Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Nafsu Nafsi - Naskah - Terpilih Juara 3 Event Cerpen Tema Luka

 


Nafsu Nafsi

Oleh A. Nursayyidatul Lutfiah

 (Sebagai Cerpen Terpilih Juara 3 dalam Event Cerpen Tema Luka dalam Buku Akhir Sebuah Luka pada Februari 2023)


D

i suatu malam yang suram, ketika semuanya tertidur pulas, seseorang bertubuh tegap berambut ikal tengah sibuk menelisik sekitar untuk memastikan keamanan diri. Masuk dari jendela yang tidak terkunci mengendap ke dalam kamar yang gelap. Dia mendekat perlahan menuju arah ranjang sembari menggenggam badik di tangan kanannya, menarik selimut ibu Naya yang bermotif bunga mawar menyisakan beberapa bekas bercak cairan merah kental di dinding dan di lantai keramik yang sudah retak.

***

Debak-debuk! Apa lagi sekarang? Celoteh Naya yang sebal diakhiri dengan menghempas tubuh ke ranjang dan menutup mata dengan bantal. Kali ini bantalnya basah karena tangis yang sejak tadi tak kunjung usai. Hatinya berkecamuk. Malam itu adalah malam tersuram dalam hidupnya. Ia selalu menghindari kenyataan, tetapi orang tuanya tak membiarkan hal itu terjadi. Perkataan ibunya kian terngiang di mana pun ia berada,

“Nay sayang, taddampengakka’ ko maloi atitta’. Denagaga wedding dipertahankan. Tengapodo mengerti ki’.”1

Pagi itu Naya berdiri di balik pintu kamar. Ragu untuk keluar dan bertemu kedua orang tuanya karena takut akan hal buruk yang menanti, tetapi ditepisnya semua keraguan yang menghampiri dan memutar gagang pintu lalu bersegera ke ruang makan untuk sarapan. Brak! Lagi-lagi ia harus mendengarnya, butuh berapa banyak perabot rumah yang harus dibenturkan untuk menggambarkan sebegitu inginnya pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Semenjak ayahnya bekerja di luar kota, dia selalu pulang dengan permohonan yang sama kepada ibunya: menandatangani surat perceraian.

Namun, penolakan yang terus dipertahankan ibunya membuat mereka sering bertengkar dan dilampiaskan melalui barang di sekitar. Akan tetapi, entah mengapa semalam ibunya menyetujui begitu saja bahkan mengharapkan Naya dapat mengerti permasalahan keduanya. Naya jelas tak mengerti. Ia justru menganggap ibunya lelah mempertahankan hubungan ini atau malah pasrah dengan keputusan sepihak ayahnya yang jelas terbelenggu nafsu. Membuat pikirannya semakin kacau.

Perlahan Naya berjalan dengan langkah gontai ke arah meja makan. Langsung duduk di hadapan kedua orang tuanya dan pernyataan yang sama kini didengarnya lagi.

“Gattiko tanda tangani sure’e yatu!”2

“Degawedding mupikkriki paimeng, Daeng? Malewenni utanaiki’ magai muelloi masserang, neikkia demubati-batikka’. Aja-ajaki’ engka selingkuhan ta’ ri kota e na muelo mulantarrang’a maneng,”3

Plak!

Naya tersentak ketika mendengar tamparan itu. Dengan jantung berdegup kencang, sontak ia bangkit. Dilihat ibunya menangis sembari memegang pipinya yang merah padam. Keduanya tak memperhatikan keterkejutan, Naya seakan tak ada yang ditutup-tutupi lagi. Tak kuasa melihat semua pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi membuatnya memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali ke kamar. Ia bergegas mengemas barang dan memutuskan kembali ke kosnya di Kota Daeng.

Setelah semua penat yang dirasakan ketika menjalani rutinitas perkuliahan di kota, ia kembali ke kampung dengan tujuan mendapat tempat pulang yang damai. Namun, kampung halaman tidak selamanya menyisakan ruang baginya bahkan untuk berdamai dengan diri sendiri. Justru kembalinya ke kampung yang selama ini dinantikan oleh mahasiswa perantau sepertinya harus dihadapkan pada kenyataan pahit hubungan kedua orang tuanya. Pikirannya semakin kacau dan hatinya sakit. Naya berusaha menutup mulut sembari menahan air mata. Merenung dan duduk dengan tangan sambil memeluk kakinya sendiri.

***

Surya tenggelam kini menyisakan gelap. Sejauh ini saat menjalani rutinitas perkuliahan di Kota Daeng, Naya baru bisa pulang ke rumah dan melepas rindu pada ibu serta adiknya. Sekiranya sudah lama tak pulang menikmati panorama kampung hingga rindunya membuncah perlahan bak cahaya yang benderang. Setiba di rumah bakda Magrib, bau masakan ibunya menguar hingga ke ambang pintu, memantik rasa haru yang tak tertahankan membuat bulir air tanpa sadar mengalir di sela-sela mata membasahi pipinya.

“Magai mu teri, Nak?”4

“Denamagaga, Bu. Muddani ka’ sibawa nasu-nasu ta’.”5

Ibunya hanya menatap sekilas wajah putri sulungnya sembari tersenyum simpul. Senyum yang merekah dan tulus serta begitu hangat. Ternyata senyuman itu adalah senyuman terakhirnya. Hampir setahun sejak perceraian kedua orang tuanya, Naya meninggalkan rumah. Tidak banyak yang berubah. Di kala itu ia pergi dengan sebuncah perasaan yang berkecamuk di dalam hati karena diharuskan menerima pil pahit akibat putusnya hubungan antara ayah dan ibunya. Malam itu ia kembali dengan kerinduan yang mendalam dan mengikhlaskan kenyataan pahit yang tempo lalu diterimanya.

Hanya saja malam itu, seseorang menyelinap masuk melalui jendela kamar ibunya yang lupa dikunci. Mendekat sembari menggenggam pisau berujung pipih, bersisi tajam tunggal dan bentuknya panjang seperti pistol. Di sisi paling ujung terdapat mata pisau, dipegang satu tangan di bagian depan pegangannya dan jari jempol di bagian belakang pegangannya menyentuh jari telunjuk serta jari tengah. Berjalan perlahan seperti seorang ninja saat mereka terlelap dengan buaian hujan di malam yang dingin berbalut selimut hangat, berbaring saling membelakang. Saat itu, Naya tak tahu mengapa langsung terbangun begitu saja.

Pemandangan tragis di hadapannya. Seseorang berbalik membelakang menggenggam badik penuh darah. Bercak merah berceceran di dinding dan lantai keramik yang sudah retak. Cairan kental berwarna merah segar bercucuran bak air keran: mengalir deras dari leher ibunya bagaikan ayam potong yang menggelepar. 

 Bersambung. []


Catatan:

1Nay Sayang, maaf membuatmu terluka. Namun, tidak ada yang bisa dipertahankan lagi. Kuharap kamu mengerti.

2Cepat tanda tangani surat itu!

3Tak bisakah kau mempertimbangkannya lagi? Berulang kali kutanyakan mengapa kau terus meminta cerai, tetapi tak kau gubris sedikit pun. Jangan-jangan kau selingkuh di luar sana sehingga ingin menelantarkan kami.

4Kenapa kamu menangis, Nak?

5Tidak mengapa, Bu. Aku hanya rindu dengan masakan ibu.



kumpulan kisah lengkap dalam buku Akhir Sebuah Luka https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/akhir-sebuah-luka.html



PROFIL PENULIS

Dunia tulis menulis selalu menarik hati A. Nursayyidatul Lutfiah. Perempuan kelahiran Watampone ini meminati literasi sejak duduk di bangku SMA.  Berkepribadian ambivert, hobi membaca, dan bermain bulu tangkis. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan pada jenjang S-1 prodi Biologi di Universitas Hasanuddin. Penulis juga merupakan Ketua Forum Lingkar Pena Ranting Unhas. Penulis bisa dihubungi melalui media sosialnya: Instagram @anr.syydtulfh_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640