Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Puasa dan Cinta



Puasa dan Cinta

Oleh: Afahza

 

Suryo berjalan memasuki sebuah warung dengan menenteng tas berisi segepok lembar kertas skripsi. Terik matahari begitu panas, sedari tadi keringat mengucur dari keningnya tak henti-henti. Juga, bimbingan skripsi membuat sepertiga tenaganya terkuras, dia harus mengisinya kembali dengan beberapa suap makanan.

Mbok pemilik warung menghampirinya dengan pandangan seakan bertanya, kenapa kemari? Tetapi urung diucapkannya.Setelah mendengar pesanan Suryo, dia lekas kembali ke etalase makanan yang tidak begitu banyak lauk-pauk seperti hari biasanya. Setiap menaruh lauk ke piring, dari ujung matanya mencuri pandang ke Suryo, masih dengan pertanyaan tadi. Ada keraguan untuk benar-benar menghidangkan makanan kepadanya. Tetapi, tetap itu tidak sopan.

“Makasih Mbok,” ucap Suryo.

“Anu nak, sampeyan muslim?” dengan bibir gemetar pertanyaan itu terlontar.

“Iya, tentu saja,” Suryo menjawab dengan mantap tanpa balik bertanyakenapa Mbok bertanya begitu. Kesigapannya untuk menyantap sepiring nasi rames danmeneguk segelas es teh manis tidak dapat dibendung. Saat perut keroncongan makanan sederhana bisa menjelma bak hidangan surga, nikmat luar biasa.

Semua habis, tanpa sebutir gula di gelas, tanpa sebutir nasi di piring. Energi yang sudah kembali penuh meningkatkan kinerja semua indera. Matanya awas menangkap segerombolan anak yang tengah kelaparan di teras pertokoan seberang jalan. Selepas membayar pesanannya, langkahnya menghampiri mereka.

“Kok pada lesu? Mau kakak traktir makanan di sana?” Suryo menawarkan kebaikan sambil menunjuk warung Mbok.

Anak-anak itu menggeleng. Salah satunya berkata, “Kami tadi habis lari-larian, jadi kami capek, lapar dan haus, tapi kami harus menahannya.”

“Eh kenapa begitu?” Suryo bertanya keheranan.

“Ini kan bulan puasa, jadi ya kami harus puasa. Yaudah kak kami pulang dulu mau istirahat.” Jawaban yang menampar Suryo. “Ohya kak, kalau mau berbagi, bisa ngasih takjil ke jamaah masjid nanti sore”.

Energi yang tadi menyentuh titik puncak, tiba-tiba merosothampir ke titik dasar. Seluruh badannya melemas dan mati rasa. Dia menyadarialasan dari pertanyaan Mbok pemilik warung. Warung masih buka meski di bulan puasa karena di sana memang kawasan penduduk yang beragam keyakinan.Hari ini sudah hari keberapa?, pun dia tidak tahu.

***

Sinar senja jingga tumpah  mengenai kubah dan serambi masjid. Suryo duduk bersila dan menundukkan kepala di barisan paling belakang dari jamaah yang sedang menyimak tausiyah dari Pak Kiai. Dengan terbata kata demi kata yang dikatakan oleh beliau masuk ke dalam lubuk hatinya.

“Puasa itu berbanding lurus dengan anjuran Nabi untuk makan hanya ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.Bahkan jika kita memiliki gaya hidup yang seperti itu, lebih banyak manfaat kesehatan yang kita dapat. Tetapi ingat, puasa bukan hanya tentang menahan makan dan minum. Kalaupun hanya itu, toh anak-anak usia 7-8 tahun sanggup melaksanakannya. Hahahaha, bukan begitu?” tutur beliau yang santun dengan candaan-candaan, menombak tepat di ulu hati Suryo. Usianya tentu sudah lewat jauh dari 7-8 tahun sekarang, tapi dia alpa akan berpuasa, bahkan dalam tataran menahan makan dan minum. Wajah yang belepotan rasa malu semakin menunduk dalam.

“Puasa itu ya menahan nafsu makan. Nafsu makan makanan, makan harta, makan kekuasaan, dan makan-makan seterusnya yang justru semakin menjauhkan diri dari hakikat pensucian. Puasa itu cara bersuci jiwa kita biar bersih dari kotoran jiwa, misal nafsu jelek tadi,” lanjut ceramah beliau.

Semakin panjang materi yang disiramkan ke dalam wadah hatinya semakin banyak yang meluber tidak mampu ditampung. Poin pembukaan saja dia sudah kelabakan tidak tangung-tanggung. Merasa sudah dibanting dan dikalahkan dengan kenyataan akan dirinya. Dari sekian lama waktu dia baru menyadari jika dia ternyata sudah berada di dasar jurang yang begitu gelap. Dan saat setitik cahaya pengetahuan menelusup ke dalam kornea mata hati,cahaya itu begitu menyilaukan bagi mata yang terlanjur diliputi kegelapan.

Di tengah usaha pikiran menyingkap satir-satir kebodohan, sirine meraung-raung dari speaker masjid, disusul dengan suara bedug yang dipukul dan kumandang adzan yang merdu. Dalam beberapa detik, Suryo merasa ada suatu hal magis yang diramu dengan formula entah apa yang begitu saja menyihir kesadaran dan logikanya. Sejuk dan tenteram.Kemudian, formasibarisan jamaah berubah menjadi kelompok-kelompok yang mengelilingi hidangan takjil yang dihidangkan.

“Silahkan nak diminum! Soalnya Shalat Maghrib akan dimulai, setelah itu baru nanti dilanjut berbuka puasa.” Salah satu jamaah menjelaskan setelah mengamati Suryo yang nampak seperti jamaah baru baginya.

Suryo mengangguk kaku, lalu mengambil segelas es buah di depannya.Pandangannya menyapu seluruh sudut masjid yang penuh kehangatan antara satu sama lain. Ketakjuban yang menggugah batin untuk bersuara, “Ternyata Bulan Puasa bisa memadatkan persaudaraan dan kebersamaan.”

***

Seusai Shalat Maghrib Suryo enggan untuk bergabung berbuka. Merasa tidak pantas. Dia menepi di dekat dinding tanpa peduli keramaian di sekitarnya dan bungkam, tetapi di dalam batinnya dia justru begitu cerewet dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan.Hingga ada tangan yang menepuk pundak kirinya, dia baru sadar jika masjid sudah agak lengang.

“Maaf, sudah berbuka?” orang itu ternyata adalah Pak Kiai.

Suryo mengangguk ragu, “Emm, maaf Pak Kiai, bolehkah saya bertanya suatu hal pada Pak Kiai?”

Senyum tersimpul di wajah beliau, “Saya tidak janji bisa menjawabnya, tetapi silahkan barangkali saya bisa memberikan respon yang berkenan.”

“Puasa yang menahan nafsu itu gimana ya? Ada penjelasan konkret?” tanya Suryo.

Pak Kiai mengusap keningnya yang menyemburatkan pantulan cahaya, “Menahan diri biar tidak bernafsu. Misal biasanya kalau tengah hari pas puasa lihat es buah pengen, es tebu pengen, es krim pengen, dan es-es lainnya. Belum lagi makanan ini-itu pengen semua. Lantas dibeli semua, tapi tetap menahan untuk tidak makan-minum.Hingga waktu buka tiba, barulah sadar bahwa yang di depannya itu semua adalah kehendak nafsu yang dia tidak menahannya. Perut tidak dikapasitaskan untuk itu semua, akhirnya mubadzir. Sama halnya dengan harta, pengen beli baju yang model begini-begitu. Kekuasaan, pengen jadi yang lebih tinggi yang menguntungkan dirian, dan seterusnya. Itu pemahaman saya nak, mungkin kamu punya perpekstif yang berbeda menurut pengetahuan perkuliahan? Eh, saya yakin dari penampilanmu sepertinya mahasiswa kampus sana kan?”

“Iya. Tapi di bangku kuliah saya tidak pernah menjilat persoalan tentang ini, jadi saya benar-benar semacam bejana kosong. Itu Pak Kiai, kalau seorang muslim yang meninggalkan puasa tanpa halangan itu gimana?”, satu persatu pertanyaan yang berdesakan di kepala Suryo mulai dikeluarkan.

“Berarti dia berhutang puasa dan harus dilunasi.”

“Meski selama beberapa tahun? Tidak ada jalan lain?” Suryo seperti tidak puas dengan jawaban beliau, malah semakin was-was. “Tentu saja begitu, kan itu kewajiban, yang kalau ditinggalkan mendapat siksa dan jika dikerjakan diganjar pahala.”

“Menurutmu begitu? Sebatas itu? Nak, apakah kau berpuasa karena siksa dan pahala?” giliran beliau bertanya dan dijawab langsung dengan anggukan mantap Suryo.

“Sesungguhnya pahala bukan tujuan kita puasa. Allah bukan pelanggan jasa, kita puasa lantas menagih pahala. Dia tidak butuh puasa kita, dan sama sekali apapun dari kita. Yang harus kita kejar dalam berpuasa dan beribadah yaitu cinta-Nya. Pahala juga penting, tapi itu hanya jalan atau jembatan untuk meraih cinta-Nya itu.”, penjelasan ini menutup perbincangan malam itu karena adzan Isya' berkumandang.

***

Malam itu Suryo enggan untuk kembali ke kontrakan. Dalam kesunyian tengah malam, dengan kepala yang dibenamkan ke kedua kakinya, dia tersedu-sedu menumpahkan semua beban penyesalan yang sangat berat dari relung hatinya. Kegelapan yang meliputi hati lebih pekat  daripada yang meliputi tubuhnya. Tangannya meremas-remas karpet seakan-akan ingin mengais sesuatu yang berceceran di garis waktu yang berlalu. Matanya dipejamkan dengan harapan agar dia bisa lebih dalam melihat kemalangan hati. Semakin dalam, semakin tangisnya tidak tertepis. Suara teriakan kesakitan menggema hingga langit-langit. Samurai dosa menebas-nebas jiwanya.

Karena tidak tahan dengan penderitaan yang perih, dia keluar dan berlari tanpa alas kaki menuju kediaman Pak Kiai. Dia merasa terburu, dan tidak banyak lagi waktu. Harus secepatnya. Harus sekarang. Tidak ada peduli kecuali pada perih di ulu hati.

Dok, dok dok dok!!! Gedoran pintu yang keras menghantam pintu kediaman Pak Kiai. Campuran tangisan dan teriakan mengundang kengerian siapapun yang mendengarnya. Beberapa warga terbangun menyaksikan kegilaan Suryo.

“Saya mau taubat Pak. Saya sudah tidak tahan.”  dia masih terisak ketika Pak Kiai sudah membuka pintu.

Agar tidak mengganggu dan menjadi pergunjingan warga, Pak Kiai mengajaknya ke dalam rumah. Dan dia tidak berhenti meracau,  “Saya bahkan kalah dengan anak-anak itu. Saya begitu jauh dari cinta-Nya. Tidak ada cahaya bagi saya. Buta dan tersesat dalam jurang belantara yang gelap, saya harus bagaimana?”

“Apa yang kamu maksud nak? Meski tertatih jika kamu perlahan mendekat, Dia juga perlahan akan mendekat pula.”

“Dulu saya berpuasa karena masih bersama orang tua. Tapi sejak jauh dari mereka, sejak kuliah saya tidak pernah berpuasa dan melaksanakan kewajiban lainnya. Banyak dosa yang menancap di diri saya, dan saya tidak tahan. Saya mau taubat.”, dia mulai kehabisan suara yang menjadi serak, dan perlahan tangisnya menjadi pelan. Setelah itu juga Pak Kiai membimbingnya untuk bertaubat nasuha. Kala seorang hamba mendekat, Dia tidak akan mungkin membentangkan sekat.

***

Hari ke-27 Puasa Ramadhan, Suryo berjalan melewati warung Si Mbok dengan wajah penuh kebahagiaan. Bulan ini banyak berkah yang dilimpahkan kepadanya. Dia baru saja berhasil lulus sidang skripsi dengan lancar.

“Hai, habis lari-larian lagi?” dia menghampiri anak-anak yang beristirahat di depan pertokoan.

“Kami habis bantu bersih-bersih masjid kak. Jangan tawari kami makan atau minum, kami yakin masih kuat sampai maghrib!”

Antara manis dan getir bercampur dalam senyuman Suryo, “Kakak belikan peci baru mau?”. Tawaran kali ini disambut meriah oleh mereka, sang malaikat kecil yang mengantarnya menemukan cahaya cinta-Nya.

Puasa Ramadhan tahun ini memberikan hadiah indah bagi Suryo, pemuda yang kehilangan banyak kesempatan untuk mendulang cahaya cinta. Dan di bulan penuh berkah inilah dia disirami berkas-berkas cahaya yang amat banyak, sehingga kegelapan yang pekat mampu dilumat. Dia telah menemukan keindahan keteguhan iman, keindahan kebersamaan, keindahan pengetahuan, keindahan kesunyian, yang menuntunnya menjemput cahaya menuju sebuah cinta yang hakiki dan inti dari segala pencarian. Kemolekan Ramadhan terurai dalam kanvas perjalanan hati Suryo menuju cinta. Begitu indah!

Kudus, 25 Mei 2018

---TAMAT---

 

Profil Penulis

Afahza adalah penulis kelahiran Kudus Jawa Tengah pada tanggal 31 Mei 1996. Mempunyai hobi membaca cerpen dan novel sambil mendengar musik. Menulis merupakan passion hidupnya. 


Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640