Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Selfie Sepenuh Hati

 


Selfie Sepenuh Hati

 

Siapa sih yang belum pernah selfie? Tak satu pun dari kita meninggalkan setiap peristiwa begitu saja tanpa selfie. Seseorang ingin mengabadikan momen istimewanya dengan cara foto selfie. Setiap peristiwa kita ambil fotonya, kemudian kita unggah di media sosial. Fenomena selfie selain untuk mengabadikan peristiwa, juga untuk berburu likes, coment, dan subscribe dari teman atau follower kita.  Tujuannya yaitu mendapatkan perhatian dari orang lain (cari muka), tapi enggak semuanya berniat demikian sih. Fenomena berburu likes, atau apapun itu sebenarnya merupakkan kebutuhan akan eksistensi diri manusia.  Selfie bermakna diri sendiri. Jika foto selfie berarti foto diri sendiri (swafoto).

Perhatikan ekspresi wajah orang yang sedang selfie, pasti menunjukkan wajah yang terbaik bukan? Senyum manis, tatapan mata yang berbinar-binar, pokoknya segala yang kebaikan yang kita tampakkan. Jarang sekali selfie dengan wajah marah, cemberut dan sedih, karena ini merupakan ekspresi wajah yang buruk. Dan kita tak mau memperlihatkannya kepada orang lain, karena malu, dan tentu akan banyak teman komentar aneh di akun medsos kita, bukan?

Kamera pada smartphone sekarang sangat canggih, bahkan wajah yang biasa saja bisa jadi nampak cantik. Setitik noda pun tak terlihat karena kecanggihan kamera 360. Begitu jahatnya ya teknologi yang keterlaluan membohongi kenyataan. Nah, parahnya, seseorang bisa merasa tidak suka dengan kondisi fisiknya terlihat kurang sempurna. Bukankah ini bentuk rasa kurang bersyukur atas karunia Allah, dengan sebutan lainnya yaitu kufur nikmat. Apa ya, konsekuensinya? Sudah pasti, rasa syukur akan dibalas dengan bertambahnya kenikmatan, sedangkan kufur dibalas dengan adzab yang pedih. Naudzubillah. Semoga kita terhindar dari sifat demikian.

Bagaimana makna selfie yang sebenarnya? Apakah hanya sekedar menampakkan swafoto dengan berbagai pose yang menarik untuk diunggah saja? Makna selfie yang lebih mendalam adalah kita melihat diri kita sebenarnya, apa adanya.  Bukan hanya melihat pada wajah dan tubuh saja, melainkan dari hati, dan perbuatan kita. Semua kekurangan hanya diri kita dan Allah yang mengetahui. Maka selayaknya kita selalu memperbanyak bermuhasabah dengan segala kekurangan kita. Jangan sampai kebaikan kita yang sedikit, justru kita pamerkan dengan orang lain, sehingga menghapus niat karena Allah ta’ala.

Disinilah kedewasaan kita ketika bisa menerima segala kekurangan yang ada pada diri kita. Mengakui bahwa kesalahan adalah dari diri sendiri, merupakan sikap seseorang yang berjiwa satria. Bukankah lebih sulit mengakui kesalahan diri sendiri, dibandingkan dengan menunjukkan kesalahan dan kekurangan orang lain? Tidak ada manusia yang sempurna tentunya. Jadi wajar jika kita pernah melakukan kesalahan. Kenapa kita berbuat dosa? Padahal kita yakin bahwa Allah itu Tahu dengan perbuatan kita. Kita yakin Allah tidak suka dengan perbuatan dosa kita.

Itu karena manusia memiliki banyak potensi. Potensi fisik, psikis (jiwa), dan akal. Potensi yang kita memiliki itu kekuatannya terbatas. Jika seluruh potensi manusia itu kekuatannya tidak seimbang, maka bisa terjadi berbagai bentuk penyimpangan aturan Allah yang termaktub dalam Qur’an dan Hadits. Fisik kita bisa kuat dengan makan dan minum. Psikis (jiwa) bisa kuat dengan memperbanyak ibadah seperti solat, puasa, baca Al qur’an. Akal bisa kuat dengan membaca, menghafal, memahami, mentafakuri, mengajarkan, dll. Namun, hal itu hanya sebatas upaya secara rasional saja. Adapun terbentuknya seorang manusia yang beriman dan bertakwa pada aturan Allah Yang Maha Esa ini adalah atas kehendak Allah. Sebagaimana firman Allah SWT berikut: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. “ (Q.S Al Baqarah ayat 272). Jadi keimanan dan ketakwaan tidak sembarang orang Islam yang mendapatkannya. Hanya orang-orang pilihan Allah SWT saja yang memperolehnya. Akan tetapi, semua itu bisa diupayakan dengan cara sebagaimana yang telah tersebut diatas.

Bukan pada kecantikan dan ketampanan wajah Allah menilai seseorang, melainkan pada hati. Dan Allah memberikan hak yang sama bagi laki-laki maupun perempuan sebagaimana tertulis pada hadits berikut: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat pada hati kalian.” (H.R. Muslim).

Betapa kita sering tertipu, karena berlomba-lomba mencari like, coment, dan subscribe orang lain dengan mengabaikan like dari Allah. Apa arti like dari manusia jika Allah tidak memberikan like pada amal kita? Dan apalah arti hinaan, cercaan dan hujatan dari manusia, jika Allah nge-like amalan kita? Semua tergantung pada hati kita.

Kebahagiaan dapat mereka rasakan ketika mendapat like dari orang lain. Semakin banyak like, semakin bahagia. Sampai akhirnya kehidupannya hanya disibukkan untuk mencari popularitas. Sehingga menjadi pribadi yang narsisme, pribadi yang suka cari perhatian dengan menunjukkan kebaikan diri sendiri. Ah, rasanya kurang sreg jika kebahagiaan hanya sebatas pada pujian manusia saja. Bagaimana jika tidak mendapatkan pujian dari manusia? Akibatnya bisa berujung pada rasa sedih, kecewa, depresi dan stress. Maka hal ini sesuai dengan hadits berikut: “Barangsiapa mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan melindunginya dari beban gangguan manusia.” (H.R. Ad-Dailami). Alangkah ruginya, karena waktu terbuang sia-sia untuk mencari pujian manusia. Hidup terbebani hanya untuk berburu penilaian manusia semata.

Sudah saatnya kita mengambil hati dan perbuatan sebagai obyek selfie, bukan hanya wajah dan tubuh saja. Itu artinya sudah saatnya kita mengevaluasi hati dan perbuatan kita selama ini. Lebih-lebih amal ibadah kita. Karena manusia tugas utamanya hidup di dunia adalah beribadah. Jika kita sudah sibuk selfie hati kita, tidak ada waktu lagi untuk menilai perbuatan buruk orang lain. Karena ia ingat segala keburukan dan kekurangan yang diperbuat diri sendiri, jauh lebih banyak. Dengan demikian kita akan sibuk menata dan memperbaiki hati dan perbuatan kita dari hari ke hari.

Beberapa dampak negative foto selfie yang sudah menjadi kebiasaan dilingkungan kita antara lain:

 

 

 

Ø  Kufur.

Kufur seperti yang telah tersebut diatas adalah lawannya syukur. Kufur adalah perbuatan ingkar terhadap karunia Allah SWT. Ingat ancaman Allah adalah dengan adzab yang pedih terhadap orang yang kufur atas nikmatNya.

Ø  Ujub.

Ujub atau bangga dengan diri sendiri, atau bangga dengan apa yang kita miliki, sedangkan orang lain tidak memilikinya. Bukankah ini bisa memicu rasa iri dan dengki pada orang lain? Nah, jika perbuatan kita dapat menimbulkan dampak negative, itu berarti perbuatan kita tidak bermanfaat, sia-sia, bahkan dapat menambah dosa.

Ø  Riya’.

Riya’ adalah memperlihatkan ibadah agar mendapatkan pandangan atau pujian dari manusia. Tidak sepantasnya ibadah kita sosialisasikan. Ibadah adalah hubungan deng Allah, yang seharusnya kita privasikan. Kita lakukan semata-mata karena Allah SWT. Para ulama mengatakan bahwa dua senjata iblis yang sangat ampuh untuk manusia yang rajin beribadah yaitu: ujub dan riya’. Dan segala amal perbuatan itu sesuai dengan niat. Berikut dalilnya: “Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi.” (H.R. Bukhari).

Ø  Ghibah dan fitnah.

Sudah pasti komentar akan bermunculan pada foto selfie kita. Ada yang komentar positif dan menyenangkan hati kita, namun mungkin ada juga yang berkomentar hujatan, hinaan, celaan, bahkan cemoohan. Hmmm, bukankah hanya membuat “makan hati” teman-teman? Jika berlanjut, komentar itu akan menimbulkan ghibah atau fitnah. Ghibah adalah menceritakan kekurangan atau cacat yang ada pada orang lain. Sedangkan fitnah adalah menceritakan kebohongan atau hal yang tidak disukai orang lain. Dua-duanya haram, dan berdosa jika dilakukan. Sebagaimana dalam Q.S Al Hujurat ayat 12 telah diibaratkan seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati (bangkai). Adalah hal yang menjijikkan, bukan? Teman-teman yang dicintai Allah, betapa ruginya kita jika terkena dampak negatif foto selfie diatas. Semoga kita terhindar dari sifat tersebut.

Sumber buku: https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/etika-muslim-siber.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640