Dia
Perempuan yang Aku Benci
Karya: Mahardy Purnama
|
Dia adalah perempuan yang paling tidak aku suka di
kelas. Jujur, Dia tidak jahat. Bodoh juga tidak. Dia pintar. Malah saingan terberatku di
kelas. Dia sempat menjadi juara kelas pada semester satu lalu. Aku tidak mau
kalah. Sebab itu aku belajar lebih tekun pada semester dua. Usahaku tidak
sia-sia, pada semester dua aku berhasil menjadi juara kelas dan Dia di
peringkat kedua. Aku sangat puas.
Teman-teman banyak yang suka pada
Dia. Biasanya mereka mendekat padanya meminta diajarkan pelajaran yang belum
mereka pahami. Dia memang paling bisa menjelaskan dengan baik.
Teman laki-laki juga banyak yang
suka pada Dia. Padahal menurutku wajahnya tidak secantik wajahku. Aku tidak
begitu mengerti mengapa teman-teman sangat menyukainya padahal apa yangDia
miliki, aku juga miliki.
Dia biasa memulai untuk menyapaku
tapi aku lebih sering menjawab seirit mungkin dan berusaha mencari-cari
kesibukan lain agar tidak terlihat akrab dengannya. Sudah setahun aku bersikap
seperti itu padanya. Aku memang tidak bisa akrab dengannya. Lebih tepatnya
tidak mau akrab.
Tapi setelah aku pikir-pikir
kembali, satu mungkin ia punya yang aku tidak punya, yaitu‘alimah dan shalihah.
Setahun aku sekelas dengannya, aku tahu dia anak yang agamis. Dia aktif di
organisasi apa itu namanya? Rohis ya? Organisasi keislaman di sekolah yang
sering mengadakan kegiatan-kegiatan keislaman di masjid sekolah.
Aku tidak mau tahu itu. Sama sekali
aku tidak tertarik. Menurutku, agama itu urusan pribadi masing-masing. Aku
shalat kok, meskipun kadang cuma sampai tiga kali dalam sehari. Tapi ini kan
urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan. Tidak ada yang boleh mengklaim dia
lebih baik dan lebih berhak masuk surga hanya karena shalatnya rajin.
Saat waktu istirahat, Dia biasa
mengajak teman-teman lain untuk shalat di masjid sekolah. Tidak jarang juga Dia
mengundang teman-teman kalau ada pengajian pekanan di masjid. Mentang-mentang
anggota rohis.
Aku sih sama sekali tidak tertarik.
Aku memang bukan dilahirkan dari keluarga yang agamis. Aku akui itu. Jadi,
tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau agama. Menurutku agama itu membatasi
kreatifitas seseorang. Apa-apa dilarang. Ini dilarang, itu dilarang. Menampakkan
rambut tidak boleh. Padahal itu kan kebebasan pribadi. Sekali lagi, tidak ada
yang berhak mengklaim diri yang paling bersih dan paling suci. Tuhan yan berhak
menilainya.
Perdebatan sengit pernah terjadi
antara aku dengan Dia tentang jilbab pada semester lalu. Dia keluarkan
argumentasi-argumentasi yanghanya dia lihat dari sisi agama saja. Aku yang
tidak pakai jilbab tersinggung dong. Tidak berarti yang pakai jilbab itu bersih
tanpa dosa. Betapa banyak di luar sana yang berjilbab tapi parah pergaulannya,
hobinya bergosip, suka memfitnah orang lain, dan sebagainya. Sejak perdebatan
itu aku makin benci pada Dia. Aku juga semakin tidak tertarik dengan jilbab.
Bagiku yangpentinghatibaikdanapa yangakukerjakantidakmerugikan orang lain.
Sampai suatu ketika, saat pulang
sekolah, Randi kakak kelas yang sudah memacariku 10 bulan memintaku menunggunya
di kelas. Ada sesuatu yang ingin Kak Randi bicarakan denganku. Ketika itu,
tidak ada lagi orang di kelas. Semua sudah pulang.
“Mengapa?” Aku meminta penjelasan pada
Kak Randi saat kata putus keluar dari bibirnya hari itu.
“Aku bosan denganmu?”
Apa? Semudah itu? Seenteng itu kau
katakan alasan kau putus denganku? Tapi aku tidak sanggup mengucapkan kata-kata
itu. Seketika kedua kakiku terasa lemahhampir-hampir tidak mampu menopang berat
tubuhku. Dadaku bergemuruh, mataku mulai sembab tapi sekuat tenaga aku tahan.
Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan Kak Randi. Laki-laki brengsek.
“Kau terlalu sempurna buatku. Kau
terlalu pintar, sampai-sampai aku terlihat bodoh jika berada di depanmu.
Orang-orang selalu mengatakan aku tidak pantas denganmu.”
Aku ingin marah. Ingin mengumpat.
Ingin meludahi wajahnya. Tapi aku tidak bisa melakukan semua itu. Aku hanya
bisa menundukkan wajah.
“Jadi mulai saat ini, aku bukan
pacarmu lagi,” ucap Kak Randi lalu keluar begitu saja tanpa ada kata maaf.
Belum juga lima detik ia keluar dari kelas, aku ambruk terduduk di lantai. Air
mataku tumpah seketika.
Saat aku merasa begitu hina,
tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat padaku. Aku tidak bisa melihatnya
karena lebih memilih menangis sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku.
“Nadila, kamu baik-baik saja?”
Suara itu tidak asingdi telingaku.
Dia adalah Nadia Salsabila, orang yang paling aku benci di kelas. Dia kemudian
merangkulku.
“Aku tadi melihat Kak Randi keluar
dari kelas. Katakan kalau dia menyakitimu biar aku laporkan pada pihak
sekolah.”
Aku mengangguk. Aku belum bisa
berkata-kata. Hanyabisamenangisdanterus menangis.
“Tenanglah. Tak perlu sedih. Ada
hikmahnya Insya Allah,” ucap Dia sambil mengelap air mata yang mengotori wajah
cantikku. Meskipun aku benci padanya, aku merasa tenang Dia berada di sisiku
saat ini. Dia mampu membuatku sedikit lebih tenang.
“Kau diputuskan?”
Aku hanya bisa mengangguk lagi.
“Yang sabar. Yang kuat. Kamu pasti
kuat Nadila,”
Dia lalu mengeluarkan botol air
mineral dari dalam tasnya, membukakan penutupnya lalu menyodorkannya padaku.
Seakan-akan Dia tidak memiliki rasa
benci padaku. Padahal selama ini aku selalu cuek padanya. Selalu menjaga jarak
darinya. Setelah meneguk minuman yang Dia berikan, perasaanku menjadi lebih
baik.
Dia pun menemaniku untuk beberapa
menit di dalam kelas lalu mengantarku pulang. Ini kali pertama aku pulang
bersama Dia setelah satu tahun kami menjadi teman sekelas. Di jalan aku lebih
banyak diam dan tidak memulai pembicaraan lebih dahulu. Dia yang selalu
memulainya. Dan aku menjawab dengan jawaban sesingkat-singkatnya.
Hari itu, Dia benar-benar mampu
menghiburku dan membuatku sedikit lebih kuat. Tapi, bukan berarti rasa benciku
padanya hilang. Dia tetap aku anggap sebagai pesaing nomor wahid bagiku. Aku
masih benci Dia. Hanya saja aku mulai lebih sering melempar senyum padanya.
Pada jam istirahat, Dia mengajakku
ke kantin sekolah, aku tidak menolak. Ah, aku rasa itu hal yang wajar karena
suasana hatiku lagi belum stabil. Aku memang butuh orang yang dapat
menghiburku. Aku yakin aku masih punya rasa benci padanya.
Saat Dia tidak masuk sekolah karena
sakit, jari-jari tanganku tergerak untuk memencet aksara-aksara pada ponselku
menanyakan Dia sakit apa. Padahal Dia musuh terbesarku di kelas. Dan sorenya,
aku datang menjenguknya seorang diri.
Sepertinya Dia kaget melihat
kedatanganku. Aku memandang wajahnya masih cerah meskipun sedang sakit. Dia
tersenyum melihatku. Aku akui Dia tetap cantik meskipun sakit. Tapi tetap tidak
secantik diriku.
Dia banyak bercerita tentang
dirinya dan keluarganya. Aku sebenarnya tidak tertarik, tapi aku mau
mendengarnya. Sesekali aku tertawa mendengar ceritanya. Uniknya, aku juga tidak
bisa menahan diri untuk tidak bercerita tentang diriku. Aku anggap itu sekadar
basa-basi untuk menyenangkan Dia yang sedang sakit.
Tapi, tentang hubunganku dengan Kak
Randi mantanku, kapan aku awal jadian dengannya, tanpa Dia minta, aku
menceritakan pada Dia semuanya.
Sebelum aku pamit pulang, Dia
memintaku untuk menemaninya ikut pengajian di masjid sekolah kalau Dia sembuh
nanti. Anehnya, mulutku berkata iya.
Aku berpikir, apa Dia masih menjadi
orang yang paling aku benci? Emm, sepertinya masih.
Aku akhirnya menemani Dia ikut pengajian
yang diadakan rohis di masjid sekolah. Ajaib, itu pertama kalinya aku ikut
pengajian. Sampai-sampai semua manusia di kelasku heboh. Nadila? Nadila Lestari
ikut pengajian? Mustahil!
Apa salahnya? Anggap saja ini rasa
terima kasihku kepada Dia yang telah menyemangatiku selama ini setelah
diputuskan Kak Randi.
Di pengajian itu, karena aku tidak
punya jilbab, Dia meminjamkan jilbab miliknya padaku. Jilbab putih bersih yang
menutupi dada. Malu aku memakainya tapi aku tak ambil pusing. Kepala ini kan
aku yang punya.
Beberapa hari kemudian, ketika
masuk ke kelas di pagi hari, aku melihat mata teman-teman semua fokus padaku.
Untuk beberapa saat aku melihat puluhan pasang mata itu tidak berkedip sedikit
pun. Sebagian menutupi mulut mereka yang menganga.
“Nadila…..ajaib, kamu berjilbab
sekarang!!!”
“Gila!”
“Masya Allah, kamu makin cantik
Nadila!” seru yang lainnya.
Aku bisa apa. Aku hanya tersenyum
malu. Jalan menunduk menuju tempat dudukku. Aku menatap Dia yang tersenyum
padaku. Senyumnya sangat manis. Kamu tak
perlu senyum padaku. Aku benci padamu. Kamulah yang membuatku menjadi seperti
ini.
***TAMAT***
|
Profil Penulis
Mahardy Purnama adalah seorang penulis dan mantan redaktur koran Amanah Makassar. Dia telah menghasilkan tiga buah buku. Dua di antaranya mengenai sejarah Islam sesuai dengan background pendidikannya: Sejarah Peradaban Islam.
Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar