Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Dia Perempuan yang Aku Benci

 


Dia Perempuan yang Aku Benci

Karya: Mahardy Purnama

 

        Dia adalah perempuan yang paling tidak aku suka di kelas. Jujur, Dia tidak jahat. Bodoh juga tidak. Dia pintar. Malah saingan terberatku di kelas. Dia sempat menjadi juara kelas pada semester satu lalu. Aku tidak mau kalah. Sebab itu aku belajar lebih tekun pada semester dua. Usahaku tidak sia-sia, pada semester dua aku berhasil menjadi juara kelas dan Dia di peringkat kedua. Aku sangat puas.

Teman-teman banyak yang suka pada Dia. Biasanya mereka mendekat padanya meminta diajarkan pelajaran yang belum mereka pahami. Dia memang paling bisa menjelaskan dengan baik.

Teman laki-laki juga banyak yang suka pada Dia. Padahal menurutku wajahnya tidak secantik wajahku. Aku tidak begitu mengerti mengapa teman-teman sangat menyukainya padahal apa yangDia miliki, aku juga miliki.

Dia biasa memulai untuk menyapaku tapi aku lebih sering menjawab seirit mungkin dan berusaha mencari-cari kesibukan lain agar tidak terlihat akrab dengannya. Sudah setahun aku bersikap seperti itu padanya. Aku memang tidak bisa akrab dengannya. Lebih tepatnya tidak mau akrab.

Tapi setelah aku pikir-pikir kembali, satu mungkin ia punya yang aku tidak punya, yaitu‘alimah dan shalihah. Setahun aku sekelas dengannya, aku tahu dia anak yang agamis. Dia aktif di organisasi apa itu namanya? Rohis ya? Organisasi keislaman di sekolah yang sering mengadakan kegiatan-kegiatan keislaman di masjid sekolah.

Aku tidak mau tahu itu. Sama sekali aku tidak tertarik. Menurutku, agama itu urusan pribadi masing-masing. Aku shalat kok, meskipun kadang cuma sampai tiga kali dalam sehari. Tapi ini kan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan. Tidak ada yang boleh mengklaim dia lebih baik dan lebih berhak masuk surga hanya karena shalatnya rajin.

Saat waktu istirahat, Dia biasa mengajak teman-teman lain untuk shalat di masjid sekolah. Tidak jarang juga Dia mengundang teman-teman kalau ada pengajian pekanan di masjid. Mentang-mentang anggota rohis.

Aku sih sama sekali tidak tertarik. Aku memang bukan dilahirkan dari keluarga yang agamis. Aku akui itu. Jadi, tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau agama. Menurutku agama itu membatasi kreatifitas seseorang. Apa-apa dilarang. Ini dilarang, itu dilarang. Menampakkan rambut tidak boleh. Padahal itu kan kebebasan pribadi. Sekali lagi, tidak ada yang berhak mengklaim diri yang paling bersih dan paling suci. Tuhan yan berhak menilainya.

Perdebatan sengit pernah terjadi antara aku dengan Dia tentang jilbab pada semester lalu. Dia keluarkan argumentasi-argumentasi yanghanya dia lihat dari sisi agama saja. Aku yang tidak pakai jilbab tersinggung dong. Tidak berarti yang pakai jilbab itu bersih tanpa dosa. Betapa banyak di luar sana yang berjilbab tapi parah pergaulannya, hobinya bergosip, suka memfitnah orang lain, dan sebagainya. Sejak perdebatan itu aku makin benci pada Dia. Aku juga semakin tidak tertarik dengan jilbab. Bagiku yangpentinghatibaikdanapa yangakukerjakantidakmerugikan orang lain.

Sampai suatu ketika, saat pulang sekolah, Randi kakak kelas yang sudah memacariku 10 bulan memintaku menunggunya di kelas. Ada sesuatu yang ingin Kak Randi bicarakan denganku. Ketika itu, tidak ada lagi orang di kelas. Semua sudah pulang.

“Mengapa?” Aku meminta penjelasan pada Kak Randi saat kata putus keluar dari bibirnya hari itu.

“Aku bosan denganmu?”

Apa? Semudah itu? Seenteng itu kau katakan alasan kau putus denganku? Tapi aku tidak sanggup mengucapkan kata-kata itu. Seketika kedua kakiku terasa lemahhampir-hampir tidak mampu menopang berat tubuhku. Dadaku bergemuruh, mataku mulai sembab tapi sekuat tenaga aku tahan. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan Kak Randi. Laki-laki brengsek.

“Kau terlalu sempurna buatku. Kau terlalu pintar, sampai-sampai aku terlihat bodoh jika berada di depanmu. Orang-orang selalu mengatakan aku tidak pantas denganmu.”

Aku ingin marah. Ingin mengumpat. Ingin meludahi wajahnya. Tapi aku tidak bisa melakukan semua itu. Aku hanya bisa menundukkan wajah.

“Jadi mulai saat ini, aku bukan pacarmu lagi,” ucap Kak Randi lalu keluar begitu saja tanpa ada kata maaf. Belum juga lima detik ia keluar dari kelas, aku ambruk terduduk di lantai. Air mataku tumpah seketika.

Saat aku merasa begitu hina, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat padaku. Aku tidak bisa melihatnya karena lebih memilih menangis sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku.

“Nadila, kamu baik-baik saja?”

Suara itu tidak asingdi telingaku. Dia adalah Nadia Salsabila, orang yang paling aku benci di kelas. Dia kemudian merangkulku.

“Aku tadi melihat Kak Randi keluar dari kelas. Katakan kalau dia menyakitimu biar aku laporkan pada pihak sekolah.”

Aku mengangguk. Aku belum bisa berkata-kata. Hanyabisamenangisdanterus menangis.

“Tenanglah. Tak perlu sedih. Ada hikmahnya Insya Allah,” ucap Dia sambil mengelap air mata yang mengotori wajah cantikku. Meskipun aku benci padanya, aku merasa tenang Dia berada di sisiku saat ini. Dia mampu membuatku sedikit lebih tenang.

“Kau diputuskan?”

Aku hanya bisa mengangguk lagi.

“Yang sabar. Yang kuat. Kamu pasti kuat Nadila,”

Dia lalu mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasnya, membukakan penutupnya lalu menyodorkannya padaku.

Seakan-akan Dia tidak memiliki rasa benci padaku. Padahal selama ini aku selalu cuek padanya. Selalu menjaga jarak darinya. Setelah meneguk minuman yang Dia berikan, perasaanku menjadi lebih baik.

Dia pun menemaniku untuk beberapa menit di dalam kelas lalu mengantarku pulang. Ini kali pertama aku pulang bersama Dia setelah satu tahun kami menjadi teman sekelas. Di jalan aku lebih banyak diam dan tidak memulai pembicaraan lebih dahulu. Dia yang selalu memulainya. Dan aku menjawab dengan jawaban sesingkat-singkatnya.

Hari itu, Dia benar-benar mampu menghiburku dan membuatku sedikit lebih kuat. Tapi, bukan berarti rasa benciku padanya hilang. Dia tetap aku anggap sebagai pesaing nomor wahid bagiku. Aku masih benci Dia. Hanya saja aku mulai lebih sering melempar senyum padanya.

Pada jam istirahat, Dia mengajakku ke kantin sekolah, aku tidak menolak. Ah, aku rasa itu hal yang wajar karena suasana hatiku lagi belum stabil. Aku memang butuh orang yang dapat menghiburku. Aku yakin aku masih punya rasa benci padanya.

Saat Dia tidak masuk sekolah karena sakit, jari-jari tanganku tergerak untuk memencet aksara-aksara pada ponselku menanyakan Dia sakit apa. Padahal Dia musuh terbesarku di kelas. Dan sorenya, aku datang menjenguknya seorang diri.

Sepertinya Dia kaget melihat kedatanganku. Aku memandang wajahnya masih cerah meskipun sedang sakit. Dia tersenyum melihatku. Aku akui Dia tetap cantik meskipun sakit. Tapi tetap tidak secantik diriku.

Dia banyak bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Aku sebenarnya tidak tertarik, tapi aku mau mendengarnya. Sesekali aku tertawa mendengar ceritanya. Uniknya, aku juga tidak bisa menahan diri untuk tidak bercerita tentang diriku. Aku anggap itu sekadar basa-basi untuk menyenangkan Dia yang sedang sakit.

Tapi, tentang hubunganku dengan Kak Randi mantanku, kapan aku awal jadian dengannya, tanpa Dia minta, aku menceritakan pada Dia semuanya.

Sebelum aku pamit pulang, Dia memintaku untuk menemaninya ikut pengajian di masjid sekolah kalau Dia sembuh nanti. Anehnya, mulutku berkata iya.

Aku berpikir, apa Dia masih menjadi orang yang paling aku benci? Emm, sepertinya masih.

Aku akhirnya menemani Dia ikut pengajian yang diadakan rohis di masjid sekolah. Ajaib, itu pertama kalinya aku ikut pengajian. Sampai-sampai semua manusia di kelasku heboh. Nadila? Nadila Lestari ikut pengajian? Mustahil!

Apa salahnya? Anggap saja ini rasa terima kasihku kepada Dia yang telah menyemangatiku selama ini setelah diputuskan Kak Randi.

Di pengajian itu, karena aku tidak punya jilbab, Dia meminjamkan jilbab miliknya padaku. Jilbab putih bersih yang menutupi dada. Malu aku memakainya tapi aku tak ambil pusing. Kepala ini kan aku yang punya.

Beberapa hari kemudian, ketika masuk ke kelas di pagi hari, aku melihat mata teman-teman semua fokus padaku. Untuk beberapa saat aku melihat puluhan pasang mata itu tidak berkedip sedikit pun. Sebagian menutupi mulut mereka yang menganga.

“Nadila…..ajaib, kamu berjilbab sekarang!!!”

“Gila!”

“Masya Allah, kamu makin cantik Nadila!” seru yang lainnya.

Aku bisa apa. Aku hanya tersenyum malu. Jalan menunduk menuju tempat dudukku. Aku menatap Dia yang tersenyum padaku. Senyumnya sangat manis. Kamu tak perlu senyum padaku. Aku benci padamu. Kamulah yang membuatku menjadi seperti ini.

***TAMAT***

 

Profil Penulis

Mahardy Purnama adalah seorang penulis dan mantan redaktur koran Amanah Makassar. Dia telah menghasilkan tiga buah buku. Dua di antaranya mengenai sejarah Islam sesuai dengan background pendidikannya: Sejarah Peradaban Islam. 


Mau baca lebih banyak kisah tentang cerpen bertema ramadhan, chek di buku ini https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/indahnya-ramadhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640