Memberi Tanpa Mengharap
Oleh Mohammad Rafli
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 1 dalam Event Cerpen Tema Cinta dalam Buku Retorika Cinta pada Februari 2023)
“M |
emuliakan manusia berarti memuliakan
penciptanya, merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya”. Kira-kira
begitu kata yang pernah terucap dari seorang pejuang kemanusiaan, “Gusdur”.
Sambil menyeruput kopi pahit favoritnya, di
samping musala, Kirom tersenyum melihat mbah-mbah yang tengah bersenda gurau.
Mbah-mbah yang saat ini ia rawat bersama ketiga anaknya.
Malam tampak cerah, ditambah dengan
keindahan purnama di tanggal 15. Purnama yang sempurna, bulat. Seperti tekat
Kirom yang ingin membuat bahagia mbah-mbah yang dirawatnya dan tekat
mengantarkan masa depan sang anak agar lebih cerah darinya, bahkan lebih cerah
dari malam itu.
“Bapak tidak istirahat? Bapak pasti lelah
kan, apalagi besok bapak harus kembali beraktivitas,” ucap Faiz sambil
menghampiri sang bapak.
“Iya, Nak, sebentar lagi bapak istirahat.
Iz, coba deh kamu lihat mbah-mbah itu. Kasihan ya mereka, tidak bisa ditemani
keluarganya. Padahal di masa-masa seperti mereka sekarang, pasti membutuhkan
sosok seorang istri atau suami, anak dan cucu-cucunya.”
“Iya, Pak, kasihan ya. Tapi Faiz senang
bisa bantu bapak menemani dan merawat mbah-mbah. Bagi Faiz bapak bukan sekedar
bapak bagi keluarga kita, tapi bapak bagi para manusia, seperti sosok Gusdur
yang sering bapak ceritakan ke Faiz.”
“Hahaha bisa saja kamu Iz. Gusdur telah
meneladankan, saatnya kita melanjutkan. ya sudah hayu kita istirahat.” Ucap
Kirom sambil tersenyum dan mengajak putra pertamanya untuk masuk ke dalam
rumah.
Pagi telah tiba, sinar mentari begitu
memberikan kehangatan, kehangatan yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk,
tak terkecuali burung-burung dan rerumputan. Begitu pun para mbah-mbah yang
sedang menjemur tubuhnya, agar juga bisa dapat merasakan hangatnya sinar
mentari. Pagi itu Kirom sengaja menganjurkan mereka untuk menjemurkan tubuh.
“Mbah, menawi injing, dibiasa aken berjemur
nggeh, supados sehat. Amergi sinar injing niku mengandung ultraviolet ingkang
bersentuhan permukaan kulit badhe diubah dados vitamin D, lan vitamin D niku
sae dibutuhaken damel fungsi aken metabolisme kalsium, imunitas tubuh lan
mentransmisi kerja otot kalihan saraf.”[1]
“Leres nopo mboten niku rom, ucapan
sampeyan mpun koyo dokter tenanan mawon,”[2]
tanya mbah Karso
“Nggeh leres lah mbah, nembe mawon kulo
ningali ten google wkwkwk,”[3]
ngaku Kirom
“Alaahh namung saking google mawon gaya,”[4]
balas mbah Karso
“Hahaha,” mereka tertawa Bersama.
Begitulah suasana kehidupan sehari-hari
Kirom dan para mbah-mbah di sana. Mereka sering sekali bercanda. Di sela-sela
membersihkan kotoran mbah-mbahnya yang sudah tidak mampu untuk beranjak dari
tempat tidur, atau ketika sedang membagikan makan kepada mereka. Kirom sangat
memperhatikan hubungan emosional, agar mereka merasa nyaman dan memiliki teman.
Hubungan kirom dan mereka terjalin sangat akrab dan penuh kehangatan. Sehangat
sinar mentari pagi. Karena memang Kirom sudah menganggapnya seperti keluarga
kandung, walaupun bukan kandung pada hakikatnya.
Desiran angin melambai-lambaikan dedaunan
pohon yang bediri tegak di halaman rumah Kirom. Sepiring gedang goreng
(pisang goreng) dan segelas teh hangat menemaninya merileksasikan tubuh yang
seharian ia curahkan untuk ngopeni (merawat) mbah-mbah dan mencari
nafkah untuk keluarganya. Entah apa yang sedang dilamuni Kirom, tiba-tiba ia
tersentak karena sapaan seorang Wanita. Wanita berparas cantik, tatapannya
tajam seperti menandakan kepribadian yang percaya diri, ambisius dan penuh
semangat. Modis tapi sopan.
“Assalamu’alaikum, permisi, Pak,” sapa sang
wanita
“Wa’alaikumussalam, ada yang bisa saya
bantu, Mbak?” jawab Kirom.
“Perkenalkan saya Khadijah,” Khadijah
memperkenalkan diri.
“Oh, iya, Mbak, perkenalkan saya Kirom.”
“Mbak tinggal di mana?” tanya Kirom.
“Saya tinggal dekat sini, Pak. sekitar 10
menit kalau naik sepeda motor.”
“Ohh iya, silahkan duduk, Mbak. Mbak ada perlu apa ya, mungkin ada yang bisa
saya bantu?” tanya Kirom pada Khadijah.
“Jadi begini, Pak, saya sekarang sedang
aktif di sebuah komunitas, yang fokus kegiatannya adalah di bidang kemanusiaan.
Saya dapat kabar dari rekan saya, katanya lokasi basecamp cabang
komunitas kami ada di sekitar sini. Nama komunitasnya Peduli Sesama.” terang
Khadijah.
“Oalah, iya iya, Mbak, ini basecamp
yang mbak cari dan kebetulan saya koordinator Komunitas Peduli sesama cabang
Sumber Asih, Mbak, hehe,” jawab Kirom sambil tertawa kecil.
“Ya Allah, ternyata bapak koordinatornya
toh,” ucap Khadijah sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum. Senyuman yang
menghiasi paras anggunnya, ditambah dengan model hijab pashmina kesukaan
Khadijah.
“Di sini kami menyebutnya rumah kemanusiaan,
Mbak, karena penghuninya terdiri dari berbagai latar belakang agama dan budaya
yang berbeda-beda. Ada yang beragama Islam, Budha, Khong Hu Cu dan Katholik.”
Kirom mulai membuka cerita tentang basecamp yang ia istilahkan dengan
rumah kemanusiaan itu.
“Sudah berapa lama bapak merawat dan
menemani mbah-mbah yang ada di sini?” tanya Khadijah penasaran.
“Sudah 9 tahun, Mbak, saya dan keluarga
menemani mbah-mbah yang ada di sini,” jawab Kirom dengan wajah teduhnya.”
“Bapak ini hebat, berhati malaikat.
menolong tanpa pilah-pilih, tanpa melihat latar belakang dan status sosial. Di
tengah kebobrokan moral manusia, kehidupan glamor dan rakus, bapak ini hadir
sebagai bukti bahwa masih tersisa sosok manusia berjiwa kesatria,” gumam Khadijah
dalam hati.
“Kalau boleh tau, bagaimana bapak merawat
mbah-mbah yang ada di sini.” Khadijah makin penasaran.
“Tiap pagi itu saya membersihkan
kotoran-kotoran mbah-mbah yang sudah tidak mampu untuk beranjak ke kamar mandi.
Memberi makan, menemani dan mendengarkan curhatan-curhatan mereka,” ujar Kirom.
“Mereka itu senang sekali bernostalgia, Mbak.
Maklum sih, namanya juga lansia hehe. Mereka memiliki segudang pengalaman,
karena itu mereka pastinya butuh teman yang bersedia mendengarkan
pengalaman-pengalamannya itu,” lanjut Kirom.
“Kalau cerita-cerita mereka saya tulis,
mungkin jadi buku bejilid-jilid nih, Mbak,” guyon Kirom.
“Hahaha,” Mereka berdua tertawa lepas.
“Oh iya, Pak, mohon maaf sebelumnya, untuk
kebutuhan makan sehari-hari mbah-mbahnya itu, sumbernya dari mana ya?”
“Tiap hari saya merongsok mbak, sama
seperti tukang-tukang rongsok lainnya. Mengumpulkan botol-botol bekas, kardus,
pokoknya apa yang sekiranya bisa jadi uang saya kumpulkan. Tapi kadang ada juga
orang baik yang memberikan bantuan ke sini,” jawab Kirom dengan penuh
ketulusan.
Mata Khadijah mulai berbinar. Air mata yang
kumpul di kelopak matanya sudah siap mengguyur pipi chubby-nya itu.
Namun, ia memilih untuk terlihat tegar, setegar pak Kirom merawat mbah-mbah
yang berjumlah 16 orang. Jumlah yang tidak sedikit di tengah kondisi ekonomi
yang melilit. Khadijah memang tampak tegar. Namun, hati tak dapat dikelabuhi.
Dalam hati Khadijah bergemuruh rintihan air mata yang sengaja tidak ia
tumpahkan di depan manusia berhati malaikat itu.
Saking asyiknya mereka berbincang, tak
terasa lantunan azan Magrib terdengar berkumandang. Khadijah pamit kepada Kirom untuk pulang.
Pulang dengan membawa misi yang telah mereka rancang, Untuk sama-sama mencapai
visi, “Memanusiakan manusia.”
Bersambung. []
kumpulan kisah lengkap dalam buku Retorika Cinta https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/retorika-cinta.html
[1] Mbah kalau pagi itu, biasakan menjemur tubuh ya, supaya sehat. soalnya
sinar pagi itu mengandung ultraviolet yang ketika bersentuhan dengan permukaan
kulit akan diubah menjadi vitamin D, dan vitamin D itu baik serta dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi metabolisme kalsium, imunitas tubuh dan mentransmisi
kerja otot dengan saraf)”
[2] “Benar tidak itu, Rom, ucapanmu udah kaya dokter
beneran saja.”
[3] “Ya benar lah, Mbah, baru saja saya lihat di google.”
[4] “Alaah dari google aja gaya.”
PROFIL PENULIS
Mohammad Rafli,
lahir di Tangerang. Sabtu, 28 Februari 1998. Menyelesaikan Pendidikan Dasar di
SDN Babakan tahun 2010, kemudian melanjutkan Pendidikan di MTs dan MA Daarul Muttaqien
1 Tangerang, lulus pada tahun 2013 dan 2016. Menuntaskan Pendidikan sarjananya
pada tahun 2021 di Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Lirboyo, Kediri, dengan
mengambil konsentrasi di bidang Hukum Keluarga Islam (HKI) atau nama lainnya ahwal
al Syakhshiyyah. Selama mahasiswa, penulis aktif di Organisasi Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Saat ini
penulis berdomisili di Kediri, Jawa Timur dan sedang menjalani Pendidikan non
formal di Pondok Pesantren Haji Ya’qub Lirboyo, Kediri dan Pondok Pesantren al
Aziz Manisrenggo, Kediri. Penulis dapat dihubungi melalui akun ig
@mohammad_rafli22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar