Lelaki Seribu Bulan
Karya:Ahmad Abu Rifai
|
Untuk
Lelaki Seribu Bulan, aku punya pertanyaan: seberapa indah langit di sana?
Satu hari sebelum Ramadan, aku
pulang ke kampung halaman. Sudah hampir dua tahun memang aku hidup di tanah
perantauan. Mamak seminggu lalu mengeluarkan titah: aku harus pulang sebelum
Ramadan. Beliau tak ingin kejadian tahun lalu di mana aku kehabisan tiket kapal
karena dekat hari raya terulang.
“Kalau kehabisan tiket kapal air,
gunakan kapal terbang!’ perintahnya berwaktu-waktu lalu. Kali itu aku tak
sanggup menuruti. Uang di kantongku pas-pasan. Menggunakan pesawat artinya
memupuskan keinginanku untuk memberi Mamak uang cukup banyak dan berbagi
oleh-oleh pada tetangga.
Namun hari ini, kakiku sudah
menjejaki tanah kampung. Kucium punggung tangan Mamak lama setelah pintu rumah
kubuka. O, Mamak. Wajahnya begitu banyak berubah. Lipatan-lipatan wajahnya
bertambah. Uban di rambutnya seolah tak pernah terjamah.
“Semua baik-baik saja kan, Mak?”
tanyaku setelah duduk di kursi ruang tamu.
“Iya. Adikmu, Sabrang kini semakin
pintar. Dia kemarin lomba menggambar. Dapat juara dua se-kabupaten,” balas
Mamak.
“Alhamdulillah.” Aku memandang gambar-gambar pemandangan yang
menempel di dinding rumah. Bagus sekali. Ada lukisan wajah almarhum Bapak pula.
Pasti buatan Sabrang.
Hari itu juga, selepas asar aku
ziarah ke makam Bapak. Tentu bersama Mamak dan adik lelakiku. Setengah jam
lalu, ia telah melakukan upacara pelepasan rindu denganku. Sabrang yang baru
pulang sekolah langsung melempar tasnya, menghambur ke arahku. Senyum tak
henti-hentinya ia hadiahkan untuk kakaknya yang baru pulang dari tanah orang.
Namun senyum itu seolah sirna kala
ia duduk di hadapan nisan Bapak. Aku tahu hatinya menangis meski matanya
berulang kali ia pejamkan untuk membendung air mata. Bapak meninggal saat pria
kecil berambut poni miri ke kanan itu baru berumur setahun. Tuhan bahkan belum
mengizinkannya memotret dengan jelas wajah salah satu pelita dalam hidupnya
itu. Hidup sebagai anak tanpa orang tua sejak kecil tentu berat buatnya. Tetapi
Sabrang telah memutuskan untuk jadi seseorang yang teguh. Ketidakhadiran Bapak
tak membuatnya lantas beralasan jadi anak yang melampiaskan kesedihan di
jalanan.
“Oh ya, Mak, Pak Wan juga sehat,
kan?” tanyaku sambil berjalan menuju ke rumah. Pak Wan adalah kakak Mamak.
Beliau lima tahun lebih tua.
“Tentu. Mungkin dia masih di
sawah,” jawab Mamak. Ah, aku kangen Pak Wan. Semenjak kepergian Bapak, dialah
satu-satunya figur yang kiranya bisa jadi panutan. Pak Wan berulang kali bilang
bahwa beliau juga menganggapku dan Sabrang sebagai anaknya sendiri. Mungkin ini
disebabkan: empat tahun lalu, anak dan istrinya mengalami kecelakaan. Mereka
meninggal di tempat.
Kematian anak dan istri membuat Pak
Wan tak banyak bicara kepada orang. Ia sering menghabiskan waktu di masjid
untuk wiridan. Atas perbedaan tingkah
ini, orang-orang menganggap Pak Wan depresi, stres. Berkali-kali mereka
menyarankan Pak Wan menikah lagi.
“Sudahlah, Kang, kamu menikah lagi
saja. Masih cukup muda, kok.”
“Iya, Pak Wan. Kalau sendiri, siapa
yang ngurusin waktu tua?”
Pak Wan hanya tersenyum kala
teman-temannya bilang begitu. Aku beberapa kali melihat. Senyumnya itu
kutafsirkan: Ah, tidak perlu. Aku tak mau menikah lagi. Sepotong hatiku telah
dibawa istri ke surga. Biarlah ia menunggu di sana. Lebih baik sendiri meski
tak terurus waktu mendekati ajal daripada menikah tanpa cinta.
Mendekati waktu isya, seorang pria
berwajah cerah mengucap salam. Aku yang sedang mengenakan songkok lekas
menyambutnya.
“Pak Wan,” sapaku gembira lalu
mencium tangannya. Beliau tersenyum.
“Bagaimana dua tahun tak pulang
kampung?”
“Hehe, berat, Pak.”
Kami kemudian mengobrol sebentar di
ruang tamu. Mamak dan Sabrang ikut bicara. Kami melepas rindu dan berbagai
cerita.
***
Telah lima hari aku di rumah. Lima
kali pula aku melihat Pak Wan menolak jadi imam salat tarawih. Pak Wan memang
lulusan pondok. Bacaan Qurannya fasih, suaranya pun merdu. Aku sebenarnya
bingung dengan keputusan Pak Wan itu.
“Kenapa Pak Wan tak mau jadi imam?”
tanyaku sebelum tadarus di masjid bersamanya.
“Lha imam itu kan sopirnya salat.
Aku ini belum punya STNK sama SIM. Belum pantas. Nanti kalau maksa malah ditilang,” jawabnya. Aku tak
mengerti penuh dengan jawaban itu. Namun lanjut Pak Wan, di sini masih ada Pak
Mulyadi, anak almarhum Mbah Nur, kyai terpandang di desa. Pak Mulyadi jauh
lebih pantas.
Kami pun membaca Quran bergantian.
Satu juz kami baca dengan pelantang. Setelah itu, kami mematikannya. Cukup baca
biasa di pojokan. Kata Pak Wan, orang-orang hendak istirahat. Jangan diganggu.
Tiap malam di situlah kami berdua.
Pak Wan bisa tahan membaca Alquran berjuz-juz semalam. Aku hanya sanggup dua
juz. Sehabis itu, aku akan pamit dan berkumpul dengan teman-teman di warung.
***
Tepat pada hari kesepuluh Ramadan,
Pak Ansori memberikan sebuah pengumuman: barang siapa yang khatam Alquran tujuh
kali Ramadan ini, ia akan diajak naik haji bersama Pak Ansori. Siapa cepat dia
dapat.
Pengumuman itu tentu jadi kabar
gembira bagi para jamaah. Banyak yang memuji kedermawanan Pak Ansori, sebagian
berusaha melobi. Aku sendiri senang. Aku langsung teringat Pak Wan. Beliau
mungkin sudah khatam tiga kali atau lebih sebab Pak Wan juga nderes sehabis subuh, zuhur, dan
menjelang buka puasa.
Namun di pojok kanan shaf, aku
hanya melihat Pak Wan bergeming tanpa ekspresi senang seolah tak terjadi
apa-apa. aku bingung. Atau apakah Pak Wan sedang khawatir karena banyak
saingan? Ah, aku tak tahu pasti. Yang jelas, hadirnya sayembara itu membikin
orang-orang jadi lebih betah di masjid. Mereka tadarus berjuz-juz. Beberapa
bahkan menginap di masjid hingga waktu sahur.
“Ya Allah, semoga aku yang menang.”
“Aku ingin pergi ke Mekah, Ya
Allah.”
Keadaan itu ternyata tak bertahan
lama. Hanya sekitar seminggu, mereka berhenti. Aku tak habis pikir. Sementara
itu, sikap Pak Wan juga sama sekali tak berubah.
“Pak Wan sudah khatam berapa kali?
Mau ikut sayembaranya Pak Ansori?” tanyaku penasaran.
“Ah, tidak.”
“Kenapa?”
“Aku takut sia-sia. Masa iya baca
Quran supaya dapat hadiah naik haji? Quranku untuk hadiah atau untuk Tuhan?”
Aku tak punya pertanyaan atau
kalimat apapun lagi untuk membalas jawaban Pak Wan itu. Aku tahu Pak Wan sudah
berada di level yang berbeda. Yang bisa kulakukan kini hanyalah menyimak ayat
demi ayat yang beliau lantunkan.
“Fabiayyi alaa irobbikumaa tukaddzibaan…”
Beberapa tetes air mata tampak di
wajah Pak Wan. Beliau berhenti membaca dan malah terisak-isak. Aku bingung
hendak melakukan apa. seumur hidupku, baru dua kali ini aku melihat Pak Wan
menangis. Yang pertama saat istri dan anaknya hendak dimandikan. Ya Allah,
apakah lelaki di depanku ini sedang merindukan ratu dan putra mahkotanya?
Aku meraih pelantang dan
mematikannya, khawatir tangis Pak Wan didengar orang.
“Ya Allah,” lirih Pak Wan. Aku
memasang telinga.
“Ada apa, Pak?”
“Aku rindu Sri dan Bonang,”
balasnya. Ternyata Pak Wan manusia biasa. Beliau bisa lelah, sedih, dan
merindu.
“Aku masih ada keinginan bersama
mereka: menikmati seribu bulan. Keinginan yang takkan bisa terwujud.” Aku hanya
bisa diam. Entahlah, aku hanya merasa bahwa saat ini, Pak Wan hanya perlu
didengarkan. Aku sama sekali tak perlu memberinya kata-kata penenang.
Semenjak hari itu, Pak Wan selalu
bermalam di masjid. Beliau baru pulang sehabis subuh. Beliau sahur di masjid.
Kadang bersamaku yang membawakan masakan Mamak. Hari-hari ini Pak Wan tampak
lebih sumringan, bahagia.
“Pak Wan tampak lebih bahagia,”
kataku.
“Masakan Mamakmu enak,” jawabnya
sambil meletakkan piring di turunan serambi masjid. Aku tersenyum. Pak Wan
begitu baik dan ramah. Sebab aku tak bisa berbakti pada Bapak, aku harap Tuhan
juga memberikan ganjaran yang sama kala aku berbuat baik padanya.
***
23 Ramadan adalah tanggal kematian
Pak Wan. Seperti malam-malam sebelumnya, aku hendak membangunkan Pak Wan yang
tidur di sekitar meja tadarus. Berulang kali aku memanggil nama,
menggoyang-goyangkan pundaknya hingga akhirnya aku sadar, Pak Wan telah
berpulang. Senyum tipis tergores di bibirnya, senyum yang sama seperti kemarin
malam. Jelas aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Apalagi Sabrang dan
Mamak. Orang-orang yang datang sesenggukan pun memenuhi ruang tamu rumahnya.
Pak Wan ditahlili, dimandikan saat
itu juga. Sehabis subuh ia dikebumikan. Selain isak tangis dan doa, hawa dingin
pun menyertai kepergiannya. Pak Wan tentu tak perlu takut kedinginan lagi. Ia
telah mengenakan selimut dan berada di rumah paling nyaman.
Sekarang, barangkali Pak Wan juga
sudah bersua dengan istri-anaknya. Mungkin Pak Wan sedang mengecup kening Bu
Sri lalu menggendong Bonang anaknya.
Oh
ya, jika memang Pak Wan sudah berjumpa dengan mereka, aku titip salam.
Barangkali halal bihalal kita masih lama. Oh, yang terakhir, aku yakin seribu
bulan menyertai kepergianmu, Pak!
TAMAT
|
Profil Penulis
Ahmad
Abu Rifai
lahir di Pati (23/04/1999) tepat saat Tuhan tersenyum lebar. Kini ia bergiat di
Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Universitas Negeri Semaran dan Kelas
Menulis Kedai ABG. Salah satu cerpennya yang berjudul Sukarni pernah dimuat di
Suara Merdeka. Kamu dapat menyapanya di www.nesatopia.com.
Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar