Menggamit Kenangan
Oleh Ulfa Fauziyyah
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 3 dalam Event Cerpen Tema Kenangan dalam Buku Memori yang Tersimpan Rapi pada Februari 2023)
O |
bituary itu seperti desau angin yang menyeruak di dalam dada. Ambulans pembawa peti jenazahmu hanya lewat depan rumah. Para pelayat hanya
mampu mengucapkan selamat tinggal dengan derai air mata yang tak tertahan. Ada
haru yang terpampang nyata. Semua
mata menatap sayu terhadapku. Tubuhku terhempas.
“Ada masalah
dengan senja?” Tanyamu.
“Iya, karena di
waktu senja kita dipertemukan dan di waktu senja pula kita dipisahkan.” Bulir
bening mulai menjelajahi pipiku.
“Percayalah, kita akan dipertemukan Tuhan di surga-Nya. Pulanglah dan bawalah setangkup rindu dan
kenangan kita.”
Sejak saat itu,
tak pernah lagi kulihat jingganya nabastala. Senyummu tak lagi merekah. Suaramu
tak lagi kudengar. Langkahmu tak berjejak. Dan bayangmu sirna. Ada
ketidaksanggupanku untuk melanjutkan hidup tanpa dirimu sebagai penguatnya.
Udara pagi tak mampu menyejukkan hatiku lagi. Panasnya matahari juga tak mampu
lagi menyinari hatiku. Kebersamaan kita terlalu manis untuk dikenang.
Maaf aku gagal membujuk hatiku untuk tegar seperti tugu monumen bertemunya Adam
dan Hawa di puncak Jabal Rahmah. Bukit kasih sayang. Kita pernah punya impian
yang sama untuk mendakinya.
“Suatu saat
nanti, jika kita sudah menjadi pasangan halal, kita daki bersama bukit cinta di
tepi Padang Arafah pinggiran timur Kota Makkah.” Katamu saat itu.
Mataku berbinar
dengan rencana indah itu. Aku penasaran dengan tempat bertemunya kembali Nabi
Adam yang rela mengembara bertahun-tahun demi menemukan kembali tulang rusuknya
yang hilang yaitu Hawa. Namun, dengan tekat yang kuat,
mereka dipertemukan kembali di bukit
kasih sayang, bukit penantian dan bukit kerinduan.
***
Sore itu, aku memandang semesta dengan penuh gairah. Kilas
balik masa terindah bersemi di antara syair
lagu cinta yang dia nyanyikan dengan petikan gitar tua di sudut taman kota. Ada yang berbeda
dengan endapan rasaku. Jantungku berdetak kencang. Hatiku tertambat. Netraku
tertawan pesona Nibras. Pria berhidung mancung, matanya tajam lengkap dengan
lengkung alis yang tebal, kulitnya putih bersih dan senyum bibirnya menyungging
manis, air mukanya memikat. Sungguh proporsional ciptaan Yang Mahakuasa. Dia cowok paling ganteng di rumahnya,
karena satu kakak dan satu adiknya berjenis kelamin perempuan semua. Sedangkan ayahnya sejak
tiga tahun yang lalu meninggal karena kecelakaan di jalan tol. Mobilnya oleng
dan menabrak pembatas jalan.
Sepeninggal ayahnya, Nibraslah yang mendampingi ibunya dalam mengendalikan roda perekonomian dalam keluarga. Dia sosok
penyayang, humoris, terkadang perilakunya yang jahil dan bikin sewot siapa pun yang kena kejahilannya, tak terkecuali dengan diriku yang sering
jadi mangsanya. Di suatu senja, sifat jahilnya dia tunjukkan. Dia sengaja menggoyangkan
ranting pohon yang basah karena sisa air hujan. Kemudian dia berlari sambil tertawa lepas melihatku panik kebasahan. Dia melakukannya
berulang kali.
“Cukup,
hentikan!” rengekku sambil menutup kepalaku dengan kedua
tanganku.
“Kenapa, Sayang? Simpan cemberutmu. Yang kuingin, garis
lengkung yang menghias di sudut bibirmu itu senyuman termanismu, bukan
cemberutmu.” godanya.
Tak kupungkiri
dengan rayuannya itu. Aku dibuatnya mabuk kepayang. Aku pun menghias bibirku
dengan senyum termanis yang aku miliki
sesuai dengan keinginannya.
“Nah, gitu
dong. Manisnya kebangetan, bisa saja aku kena
diabetes nih, karena terlena menikmati senyummu.”
Aku pun mencubit pinggang kanannya karena malu
yang kurasa.
“Sini, Sayang! duduk
mendekat. Akan aku tunjukkan
hadirnya pelangi dengan pigmen warnanya yang indah.”
Aku pun mendekat. Bahuku sejajar dengan bahunya.
Kupandangi langit senja, berharap pelangi akan hadir di antara kita berdua.
“Mana
pelanginya?.”
“Kamu tidak
bisa melihatnya? Sini aku tunjukkan.
Cobalah luruskan badanmu tepat di hadapanku. Kemudian tatap mataku.”
Aku pun mengikuti perintahnya. Kuambil posisi
tepat di hadapannya. Dan
kulihat binar mata indahnya.
“Apakah sudah
bisa melihatnya? Tanyanya dengan serius.
“Apanya yang
terlihat?” aku balik
bertanya dengan muka agak kesal.
“Eh, Sayang, aku benar-benar
bisa melihat, ada pelangi di matamu. Sungguh indah ciptaan
Tuhan.”
“Ah.” Aku tersipu
malu dibuatnya. Wajahku memerah. Aku menunduk dengan hati yang berdenyar.
“Ada debar yang
bikin candu, ketika aku menatap indah wajahmu.” Katanya tepat di telinga kananku.
Lagi dan lagi aku tak bisa menyembunyikan wajah merahku. Aku terbuai dengan rayuannya. Tak
ingin sedikit pun hari ini berlalu.
“Aku akan
selalu menjadikanmu sebagai poros bahagiaku, rasanya sudah tak sabar aku
menanti kebahagiaan yang hakiki bersama jodoh yang sudah dipersiapkan Tuhan
untukku.”
“Emh, aku terbang melayang nih. Tolong simpan manisnya rayuanmu sampai malam pengantin kita.” jawabku sekenanya, tanpa melihat wajahnya sedikitpun karena tak bisa menahan rasa malu.
***
Acara perhelatan pernikahanku dengan Nibras sejatinya akan dilaksanakan pada hari yang sudah ditentukan atas kesepakatan 2 keluarga, ternyata tak pernah terwujud. Kesibukannya sebagai tenaga medis dalam membantu pasien Covid-19, merupakan awal petaka yang menimpa Nibras.
Bersambung. []
kumpulan kisah lengkap dalam buku Memori yang Tersimpan Rapi https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/memori-yang-tersimpan-rapi.html
PROFIL PENULIS
Ulfa Fauziyyah, kelahiran Grobogan Jawa Tengah. Hobi membaca, baik fiksi maupun nonfiksi. Memiliki ketertarikan dalam bidang sastra sejak kecil. Saat ini aktif mengikuti KMO yang menghasilkan buku antologi ( Senandika, Menuang Telaga Jiwa, Rindu Sekolah, Sederetan Kisah Cinta yang Abadi, The Unforgettable dan Suara Hati untuk Kepala Sekolahku ). . Jejaknya bisa dilacak di FB : Ulfa Fauziyyah, IG : ulfabina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar