Etika Bertutur di Dunia Siber
Sesungguhnya setiap manusia itu
memiliki potensi kebaikan yang telah dikaruniakan oleh Allah. Potensi ini
bersifat universal, artinya dimiliki siapapun. Apapun agamanya, negaranya,
warna kulitnya. Dalam sebuah ayat Qur’an Surat Ar-Rum ayat 30 yang artinya
sebagai berikut: Artinya: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah diatas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu...”
Coba kita perhatikan pula didalam
Asma’ul Husnaa. Ternyata sifat-sifat Allah pada Asma’ul Husnaa itu dimiliki
pula oleh manusia. Hanya saja kadar sifat Allah bersifat Maha, sedangkan
manusia hanya sebagian kecil saja. Sifat yang dimiliki Allah tidak ada
batasnya, sedangkan manusia terbatas. Inilah salah satu bukti bahwa manusia
memiliki fitrah dari Allah swt sebagaimana ayat tersebut diatas. Meskipun
fitrah manusia terbatas, namun kita harus belajar meneladani sedikit-demi
sedikit dan terus menerus. Kontinyu dan konsisten, Islam menyebutnya dengan
istiqomah. Amal baik yang disukai rosulullah saw adalah yang sedikit tetapi
terus menerus dilakukan.
Jika kita pernah melakukan perbuatan
yang tidak disukai Allah. Maka perasaan apakah yang timbul? Pasti ada rasa
takuut, cemas, didalam hati kita, bukan? Hati nurani manusia akan membisikkan
hal-hal yang baik. Hati nurani mengingatkan jika manusia melakukan dosa. Nah,
ini adalah sebuah indikator bahwa setiap jiwa itu memiliki fitrah yang bersifat
baik yang berasal dari Allah. Sebagaimana dialog antara ruh manusia di alam ruh
sebelum ditiup ke dalam rahim ibunya sebagai berikut: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi".
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)" (Q.S Al A’raaf ayat
172).
Salah satu potensi dasar (fithrah)
manusia adalah suka bicara. Itu adalah fitrah yang dikaruniakan oleh Allah swt.
Tentunya dalam bertutur kata pun kita pada dasarnya memiliki potensi bertutur
kata yang baik. Bicaranya di dunia maya tidak lagi menggunakan mulut, namun
diwakili oleh jari-jemari yang mengetikkan pada layar smartphone. Hal ini kadang membuat kita terlena dan kebablasan
dalam bertutur kata. Maka sudah sepantasnya jika kita harus menjaga etika
bertutur kata di cyber space. Berikut
etika kita bertutur kata sehingga mempermudah dakwah online kita:
·
Berkata yang baik itu ditentukan oleh ucapan dan
cara penyampaiannya. Kata yang baik, namun cara menyampaikannya tidak baik,
dapat merubah makna. Informasi pun tidak tersampaikan, dan ditambah timbulnya
kesalahpahaman dan berakhir pada konflik. Repot jadinya, bukan? Perkataan buruk
yang kerap terjadi dalam cyber space yang
harus kita hindari seperti: mengumpat, mengejek, menghina, mengancam, dan
memfitnah. Hadits riwayat Bukhori menyebutkan : “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaknya
dia berkata baik atau diam.” Jadi dalam kondisi apapun, seorang mukmin harus
bisa menahan dari perkataan buruk.
·
Selektif mengambil
informasi. Banyak sekali infromasi yang mengandung berita bohong (hoaks). Hal ini terjadi karena setiap
orang dengan bebas membuat dan menyebarkan berita tentang apapun. Maka supaya
kita tidak mudah terjebak dengan berita bohong, maka kita seleksi dulu
kebenarannya. Saring dulu, kemudian share.
·
Menghindari perdebatan.
Cara berkomunikasi secara daring membuat orang bebas berkomunikasi tanpa ada
sekat perasaan malu dan takut dengan siapapun. Hal ini memicu perkataan kotor,
dan kasar. Tak jarang komunikasi berujung pada sebuah adu argumen. Sebagai
muslim, ketika mengalani hal tersebut, hendaknya jangan memperkeruh suasana
yang tidak nyaman itu. Jika ada orang yang terlihat mengeluarkan kalimat yang
mendebat, maka tanggapilah cukup dua (2) kali saja merespon kalimatnya. Jika
kita hendak meluruskan anggapan salah dari orang lain, sampaikan dengan kalimat
yang sopan dan lemah lembut tanpa mengandung unsur menjatuhkan, apalagi
merendahkan orang lain. Hanya demi menunjukkan kebenaran argumen kita. Jika
mereka masih membantah, maka sebaiknya kita tinggalkan obrolan itu.
·
Tidak berkata dusta.
Indikator mukmin sejati salah satunya adalah jika berkata benar adanya. Lain
dengan orang munafik, apabila berkata ia dusta, jika dipercaya ia khianat, jika
janji ia ingkar. Meskipun secara daring, seorang muslim hendaklah menjunjung
tinggi perkataannya dari sifat dusta, sekalipun hanya untuk sekedar bercanda.
Mari kita perhatikan hadits berikut: “
Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa.
Celakalah dia dan celakalah dia.” (H.R Abu Daud).
·
Meninggalkan pembicaraan
yang sia-sia. Asyik saling berbalas chat dengan teman baik di grop maupun
pribadi, mungkin menjadi hal yang biasa kita lakukan di layar gadget kita.
Terkadang kita terlena dengan waktu bahkan tak terasa hingga larut malam,
sampai menjelang pagi. Padahal rosul saw memberikan contoh pola tidur dengan
cepat-cepat tidur, dan cepat-cepat bangun. Sehabis isya’ beliau terbiasa tidur,
dan bangun pada sepertiga malam terakhir untuk tahajjud. Ada kalanya sesekali
beliau bersilaturahim, atau bermusyawarah dengan sahabat di waktu malam. Jadi,
begadang semalaman dengan berbicara yang sia-sia bukanlah hal yang dicontohkan
oleh rosulullah saw. Sudah sepatutnya umat muslim meninggalkan kebiasaan
berbuat sia-sia. Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah : “Termasuk kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang
tidak berguana (sia-sia).”
·
Tidak menghibah dan
fitnah. Ghibah dan fitnah adalah perkara yang terkadang kita lakukan tanpa
disadari. Karena mungkin hal ini sudah menjadi hal yang biasa dilingkungan
kita. Betapa bahayannya akibat dari ghibah dan fitnah. Sampai-sampai rosulullah
saw. bersabda: “Fitnah itu lebih kejam
dari pembunuhan.” Juga terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al Hujurat
ayat 12: “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
·
Menjaga tulisan yang tidak menyinggung perasaan.
Indikator seorang mukmin salah satunya yaitu menjaga perkataannya. Karena
keyakinan bahwa kelak semua ucapannya dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana
Hadits berikut: “Tidaklah wajah dan leher
manusia dijerembabkan ke dalam api neraka kecuali akibat apa yang diucapkan
lisan-lisan mereka.” (H.R Tirmidzi). Dan bukanlah seorang muslim, jika
lisan kita tidak terjaga dari menyakiti hati orang lain.
·
Menghargai pendapat orang lain. Salah satu fungsi media
sosial yaitu sebagai wadah untuk menyalurkan ide atau pendapat. Wajar jika
pendapat orang lain berbeda dengan pendapat kita. Maka disini perlu kita
mengendalikan diri dari sikap suka beradu argumen yang berujung pada perdebatan
yang sia-sia, yang hanya menimbulkan perpecahan, perselisihan, bahkan
permusuhan. Bila hal itu berlanjut di dunia nyata, bisa bahaya! Akibatnya
terjadi perkelahian, tawuran, bahkan sampai pada pembunuhan, hanya dikarenakan
perbedaan pendapat di dunia maya. Hal semacam ini harus kita redam. Sebisa
mungkin kita bersikap rendah hati. Jangan merasa sombong dengan pendapat kita.
Barangkali pendapat orang lain itulah yang lebih baik, atau meski pendapat kita
yang lebih baik sekalipun, Islam tidak mencontohkan umatnya untuk bersikap
sombonng. Karena kesombonngan sebesar biji sawi saja, bisa mengharamkan kita
masuk ke syurga. Maka, hati-hati dengan hati kita ya!
·
Tidak melakukan hal yang menimbulkan bahaya, atau
kerugian pada orang lain. Apa saja contoh bahaya atau kerugian yang dilakukan
di dunia maya? Memata-matai, membuka aib orang lain, memfitnah, melakukan
sindiran dengan kata kasar, dll. Semua perbuatan yang dapat menimbulkan resiko
buruk orang lain sebaiknya kita hindari. Karena kerugian hanya akan kembali
kepada diri kita. Sebagaimana kita menebar kebaikan, sesungguhnya kita berbuat
kebaikan kepada diri sendiri. Perhatikan bunyi Q.S Az Zalzalah ayat 7-8 berikut
ini: “Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.”
Sumber buku: https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/etika-muslim-siber.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar