Nafsu Nafsi
Oleh A.
Nursayyidatul Lutfiah
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 3 dalam Event Cerpen Tema Luka dalam Buku Akhir Sebuah Luka pada Februari 2023)
D |
i suatu malam yang suram, ketika semuanya tertidur pulas, seseorang
bertubuh tegap berambut ikal tengah sibuk menelisik sekitar untuk memastikan
keamanan diri. Masuk dari jendela yang tidak terkunci mengendap ke dalam kamar
yang gelap. Dia mendekat perlahan menuju arah ranjang sembari menggenggam badik
di tangan kanannya, menarik selimut ibu Naya yang bermotif bunga mawar
menyisakan beberapa bekas bercak cairan merah kental di dinding dan di lantai
keramik yang sudah retak.
***
Debak-debuk!
Apa lagi sekarang? Celoteh Naya yang sebal diakhiri dengan menghempas tubuh ke
ranjang dan menutup mata dengan bantal. Kali ini bantalnya basah karena tangis
yang sejak tadi tak kunjung usai. Hatinya berkecamuk. Malam itu adalah malam
tersuram dalam hidupnya. Ia selalu menghindari kenyataan, tetapi orang tuanya
tak membiarkan hal itu terjadi. Perkataan ibunya kian terngiang di mana pun ia
berada,
“Nay sayang, taddampengakka’
ko maloi atitta’. Denagaga wedding dipertahankan. Tengapodo mengerti ki’.”1
Pagi itu Naya
berdiri di balik pintu kamar. Ragu untuk keluar dan bertemu kedua orang tuanya
karena takut akan hal buruk yang menanti, tetapi ditepisnya semua keraguan yang
menghampiri dan memutar gagang pintu lalu bersegera ke ruang makan untuk
sarapan. Brak! Lagi-lagi ia harus mendengarnya, butuh berapa banyak perabot
rumah yang harus dibenturkan untuk menggambarkan sebegitu inginnya pertengkaran
demi pertengkaran terjadi. Semenjak ayahnya bekerja di luar kota, dia selalu
pulang dengan permohonan yang sama kepada ibunya: menandatangani surat
perceraian.
Namun,
penolakan yang terus dipertahankan ibunya membuat mereka sering bertengkar dan
dilampiaskan melalui barang di sekitar. Akan tetapi, entah mengapa semalam
ibunya menyetujui begitu saja bahkan mengharapkan Naya dapat mengerti
permasalahan keduanya. Naya jelas tak mengerti. Ia justru menganggap ibunya
lelah mempertahankan hubungan ini atau malah pasrah dengan keputusan sepihak
ayahnya yang jelas terbelenggu nafsu. Membuat pikirannya semakin kacau.
Perlahan Naya
berjalan dengan langkah gontai ke arah meja makan. Langsung duduk di hadapan
kedua orang tuanya dan pernyataan yang sama kini didengarnya lagi.
“Gattiko
tanda tangani sure’e yatu!”2
“Degawedding
mupikkriki paimeng, Daeng? Malewenni utanaiki’ magai muelloi masserang, neikkia
demubati-batikka’. Aja-ajaki’ engka selingkuhan ta’ ri kota e na muelo
mulantarrang’a maneng,”3
Plak!
Naya tersentak
ketika mendengar tamparan itu. Dengan jantung berdegup kencang, sontak ia
bangkit. Dilihat ibunya menangis sembari memegang pipinya yang merah padam.
Keduanya tak memperhatikan keterkejutan, Naya seakan tak ada yang
ditutup-tutupi lagi. Tak kuasa melihat semua pertengkaran demi pertengkaran
yang terjadi membuatnya memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali ke kamar.
Ia bergegas mengemas barang dan memutuskan kembali ke kosnya di Kota Daeng.
Setelah semua
penat yang dirasakan ketika menjalani rutinitas perkuliahan di kota, ia kembali
ke kampung dengan tujuan mendapat tempat pulang yang damai. Namun, kampung
halaman tidak selamanya menyisakan ruang baginya bahkan untuk berdamai dengan
diri sendiri. Justru kembalinya ke kampung yang selama ini dinantikan oleh
mahasiswa perantau sepertinya harus dihadapkan pada kenyataan pahit hubungan
kedua orang tuanya. Pikirannya semakin kacau dan hatinya sakit. Naya berusaha
menutup mulut sembari menahan air mata. Merenung dan duduk dengan tangan sambil
memeluk kakinya sendiri.
***
Surya tenggelam
kini menyisakan gelap. Sejauh ini saat menjalani rutinitas perkuliahan di Kota
Daeng, Naya baru bisa pulang ke rumah dan melepas rindu pada ibu serta adiknya.
Sekiranya sudah lama tak pulang menikmati panorama kampung hingga rindunya
membuncah perlahan bak cahaya yang benderang. Setiba di rumah bakda Magrib, bau
masakan ibunya menguar hingga ke ambang pintu, memantik rasa haru yang tak
tertahankan membuat bulir air tanpa sadar mengalir di sela-sela mata membasahi
pipinya.
“Magai
mu teri, Nak?”4
“Denamagaga,
Bu. Muddani ka’ sibawa nasu-nasu ta’.”5
Ibunya hanya
menatap sekilas wajah putri sulungnya sembari tersenyum simpul. Senyum yang
merekah dan tulus serta begitu hangat. Ternyata senyuman itu adalah senyuman
terakhirnya. Hampir setahun sejak perceraian kedua orang tuanya, Naya
meninggalkan rumah. Tidak banyak yang berubah. Di kala itu ia pergi dengan
sebuncah perasaan yang berkecamuk di dalam hati karena diharuskan menerima pil
pahit akibat putusnya hubungan antara ayah dan ibunya. Malam itu ia kembali
dengan kerinduan yang mendalam dan mengikhlaskan kenyataan pahit yang tempo
lalu diterimanya.
Hanya saja
malam itu, seseorang menyelinap masuk melalui jendela kamar ibunya yang lupa
dikunci. Mendekat sembari menggenggam pisau berujung pipih, bersisi tajam
tunggal dan bentuknya panjang seperti pistol. Di sisi paling ujung terdapat
mata pisau, dipegang satu tangan di bagian depan pegangannya dan jari jempol di
bagian belakang pegangannya menyentuh jari telunjuk serta jari tengah. Berjalan
perlahan seperti seorang ninja saat mereka terlelap dengan buaian hujan di
malam yang dingin berbalut selimut hangat, berbaring saling membelakang. Saat
itu, Naya tak tahu mengapa langsung terbangun begitu saja.
Pemandangan tragis di hadapannya. Seseorang berbalik membelakang menggenggam badik penuh darah. Bercak merah berceceran di dinding dan lantai keramik yang sudah retak. Cairan kental berwarna merah segar bercucuran bak air keran: mengalir deras dari leher ibunya bagaikan ayam potong yang menggelepar.
Bersambung. []
Catatan:
1Nay Sayang,
maaf membuatmu terluka. Namun, tidak ada yang bisa dipertahankan lagi. Kuharap
kamu mengerti.
2Cepat tanda
tangani surat itu!
3Tak bisakah kau
mempertimbangkannya lagi? Berulang kali kutanyakan mengapa kau terus meminta
cerai, tetapi tak kau gubris sedikit pun. Jangan-jangan kau selingkuh di luar
sana sehingga ingin menelantarkan kami.
4Kenapa kamu
menangis, Nak?
5Tidak mengapa,
Bu. Aku hanya rindu dengan masakan ibu.
kumpulan kisah lengkap dalam buku Akhir Sebuah Luka https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/akhir-sebuah-luka.html
PROFIL PENULIS
Dunia tulis menulis selalu menarik hati A. Nursayyidatul Lutfiah. Perempuan kelahiran Watampone ini meminati literasi sejak duduk di bangku SMA. Berkepribadian ambivert, hobi membaca, dan bermain bulu tangkis. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan pada jenjang S-1 prodi Biologi di Universitas Hasanuddin. Penulis juga merupakan Ketua Forum Lingkar Pena Ranting Unhas. Penulis bisa dihubungi melalui media sosialnya: Instagram @anr.syydtulfh_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar