai imam dan khatib di Masjid Jami’ Raqqadah dan Masjid Jami’ Qairuwan, menginstruksikan agar khutbah yang disampaikan memuat shalawat kepada Nabi Muhammad, keluarganya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, al-Hasan, al-Husain, dan Fathimah az-Zahra. Ia juga menginstruksikan agar redaksi adzan ditambah dengan kalimat, “Hayya ‘ala khair al-amal”[2]. Dia juga membuat lambang-lambang kekuasaan yang memuat gambar-gambar dan simbol-simbol khas Syiah. Sangat mengherankan sebenarnya mengapa orang-orang di Afrika Utara bisa mengikuti keyakinan menyimpang ini.

Setelah kemenangan besar kelompok Syiah Ismailiyah atas orang-orang Aghlabiyah, Abu Abdillah mengirim surat kepada Ubaidillah al-Mahdi yang berada di Salmiya, Homs. Ia mengundangnya datang ke Maghrib untuk menerima daulahnya. Ketika al-Mahdi datang ke Maghrib, Abu Abdillah sangat senang melihatnya. Bagi Abu Abdillah, Ubaidullah al-Mahdi adalah imam orang-orang Syiah yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Ia berkata kepada para pengikutnya, “Ini adalah tuanku dan tuan kalian semua. Sesungguhnya Allah telah menepati janji-Nya, memberikan haknya dan menampakkan urusannya.”

Di Raqqadah, para fuqaha Syiah dan tokoh-tokoh masyarakat keluar menyambut al-Mahdi. Ia lalu dibaiat menjadi pemimpin mereka, dan memakai gelar “Amirul Mukminin”, seperti yang digunakan oleh para khalifah Abbasiyah di Baghdad. Pemerintahan mereka dinamakan Fathimiyah karena mengaku berasal dari keturunan Fathimah az-Zahra’. Nah, jika di Baghdad ada khalifah Sunni, di Maghrib (Maroko-Afrika Utara) ada khalifah Syiah.

Ketika al-Mahdi telah mantap kedudukannya, ia malah membunuh Abu Abdillah asy-Syi’i karena takut menghalangi kebijakan dan langkahnya. Air susu dibalas dengan air tuba. Ia memerintahkan bawahannya, Arubah bin Yusuf dan Habasah untuk membunuh Abu Abdillah. Kematian Abu Abdillah menimbulkan kemarahan dari pengikut setianya. Mereka melakukan perlawanan terhadap Ubaidillah al-Mahdi, tapi al-Mahdi berhasil menggagalkan semua pemberontakan mereka itu. Lalu, al-Mahdi berpikir bahwa Maghrib tidak lagi aman baginya, ia pasti akan mengalami banyak kesulitan di sana. Akhirnya, ia berpikir untuk memindahkan pemerintahannya di salah satu dari dua negeri, Andalusia atau Mesir. Ia telah berusaha masuk dan menaklukkan Andalusia tapi gagal karena kuatnya pasukan Khalifah Abdurrahman an-Nashir di Andalusia. Maka ia melupakan Andalusia, dan memfokuskan perhatiannya ke Mesir. Mesir ketika itu dikuasai oleh Dinasti Ikhsyidiyah. Tapi, al-Mahdi keburu meninggal dunia sebelum berhasil menaklukkan Mesir.

Fathimiyah baru bisa menguasai Mesir pada masa al-Mu’iz li Dinillah tahun 969 (358 Hijriyah). Penguasaan Mesir oleh Dinasti Fathimiyah ini tidak lepas dari peran Jauhar ash-Shiqili, pemimpin militer Fathimiyah yang berhasil mengalahkan pasukan Ikhsyidiyah yang dibantu oleh pasukan Abbasiyah. Di Mesir, Jauhar membangun kota baru yang mereka beri nama Kairo. Kota inilah yang menjadi ibu kota Mesir sampai hari ini. Ia juga membangun Masjid Jami’ al-Azhar pada 970 (359 Hijriyah) dan baru selesai pembangunannya dua tahun kemudian. Sampai sekarang kau masih dapat melihat kemegahannya. Awalnya, masjid ini dijadikan sebagai tempat belajar-mengajar orang-orang Syiah Fathimiyah. Jadi, selain sebagai sarana ibadah, al-Azhar juga berfungsi sebagai tempat untuk mentransfer fiqih madzhab Syiah Ismailiyah. Al-Azhar terus berkembang dari tahun ke tahun sehingga yang diajarkan tidak hanya fiqih Ismailiyah saja, tapi juga merambah ke ilmu-ilmu umum seperti matematika, astronomi, geografi, dan lainnya.

Universitas al-Azhar menjadi kampus yang berorientasi ke Syiah, sampai datang Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang menaklukkan Dinasti Fathimiyah pada 1171 M (567 Hijriyah). Sultan lalu memusnahkan buku-buku Syiah yang dapat merusak aqidah umat Islam. Ia juga menghentikan khutbah Jum’at yang memuji-muji para khalifah Fathimiyah dari Masjid al-Azhar. Menghapuskan syiar-syiar Syiah, di antaranya adzan Syiah yang menggunakan lafazh, “hayya ‘ala khairil ‘amal”. Juga menghapus gambar-gambar dan mata uang khusus Dinasti Fathimiyah, dimana di koin mereka tertulis, “Laa ilaha illallah, Muhammad Rasulullah, dan Ali adalah kekasih Allah.” Sehingga, atas jasa Shalahuddin, Mesir kembali kepada madzhab Sunni setelah 250 tahun lamanya berada dalam genggaman Syiah Fathimiyah. Dan al-Azhar pun berubah menjadi universitas yang mengajarkan fiqih-fiqih madzhab Sunni. 

Universitas al-Azhar di kemudian hari melahirkan tokoh-tokoh besar dan ulama-ulama terkenal semisal Ibnu Hajar al-Atsqalani, Jalaluddin as-Suyuthi, Ibn Khallikan, al-Maqrizi, sejarawan terkenal Abdurrahman al-Jabarti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Hassan al-Banna, Mahmud Shaltut, Mustafa as-Siba’i, Syaikh Abdullah Azzam, Syaikh Ahmad Yassin, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, sampai dengan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Alumni al-Azhar asal Indonesia juga sangat banyak, di antaranya Prof. Dr. Amin Rais, Dr. Harun Nasution, dan Prof. Dr. Quraish Shihab.



[1] Keluarga Rasulullah.

[2] Artinya: mari kita melakukan sebaik-baik perbuatan.

Sumber Buku: https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/sejarah-islam-untuk-pemuda-muslim.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640