Pelangi Ramadhan
Karya: Kholifatun Nisyah
|
Namaku Febrianisa
Ariyanti, siswi di salah satu SMAN di Semarang kelas XI jurusan IPA. Aku adalah
anak pertama dari dua bersaudara. Adik laku-lakiku bernama Fahri, dia baru
kelas 2 SD, ibuku bernama Siti Fatimah seorang Guru SMP, ayahku bernama Ahmad
Santoso seorang pegawai di salah satu perusahaan di sini. Setiap hari
kegiatanku hanya sekolah, lalu pulang dan berdiam diri dirumah, aku terlalu
malas untuk keluar dengan teman-temanku jika tidak ada kepentingan yang
berhubungan dengan sekolah atau kepentingan yang mendesak, walaupun
teman-temanku sering mengajaku keluar aku lebih sering menolak. Aku hanya
keluar sesekali dengan teman-temanku karena disini cuacanya begitu panas, aku
lebih memilih di rumah dan menghabiskan waktu di kamar. Aku hanyalah seorang
remaja rumahan.
Sebentar lagi sudah
memasuki bulan Ramadhan, ini juga sudah mendekati waktu Ujian Akhir Semester,
aku memang terbiasa belajar jauh-jauh hari dari jadwal ujian, karena aku tidak
bisa belajar hanya dalam semalam. Ujian Akhir Semester di jadwalkan senin ini,
aku masih punya waktu empat hari untuk mempersiapkan semuanya, kedua orang
tuaku memang tidak pernah menuntutku untuk mendapat nilai yang bagus tapi itu
semua mutlak dari keinginanku sendiri, aku tidak ingin membuat orang tuaku
kecewa, karena cita-citaku adalah membahagiakan mereka dengan cara apapun.
Empat hari ini aku sibuk belajar di kamar, aku bahkan jarang keluar dari kamar.
Ini adalah kisahku menemukan warna-warna baru di bulan ramadhan tahun ini yang
belum pernah kutemukan sebelumnya.
Waktu terus berjalan
dari ujian pertama hingga sekarang, sampai pada hari sabtu, ujian selesai, kita
tinggal menunggu hasilnya, sistem di sekolah kami memang tidak ada perbaikan
nilai, jika ada nilai yang kurang maka diambilkan dari nilain tugas, jadi
setelah ujian akhir selesai kita sudah libur dan tinggal menunggu hasil rapor
yang akan diberikan dua minggu lagi.
Ketika waktu
makan siang bersama dirumah, tiba-tiba ayahku berkata,
“alangkah
lebih baiknya jika kita mengunjungi mbah uti dan mbah kakung di kampung,
terutama kamu Feb”
“iya yah,
nanti Febri fikirin dulu”
“cobalah ke
rumah mbah, disana itu menyenangkan. Ayah yakin kamu pasti betah disana”
“di rumah
mbah berapa hari yah?” tanyaku.
“mungkin
seminggu atau lebih” jawab ayahku.
“iya yah
Febri ikut, ini kan Febri juga sudah liburan.”
Aku sebenarnya
kurang antusias jika di ajak ke kampungnya mbah, menurutku disana lebih
membosankan daripada disini. Tapi karena ayah sendiri yang menyuruhku, aku
tidak bisa menolaknya, ibuku juga menyarankan hal yang sama.
“sesekali
kamu harus mengunjungu mereka Feb, barangkali kamu selama liburan ini kamu bisa
tinggal disana, kan kamu jarang berkunjung di kampung halaman ayahmu sendiri”
tegas ibuku lagi.
“iya buk,
Febri ikut kesana awal ramadhan nanti, tapi cuma seminggu ya?”
“iya, kalau
kamu mau lebih juga malah bagus kok”
“seminggu
saja sudah lebih dari cukup kok buk,” jawabku dengan nyengir.
“yeeee kita
jalan-jalan” sahut Fahri adiku yang sangat usil, dan aku mencubit pipi fahri
yang menggemaskan.
Ayahku, ibuku dan adiku memang sering
mengunjungi mereka jika tidak ada kesibukan, tapi aku tidak pernah ikut, karena
aku sibuk dengan sekolah. Benar, sudah sekitar satu tahun aku terakhir melihat
mereka maka aku mengiyakan perkataan ayahku dan kita berangkat hari kamis
minggu depan, hari pertama puasa.
Hari ini tepat saat hari pertama puasa,
“Febri
bangun, ayo bangun sahur lalu siap-siap.”
Terdengar suara ibuku yang membangunkanku
untuk sahur, kemudian kita sahur bersama, adiku Fahri juga ikut berpuasa, tapi
cuma setengah hari maklum dia masih kecil, dulu seumuran dia aku malah belum
kuat berpuasa walaupun setengah hari. Setelah selesai sahur kemudian kami
menunggu subuh dengan menonton acara sahur di televisi lalu sholat subuh
berjamaah di rumah dengan di imami ayahku setelah itu kemudian bersiap untuk
pergi kerumah mbah di kampung.
Pagi-pagi sekali kita semua sudah siap
termasuk adiku Fahri yang sudah bersemangat sekali untuk pergi ke rumah mbah
uti dan mbah kakung, kita pergi pagi-pagi sekali, tujuannya supaya sampai
disana tidak terlalu kesiangan karena letaknya cukup jauh dari pusat kota
tepatnya di desa Sirahan kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati, Desa di perbatasan
kota Pati dan Jepara, sekirat 3,5 jam perjalanan itupun jika tidak terjebak
macet. Selama perjalanan aku dan fahri tidur dengan pulas, sampai tidak tersa
jika kami sudah sampai di kampung mbah,
“Feb bangun,
Fahri juga yuk bangun kita sudah sampai.” suara ibu membangunkan aku dan Fahri
yang masih mengantuk.
“ayo turun,
sekalian bantuin bawa barang-barang di bagasi ya Feb.” kata ayahku menyuruhku.
Aku turun dari mobil dengan keadaan yang
lesu, fahri turun dari mobil dan di gendong ayah. Aku dan ibuku membawa
oleh-oleh dari Semarang, ada bahan-bahan makanan, kue-kue buatan ibuku sendiri,
dan masih banyak lagi barang yang dibawa, aku dan ibuku hampir kewalahan
membawanya sampai ke dalam rumah. Mbah uti dan mbah kakung menyambut kedatangan
kita dengan hangat,
“cucuku
Febri, Fahri.” ucap mbah uti sembari menciumku dan fahri secara bergantian.
Aku hanya nyengir saja, dan Fahri hanya
pasrah waktu di cium mbah uti, sebenarnya Fahri sangat tidak suka jika dicium
ketika aku mencium pipinya saja aku langsung dipukul, dia memang nakal.
“ndok Febri,
kok tumben ikut? biasanya emoh” tanya mbah kakung.
“hehe nggeh mbah, kulo kangen mbah uti
kaliyan mbah kakung.” jawabku dengan nyengir.
Setelah itu mbah uti
menyuruh kami beristirahat di kamar,
“Feb kamu nanti
tidur di kamarnya bibi Heti ya”
“iya mbah”.
Aku diberi kamar
yang berbeda, katanya ini kamar saudari ayahku dulu, bibi heti namanya, aku
mengangguk saja mengiyakan mbah uti. Aku langsung terlelap di kasur melanjutkan
tidurku di perjalanan tadi sebelum itu aku sudah sholat dzuhur terlebih dahulu.
Aku bangun sekitar pukul 15:30 WIB, karena ibu membangunkanku untuk membantu
memasak di dapur.
Aku dan ibu akan memasak tumis kangkung
kesukaan ayahku, bakwan jagung, sambal terong, rica-rica, dan ikan asin yang
dibalut dengan sambal, ini adalah menu masakan rumahan, ibuku biasanya hanya
memasak telur dadar dan nugget atau sosis yang dibeli dari supermarket karena
ibu jarang punya waktu memasak. Aku antusias sekali dalam memasak walaupun aku
tidak bisa memasak menu masakan ini, aku hanya membantu ibu menggoreng, dan
memotong sayur, jarang sekali aku melihat ibu memasak beberapa menu masakan
dalam sekali memasak, ini momen langka bagiku.
Mbah uti menyerahkan
urusan dapurnya kepada kami berdua, kami berdua larut dalam acara masak memasak
sore ini, hingga tak terasa sudah mau memasuki waktu berbuka puasa, makananpun
satu persatu tersaji di meja makan, fahri yang tidak sabar menunggu adzan sudah
dari tadi antusias menunggu di meja makan.
“kak Febri, cepet
masaknya sudah mau adzan,” ucap Fahri.
Mbah uti dan mbah kakung
tertawa, begitu juga dengan ayah, ibu, dan aku yang melihat tingkah Fahri yang
tidak sabar menunggu adzan magrib. Semua makanan sudah siap, adzan di mushola
dekat rumah eyangku juga sudah menggema, memberi isyarat bahwa sudah waktunya
berbuka puasa, buka puasa hari ini dibuka dengan segelas es buah buatanku
sendiri, mereka semua menyukainya begitu pula Fahri yang sangat lahap
menyeruput es buah.
“enak sekali tumis ini,” ucap ayahku memuji
masakan ibu dan akau.
“iya dong yah, siapa
dulu yang masak, Febrii.” dengan bergaya aku menjawab perkataan ayahku.
Kita semua
berbincang-bincang sambil berbuka puasa, tertawa membahas hal-hal lucu yang
dulu ayah lakukan saat masih kecil yang mirip dengan kelakuan fahri saat ini.
Setelah itu kita sholat berjamaah di rumah mbah dengan di imami oleh mbah
kakung.
Suara adzan
terdengar, mbah menyuruh kita untuk bersiap pergi ke mushola dekat rumah untuk
shalat tarawih. Setelah tiba di mushola, aku menggelar sajadah, disampingku ada
gadis yang kemungkinan seusiaku, tersenyum menyambut kedatanganku aku membalas
senyumannya dengan ramah. Shalat tarawih telah selesai, ini saatnya tadarus,
gadis disampingku tadi menghampiriku dan duduk disampingku lagi,
“Febri ya?” tanya dia.
“iya” jawabku dengan sedikit bingung.
Dia tersenyum, “kamu lupa Feb?” tanya dia
yang semakin membuatku bingung.
“aku Anita, teman kecilmu waktu disini
dulu, kita bahkan pernah satu SD dan satu bangku dulu”
“Anita, anaknya pak RT itu?, Ya Allah
Anita, kok selama ini gak ada kabar?”
“kamu aja yang gak pernah kesini, waktu ibu
sama bapak kamu kesini kamu gak pernah ikut”
“pernah kok, tahun kemarin”
“yah, itu udah lama banget kali Feb”
“hehe, iya si. Yaudah aku bakal
sering-sering kesini mulai sekarang.” jawabku meyakinkan.
Setelah bertemu
Anita, hari-hariku disini semakin berwarna bahkan aku malas untuk pulang, tidak
terasa sudah satu minggu aku disini. Ayah ibuku, dan Fahri balik ke Semarang
akhir minggu ini karena ayah ada urusan pekerjaan dan juga untuk mengambil
raporku, sedangkan ibu harus mengurus rapor di tempat ia mengajar, entah kenapa
aku tidak ingin kembali pada saat itu, lalu ayah bilang kalau kita sekeluarga
akan lebaran disini jadi ayah membiarkanku tinggal disini selama Ramadhan, kini
tinggal aku sendiri menghabiskan waktu liburanku disini bersama mbah uti dan
mbah kakung yang senantiasa menemaniku.
Temanku disini sudah
banyak, Anita mengenalkanku kepada teman-temannya disini, jadi aku tidak pernah
kesepian disini. Setap harinya kita selalu melakukan hal-hal baru, dari mulai
ikut pengajian rutin di masjid desa yang dulu aku tidak pernah sama sekali
melakukannya di Semarang, sekarang aku sangat rajin berangkat pengajian disini.
Disisni juga ada bazar, kebetulan Anita ikut menjadi salah satu penjual disini
dia menjual roti bakar. Jadi, tiap sore setelah membantu mbah uti memasak
dirumah, aku pergi ke bazar untuk membantu Anita berjualan di bazar, ini sangat
menyenangkan. Suasana Ramadhan di desa mbah kakung dan mbah uti sangat berbeda
dengan di kota, disini menyenangkan. Mungkin tahun depan aku akan kembali
kesini, menghabiskan Ramadhanku di rumah mbah, dan bertemu dengan teman-temanku
disini, disini aku tidak menjadi remaja rumahan lagi. Tidak seperti di kota,
bulan ramadhan dan bulan biasa tidak ada bedanya, seharian aku hanya
menghabiskan waktu di rumah.
Sampai pada hari
Lebaran tiba aku masih sangat betah disini, keluarga besar ayah semua berkumpul
di rumah mbah uti, ini pemandangan langka dari mulai bibi Heti dan keluarganya,
sepupu ayah, paman-pamanku yang hanya sering kudengar namanya ternyata juga ada
disini dan masih banyak keluarga besar mbah berkumpul jadi satu disini,
ternyata banyak keluargaku sendiri yang bahkan aku tidak mengenalnya, sedikit
canggung memang rasanya tapi akau sangat menyukainya. Disini tidak seperti
bayanganku, disini menyenangkan. Ramadhan tahun ini sangat berkesan dan banyak
sekali hal-hal baru, aku melihat dunia sesungguhnya dan melihat bahwa dunia itu
tidak membosankan tetapi sebaliknya, sangat menyenangkan.
TAMAT
|
Profil Penulis
Nama saya Kholifatun Nisyah, saya dilahirkan pada
tanggal 26 Agustus 1999 di Pati, saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saya
berasal dari Desa Sirahan, Kec. Cluwak, Kab. Pati. Saya pernah menempuh
pendidikan TK Kartini Sirahan, lalu melanjutkan ke SDN 01 Sirahan, setelah
lulus dari SD saya melanjutkan ke MTs Darul Falah Sirahan, setelah lulus dari
sana saya melanjutkan sekolah di MAN 2 Jepara, dan sekarang saya di UIN
Walisongo Semarang prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Semester dua. Disini
saya tinggal di kelurahan Tambakaji, kota Semarang. Hobi saya adalah menonton
film, dan mendengarkan lagu.
Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar