Terlalu Berharga untuk Luka
Oleh Adifa
Pratama
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 1 dalam Event Cerpen Tema Luka dalam Buku Akhir Sebuah Luka pada Februari 2023)
H |
asna menutup mulutnya seraya menjatuhkan amplop cokelat di
tangannya. Seluruh tubuhnya bergetar dan air mata pun tak tertahankan lagi.
“Hasna..” suara
itu membuat Hasna menoleh. Ia mendapati ibunya berdiri di ujung kamar dengan
wajah terkejutnya, “Ibu bisa menjelaskannya.”
Hasna mematung
kemudian menggelengkan kepalanya. Ibu mendekat ke arahnya dan mengambil amplop
beserta beberapa kertas yang berserakan di lantai. “Selama ini Hasna bukan anak
ibu?”
Iya, isi amplop
itu adalah pernyataan bahwa Hasna diadopsi. Diadopsi dari Panti Asuhan Bunda
Hati, yang jaraknya sekitar tiga kilo dari rumah mereka. Oh, ayolah, bahkan
keluarganya kerap kali berkunjung ke sana, mengapa Hasna tidak sadar? Itulah
yang saat ini bergemuruh di dalam hati dan pikiran Hasna.
“Hasna.. kamu
anak ibu,” ucap Ibu membuat Hasna menggelengkan kepalanya. “Kamu dengarkan Ibu
dulu ya?”
Hasna kembali
menggelengkan kepalanya dan segera berlari masuk ke dalam kamar. Ia mengunci
pintu kamarnya rapat-rapat dan bersembunyi di balik selimut. Ia menangis
sejadi-jadinya mengetahui fakta bahwa dirinya bukan anak kandung dari keluarga
Hartanto. Lantas mengapa ia menyandang marga Hartanto di nama belakangnya?
Suara ketukan
pintu tak henti terdengar dari depan kamar Hasna. Ia juga mendengar suara parau
ibunya yang diiringi tangisan, membuat hatinya semakin teriris.
Luka. Ia
terluka.
Selama ini, 18
tahun ia hidup di dunia. Hari ini ia mengetahui fakta bahwa selama ini ia tidak
tinggal bersama orang tua kandungnya. Ia diadopsi sejak masih bayi, membuatnya
mengira bahwa selama ini perhatian yang diberikan kedua orang tuanya adalah nyata
hubungan darah anak-orang tua.
Tetapi tidak.
Ternyata ia hanyalah anak adopsi yang menumpang tinggal di rumah sosok
yang mengadopsinya. Ia bukan anak mereka.
“Kak Hasna,
Robi mau ngomong sebentar boleh?” suara Robi, adik kecilnya itu membuat Hasna
semakin menangis. Ia tak bisa mendengar itu semua.
Saat ini yang ia
butuhkan hanyalah ketenangan. Ia harus menenangkan diri terlebih dahulu.
Malam itu Hasna
habiskan dengan menangis, meratapi nasib bahwa ia bukanlah anak kandung
keluarga Hartanto. Keluarga yang selalu dipandang tinggi oleh orang lain itu
bukan keluarga asli-nya.
Hasna tertidur
setelah menangis tanpa henti. Keesokan paginya, giliran ayahnya yang mengetuk
pintu kamarnya. Ia menawarkan sarapan pagi untuk Hasna, sebab Hasna sama sekali
belum mengisi perutnya dari kemarin siang.
Hasna malu,
marah, dan belum bisa menerima kenyataan. Ia malu, selama ini ia bertindak tak
patuh dan semena-mena pada kedua orang yang ia anggap orang tuanya itu. Belum
lagi segala permintaan dan tuntutan yang Hasna ajukan untuk memenuhi keinginan
pribadinya.
Ia merasa
tertampar oleh kenyataan, sebab nyatanya ia tak sepatutnya berlaku demikian
pada sosok yang bukan siapa-siapanya. Bahkan kedua orang tua kandungnya
saja meletakkannya di panti asuhan, artinya ia sudah dibuang sejak lama kan?
Dada Hasna
kembali sesak memikirkan fakta bahwa ia adalah anak yang terbuang dan
seharusnya tidak ada di dunia ini. Tidak ada yang menginginkannya.
Hasna bangkit
dari ranjang lalu perlahan berjalan menuju meja rias di seberang ranjang. Ia
duduk dan menatap cermin lama. Wajahnya pucat, bibirnya kering, matanya sembab.
Bahkan sosok di
balik cermin itu seakan tertawa akan keadaannya. Sosok di balik cermin itu
menertawakannya dan hal itu membuat Hasna kesal. Ia mengambil gunting di sisi
mejanya dan memikirkan hal-hal gila di kepalanya.
Ia berpikir
untuk mengakhiri hidupnya.
Tidak, ini
bukan satu-satunya masalah. Minggu ini ia dihujam masalah yang bertubi-tubi
dalam hidupnya. Mulai dari kucing kesayangannya yang meninggal, kegagalannya
masuk perguruan tinggi jalur SNMPTN, belum lagi cibiran teman-temannya yang
mengejek kegagalannya. Ia semakin merasa bahwa dirinya sangat tidak berguna.
Belum sempat
melayangkan guntingnya, matanya tiba-tiba merasa buram. Kepalanya terasa sangat
buram dan sedetik kemudian ia ambruk di lantai.
Ketika membuka
matanya, Hasna menyadari bahwa tubuhnya sedang terbaring lemah dengan jarum
infus yang ada di ujung tangannya. Matanya berkedip beberapa kali, sebelum
akhirnya tangannya digenggam hangat oleh ibunya.
“Hasna anak ibu
sudah sadar, Nak? Ada yang sakit? Hasna badannya kurang enak ya?” pertanyaan bertubi-tubi
itu keluar dari mulut ibunya.
Bukannya
menjawab, Hasna justru menitikkan air mata. Ibunya ikut menitikkan air mata
melihat kondisi Hasna saat ini.
Bersambung. []
kumpulan kisah lengkap dalam buku Akhir Sebuah Luka https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/akhir-sebuah-luka.html
PROFIL PENULIS
Adifa Pratama Putra, atau yang lebih sering disapa Adip merupakan seorang penulis muda kelahiran Pekanbaru, 4 Mei 2004. Adip merupakan tamatan SMA Negeri 7 Pekanbaru jurusan IPS dengan nilai akademik yang baik di mana ia memiliki minat yang sangat besar di bidang Pendidikan dan memiliki cita-cita kuliah di bidang hukum. Selama SMA ia aktif ikut organisasi seperti OSIS dan ikut kegiatan sosial seperti membantu korban bencana alam. Ia juga aktif mengikuti kepanitiaan pada acara sekolah dan ia juga mengikuti ekskul paskibraka. Sejak pandemi melanda ia mulai hobi menulis cerpen dan sudah menulis beberapa karya serta mengikuti ajang-ajang bergengsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar