Oleh Emelia Karta Lena
(Sebagai Cerpen Terpilih Juara 2 dalam Event Cerpen Tema Kenangan dalam Buku Memori yang Tersimpan Rapi pada Februari 2023)
G |
erimis
kecil luruh mengiringi langkah pertamaku menjejakkan kaki di kota Senentang. Langkah
pertama setelah lebih lima tahun kutinggalkan kota yang melukis banyak warna di
hidupku. Sendiri aku menyusuri setiap sudut yang pernah kulalui. Banyak yang
berubah karena lima tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan. Namun,
lima tahun juga belum cukup bagiku untuk
melupakan seseorang yang sangat berarti bagiku.
“Jangan sampai nggak datang ya,
reuni nanti, seru lho ketemu lagi sama teman-teman,” bujuk Yan seminggu yang
lalu, hanya Yan teman putih abu-abuku yang masih setia berbalas kabar.
“Siapa aja yang datang, Yan?”
“Rame, Ben, udah 90% dapet kontak
teman-teman dan semuanya pengen datang, rugi lho kalo nggak gabung,” rayu Yan
lagi.
“Nggak janji ya, liat situasi dulu. Kantor
lagi sibuk ni,” aku masih berusaha mencari-cari alasan.
“Nggak pengen ketemu Ziren lagi,
Ben? Dia juga masih sendiri lho sekarang kayaknya kalian sama-sama gagal move
on deh,” tembak Yan langsung.
“Kisah kami udah selesai, kamu yang
paling tahu kan, Yan,” kataku lemah.
“Tapi Ziren nanyain kamu lho di
grup, makanya gabung sama teman-teman di grup.”
Aku terdiam, tak ingin bercengkerama
dengan teman-teman di grup putih abu-abuku adalah caraku melupakan kenangan
yang terus membelenggu.
“Kalo mau ketemu Ziren ini
kesempatan, Ben, karena kamu nggak punya alasan untuk nemui dia sendiri kan,
lagian emang kamu nggak penasaran seperti apa Ziren sekarang?”
Dan kata-kata Yan membuatku kembali
menjejakkan kaki di kota ini. Setelah seminggu bergumul dengan keraguan
akhirnya kuputuskan untuk datang di acara reuni setelah lebih lima tahun saling
terpisah. Reuni berarti bertemu dengan teman-teman lama, mengenang kisah-kisah
lama, dan membuka luka lama.
Langkahku terhenti di dermaga sungai
Kapuas. Banyak yang berubah dari ingatanku dulu. Lebih modern, rapi, dan indah.
Tak ada lagi bangku kayu di bawah pohon bungur tempatku biasa menemani Ziren
menunggu senja menghilang di kaki langit.
“Aku selalu terpesona pada senja,
Ben, apalagi senja di tepi sungai seperti ini, sinar temaram jingganya yang
terpantul di riak air seperti kilauan mutiara yang indah,” ingatanku kembali pada satu senja yang tak
bisa kulupa dari sekian banyak senja yang kulukis bersama Ziren.
“Tapi senja nggak akan indah kalo
nggak ada kamu, Ren,” gombalku kala itu,
pipinya memerah di balik helai rambut yang luruh di bahunya.
“Sebenarnya ada hal penting yang
pengen aku sampaikan, Ben,” Ziren menatapku.
“Apaan, Ren, serius amat kayaknya,
pengen dilamar ya?” godaku.
“Aku pengen kita putus, Ben,” lirih
suara Ziren hampir tak terdengar. Namun, mampu memacu detak jantungku.
“Ziren?” aku tak percaya dengan
pendengaranku, “Maksud kamu apa, Ren?”
“Aku nggak bisa lagi melanjutkan
hubungan kita, Beno.” tegas Ziren dengan suara yang lebih nyaring.
“Tapi kenapa, Ren, kita baik-baik
aja kan selama ini?” tanyaku tak mengerti.
“Maaf, Ben, selama ini aku hanya
menganggapmu sebagai teman, aku nggak bisa menumbuhkan rasa cinta untukmu, aku
nggak bisa lagi melanjutkan hubungan kita, jadi kita berhenti sampai di sini, mungkin kamu akan
lebih baik tanpaku.”
Kemudian senja berganti malam, seperti hatiku yang diselimuti kegelapan karena kecewa dan merasa terhianati. Apalagi setelahnya Ziren menghilang tanpa kabar. Tak kutemukan jejaknya ketika aku masih ingin meyakinkan hati, benarkah tiga tahun yang kurajut bersamanya tak menumbuhkan setitik cinta di hatinya. Begitu mudahnya ia menghempaskan mimpi yang ingin kuraih bersamanya. Dan kebencian membentengi hatiku hingga kuputuskan semua hal yang mengingatkanku pada Ziren termasuk teman putih abu-abu yang menjadi saksi perjalanan cintaku.
***
Aku masih berkelana di dunia mimpi saat benda pipih di samping bantalku tak henti berdering. Setengah terpejam kutekan tombol hijau dan seperti dugaanku suara Yan langsung memenuhi gendang telingaku.
“Di mana posisi, Bro?”
“Udah nyampe kemarin sore, Yan”.
“Kok nggak ke rumah, Ben, masih
ingatkan rumahku?”
“Ntar sore aja selesai acara aku
langsung nginap ke rumahmu,” janjiku.
“Benar ya, mama sama papa udah
nanyain tu”.
“Pasti…bilang tante masak yang enak
untukku, udah rindu ni sama masakan tante”.
“Oke… ntar kusampaikan ke mama, eh
iya, Ben, aku juga pengennyampaikan pesan, Ziren pengen ketemu sama kamu.”
Lama aku terdiam dengan perasaan
yang bergejolak, antara rindu, marah, benci, dan cinta yang masih setia di
dasar hatiku. Bukankah tujuanku untuk datang karena ingin bertemu Ziren,
menuntaskan tanya yang tak kunjung kutemukan jawabannya.
“Ketemu di mana Yan, kenapa nggak
dia aja yang ngomong langsung?” tanyaku penasaran.
“Aku jemput ya, Ben, ntar kamu tanya aja sendiri.”
***
Aku terpekur menatap gundukan tanah
merah yang masih basah dengan taburan bunga yang mulai layu. Hening. ZIRENNA
tertulis di batu nisan yang masih berhias karangan bunga, wafat empat hari yang
lalu.
“Maaf, Ben, ini semua permintaan
Ziren, dia titip ini buat kamu.” Yan meletakkan amplop putih di tanganku,
perlahan kubuka dan butir bening di sudut mataku luruh bersama kerinduan yang
tak bertepian.
‘Hai….
Ben, apa kabar? Sampai
kutulis surat ini aku tak punya keberanian untuk bertemu denganmu. Lima tahun yang lalu aku didiagnosa dokter mengidap leukemia,
dan vonis dokter usiaku tak lebih dari lima tahun. Duniaku runtuh Ben,
semua impian dan cita-citaku lenyap, juga cintaku padamu kehilangan
harapan. Aku mohon maaf tak berbagi denganmu karena aku tak ingin menjadi
belenggu hidupmu. Perjalananmu masih panjang Ben, banyak mimpi yang hendak
kau gapai. Aku mencintaimu Ben, karena itu aku ingin kau bahagia tanpaku.
Biarlah cerita kita hanya menjadi kenangan manis yang menemaniku menghitung
hari. Kita hanya punya masa lalu untuk dikenang, tapi tak punya masa depan
untuk diperjuangkan. Ben, berjanjilah padaku suatu hari nanti kamu mengunjungiku di sini bersama cinta terakhirmu’. |
“Dua bulan yang lalu Ziren ngubungiku, dia cerita tentang sakitnya dan ngelarang aku ngasi info ke kamu. Dia tahu kamu kecewa padanya, reuni ini ide Ziren supaya kamu mau datang lagi ke kota ini,” Yan bercerita dalam perjalanan pulang.
“Apa aja yang Ziren ceritakan, Yan?”
tanyaku lirih.
Bersambung. []
kumpulan kisah lengkap dalam buku Memori yang Tersimpan Rapi https://www.alqalammedialestari.com/2023/03/memori-yang-tersimpan-rapi.html
PROFIL PENULIS
Emelia Karta Lena, S.Pd merupakan salah satu guru di SMPN 5 Ketungau Hulu, daerah terpencil di perbatasan Indonesia –Malaysia. Penulis lahir di Sintang dan berulang tahun setiap tanggal 20 Oktober. Dari hobi membaca ia baru belajar menulis untuk memotivasi para siswanya agar berani berkarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar