Terima Kasih Luka
Oleh Lutfiya Nur Fadlila
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 2 dalam Event Cerpen Tema Luka dalam Buku Akhir Sebuah Luka pada Februari 2023)
S |
etiap manusia pasti memiliki jalan hidup yang
berbeda-beda. Ada bahagia, ada sedih, ada kecewa, semua Tuhan beri, semata
untuk mengajari kita tentang makna hidup. Terkadang kita dihadapkan pada suatu
masalah di mana kita harus bersabar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bagaikan roda yang berputar, kadang di atas kadang pula di bawah. Bahkan kita
tak akan pernah tahu hikmah apa yang Tuhan hadirkan sebelum kita melalui
berbagai masalah yang datang silih berganti.
Namaku
Tifani Aulia, sejak kecil aku dilatih untuk mandiri sebelum waktunya. Hidup di
tengah keluarga yang broken home membuatku sedikit lebih dewasa dari
anak seusiaku. Dari kecil aku diasuh oleh bu Ning. Beliau adalah asisten rumah
tangga yang sudah kuanggap sebagai sebagai ibuku.
Genap
usiaku 17 tahun, aku mendapat hadiah terburukku. Mentalku dan psikisku yang
mulai terkikis kini lebur berantakan. Kedua orang tuaku semakin lama semakin
tak sepemahaman. Mereka terus saja bersiteru bahkan untuk hal-hal yang sepele.
Kesibukan mereka yang menyita waktu dan kebahagiaanku. Bahkan aku sempat merasa
tidak ada gunanya untuk hidup, untuk apa aku hidup? sedangkan orang tuaku saja
tidak memperdulikanku.
Malam
itu keheningan di rumah terpecahkan dengan suara yang tidak ingin kudengar. Aku
meringkuk menangis di sudut kamar, mendengar dua orang yang saling beradu mulut
dengan berteriak-teriak. Meski aku menutup telinga, suaranya masih
mengaung-ngaung di telingaku. Aku benar-benar sudah tak tahan lagi. Entah apa
yang terjadi belakangan ini. Bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja
dan di mana saja.
“BRAKK”
“Sudah
cukup!” ucapku berteriak sambil berlinangan air mata memberanikan diri membuka
pintu kamar. Kedua orang tuaku diam memandangiku.
“Aku
sudah tidak tahan dengan semua ini, Mah… Pah…, kalian selalu saja bertengkar. Apa
kalian pikir bertengkar itu bisa menyelesaikan masalah?” ucapku, mereka terdiam
sejenak.
Entah
apa yang aku pikirkan saat itu hanyalah kabur dari rumah. Tanpa pikir panjang
kuputuskan untuk membawa ransel yang sudah kuisi dengan baju dan barang-barang
keseharianku. Ibu mengikutiku masuk ke dalam kamar.
“Kamu
mau ke mana, Nak?” Tanya mama.
“Aku
mau pergi dari sini, aku mau cari ketenangan.” ucapku.
“Jangan
pergi, Nak…! Ini semua pasti gara-gara papa,” ucap mama sambil menuding ayah
yang sedang duduk di sofa.
“Sudah,
Ma, aku tidak mau kalian bertengkar terus, aku ingin kalian belajar agar bisa
menyelesaikan masalah dengan baik,” ucapku.
“Tau
apa kamu? Kamu masih kecil.” sahut papa.
“Pah,
aku sudah 17 tahun, bahkan papah dan mama tidak ingat jika ini adalah hari
ulang tahunku. Bukan hadiah yang kudapat dari kalian, tapi luka,” ucapku.
Tangisku
semakin menjadi.
“Terima
kasih, Ma, Pa, kalian sudah membuatku kecewa dan memberiku luka,” sambungku,
lalu aku berlari keluar rumah.
Perasaanku
benar-benar berkabul kala itu. Tekatku sudah bulat. Langkah kakiku tak bisa
dihentikan lagi. Aku percaya aku bisa hidup sendiri tanpa mereka. Aku terus
berjalan menyusuri jalan perumahan. Tiba-tiba bibi mengejarku, dan menawariku
untuk ke rumahnya. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung menganggukkan kepala.
***
Sebuah
rumah joglo dengan halaman yang cukup luas dihiasi dengan pepohonan, memberikan
suasana baru bagiku. Di sinilah aku sekarang aku akan tinggal. Meski jauh dari
perkotaan. Namun, aku sangat suka tempat yang asri dan nyaman ini.
“Ayo,
masuk Nak!” ajak bibi ketika melangkah menuju pintu.
“Iya,
Bi,” sahutku yang masih memanjakan mata untuk melihat pemandangan di sekeliling
rumah.
“Assalamu’alaikum,”
ucap bibi bersamaan dengan suara khas pintu kuno yang dibuka.
Sebuah
ruangan yang tidak cukup luas, hanya ada kursi yang terbuat dari anyaman rotan
dan meja. Ada banyak sertifikat, mendali dan beberapa foto yang tergantung di
dinding kayu tua.
“Wa’alaikumussalam,”
ucap beberapa suara yang ada di dalam.
Bapak
paruh baya keluar disusul oleh anak permpuan kecil berlari memeluk ibunya.
“Ibu...”
teriaknya
“Bagaimana
kabarmu, Nak?” Ucap bibi dengan lembut
“Alhamdulillah,
luarbiasa, allahuakbar yes, yes…” ucapnya riang.
“Kakak
ini siapa, Bu?” tanyanya lagi.
Bibi
mempersilakanku duduk. Selang beberapa detik kemudian seorang pemuda seusiaku
mengucapkan salam, masuk ke rumah dan mencium tangan bibi serta bapaknya, dia
adalah anak pertama bibi. Sungguh pemandangan yang sangat membuatku iri. Untuk
melihat kedua orang tuaku tersenyum saja sangat mustahil, apalagi mencium
tangan mereka.
“Ya
Rab, ampuni hamba ini!” ucapku dalam hati.
Suara
jangkrik mengiringi percakapan kami. Tawa renyah keluarga ini membuatku terenyuh.
Aku sedikit bahagia bibi sekeluarga menerimaku tinggal di rumah ini. Kami juga
membahas topik ringan yang membuatku sedikit terhibur. Dari sinilah aku mulai
menyadari arti sebuah keluarga. Bukan hanya ikatan darah. Namun, mereka adalah
orang-orang terdekat kita, saling membutuhkan dan saling membahagikan satu sama
lain. Aku merasa bahagia karena memiliki keluarga baru.
***
Suara azan sayup-sayup terdengar. Bibi membangunkanku dan mengajaku untuk salat
berjamaah. Diimami oleh anak bibi yang pertama. Namanya Abdul Halim. Usianya
hanya terpaut 1 tahun denganku. Sedangkan gadis kecil yang selalu ceria itu
adalah anak bibi yang kedua. Namanya Arlita Azizah, panggilanya Lita, tapi
dalam keluarga ini dipanggil Comel.
Matahari
mulai menampakan sinarnya. Burung-burung berkicau dengan melodi indahnya. Halim
mengajakku untuk melihat pemandangan di desa. Kami berjalan menyusuri jalan
setapak yang melintang di tengah sawah, dengan background gunung hijau
yang sangat menakjubkan, membuatku bernapas lega. Aku bersyukur bahwa aku masih
diberi kesempatan hidup oleh Tuhan Sang Pencipta. Percakapan ringan yang membuatku
nyaman. Hingga sejenak aku bisa melupakan luka yang masih menganga di lubuk
hatiku.
“Hey,
jangan melamun!” ucapnya mengagetkanku.
“Eh
iya,” aku sedikit kaget.
“Kenapa?
Ada masalah? Cerita aja,” tawarnya, aku hanya tersenyum.
Meski
aku masih bisa tersenyum dan tertawa, tapi hatiku sudah tak bisa berkata-kata.
Sebisa mungkin aku ingin menyembuhkan lukaku, aku tak mau terbelenggu dengan
luka masa laluku. Aku harus bahagia dan tetap manjalani hidupku.
***
Detik
waktu yang terus berputar begitu cepatnya, membuatku berterima kasih pada luka
yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Aku berterima kasih kepada luka
yang menjadikanku gadis yang kokoh dan pantang menyerah. Di bawah asuhan bibi
dan keluarganya yang begitu hangat menjadikanku kuat dalam menghadapi apapun.
Walaupun aku pindah ke desa ini, aku juga masih melanjutkan sekolah, meski
terlambat 1 tahun karena harus pindah sekolah. Tapi usahaku tidak sia-sia, aku
berhasil mendapat peringkat 1 pararel dan mendapatkan beasiswa di salah satu
universitas ternama.
Saat
langit masih gelap, seisi rumah ini sudah riuh. Bibi memasak berbagai macam
hidangan untuk dibagikan kepada para tetangga sebagai bentuk tasyakuran atas
kelulusanku. Dibantu dengan Comel yang sangat antusias memasak. Paman dan Halim
membersihkan rumah dan menyiapkan kendaraan. Semuanya kami lakukan seusai jamaah
subuh. Hari ini adalah hari wisudaku dari putih abu-abu. Bibi dan semua anggota
keluarganya datang menghadiri wisudaku, aku sangat bahagia sekali.
“Selamat
ya, Dek,” ucap Halim sembari memberikan buket bunga untukku.
Sejak
aku pindah ke rumah itu, dia menganggapku sebagai adiknya, meskipun kami hanya
beda 1 tahun. Bagiku tak masalah, karena memang aku belum pernah punya sosok kakak
yang selalu menjaga dan melindungiku. Begitu juga aku menganggap Comel sebagai
adikku yang sangat meggemaskan. Tingkahnya yang selalu membuatku tertawa
seolah-olah menjadi obat bagi luka nestapa.
Setelah
acara selesai, aku melihat seorang ibu dengan menggendong bayinya
menghampiriku. Semakin dekat aku semakin mengenal siapa sosok ibu itu. Itu
adalah mama, dan bayi itu? Apakah ia sudah menikah lagi dan memiliki anak? Pikirku
menerka-nerka apa yang selama ini terjadi. Bahkan aku, anak kandungnya tak diundang
saat pernikahanya. Tuhan.. cobaan apa lagi ini?
Bersambung. []
kumpulan kisah lengkap dalam buku Akhir Sebuah Luka https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/akhir-sebuah-luka.html
PROFIL PENULIS
Lutfiya Nur Fadlilah seorang penulis dengan nama pena Lutfiya Fadila, lahir di Rembang, 12 Mei 1999. Saat ini penulis berdomisili di Kudus Jawa Tegah. Menulis adalah hobinya sejak masih duduk di sekolah dasar, ketertarikanya di dunia menulis sudah menghasilkan berbagi karya tulis, cerpen, puisi, artikel yang dimuat berbagai media. Setelah menerbitkan buku pertamanya yang berjudul “Bahagia Versi Kamu” ia semakin aktif dalam menulis. Baginya menulis adalah sahabat yang selalu mendengarkan keluh kesahnya dan selalu mengingatkannya dikala lupa dengan apa yang pernah ia tulis sendiri. Ia juga mengelola sebuah blogger yang dapat diakses melalui http://shoffadila.blogspot.com. Masih banyak pengalaman menarik yang ia lalui tertuang dalam karyanya. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial medianya email: fadlilahlutfiya@gmail.com Instagram @lutfiya_fadila dan Facebook: Lutfiya Fadila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar