Rahasia Mak
Oleh Mega Sari
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 1 dalam Event Cerpen Tema Kenangan dalam Buku Memori yang Tersimpan Rapi pada Februari 2023)
“M |
ak,
mengapa belum tidur?” suaraku terdengar lirih karena bersaing dengan bunyi
gemercik hujan yang mengguyur langit-langit gubuk kami malam ini. Ditambah dengan riuhnya solmisasi kawanan
katak yang sibuk berdendang seperti orkes melayu dangdut yang sering kudengar
di pasar. Hawa dingin menyelinap di sela-sela anyaman bambu yang mulai
merenggang hingga menyisakan celah-celah lubang yang membuat angin dengan
leluasa hilir mudik menggigilkan tubuhku yang kecil ini.
“Tidurlah, Bungsu! mak rampungkan
dulu membungkus opak, setelah itu mak susul kau.”
Tak dihiraukannya jarum jam yang
semakin meninggi. Aku paham betul mak melawan rasa kantuk dan lelah yang sudah
pasti menggelayuti tubuhnya yang mulai renta. Setiap hari mak bangun di Subuh buta
dan tidur di malam larut. Siangnya mak berkeliling menjajakan opak yang
dibuatnya hingga petang membayang hari. Begitu, dan begitu setiap harinya.
Bapak? Entahlah. Cerita mak, bapak
hanyut terbawa arus sungai ketika membawa sampan. Saat itu mak berkata aku
sedang dalam perut mak belum dilahirkan ke dunia. Jadi aku tak pernah bisa
membayangkan bagaimana wajahya, suaranya, dan kasih sayangnya. Garis tangan
Sang Pencipta menjadikanku sebagai yatim ketika masih dalam kandungan. Citraan
wajah bapak hanya dapat kuterka-terka lewat imajinasiku. Kutatap lekat-lekat
wajahku di cermin. Mataku sipit tak seperti mata Mak, mungkinkah mata ini
warisan Bapak? Alis tebal bertengger di atas kedua mataku juga tak mirip dengan
mak. Bibir mungil, dan hidung mancung semua tak mirip mak. Semakin tak kutemukan
citra wajah bapak saat aku bercermin. Mungkinkah aku mirip dengan bapak.
Semakin putus asa aku dibuatnya.
“Mak, takkah, Mak menyimpan foto
bapak?” KTP, atau ijazah SD bapak?” tanyaku seraya menolong mak memasukkan
opak-opak yang telah digorengnya ke dalam plastik.
“Hah, kenapa pula tiba-tiba kau
menanyakan foto bapakmu?” jawab Mak dengan dingin.
“Ayolah, Mak, aku ingin tahu wajah bapak.”
Pintaku sedikit merengek.
“Tak perlu kau tahu wajahnya, cukup
kau sebut namanya dalam doa, bukankah manusia mati meninggalkan nama bukan
wajah?” jawab Mak.
Aku terdiam, entahlah mengapa setiap aku menanyakan wajah bapak, mak tak pernah berselera menceritakannya. Seperti ada yang disimpannya, jauh, jauh sekali di palung hatinya tak bisa kulihat apalagi kuterka.
***
“Bangun Bungsu! ambillah wudu, dan cepatlah salat Subuh, sebentar lagi matahari meninggi.”
Aku terbangun, kucoba membuka mata
yang terasa berat ini, mencoba melihat wajah mak, wanita yang melahirkanku.
Cepat sekali mak menghilang, tak lagi kutemui dia di bilik kamar. Sayup
kudengar suara timba yang dikerek dari sumur di belakang rumah. Segera kutiup
lampu minyak di atas meja. Hari masih gelap, tapi aku berusaha menghemat minyak
di lampu agar cukup sampai akhir bulan ini. Lantunan azan di surau membuka tirai malam. Suara beduk
yang dipukul bertalu-talu pertanda waktu Subuh telah datang. Kokok ayam jago
pertegas bahwa waktu telah berganti pagi.
“Mak, biarlah aku yang menimba, mak
lekaslah mandi.” Baru saja tangan ini hendak meraih timba, tetapi mataku
dikejutkan oleh bak yang telah terisi penuh oleh air, ternyata mak telah
memenuhi bak mandi kami. Lagi-lagi aku kehilangan sosok wanita tua itu. Rupanya
ia sedang salat Subuh, nampak punggungnya yang ditutupi telekung putih yang
mulai usang sedang sujud mencium bumi menghamba pada Sang Pencipta.
Aku pun segera menyusulnya. Selesai
salat mak selalu mengaji, suara mak sangat indah, cerita mak dulu ia belajar mengaji dengan
kakek. Rotan menjadi benda yang selalu menemaninya saat mengaji, bila mak salah
melantunkan huruf-huruf hijaiyah itu, maka dipastikan tanda garis bekas rotan
akan menempel pada kulitnya. Namun, berkat kakek dan rotan itu, mak pandai
mengaji.
Bergidik aku mendengar cerita mak.
Beruntung ia tak mewarisi itu padaku. Mak sangat sabar mengajariku mengaji.
Ditemani temaram lampu minyak, mak membimbingku mengaji. Bila aku salah mak
hanya menunjuk lidi di huruf hijaiyah yang kubaca seraya melihat wajahku.
Walaupun tak seindah suara mak, tapi setidaknya aku tidak buta hijaiyah.
Mak juga mengajariku bersalawat memuji Nabi Muhammad sang penerang umat. Mak selalu berpesan tak mengapa miskin harta hanya jangan sampai kita miskin iman. Walaupun jujur aku merasa sengsara tak memiliki harta. Hah, mengapa makku begitu legawa menerima nasib dirinya yang seorang janda miskin harta.
***
“Mak, Mak,” aku mencari mak ke bilik kamarnya tak jua kutemui. Kulangkahkan kaki ke dapur, tak juga kutemukan mak. Mataku terus bergrilya menelusuri setiap bagian sudut gubuk rumah kami. Akan tetapi, tak jua kutemukan sosok mak. Kubuka lemari kayu usang yang sebagian lapuk dimakan rayap, kacanya pun tak lagi jelas memantulkan gambar.
“Krekk” lemari terbuka, tanganku
mencoba mencari di mana mak menyimpan KTP-nya. Tadi sepulang sekolah Pak RT
memanggilku dan meminta fotokopi KTP mak sebagai syarat agar kami dapat menerima Bantuan Langsung Tunai
(BLT) dari pemerintah. Belum lagi ketemukan KTP mak, tiba-tiba pandanganku terpaku
pada selembar amplop cokelat yang ada di bawah lipatan baju mak. Dengan
hati-hati, kutarik amplop cokelat itu dan perlahan kubuka. Betapa terkejutnya
aku, kutemukan foto seorang lelaki.
Ratusan tanya bergejolak di
pikiranku. Siapakah dia? Mungkinkah dia Bapak? Aku pun memeriksa kembali amplop
cokelat itu, siapa tahu aku menemukan petunjuk lain di dalamnya. Benar saja,
aku menemukan sepucuk surat. Segera kubaca surat di tanganku itu.
Malaysia, 25 Mei 1987 Untuk : Aminah Assalamualaikum Wr.Wb. Bagaimana kabarmu, Minah? Istriku? Abang sangat rindu padamu?
Maafkan Abang, Minah, Abang belum bisa pulang menjengukmu. Bukan mudah
bekerja di negeri orang, Minah. Waktu Abang tak banyak bahkan untuk sekadar
menulis surat. Abang harap kau memakluminya. Abang berjanji kelak abang
akan pulang. Jagalah selalu kesetianmu padaku Minah, seperti Abang di sini.
Bagaimana Bungsu? Pasti berat hari-harimu istriku. Akan tetapi, aku yakin
kau kuat. Bila kelak Bungsu dewasa. Tolong rawat baik-baik ia, anggaplah ia
seperti anak kandung kita. Jangan pernah kau ceritakan asal-usulnya.
Ajarkan saja ia untuk selalu
mendoakan kau dan aku. Bekali dia dengan ilmu agama, agar kelak ia menjadi
anak salihah kebanggan kita. Demikian suratku Minah. Salam rinduku dari sini. Wasallamualaikum Wr. Wb. |
Air mataku mengalir deras membasahi
pipiku usai membaca surat bapak. Begitu rapatnya mak menyimpan rahasia besar
tentang asal-usulku. Tanpa kusadari, ternyata mak sudah berada di ambang pintu
kamar.
“Kenapa kau, Bungsu? mak mengetuk
pintu dan ucapkan salam tidak kau balas, rupanya di sini, kau.”
“Mak…..” kupeluk tubuh mak sore itu
dan menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Mak hanya terdiam mematung, tak
sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang terdengar hanya bunyi napasnya yang
naik turun seperti menahan tangis.
***
Usai salat Magrib ditemani temaram
cahaya dari lampu minyak, kucium punggung tangan mak. “Kau sudah tahu rupanya,
Nak.” suara mak membuka keheningan malam itu.
Bersambung. []
kumpulan kisah lengkap dalam buku Memori yang Tersimpan Rapi https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/memori-yang-tersimpan-rapi.html
PROFIL PENULIS
Mega Sari, lahir 19 Juli 1987 di Lampung. Menulis menjadi salah satu hobinya, sekaligus tantangan yang harus selalu diasahnya sebagai guru Bahasa Indonesia. Penulis berharap semoga karya kecilnya ini bisa diterima oleh semua pembaca. Salam literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar