Puasa dan
Cinta
Oleh:
Afahza
|
Suryo berjalan memasuki sebuah
warung dengan menenteng tas berisi segepok lembar kertas skripsi. Terik
matahari begitu panas, sedari tadi keringat mengucur dari keningnya tak
henti-henti. Juga, bimbingan skripsi membuat sepertiga tenaganya terkuras, dia
harus mengisinya kembali dengan beberapa suap makanan.
Mbok pemilik warung menghampirinya
dengan pandangan seakan bertanya, kenapa
kemari? Tetapi urung diucapkannya.Setelah mendengar pesanan Suryo, dia
lekas kembali ke etalase makanan yang tidak begitu banyak lauk-pauk seperti
hari biasanya. Setiap menaruh lauk ke piring, dari ujung matanya mencuri
pandang ke Suryo, masih dengan pertanyaan tadi. Ada keraguan untuk benar-benar
menghidangkan makanan kepadanya. Tetapi, tetap itu tidak sopan.
“Makasih Mbok,” ucap Suryo.
“Anu nak, sampeyan muslim?” dengan bibir gemetar pertanyaan itu terlontar.
“Iya, tentu saja,” Suryo menjawab
dengan mantap tanpa balik bertanyakenapa Mbok bertanya begitu. Kesigapannya
untuk menyantap sepiring nasi rames danmeneguk segelas es teh manis tidak dapat
dibendung. Saat perut keroncongan makanan sederhana bisa menjelma bak hidangan
surga, nikmat luar biasa.
Semua habis, tanpa sebutir gula di
gelas, tanpa sebutir nasi di piring. Energi yang sudah kembali penuh
meningkatkan kinerja semua indera. Matanya awas menangkap segerombolan anak
yang tengah kelaparan di teras pertokoan seberang jalan. Selepas membayar
pesanannya, langkahnya menghampiri mereka.
“Kok pada lesu? Mau kakak traktir
makanan di sana?” Suryo menawarkan kebaikan sambil menunjuk warung Mbok.
Anak-anak itu menggeleng.
Salah satunya berkata, “Kami tadi habis lari-larian, jadi kami capek, lapar dan
haus, tapi kami harus menahannya.”
“Eh kenapa begitu?” Suryo bertanya
keheranan.
“Ini kan bulan puasa, jadi ya kami
harus puasa. Yaudah kak kami pulang dulu mau istirahat.” Jawaban yang menampar
Suryo. “Ohya kak, kalau mau berbagi, bisa ngasih takjil ke jamaah masjid nanti
sore”.
Energi yang tadi menyentuh titik
puncak, tiba-tiba merosothampir ke titik dasar. Seluruh badannya melemas dan
mati rasa. Dia menyadarialasan dari pertanyaan Mbok pemilik warung. Warung
masih buka meski di bulan puasa karena di sana memang kawasan penduduk yang
beragam keyakinan.Hari ini sudah hari
keberapa?, pun dia tidak tahu.
***
Sinar senja jingga
tumpah mengenai kubah dan serambi
masjid. Suryo duduk bersila dan menundukkan kepala di barisan paling belakang
dari jamaah yang sedang menyimak tausiyah dari Pak Kiai. Dengan terbata kata
demi kata yang dikatakan oleh beliau masuk ke dalam lubuk hatinya.
“Puasa itu berbanding lurus dengan
anjuran Nabi untuk makan hanya ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.Bahkan
jika kita memiliki gaya hidup yang seperti itu, lebih banyak manfaat kesehatan
yang kita dapat. Tetapi ingat, puasa bukan hanya tentang menahan makan dan
minum. Kalaupun hanya itu, toh anak-anak usia 7-8 tahun sanggup
melaksanakannya. Hahahaha, bukan begitu?” tutur beliau yang santun dengan
candaan-candaan, menombak tepat di ulu hati Suryo. Usianya tentu sudah lewat
jauh dari 7-8 tahun sekarang, tapi dia alpa akan berpuasa, bahkan dalam tataran
menahan makan dan minum. Wajah yang belepotan rasa malu semakin menunduk dalam.
“Puasa itu ya menahan nafsu makan.
Nafsu makan makanan, makan harta, makan kekuasaan, dan makan-makan seterusnya
yang justru semakin menjauhkan diri dari hakikat pensucian. Puasa itu cara
bersuci jiwa kita biar bersih dari kotoran jiwa, misal nafsu jelek tadi,”
lanjut ceramah beliau.
Semakin panjang materi yang
disiramkan ke dalam wadah hatinya semakin banyak yang meluber tidak mampu
ditampung. Poin pembukaan saja dia sudah kelabakan tidak tangung-tanggung.
Merasa sudah dibanting dan dikalahkan dengan kenyataan akan dirinya. Dari
sekian lama waktu dia baru menyadari jika dia ternyata sudah berada di dasar
jurang yang begitu gelap. Dan saat setitik cahaya pengetahuan menelusup ke
dalam kornea mata hati,cahaya itu begitu menyilaukan bagi mata yang terlanjur
diliputi kegelapan.
Di tengah usaha pikiran menyingkap
satir-satir kebodohan, sirine meraung-raung dari speaker masjid, disusul dengan suara bedug yang dipukul dan
kumandang adzan yang merdu. Dalam beberapa detik, Suryo merasa ada suatu hal
magis yang diramu dengan formula entah apa yang begitu saja menyihir kesadaran
dan logikanya. Sejuk dan tenteram.Kemudian, formasibarisan jamaah berubah
menjadi kelompok-kelompok yang mengelilingi hidangan takjil yang dihidangkan.
“Silahkan nak diminum! Soalnya
Shalat Maghrib akan dimulai, setelah itu baru nanti dilanjut berbuka puasa.”
Salah satu jamaah menjelaskan setelah mengamati Suryo yang nampak seperti
jamaah baru baginya.
Suryo mengangguk kaku, lalu
mengambil segelas es buah di depannya.Pandangannya menyapu seluruh sudut masjid
yang penuh kehangatan antara satu sama lain. Ketakjuban yang menggugah batin
untuk bersuara, “Ternyata Bulan Puasa
bisa memadatkan persaudaraan dan kebersamaan.”
***
Seusai Shalat Maghrib Suryo enggan
untuk bergabung berbuka. Merasa tidak pantas. Dia menepi di dekat dinding tanpa
peduli keramaian di sekitarnya dan bungkam, tetapi di dalam batinnya dia justru
begitu cerewet dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan.Hingga ada tangan yang
menepuk pundak kirinya, dia baru sadar jika masjid sudah agak lengang.
“Maaf, sudah berbuka?” orang itu
ternyata adalah Pak Kiai.
Suryo mengangguk ragu, “Emm, maaf
Pak Kiai, bolehkah saya bertanya suatu hal pada Pak Kiai?”
Senyum tersimpul di wajah beliau,
“Saya tidak janji bisa menjawabnya, tetapi silahkan barangkali saya bisa memberikan
respon yang berkenan.”
“Puasa yang menahan nafsu itu
gimana ya? Ada penjelasan konkret?” tanya Suryo.
Pak Kiai mengusap keningnya yang
menyemburatkan pantulan cahaya, “Menahan diri biar tidak bernafsu. Misal
biasanya kalau tengah hari pas puasa lihat es buah pengen, es tebu pengen, es
krim pengen, dan es-es lainnya. Belum lagi makanan ini-itu pengen semua. Lantas
dibeli semua, tapi tetap menahan untuk tidak makan-minum.Hingga waktu buka
tiba, barulah sadar bahwa yang di depannya itu semua adalah kehendak nafsu yang
dia tidak menahannya. Perut tidak dikapasitaskan untuk itu semua, akhirnya
mubadzir. Sama halnya dengan harta, pengen beli baju yang model begini-begitu.
Kekuasaan, pengen jadi yang lebih tinggi yang menguntungkan dirian, dan
seterusnya. Itu pemahaman saya nak, mungkin kamu punya perpekstif yang berbeda
menurut pengetahuan perkuliahan? Eh, saya yakin dari penampilanmu sepertinya
mahasiswa kampus sana kan?”
“Iya. Tapi di bangku kuliah saya
tidak pernah menjilat persoalan tentang ini, jadi saya benar-benar semacam
bejana kosong. Itu Pak Kiai, kalau seorang muslim yang meninggalkan puasa tanpa
halangan itu gimana?”, satu persatu pertanyaan yang berdesakan di kepala Suryo
mulai dikeluarkan.
“Berarti dia berhutang puasa dan
harus dilunasi.”
“Meski selama beberapa tahun? Tidak
ada jalan lain?” Suryo seperti tidak puas dengan jawaban beliau, malah semakin
was-was. “Tentu saja begitu, kan itu kewajiban, yang kalau ditinggalkan
mendapat siksa dan jika dikerjakan diganjar pahala.”
“Menurutmu begitu? Sebatas itu?
Nak, apakah kau berpuasa karena siksa dan pahala?” giliran beliau bertanya dan
dijawab langsung dengan anggukan mantap Suryo.
“Sesungguhnya pahala bukan tujuan
kita puasa. Allah bukan pelanggan jasa, kita puasa lantas menagih pahala. Dia
tidak butuh puasa kita, dan sama sekali apapun dari kita. Yang harus kita kejar
dalam berpuasa dan beribadah yaitu cinta-Nya. Pahala juga penting, tapi itu
hanya jalan atau jembatan untuk meraih cinta-Nya itu.”, penjelasan ini menutup
perbincangan malam itu karena adzan Isya' berkumandang.
***
Malam itu Suryo enggan untuk
kembali ke kontrakan. Dalam kesunyian tengah malam, dengan kepala yang
dibenamkan ke kedua kakinya, dia tersedu-sedu menumpahkan semua beban
penyesalan yang sangat berat dari relung hatinya. Kegelapan yang meliputi hati
lebih pekat daripada yang meliputi
tubuhnya. Tangannya meremas-remas karpet seakan-akan ingin mengais sesuatu yang
berceceran di garis waktu yang berlalu. Matanya dipejamkan dengan harapan agar
dia bisa lebih dalam melihat kemalangan hati. Semakin dalam, semakin tangisnya
tidak tertepis. Suara teriakan kesakitan menggema hingga langit-langit. Samurai
dosa menebas-nebas jiwanya.
Karena tidak tahan dengan
penderitaan yang perih, dia keluar dan berlari tanpa alas kaki menuju kediaman
Pak Kiai. Dia merasa terburu, dan tidak banyak lagi waktu. Harus secepatnya.
Harus sekarang. Tidak ada peduli kecuali pada perih di ulu hati.
Dok,
dok dok dok!!!
Gedoran pintu yang keras menghantam pintu kediaman Pak Kiai. Campuran tangisan
dan teriakan mengundang kengerian siapapun yang mendengarnya. Beberapa warga
terbangun menyaksikan kegilaan Suryo.
“Saya mau taubat Pak. Saya sudah
tidak tahan.” dia masih terisak ketika
Pak Kiai sudah membuka pintu.
Agar tidak mengganggu dan menjadi
pergunjingan warga, Pak Kiai mengajaknya ke dalam rumah. Dan dia tidak berhenti
meracau, “Saya bahkan kalah dengan
anak-anak itu. Saya begitu jauh dari cinta-Nya. Tidak ada cahaya bagi saya.
Buta dan tersesat dalam jurang belantara yang gelap, saya harus bagaimana?”
“Apa yang kamu maksud nak? Meski
tertatih jika kamu perlahan mendekat, Dia juga perlahan akan mendekat pula.”
“Dulu saya berpuasa karena masih
bersama orang tua. Tapi sejak jauh dari mereka, sejak kuliah saya tidak pernah
berpuasa dan melaksanakan kewajiban lainnya. Banyak dosa yang menancap di diri
saya, dan saya tidak tahan. Saya mau taubat.”, dia mulai kehabisan suara yang
menjadi serak, dan perlahan tangisnya menjadi pelan. Setelah itu juga Pak Kiai
membimbingnya untuk bertaubat nasuha.
Kala seorang hamba mendekat, Dia tidak akan mungkin membentangkan sekat.
***
Hari ke-27 Puasa Ramadhan, Suryo
berjalan melewati warung Si Mbok dengan wajah penuh kebahagiaan. Bulan ini
banyak berkah yang dilimpahkan kepadanya. Dia baru saja berhasil lulus sidang
skripsi dengan lancar.
“Hai, habis lari-larian lagi?” dia
menghampiri anak-anak yang beristirahat di depan pertokoan.
“Kami habis bantu bersih-bersih
masjid kak. Jangan tawari kami makan atau minum, kami yakin masih kuat sampai
maghrib!”
Antara manis dan getir bercampur dalam
senyuman Suryo, “Kakak belikan peci baru mau?”. Tawaran kali ini disambut
meriah oleh mereka, sang malaikat kecil yang mengantarnya menemukan cahaya
cinta-Nya.
Puasa Ramadhan tahun ini memberikan
hadiah indah bagi Suryo, pemuda yang kehilangan banyak kesempatan untuk
mendulang cahaya cinta. Dan di bulan penuh berkah inilah dia disirami
berkas-berkas cahaya yang amat banyak, sehingga kegelapan yang pekat mampu
dilumat. Dia telah menemukan keindahan keteguhan iman, keindahan kebersamaan,
keindahan pengetahuan, keindahan kesunyian, yang menuntunnya menjemput cahaya
menuju sebuah cinta yang hakiki dan inti dari segala pencarian. Kemolekan
Ramadhan terurai dalam kanvas perjalanan hati Suryo menuju cinta. Begitu indah!
Kudus, 25 Mei
2018
---TAMAT---
|
Profil Penulis
Afahza adalah penulis kelahiran Kudus Jawa Tengah pada tanggal 31 Mei 1996. Mempunyai hobi membaca cerpen dan novel sambil mendengar musik. Menulis merupakan passion hidupnya.
Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar