Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Memberi Tanpa Mengharap - Naskah Terpilih Juara 1 Event Cerpen Tema Cinta

 



Memberi Tanpa Mengharap

Oleh Mohammad Rafli

 (Sebagai Cerpen Terpilih Juara 1 dalam Event Cerpen Tema Cinta dalam Buku Retorika Cinta pada Februari 2023)


“M

emuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan manusia berarti merendahkan penciptanya”. Kira-kira begitu kata yang pernah terucap dari seorang pejuang kemanusiaan, “Gusdur”.

Sambil menyeruput kopi pahit favoritnya, di samping musala, Kirom tersenyum melihat mbah-mbah yang tengah bersenda gurau. Mbah-mbah yang saat ini ia rawat bersama ketiga anaknya.

Malam tampak cerah, ditambah dengan keindahan purnama di tanggal 15. Purnama yang sempurna, bulat. Seperti tekat Kirom yang ingin membuat bahagia mbah-mbah yang dirawatnya dan tekat mengantarkan masa depan sang anak agar lebih cerah darinya, bahkan lebih cerah dari malam itu.

“Bapak tidak istirahat? Bapak pasti lelah kan, apalagi besok bapak harus kembali beraktivitas,” ucap Faiz sambil menghampiri sang bapak.

“Iya, Nak, sebentar lagi bapak istirahat. Iz, coba deh kamu lihat mbah-mbah itu. Kasihan ya mereka, tidak bisa ditemani keluarganya. Padahal di masa-masa seperti mereka sekarang, pasti membutuhkan sosok seorang istri atau suami, anak dan cucu-cucunya.”

“Iya, Pak, kasihan ya. Tapi Faiz senang bisa bantu bapak menemani dan merawat mbah-mbah. Bagi Faiz bapak bukan sekedar bapak bagi keluarga kita, tapi bapak bagi para manusia, seperti sosok Gusdur yang sering bapak ceritakan ke Faiz.”

“Hahaha bisa saja kamu Iz. Gusdur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan. ya sudah hayu kita istirahat.” Ucap Kirom sambil tersenyum dan mengajak putra pertamanya untuk masuk ke dalam rumah.

Pagi telah tiba, sinar mentari begitu memberikan kehangatan, kehangatan yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk, tak terkecuali burung-burung dan rerumputan. Begitu pun para mbah-mbah yang sedang menjemur tubuhnya, agar juga bisa dapat merasakan hangatnya sinar mentari. Pagi itu Kirom sengaja menganjurkan mereka untuk menjemurkan tubuh.

“Mbah, menawi injing, dibiasa aken berjemur nggeh, supados sehat. Amergi sinar injing niku mengandung ultraviolet ingkang bersentuhan permukaan kulit badhe diubah dados vitamin D, lan vitamin D niku sae dibutuhaken damel fungsi aken metabolisme kalsium, imunitas tubuh lan mentransmisi kerja otot kalihan saraf.”[1]

Leres nopo mboten niku rom, ucapan sampeyan mpun koyo dokter tenanan mawon,[2] tanya mbah Karso

Nggeh leres lah mbah, nembe mawon kulo ningali ten google wkwkwk,”[3] ngaku Kirom

Alaahh namung saking google mawon gaya,[4] balas mbah Karso

“Hahaha,” mereka tertawa Bersama.

Begitulah suasana kehidupan sehari-hari Kirom dan para mbah-mbah di sana. Mereka sering sekali bercanda. Di sela-sela membersihkan kotoran mbah-mbahnya yang sudah tidak mampu untuk beranjak dari tempat tidur, atau ketika sedang membagikan makan kepada mereka. Kirom sangat memperhatikan hubungan emosional, agar mereka merasa nyaman dan memiliki teman. Hubungan kirom dan mereka terjalin sangat akrab dan penuh kehangatan. Sehangat sinar mentari pagi. Karena memang Kirom sudah menganggapnya seperti keluarga kandung, walaupun bukan kandung pada hakikatnya.

Desiran angin melambai-lambaikan dedaunan pohon yang bediri tegak di halaman rumah Kirom. Sepiring gedang goreng (pisang goreng) dan segelas teh hangat menemaninya merileksasikan tubuh yang seharian ia curahkan untuk ngopeni (merawat) mbah-mbah dan mencari nafkah untuk keluarganya. Entah apa yang sedang dilamuni Kirom, tiba-tiba ia tersentak karena sapaan seorang Wanita. Wanita berparas cantik, tatapannya tajam seperti menandakan kepribadian yang percaya diri, ambisius dan penuh semangat. Modis tapi sopan. 

“Assalamu’alaikum, permisi, Pak,” sapa sang wanita

“Wa’alaikumussalam, ada yang bisa saya bantu, Mbak?” jawab Kirom.

“Perkenalkan saya Khadijah,” Khadijah memperkenalkan diri.

“Oh, iya, Mbak, perkenalkan saya Kirom.”

“Mbak tinggal di mana?” tanya Kirom.

“Saya tinggal dekat sini, Pak. sekitar 10 menit kalau naik sepeda motor.”

“Ohh iya, silahkan duduk, Mbak.  Mbak ada perlu apa ya, mungkin ada yang bisa saya bantu?” tanya Kirom pada Khadijah.

“Jadi begini, Pak, saya sekarang sedang aktif di sebuah komunitas, yang fokus kegiatannya adalah di bidang kemanusiaan. Saya dapat kabar dari rekan saya, katanya lokasi basecamp cabang komunitas kami ada di sekitar sini. Nama komunitasnya Peduli Sesama.” terang Khadijah.

“Oalah, iya iya, Mbak, ini basecamp yang mbak cari dan kebetulan saya koordinator Komunitas Peduli sesama cabang Sumber Asih, Mbak, hehe,” jawab Kirom sambil tertawa kecil.

“Ya Allah, ternyata bapak koordinatornya toh,” ucap Khadijah sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum. Senyuman yang menghiasi paras anggunnya, ditambah dengan model hijab pashmina kesukaan Khadijah.

“Di sini kami menyebutnya rumah kemanusiaan, Mbak, karena penghuninya terdiri dari berbagai latar belakang agama dan budaya yang berbeda-beda. Ada yang beragama Islam, Budha, Khong Hu Cu dan Katholik.” Kirom mulai membuka cerita tentang basecamp yang ia istilahkan dengan rumah kemanusiaan itu.

“Sudah berapa lama bapak merawat dan menemani mbah-mbah yang ada di sini?” tanya Khadijah penasaran.

“Sudah 9 tahun, Mbak, saya dan keluarga menemani mbah-mbah yang ada di sini,” jawab Kirom dengan wajah teduhnya.”

“Bapak ini hebat, berhati malaikat. menolong tanpa pilah-pilih, tanpa melihat latar belakang dan status sosial. Di tengah kebobrokan moral manusia, kehidupan glamor dan rakus, bapak ini hadir sebagai bukti bahwa masih tersisa sosok manusia berjiwa kesatria,” gumam Khadijah dalam hati.

“Kalau boleh tau, bagaimana bapak merawat mbah-mbah yang ada di sini.” Khadijah makin penasaran.

“Tiap pagi itu saya membersihkan kotoran-kotoran mbah-mbah yang sudah tidak mampu untuk beranjak ke kamar mandi. Memberi makan, menemani dan mendengarkan curhatan-curhatan mereka,” ujar Kirom.

“Mereka itu senang sekali bernostalgia, Mbak. Maklum sih, namanya juga lansia hehe. Mereka memiliki segudang pengalaman, karena itu mereka pastinya butuh teman yang bersedia mendengarkan pengalaman-pengalamannya itu,” lanjut Kirom.

“Kalau cerita-cerita mereka saya tulis, mungkin jadi buku bejilid-jilid nih, Mbak,” guyon Kirom.

“Hahaha,” Mereka berdua tertawa lepas.

“Oh iya, Pak, mohon maaf sebelumnya, untuk kebutuhan makan sehari-hari mbah-mbahnya itu, sumbernya dari mana ya?”

“Tiap hari saya merongsok mbak, sama seperti tukang-tukang rongsok lainnya. Mengumpulkan botol-botol bekas, kardus, pokoknya apa yang sekiranya bisa jadi uang saya kumpulkan. Tapi kadang ada juga orang baik yang memberikan bantuan ke sini,” jawab Kirom dengan penuh ketulusan.

Mata Khadijah mulai berbinar. Air mata yang kumpul di kelopak matanya sudah siap mengguyur pipi chubby-nya itu. Namun, ia memilih untuk terlihat tegar, setegar pak Kirom merawat mbah-mbah yang berjumlah 16 orang. Jumlah yang tidak sedikit di tengah kondisi ekonomi yang melilit. Khadijah memang tampak tegar. Namun, hati tak dapat dikelabuhi. Dalam hati Khadijah bergemuruh rintihan air mata yang sengaja tidak ia tumpahkan di depan manusia berhati malaikat itu.

Saking asyiknya mereka berbincang, tak terasa lantunan azan Magrib terdengar berkumandang.  Khadijah pamit kepada Kirom untuk pulang. Pulang dengan membawa misi yang telah mereka rancang, Untuk sama-sama mencapai visi, “Memanusiakan manusia.”

Bersambung. []


kumpulan kisah lengkap dalam buku Retorika Cinta https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/retorika-cinta.html



[1] Mbah kalau pagi itu, biasakan menjemur tubuh ya, supaya sehat. soalnya sinar pagi itu mengandung ultraviolet yang ketika bersentuhan dengan permukaan kulit akan diubah menjadi vitamin D, dan vitamin D itu baik serta dibutuhkan untuk menjalankan fungsi metabolisme kalsium, imunitas tubuh dan mentransmisi kerja otot dengan saraf)”

[2] “Benar tidak itu, Rom, ucapanmu udah kaya dokter beneran saja.”

[3] “Ya benar lah, Mbah, baru saja saya lihat di google.”

[4]Alaah dari google aja gaya.”



PROFIL PENULIS

           Mohammad Rafli, lahir di Tangerang. Sabtu, 28 Februari 1998. Menyelesaikan Pendidikan Dasar di SDN Babakan tahun 2010, kemudian melanjutkan Pendidikan di MTs dan MA Daarul Muttaqien 1 Tangerang, lulus pada tahun 2013 dan 2016. Menuntaskan Pendidikan sarjananya pada tahun 2021 di Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Lirboyo, Kediri, dengan mengambil konsentrasi di bidang Hukum Keluarga Islam (HKI) atau nama lainnya ahwal al Syakhshiyyah. Selama mahasiswa, penulis aktif di Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Saat ini penulis berdomisili di Kediri, Jawa Timur dan sedang menjalani Pendidikan non formal di Pondok Pesantren Haji Ya’qub Lirboyo, Kediri dan Pondok Pesantren al Aziz Manisrenggo, Kediri. Penulis dapat dihubungi melalui akun ig @mohammad_rafli22.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640