Selfie Sepenuh Hati
Siapa sih yang belum pernah selfie? Tak satu pun dari kita
meninggalkan setiap peristiwa begitu saja tanpa selfie. Seseorang ingin mengabadikan momen istimewanya dengan cara
foto selfie. Setiap peristiwa kita ambil fotonya, kemudian kita unggah di media
sosial. Fenomena selfie selain untuk
mengabadikan peristiwa, juga untuk berburu likes,
coment, dan subscribe dari teman atau follower
kita. Tujuannya yaitu mendapatkan
perhatian dari orang lain (cari muka), tapi enggak semuanya berniat demikian
sih. Fenomena berburu likes, atau
apapun itu sebenarnya merupakkan kebutuhan akan eksistensi diri manusia. Selfie
bermakna diri sendiri. Jika foto selfie
berarti foto diri sendiri (swafoto).
Perhatikan ekspresi wajah orang yang
sedang selfie, pasti menunjukkan
wajah yang terbaik bukan? Senyum manis, tatapan mata yang berbinar-binar,
pokoknya segala yang kebaikan yang kita tampakkan. Jarang sekali selfie dengan wajah marah, cemberut dan
sedih, karena ini merupakan ekspresi wajah yang buruk. Dan kita tak mau
memperlihatkannya kepada orang lain, karena malu, dan tentu akan banyak teman
komentar aneh di akun medsos kita, bukan?
Kamera pada smartphone sekarang sangat canggih, bahkan wajah yang biasa saja
bisa jadi nampak cantik. Setitik noda pun tak terlihat karena kecanggihan
kamera 360. Begitu jahatnya ya teknologi yang keterlaluan membohongi kenyataan.
Nah, parahnya, seseorang bisa merasa tidak suka dengan kondisi fisiknya
terlihat kurang sempurna. Bukankah ini bentuk rasa kurang bersyukur atas
karunia Allah, dengan sebutan lainnya yaitu kufur nikmat. Apa ya,
konsekuensinya? Sudah pasti, rasa syukur akan dibalas dengan bertambahnya
kenikmatan, sedangkan kufur dibalas dengan adzab yang pedih. Naudzubillah.
Semoga kita terhindar dari sifat demikian.
Bagaimana makna selfie yang sebenarnya? Apakah hanya sekedar menampakkan swafoto
dengan berbagai pose yang menarik untuk diunggah saja? Makna selfie yang lebih
mendalam adalah kita melihat diri kita sebenarnya, apa adanya. Bukan hanya melihat pada wajah dan tubuh
saja, melainkan dari hati, dan perbuatan kita. Semua kekurangan hanya diri kita
dan Allah yang mengetahui. Maka selayaknya kita selalu memperbanyak
bermuhasabah dengan segala kekurangan kita. Jangan sampai kebaikan kita yang
sedikit, justru kita pamerkan dengan orang lain, sehingga menghapus niat karena
Allah ta’ala.
Disinilah kedewasaan kita ketika bisa
menerima segala kekurangan yang ada pada diri kita. Mengakui bahwa kesalahan
adalah dari diri sendiri, merupakan sikap seseorang yang berjiwa satria.
Bukankah lebih sulit mengakui kesalahan diri sendiri, dibandingkan dengan
menunjukkan kesalahan dan kekurangan orang lain? Tidak ada manusia yang
sempurna tentunya. Jadi wajar jika kita pernah melakukan kesalahan. Kenapa kita
berbuat dosa? Padahal kita yakin bahwa Allah itu Tahu dengan perbuatan kita.
Kita yakin Allah tidak suka dengan perbuatan dosa kita.
Itu karena manusia memiliki banyak
potensi. Potensi fisik, psikis (jiwa), dan akal. Potensi yang kita memiliki itu
kekuatannya terbatas. Jika seluruh potensi manusia itu kekuatannya tidak
seimbang, maka bisa terjadi berbagai bentuk penyimpangan aturan Allah yang
termaktub dalam Qur’an dan Hadits. Fisik kita bisa kuat dengan makan dan minum.
Psikis (jiwa) bisa kuat dengan memperbanyak ibadah seperti solat, puasa, baca
Al qur’an. Akal bisa kuat dengan membaca, menghafal, memahami, mentafakuri,
mengajarkan, dll. Namun, hal itu hanya sebatas upaya secara rasional saja.
Adapun terbentuknya seorang manusia yang beriman dan bertakwa pada aturan Allah
Yang Maha Esa ini adalah atas kehendak Allah. Sebagaimana firman Allah SWT
berikut: “Bukanlah
kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. “ (Q.S
Al Baqarah ayat 272). Jadi keimanan dan ketakwaan tidak sembarang orang Islam
yang mendapatkannya. Hanya orang-orang pilihan Allah SWT saja yang memperolehnya.
Akan tetapi, semua itu bisa diupayakan dengan cara sebagaimana yang telah
tersebut diatas.
Bukan pada kecantikan dan ketampanan
wajah Allah menilai seseorang, melainkan pada hati. Dan Allah memberikan hak
yang sama bagi laki-laki maupun perempuan sebagaimana tertulis pada hadits
berikut: “Sesungguhnya Allah tidak
melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Allah
melihat pada hati kalian.” (H.R. Muslim).
Betapa kita sering tertipu, karena
berlomba-lomba mencari like, coment, dan
subscribe orang lain dengan mengabaikan like
dari Allah. Apa arti like dari
manusia jika Allah tidak memberikan like
pada amal kita? Dan apalah arti hinaan, cercaan dan hujatan dari manusia, jika
Allah nge-like amalan kita? Semua
tergantung pada hati kita.
Kebahagiaan dapat mereka rasakan
ketika mendapat like dari orang lain.
Semakin banyak like, semakin bahagia.
Sampai akhirnya kehidupannya hanya disibukkan untuk mencari popularitas.
Sehingga menjadi pribadi yang narsisme, pribadi yang suka cari perhatian dengan
menunjukkan kebaikan diri sendiri. Ah, rasanya kurang sreg jika kebahagiaan hanya sebatas pada pujian manusia saja.
Bagaimana jika tidak mendapatkan pujian dari manusia? Akibatnya bisa berujung
pada rasa sedih, kecewa, depresi dan stress.
Maka hal ini sesuai dengan hadits berikut: “Barangsiapa
mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan
melindunginya dari beban gangguan manusia.” (H.R. Ad-Dailami). Alangkah
ruginya, karena waktu terbuang sia-sia untuk mencari pujian manusia. Hidup
terbebani hanya untuk berburu penilaian manusia semata.
Sudah saatnya kita mengambil hati dan
perbuatan sebagai obyek selfie, bukan
hanya wajah dan tubuh saja. Itu artinya sudah saatnya kita mengevaluasi hati
dan perbuatan kita selama ini. Lebih-lebih amal ibadah kita. Karena manusia
tugas utamanya hidup di dunia adalah beribadah. Jika kita sudah sibuk selfie hati kita, tidak ada waktu lagi
untuk menilai perbuatan buruk orang lain. Karena ia ingat segala keburukan dan
kekurangan yang diperbuat diri sendiri, jauh lebih banyak. Dengan demikian kita
akan sibuk menata dan memperbaiki hati dan perbuatan kita dari hari ke hari.
Beberapa dampak negative foto selfie yang sudah menjadi kebiasaan
dilingkungan kita antara lain:
Ø Kufur.
Kufur seperti yang telah tersebut
diatas adalah lawannya syukur. Kufur adalah perbuatan ingkar terhadap karunia
Allah SWT. Ingat ancaman Allah adalah dengan adzab yang pedih terhadap orang
yang kufur atas nikmatNya.
Ø Ujub.
Ujub atau bangga dengan diri sendiri,
atau bangga dengan apa yang kita miliki, sedangkan orang lain tidak
memilikinya. Bukankah ini bisa memicu rasa iri dan dengki pada orang lain? Nah,
jika perbuatan kita dapat menimbulkan dampak negative, itu berarti perbuatan
kita tidak bermanfaat, sia-sia, bahkan dapat menambah dosa.
Ø Riya’.
Riya’ adalah memperlihatkan ibadah
agar mendapatkan pandangan atau pujian dari manusia. Tidak sepantasnya ibadah
kita sosialisasikan. Ibadah adalah hubungan deng Allah, yang seharusnya kita
privasikan. Kita lakukan semata-mata karena Allah SWT. Para ulama mengatakan
bahwa dua senjata iblis yang sangat ampuh untuk manusia yang rajin beribadah
yaitu: ujub dan riya’. Dan segala amal perbuatan itu sesuai dengan niat.
Berikut dalilnya: “Sesungguhnya amal-amal
perbuatan tergantung niatnya, dan bagi tiap orang apa yang diniatinya.
Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah
dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau
menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia hijrahi.” (H.R.
Bukhari).
Ø Ghibah dan
fitnah.
Sudah pasti komentar akan bermunculan
pada foto selfie kita. Ada yang komentar positif dan menyenangkan hati kita,
namun mungkin ada juga yang berkomentar hujatan, hinaan, celaan, bahkan
cemoohan. Hmmm, bukankah hanya membuat “makan hati” teman-teman? Jika
berlanjut, komentar itu akan menimbulkan ghibah atau fitnah. Ghibah adalah
menceritakan kekurangan atau cacat yang ada pada orang lain. Sedangkan fitnah
adalah menceritakan kebohongan atau hal yang tidak disukai orang lain.
Dua-duanya haram, dan berdosa jika dilakukan. Sebagaimana dalam Q.S Al Hujurat
ayat 12 telah diibaratkan seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati
(bangkai). Adalah hal yang menjijikkan, bukan? Teman-teman yang dicintai Allah,
betapa ruginya kita jika terkena dampak negatif foto selfie diatas. Semoga kita
terhindar dari sifat tersebut.
Sumber buku: https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/etika-muslim-siber.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar