Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Lelaki Seribu Bulan

 


Lelaki Seribu Bulan

Karya:Ahmad Abu Rifai

 

Untuk Lelaki Seribu Bulan, aku punya pertanyaan: seberapa indah langit di sana?

Satu hari sebelum Ramadan, aku pulang ke kampung halaman. Sudah hampir dua tahun memang aku hidup di tanah perantauan. Mamak seminggu lalu mengeluarkan titah: aku harus pulang sebelum Ramadan. Beliau tak ingin kejadian tahun lalu di mana aku kehabisan tiket kapal karena dekat hari raya terulang.

“Kalau kehabisan tiket kapal air, gunakan kapal terbang!’ perintahnya berwaktu-waktu lalu. Kali itu aku tak sanggup menuruti. Uang di kantongku pas-pasan. Menggunakan pesawat artinya memupuskan keinginanku untuk memberi Mamak uang cukup banyak dan berbagi oleh-oleh pada tetangga.

Namun hari ini, kakiku sudah menjejaki tanah kampung. Kucium punggung tangan Mamak lama setelah pintu rumah kubuka. O, Mamak. Wajahnya begitu banyak berubah. Lipatan-lipatan wajahnya bertambah. Uban di rambutnya seolah tak pernah terjamah.

“Semua baik-baik saja kan, Mak?” tanyaku setelah duduk di kursi ruang tamu.

“Iya. Adikmu, Sabrang kini semakin pintar. Dia kemarin lomba menggambar. Dapat juara dua se-kabupaten,” balas Mamak.

Alhamdulillah.” Aku memandang gambar-gambar pemandangan yang menempel di dinding rumah. Bagus sekali. Ada lukisan wajah almarhum Bapak pula. Pasti buatan Sabrang.

Hari itu juga, selepas asar aku ziarah ke makam Bapak. Tentu bersama Mamak dan adik lelakiku. Setengah jam lalu, ia telah melakukan upacara pelepasan rindu denganku. Sabrang yang baru pulang sekolah langsung melempar tasnya, menghambur ke arahku. Senyum tak henti-hentinya ia hadiahkan untuk kakaknya yang baru pulang dari tanah orang.

Namun senyum itu seolah sirna kala ia duduk di hadapan nisan Bapak. Aku tahu hatinya menangis meski matanya berulang kali ia pejamkan untuk membendung air mata. Bapak meninggal saat pria kecil berambut poni miri ke kanan itu baru berumur setahun. Tuhan bahkan belum mengizinkannya memotret dengan jelas wajah salah satu pelita dalam hidupnya itu. Hidup sebagai anak tanpa orang tua sejak kecil tentu berat buatnya. Tetapi Sabrang telah memutuskan untuk jadi seseorang yang teguh. Ketidakhadiran Bapak tak membuatnya lantas beralasan jadi anak yang melampiaskan kesedihan di jalanan.

“Oh ya, Mak, Pak Wan juga sehat, kan?” tanyaku sambil berjalan menuju ke rumah. Pak Wan adalah kakak Mamak. Beliau lima tahun lebih tua.

“Tentu. Mungkin dia masih di sawah,” jawab Mamak. Ah, aku kangen Pak Wan. Semenjak kepergian Bapak, dialah satu-satunya figur yang kiranya bisa jadi panutan. Pak Wan berulang kali bilang bahwa beliau juga menganggapku dan Sabrang sebagai anaknya sendiri. Mungkin ini disebabkan: empat tahun lalu, anak dan istrinya mengalami kecelakaan. Mereka meninggal di tempat.

Kematian anak dan istri membuat Pak Wan tak banyak bicara kepada orang. Ia sering menghabiskan waktu di masjid untuk wiridan. Atas perbedaan tingkah ini, orang-orang menganggap Pak Wan depresi, stres. Berkali-kali mereka menyarankan Pak Wan menikah lagi.

“Sudahlah, Kang, kamu menikah lagi saja. Masih cukup muda, kok.”

“Iya, Pak Wan. Kalau sendiri, siapa yang ngurusin waktu tua?”

Pak Wan hanya tersenyum kala teman-temannya bilang begitu. Aku beberapa kali melihat. Senyumnya itu kutafsirkan: Ah, tidak perlu. Aku tak mau menikah lagi. Sepotong hatiku telah dibawa istri ke surga. Biarlah ia menunggu di sana. Lebih baik sendiri meski tak terurus waktu mendekati ajal daripada menikah tanpa cinta.

Mendekati waktu isya, seorang pria berwajah cerah mengucap salam. Aku yang sedang mengenakan songkok lekas menyambutnya.

“Pak Wan,” sapaku gembira lalu mencium tangannya. Beliau tersenyum.

“Bagaimana dua tahun tak pulang kampung?”

“Hehe, berat, Pak.”

Kami kemudian mengobrol sebentar di ruang tamu. Mamak dan Sabrang ikut bicara. Kami melepas rindu dan berbagai cerita.

***

Telah lima hari aku di rumah. Lima kali pula aku melihat Pak Wan menolak jadi imam salat tarawih. Pak Wan memang lulusan pondok. Bacaan Qurannya fasih, suaranya pun merdu. Aku sebenarnya bingung dengan keputusan Pak Wan itu.

“Kenapa Pak Wan tak mau jadi imam?” tanyaku sebelum tadarus di masjid bersamanya.

“Lha imam itu kan sopirnya salat. Aku ini belum punya STNK sama SIM. Belum pantas. Nanti kalau maksa malah ditilang,” jawabnya. Aku tak mengerti penuh dengan jawaban itu. Namun lanjut Pak Wan, di sini masih ada Pak Mulyadi, anak almarhum Mbah Nur, kyai terpandang di desa. Pak Mulyadi jauh lebih pantas.

Kami pun membaca Quran bergantian. Satu juz kami baca dengan pelantang. Setelah itu, kami mematikannya. Cukup baca biasa di pojokan. Kata Pak Wan, orang-orang hendak istirahat. Jangan diganggu.

Tiap malam di situlah kami berdua. Pak Wan bisa tahan membaca Alquran berjuz-juz semalam. Aku hanya sanggup dua juz. Sehabis itu, aku akan pamit dan berkumpul dengan teman-teman di warung.

***

Tepat pada hari kesepuluh Ramadan, Pak Ansori memberikan sebuah pengumuman: barang siapa yang khatam Alquran tujuh kali Ramadan ini, ia akan diajak naik haji bersama Pak Ansori. Siapa cepat dia dapat.

Pengumuman itu tentu jadi kabar gembira bagi para jamaah. Banyak yang memuji kedermawanan Pak Ansori, sebagian berusaha melobi. Aku sendiri senang. Aku langsung teringat Pak Wan. Beliau mungkin sudah khatam tiga kali atau lebih sebab Pak Wan juga nderes sehabis subuh, zuhur, dan menjelang buka puasa.

Namun di pojok kanan shaf, aku hanya melihat Pak Wan bergeming tanpa ekspresi senang seolah tak terjadi apa-apa. aku bingung. Atau apakah Pak Wan sedang khawatir karena banyak saingan? Ah, aku tak tahu pasti. Yang jelas, hadirnya sayembara itu membikin orang-orang jadi lebih betah di masjid. Mereka tadarus berjuz-juz. Beberapa bahkan menginap di masjid hingga waktu sahur.

“Ya Allah, semoga aku yang menang.”

“Aku ingin pergi ke Mekah, Ya Allah.”

Keadaan itu ternyata tak bertahan lama. Hanya sekitar seminggu, mereka berhenti. Aku tak habis pikir. Sementara itu, sikap Pak Wan juga sama sekali tak berubah.

“Pak Wan sudah khatam berapa kali? Mau ikut sayembaranya Pak Ansori?” tanyaku penasaran.

“Ah, tidak.”

“Kenapa?”

“Aku takut sia-sia. Masa iya baca Quran supaya dapat hadiah naik haji? Quranku untuk hadiah atau untuk Tuhan?”

Aku tak punya pertanyaan atau kalimat apapun lagi untuk membalas jawaban Pak Wan itu. Aku tahu Pak Wan sudah berada di level yang berbeda. Yang bisa kulakukan kini hanyalah menyimak ayat demi ayat yang beliau lantunkan.

Fabiayyi alaa irobbikumaa tukaddzibaan…”

Beberapa tetes air mata tampak di wajah Pak Wan. Beliau berhenti membaca dan malah terisak-isak. Aku bingung hendak melakukan apa. seumur hidupku, baru dua kali ini aku melihat Pak Wan menangis. Yang pertama saat istri dan anaknya hendak dimandikan. Ya Allah, apakah lelaki di depanku ini sedang merindukan ratu dan putra mahkotanya?

Aku meraih pelantang dan mematikannya, khawatir tangis Pak Wan didengar orang.

“Ya Allah,” lirih Pak Wan. Aku memasang telinga.

“Ada apa, Pak?”

“Aku rindu Sri dan Bonang,” balasnya. Ternyata Pak Wan manusia biasa. Beliau bisa lelah, sedih, dan merindu.

“Aku masih ada keinginan bersama mereka: menikmati seribu bulan. Keinginan yang takkan bisa terwujud.” Aku hanya bisa diam. Entahlah, aku hanya merasa bahwa saat ini, Pak Wan hanya perlu didengarkan. Aku sama sekali tak perlu memberinya kata-kata penenang.

Semenjak hari itu, Pak Wan selalu bermalam di masjid. Beliau baru pulang sehabis subuh. Beliau sahur di masjid. Kadang bersamaku yang membawakan masakan Mamak. Hari-hari ini Pak Wan tampak lebih sumringan, bahagia.

“Pak Wan tampak lebih bahagia,” kataku.

“Masakan Mamakmu enak,” jawabnya sambil meletakkan piring di turunan serambi masjid. Aku tersenyum. Pak Wan begitu baik dan ramah. Sebab aku tak bisa berbakti pada Bapak, aku harap Tuhan juga memberikan ganjaran yang sama kala aku berbuat baik padanya.

***

23 Ramadan adalah tanggal kematian Pak Wan. Seperti malam-malam sebelumnya, aku hendak membangunkan Pak Wan yang tidur di sekitar meja tadarus. Berulang kali aku memanggil nama, menggoyang-goyangkan pundaknya hingga akhirnya aku sadar, Pak Wan telah berpulang. Senyum tipis tergores di bibirnya, senyum yang sama seperti kemarin malam. Jelas aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Apalagi Sabrang dan Mamak. Orang-orang yang datang sesenggukan pun memenuhi ruang tamu rumahnya.

Pak Wan ditahlili, dimandikan saat itu juga. Sehabis subuh ia dikebumikan. Selain isak tangis dan doa, hawa dingin pun menyertai kepergiannya. Pak Wan tentu tak perlu takut kedinginan lagi. Ia telah mengenakan selimut dan berada di rumah paling nyaman.

Sekarang, barangkali Pak Wan juga sudah bersua dengan istri-anaknya. Mungkin Pak Wan sedang mengecup kening Bu Sri lalu menggendong Bonang anaknya.

Oh ya, jika memang Pak Wan sudah berjumpa dengan mereka, aku titip salam. Barangkali halal bihalal kita masih lama. Oh, yang terakhir, aku yakin seribu bulan menyertai kepergianmu, Pak!

TAMAT

 

Profil Penulis

Ahmad Abu Rifai lahir di Pati (23/04/1999) tepat saat Tuhan tersenyum lebar. Kini ia bergiat di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Universitas Negeri Semaran dan Kelas Menulis Kedai ABG. Salah satu cerpennya yang berjudul Sukarni pernah dimuat di Suara Merdeka. Kamu dapat menyapanya di www.nesatopia.com


Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640