Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Terima Kasih Luka - Naskah Terpilih Juara 2 Event Cerpen Tema Luka

 


Terima Kasih Luka

Oleh Lutfiya Nur Fadlila

 (Sebagai Cerpen Terpilih Juara 2 dalam Event Cerpen Tema Luka dalam Buku Akhir Sebuah Luka pada Februari 2023)


S

etiap manusia pasti memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Ada bahagia, ada sedih, ada kecewa, semua Tuhan beri, semata untuk mengajari kita tentang makna hidup. Terkadang kita dihadapkan pada suatu masalah di mana kita harus bersabar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bagaikan roda yang berputar, kadang di atas kadang pula di bawah. Bahkan kita tak akan pernah tahu hikmah apa yang Tuhan hadirkan sebelum kita melalui berbagai masalah yang datang silih berganti.

Namaku Tifani Aulia, sejak kecil aku dilatih untuk mandiri sebelum waktunya. Hidup di tengah keluarga yang broken home membuatku sedikit lebih dewasa dari anak seusiaku. Dari kecil aku diasuh oleh bu Ning. Beliau adalah asisten rumah tangga yang sudah kuanggap sebagai sebagai ibuku.

Genap usiaku 17 tahun, aku mendapat hadiah terburukku. Mentalku dan psikisku yang mulai terkikis kini lebur berantakan. Kedua orang tuaku semakin lama semakin tak sepemahaman. Mereka terus saja bersiteru bahkan untuk hal-hal yang sepele. Kesibukan mereka yang menyita waktu dan kebahagiaanku. Bahkan aku sempat merasa tidak ada gunanya untuk hidup, untuk apa aku hidup? sedangkan orang tuaku saja tidak memperdulikanku.

Malam itu keheningan di rumah terpecahkan dengan suara yang tidak ingin kudengar. Aku meringkuk menangis di sudut kamar, mendengar dua orang yang saling beradu mulut dengan berteriak-teriak. Meski aku menutup telinga, suaranya masih mengaung-ngaung di telingaku. Aku benar-benar sudah tak tahan lagi. Entah apa yang terjadi belakangan ini. Bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan di mana saja.

“BRAKK”

“Sudah cukup!” ucapku berteriak sambil berlinangan air mata memberanikan diri membuka pintu kamar. Kedua orang tuaku diam memandangiku.

“Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, Mah… Pah…, kalian selalu saja bertengkar. Apa kalian pikir bertengkar itu bisa menyelesaikan masalah?” ucapku, mereka terdiam sejenak.

Entah apa yang aku pikirkan saat itu hanyalah kabur dari rumah. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk membawa ransel yang sudah kuisi dengan baju dan barang-barang keseharianku. Ibu mengikutiku masuk ke dalam kamar. 

“Kamu mau ke mana, Nak?” Tanya mama.

“Aku mau pergi dari sini, aku mau cari ketenangan.” ucapku.

“Jangan pergi, Nak…! Ini semua pasti gara-gara papa,” ucap mama sambil menuding ayah yang sedang duduk di sofa.

“Sudah, Ma, aku tidak mau kalian bertengkar terus, aku ingin kalian belajar agar bisa menyelesaikan masalah dengan baik,” ucapku.

“Tau apa kamu? Kamu masih kecil.” sahut papa.

“Pah, aku sudah 17 tahun, bahkan papah dan mama tidak ingat jika ini adalah hari ulang tahunku. Bukan hadiah yang kudapat dari kalian, tapi luka,” ucapku.

Tangisku semakin menjadi.

“Terima kasih, Ma, Pa, kalian sudah membuatku kecewa dan memberiku luka,” sambungku, lalu aku berlari keluar rumah.

Perasaanku benar-benar berkabul kala itu. Tekatku sudah bulat. Langkah kakiku tak bisa dihentikan lagi. Aku percaya aku bisa hidup sendiri tanpa mereka. Aku terus berjalan menyusuri jalan perumahan. Tiba-tiba bibi mengejarku, dan menawariku untuk ke rumahnya. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung menganggukkan kepala.

***

Sebuah rumah joglo dengan halaman yang cukup luas dihiasi dengan pepohonan, memberikan suasana baru bagiku. Di sinilah aku sekarang aku akan tinggal. Meski jauh dari perkotaan. Namun, aku sangat suka tempat yang asri dan nyaman ini.

“Ayo, masuk Nak!” ajak bibi ketika melangkah menuju pintu.

“Iya, Bi,” sahutku yang masih memanjakan mata untuk melihat pemandangan di sekeliling rumah.

“Assalamu’alaikum,” ucap bibi bersamaan dengan suara khas pintu kuno yang dibuka.

Sebuah ruangan yang tidak cukup luas, hanya ada kursi yang terbuat dari anyaman rotan dan meja. Ada banyak sertifikat, mendali dan beberapa foto yang tergantung di dinding kayu tua.

“Wa’alaikumussalam,” ucap beberapa suara yang ada di dalam.

Bapak paruh baya keluar disusul oleh anak permpuan kecil berlari memeluk ibunya.

“Ibu...” teriaknya

“Bagaimana kabarmu, Nak?” Ucap bibi dengan lembut

“Alhamdulillah, luarbiasa, allahuakbar yes, yes…” ucapnya riang.

“Kakak ini siapa, Bu?” tanyanya lagi.

Bibi mempersilakanku duduk. Selang beberapa detik kemudian seorang pemuda seusiaku mengucapkan salam, masuk ke rumah dan mencium tangan bibi serta bapaknya, dia adalah anak pertama bibi. Sungguh pemandangan yang sangat membuatku iri. Untuk melihat kedua orang tuaku tersenyum saja sangat mustahil, apalagi mencium tangan mereka.

“Ya Rab, ampuni hamba ini!” ucapku dalam hati.

Suara jangkrik mengiringi percakapan kami. Tawa renyah keluarga ini membuatku terenyuh. Aku sedikit bahagia bibi sekeluarga menerimaku tinggal di rumah ini. Kami juga membahas topik ringan yang membuatku sedikit terhibur. Dari sinilah aku mulai menyadari arti sebuah keluarga. Bukan hanya ikatan darah. Namun, mereka adalah orang-orang terdekat kita, saling membutuhkan dan saling membahagikan satu sama lain. Aku merasa bahagia karena memiliki keluarga baru.

***

          Suara azan sayup-sayup terdengar. Bibi  membangunkanku dan mengajaku untuk salat berjamaah. Diimami oleh anak bibi yang pertama. Namanya Abdul Halim. Usianya hanya terpaut 1 tahun denganku. Sedangkan gadis kecil yang selalu ceria itu adalah anak bibi yang kedua. Namanya Arlita Azizah, panggilanya Lita, tapi dalam keluarga ini dipanggil Comel.

Matahari mulai menampakan sinarnya. Burung-burung berkicau dengan melodi indahnya. Halim mengajakku untuk melihat pemandangan di desa. Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang melintang di tengah sawah, dengan background gunung hijau yang sangat menakjubkan, membuatku bernapas lega. Aku bersyukur bahwa aku masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan Sang Pencipta. Percakapan ringan yang membuatku nyaman. Hingga sejenak aku bisa melupakan luka yang masih menganga di lubuk hatiku.

“Hey, jangan melamun!” ucapnya mengagetkanku.

“Eh iya,” aku sedikit kaget.

“Kenapa? Ada masalah? Cerita aja,” tawarnya, aku hanya tersenyum.

Meski aku masih bisa tersenyum dan tertawa, tapi hatiku sudah tak bisa berkata-kata. Sebisa mungkin aku ingin menyembuhkan lukaku, aku tak mau terbelenggu dengan luka masa laluku. Aku harus bahagia dan tetap manjalani hidupku.

***

Detik waktu yang terus berputar begitu cepatnya, membuatku berterima kasih pada luka yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Aku berterima kasih kepada luka yang menjadikanku gadis yang kokoh dan pantang menyerah. Di bawah asuhan bibi dan keluarganya yang begitu hangat menjadikanku kuat dalam menghadapi apapun. Walaupun aku pindah ke desa ini, aku juga masih melanjutkan sekolah, meski terlambat 1 tahun karena harus pindah sekolah. Tapi usahaku tidak sia-sia, aku berhasil mendapat peringkat 1 pararel dan mendapatkan beasiswa di salah satu universitas ternama.

Saat langit masih gelap, seisi rumah ini sudah riuh. Bibi memasak berbagai macam hidangan untuk dibagikan kepada para tetangga sebagai bentuk tasyakuran atas kelulusanku. Dibantu dengan Comel yang sangat antusias memasak. Paman dan Halim membersihkan rumah dan menyiapkan kendaraan. Semuanya kami lakukan seusai jamaah subuh. Hari ini adalah hari wisudaku dari putih abu-abu. Bibi dan semua anggota keluarganya datang menghadiri wisudaku, aku sangat bahagia sekali.

“Selamat ya, Dek,” ucap Halim sembari memberikan buket bunga untukku.

Sejak aku pindah ke rumah itu, dia menganggapku sebagai adiknya, meskipun kami hanya beda 1 tahun. Bagiku tak masalah, karena memang aku belum pernah punya sosok kakak yang selalu menjaga dan melindungiku. Begitu juga aku menganggap Comel sebagai adikku yang sangat meggemaskan. Tingkahnya yang selalu membuatku tertawa seolah-olah menjadi obat bagi luka nestapa.

Setelah acara selesai, aku melihat seorang ibu dengan menggendong bayinya menghampiriku. Semakin dekat aku semakin mengenal siapa sosok ibu itu. Itu adalah mama, dan bayi itu? Apakah ia sudah menikah lagi dan memiliki anak? Pikirku menerka-nerka apa yang selama ini terjadi. Bahkan aku, anak kandungnya tak diundang saat pernikahanya. Tuhan.. cobaan apa lagi ini?

Bersambung. []


kumpulan kisah lengkap dalam buku Akhir Sebuah Luka https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/akhir-sebuah-luka.html



PROFIL PENULIS

Lutfiya Nur Fadlilah seorang penulis dengan nama pena Lutfiya Fadila, lahir di Rembang, 12 Mei 1999. Saat ini penulis berdomisili di Kudus Jawa Tegah. Menulis adalah hobinya sejak masih duduk di sekolah dasar, ketertarikanya di dunia menulis sudah menghasilkan berbagi karya tulis, cerpen,  puisi, artikel yang dimuat berbagai media. Setelah menerbitkan buku pertamanya yang berjudul “Bahagia Versi Kamu” ia semakin aktif dalam menulis. Baginya menulis adalah sahabat yang selalu mendengarkan keluh kesahnya dan selalu mengingatkannya dikala lupa dengan apa yang pernah ia tulis sendiri.  Ia juga mengelola sebuah blogger yang dapat diakses melalui http://shoffadila.blogspot.com. Masih banyak pengalaman menarik yang ia lalui tertuang dalam karyanya. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial medianya email: fadlilahlutfiya@gmail.com Instagram @lutfiya_fadila dan  Facebook: Lutfiya Fadila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640