Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dengan
skala tinggi di bawah laut yang terjadi pukul 00:58:53 UTC pada hari Minggu, 26
Desember 2004, dengan episentrum di lepas barat Sumatera, Indonesia. Gempa yang
terjadi tiga hari setelah gempa berkekuatan 8,1 di wilayah tak berpenghuni
subantarktik di sebelah barat Kepualauan Auckland, Selandia Baru, dan di
sebelah utara Pulau Macquarie, Australia. Gempa yang menyebabkan tsunami besar
menghantam Aceh. Tsunami yang kelak akrab di pendengaran kita dengan sebutan
tsunami Aceh 2004. Terlepas dari seluruh prediksi para ahli dan apapun
penelitian yang dilakukan terhadap bencana alam yang menghantam Aceh, yang
tidak memberikan pengaruh banyak. Karena nyatanya bukan segala bentuk prediksi
dan penelitian namun krisis kemanusiaan menjadi momok yang bertahun-tahun
merusak mental. Karena ternyata banyak yang harus kehilangan tempat tinggal
bahkan keluarga.
Terlepas dari dugaan manusia tentang
bumi yang sudah tidak lagi mampu menampung miliaran jiwa. Atau bumi tengah
murka atas kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia. Terlepas dari itu
semua, ada hal yang sejatinya tidak dipahami oleh kebanyakan orang. Karena esok
lusa saat mereka mengenang kejadian yang meluluhlantahkan tempat tinggal dan
membawa pergi orang-orang tersayang untuk selama-lamanya. Tak masalah mengenang
dalam kesedihan karena nyatanya kesedihan itu tak dapat dielakkan. Namun tidak
sedikit yang mengenang dalam kebenciaan. Seolah-olah enggan menerima ketentuan
Tuhan. Lantas kebenciaan dijadikan pembenaran untuk dapat mengenang. Padahal
mengenang dalam kebencian sama halnya dengan berjalan di jalan yang gelap tanpa
cahaya, tak menentu arahnya.
Itulah yang dilakukan oleh Maya.
Mengenang dalam kebenciaan atas bencana yang menghantam Aceh. Dua hari sebelum
bencana terjadi, Ibunya menelepon. Meminta izin padanya untuk boleh
mengunjunginya yang tengah berkuliah di salah satu Universitas ternama di
Bandung. Maya yang saat itu tengah sibuk dengan tugas serta penelitian akhir
tahunnya, tidak mengizinkan orang tuanya berkunjung. Dengan alasan ia sedang
mengadakan penelitian di luar kota. Padahal penelitian yang ia kerjakan hanya
tinggal merampungkan beberapa laporan dan segera selesai. Karena khawatir
kedatangan orang tuanya menggangu kesibukannya, Maya memilih menolak kedatangan
kedua orang tuanya.
Kedua orang tua Maya akhirnya
mengalah. Karena orang tua manapun selalu paham bagaimana anaknya. Sehingga
kunjungan itu dibatalkan hingga tsunami besar menghantam Aceh. Kota kelahiran
Maya dan tempat tinggal kedua orang tuanya. Hingga berita itu sampai di telinga
Maya, Minggu 26 Desember 2004, pukul 15:30 WIB. Maya tak sadarkan diri beberapa
beberapa jam kemudian setelah berita buruk itu menghampirinya. Ketika ia sadar,
ia lantas mengambil penerbangan pertama menuju kota kelahirannya. Memastikan
bahwa berita yang ia dengar adalah berita bohong. Memastikan bahwa orang tuanya
baik-baik saja, tanpa kekurangan apapun. Dan menyambutnya dengan senyum merekah
seperti biasanya.
Sayangnya, berita itu benar. Karena
saat Maya tiba di kota kelahirannya, pemandangan yang tidak pernah ia jumpai
terbentang di depannya. Tak kala itulah Maya menangis menyaksikan apa yang
telah terjadi. Menyaksikan rumah yang hancur dan kerusakan skala besar terjadi
di mana-mana. Aparat keamanan sibuk menggotong mayat-mayat korban bencana.
Tangisan dan teriakan kepedihan terdengar di mana-mana. Sehingga lengkap sudah
kepiluan hari itu. Hingga hari-hari berikutnya yang dipenuhi kesedihan di kota
itu pasca hantaman tsunami. Maya berusaha mencari kedua orang tuanya. Berusaha
melangkah walaupun sejatinya dirinya tidak akan pernah sanggup bila menemukan
orang tuanya terluka apalagi tak terselamatkan. Namun ia harus tetap menemukan
orang tuanya bagaimanapun keadaan mereka.
Berhari-hari pencarian itu dilakukan.
Bahkan semua orang yang Maya temui, ia tanyakan namun orang tuanya juga tidak
berhasil ditemukan. Hingga awal tahun 2005 menjadi awal tahun paling buruk bagi
Maya. Sangat buruk karena ia tidak berhasil menemukan orang tuanya baik mereka
hidup maupun mati. Berbulan-bulan berikutnya ia masih tetap mencari orang
tuanya, sayangnya pencarian itu sia-sia. Tuhan memiliki rencana lain yang tidak
pernah Maya ketahui. Hingga bulan keenam saat penduduk yang tersisa mulai
membangun kembali rumah-rumah mereka dan melanjutkan hidup. Namun Maya malah
membangun kebencian dalam dirinya. Benci atas bencana yang membawa pergi orang
tuanya. Benci atas bencana yang tidak memberinya kesempatan melihat orang tuanya
baik hidup maupun mati. Benci atas bencana yang membuatnya menyesal atas
penolakan kunjungan kedua orang tuanya.
Hingga Juli 2016 kebenciaan itu
semakin membesar. Kehidupan Maya tak ubahnya mayat hidup. Tak pernah punya
tujuan yang jelas akibat kebenciaan yang ia tanam. Akibat ketidakterimaannya
atas apa yang terjadi. Hingga pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Rohingya adalah
Muslim minoritas di Myanmar yang tidak mendapat pengakuan oleh negara Myanmar.
Hingga mereka harus hidup dalam pembantaian dan segala bentuk kekejamanan yang
tidak manusiawi. Akhirnya Rohingya memilih mengungsi, mengungsi ke tempat yang
mau menerima mereka. Perjuangan mereka untuk dapat sampai ke Aceh tidaklah
mudah. Banyak saudara dan keluarga yang saling mengorbankan diri untuk menyelamatkan
yang lain. Tak sedikit yang meninggal selama di kapal kecil menuju Aceh.
Hingga akhirnya kapal kecil itu
berlabuh di Aceh dan disambut baik oleh warga Aceh. Diberikan tempat tinggal
dan kebutuhan lainnya, yang sudah mereka anggap seperti saudara mereka sendiri.
Kebanyakan dari mereka telah kehilangan keluarga. Bahkan pengungsi Rohingya
menceritatakan bagaimana penyiksaan di Myanmar terus berlangsung. Pembunuhan,
pembakaran, bahkan pemerkosaan terjadi di mana-mana. Hingga jeritan tangis di
mana-mana dan tetesan darah mewarnai hari-hari mereka. Namun Rohingya tetap
bertahan, bertahan menjadi minoritas yang teguh memilih Islam. Karena sejatinya
yang dibenci oleh para pembantai Rohingya ialah keteguhan Rohingya memilih
Islam. Memilih Islam walau harus disiksa dengan siksa yang tak terperi.
“Maya, perkenalkan ini Khadija salah
satu pengungsi dari Rohingya.” Rani menarik tangan Maya dan memperkenalkannya
dengan Kahdija. Khadija salah satu pengungsi Rohingya yang usianya sama dengan
Maya dan Rani.
Khadija mengulurkan tanganya,
“Perkenalkan namaku Khadija!” Uluran tangan Khadija disambut oleh Maya sambil
menatap Khadija dengan senyum yang dipaksakan, membalas senyum Khadija.
“Aku Maya!” Hanya kalimat itu yang
berhasil dicuapkan oleh Maya dan dibalas anggukan oleh Khadija.
“Senang berkenalan denganmu!” Aksen
bicara Khadija sudah cukup baik setelah tinggal selama lima bulan di Aceh.
Karena bahasa yang berbeda dengan asalnya membuat pengungsi Rohingya harus
belajar bahasa Indonesia, untuk dapat berkomunikasi.
Rani membalas ucapan Khadija, “Maya
memang pendiam Khadija. Jadi harap maklum ya!” Ucap Rani sambil terkekeh pelan,
yang dibalas tatapan tajam oleh Maya.
Rani menatap Khadija, “Khadija,
bisakah kita bercerita banyak hal? Sahabatku ini selain pendiam juga tidak
banyak berinteraksi. Kurasa dengan kita saling bercerita akan membantu ia
melihat banyak hal tentang dunia. Tentang banyak hal agar dia tidak lagi
memilih untuk selalu diam dan menyendiri!” Rani menggenggam tangan Maya, walau
Maya tau bahwa baru saja ia telah disindir oleh sahabatnya sendiri.
“Aku akan sangat senang bisa berbagi
cerita dengan kalian!” Khadija tersenyum mentap Maya dan Rani. Senyum ketulusan
yang membingkai wajah Khadija sungguh memesona. Walaupun sejatinya kesedihan
dan penderitaan hidup yang ia tanggung tidaklah sedikit. Namun itu semua tidak
membuatnya lupa untuk tersenyum penuh ketulusan.
Senja itu tatkala matahari
malas-malasan beranjak menuju kaki langit, mereka bertiga semakin akrab.
Beriringan sambil becengkarama menatap momen senja yang memesona. Jingga langit
senja seolah tengah berbisik menyaksikan keakraban tiga orang gadis seumuran
itu. Walaupun nyatanya Maya lebih banyak diam dan menyaksikan kedua temannya
saling tertawa melempar canda. Bersisian dengan kaki telanjang menikmati lembutnya
pasir pantai yang seolah-olah membelai kaki mereka. Hembusan angin sore yang
melambai-lambai di permukaam kulit. Ombak pantai yang seolah-olah malu-malu
menjulur membasuh kaki-kaki yang betah berdiri di tepi pantai. Menatapi matahri
yang perlahan-lahan terbenam di kaki langit.
Senja itu Maya tau persis bahwa ia
tidak sendiri. Ada Rani yang selalu ada di sampingnya walaupun keberadaan
sahabatnya itu lebih sering ia abaikan. Ada Khadija gadis Rohignya yang tetap
memilih melanjutkan hidup dengan baik atas seluruh penderitaan yang pernah ia
rasakan. Kedua temannya yang sudah menganggapnya sebagai sahabat itu berhasil
mengusir kesepiannya. Berhasil pula mengikis kebenciaannya. Mengikis rasa tidak
terimanya atas apa yang terjadi pada orang tuanya. Karena Tuhan selalu adil
atas seluruh ciptaan-Nya. Bisa jadi kedua orang tuanya pergi tanpa pernah
kembali namun Tuhan akan hadirkan yang lain untuk menemani sisa hidup Maya.
“Maya jika tersenyum cantik sekali
bukan?” Rani bertanya pada Khadija untuk menggoda Maya yang tanpa sadar
tersenyum akan kebersamaan mereka.
“Tentu
saja. Apalagi jika ia lebih banyak bicara. Kuyakin semua orang sangat
menyukainya!” Khadija tersenyum polos menatap Rani dan Maya bergantian. Khadija
menemukan kebahagiaan barunya. Menemukan mutiaranya. Menemukan sahabat yang
sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.
“Benar bukan? Khadija saja
mengakuinya!” Rani terus saja menggoda Maya sambil terkekeh pelan. Hingga Maya
mendelik pada sahabatnya itu. Rani selalu suka menggoda Maya. Namun sejak
bencana besar yang membawa pergi orang tua Maya, jangankan menggoda, mangajak
Maya bicara saja sangat sulit.
Senja itu menjadi senja terbaik bagi
Maya. Menjadi senja yang membangunkannya dari tidur panjangnya. Menuntunnya ke
jalan penuh cahaya yang selama ini selalu gelap menurutnya. Karena ia tidak
pernah menyadari keadaan sekitarnya. Terlebih kebenciaan yang begitu dalam
membuatnya menutup mata atas banyak hal. Padahal begitu banyak yang peduli
padanya. Dan begitu banyak yang lebih menderita darinya. Namun senja itu
berhasil membuatnya perlahan mulai mengubah pemikirannya. Mengubah banyak hal
padanya. Karena Rani dan Khadija akan dengan senang hati meminjamkan pundaknya
pada Maya tatkala gadis itu membutuhkan. Bersedia melalui semuanya bersama Maya
karena mereka bersahabat.
Sayangnya, kabar buruk kembali
datang. Sejak pertemuan mereka yang mengesankan senja itu, Rani tidak pernah
lagi menemui Maya. Biasanya Rani selalu mengunjungi Maya. Memaksa Maya makan
dan melakukan banyak hal. Karena Rani adalah sahabat Maya sejak kecil. Sehingga
apapun yang terjadi pada Maya maka Rani juga akan ikut merasakannya. Walaupun
Maya kerap mengabaikannya, namun itu tidak membuat Rani sedikitpun sedih
apalagi berpikir untuk mundur dan meninggalkan Maya sendirian. Karena Rani paham
betul hakikat persahabatan sejati.
Dua minggu tidak melihat Rani membuat
Maya khawatir. Ia segera menemui Khadija untuk diajak pergi menemui Rani.
Khadija yang tengah membantu seorang tua renta terkejut dengan kedatangan Maya.
“Apakah
Rani menemuimu setelah senja itu?” Maya bertanya pada Khadija dengan nada
khawatir yang teramat. Khadija hanya membalas dengan anggukan sambil menunduk.
“Kapan? Kenapa ia tidak menemuiku?
Sudah dua minggu ia tidak menemuiku!” Itu kalimat terpanjang yang Maya ucapakan
setelah kepergian orang tuanya. Matanya sudah berkaca-kaca dan sebentar lagi
air matanya akan mulai meluncur di wajahnya.
“Maafkan aku Maya! Seharunya aku
memberitaukan hal ini padamu.” Khadija tidak berani menatap wajah Maya. Ia
hanya terus menunduk.
“Apa maksudmu?” Nada suara Maya
meninggi pertanda ia sudah tidak sabar lagi atas seluruh kejadian yang
membuatnya khawatir.
Khadija mulai mengangkat wajahnya,
“Rani sudah pergi untuk selama-lamanya.” Air mata Khadija perlahan keluar tanpa
bisa ditahan lagi. Hingga membuat Maya hampir saja terjatuh.
“Kenapa bisa? Kenapa aku tidak tau?
Kenapa?” Maya menggoyangkan pundak Khadija. Air matanya mulia mengalir,
terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Khadija.
“Rani sudah lama divonis dokter mengindap
kanker. Dua hari setelah kita saling bercengkrama di pantai, keadaannya semakin
buruk. Aku ingin memberitahumu namun Rani melarangku. Ia tidak ingin kamu sedih
lagi setelah kepergiaan orang tuamu. Tepat lima hari setelah hari itu, ia
kankernya semakin menyebar dan tak bisa lagi diatasi. Sehingga merenggut
nyawanya dan membawanya pergi untuk selama-lamanya. Sebelum ia pergi, ia
berpesan tidak boleh memberitahukan apapun padamu. Dan ia memintaku berjanji.
Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Terlebih menghadapimu.” Khadija memeluk
Maya yang menangis histeris. Hingga tangisan kedua sahabat itu seolah menjadi
melodi kesunyian senja itu. Senja paling menyedihkan bagi Maya dan Khadija yang
telah ditinggalkan oleh Rani, sahabat terbaik mereka.
Tatkala Maya akan berdamai, Tuhan
malah mengambil sahabatnya. Sehingga dirinya kembali membenci. Membenci dirinya
yang tidak pernah tau apa-apa tentang sahabatnya sendiri. Membenci dirinya yang
kerap mengabaikan Rani yang selalu peduli padanya. Membenci dirinya sendiri yang
selalu hidup dalam bayang-bayang masa lalu sehingga melupakan sahabatnya
sendiri. Duhai, kebenciaan itu termat dalam. Hingga tak mampu lagi dikikis.
Bagaimana akan bisa terkikis jika Maya terus saja berpikir bahwa dirinyalah
penyebab semuanya yang terjadi. Dimulai dari kepergian orang tuanya dan juga
kepergian Rani, sahabatnya sejak kecil.
Buruknya lagi, tepat lima hari
setelah ia mengetahui bahwa Rani telah pergi untuk selama-lamanya. Khadija juga
akan pergi, pergi meninggalkan Aceh. Para pengungsi akan dipindahkan ke kota
lain yang cukup jauh dari Aceh. Sehingga Maya kembali ditinggalkan lagi dalam
kesedihan dan kebenciaan yang dalam. Tak ada lagi pundak tempatnya bersandar.
Tak ada lagi seorangpun yang akan peduli padanya. Tak ada lagi tempatnya bercerita
tatkala dirinya mulai terbayang masa lalu. Tak ada lagi yang akan mengikis
kebenciaannya. Karena Khadija juga akan pergi meninggalkannya. Maya tidak yakin
dapat melanjutkan hidupnya setelah apa yang terjadi.
Dua bulan setelah kepergian Khadija.
Maya kembali hidup seperti dulu. Hidup tanpa arah bahkan ia tidak pernah lagi
keluar dari rumahnya. Menyendiri di dalam rumahnya bahkan tak jarang ia
menangis. Menangisi segalanya sehingga kebenciaan itu semakin menguasai
dirinya. Tak jarang ia melemparkan apapun yang ada dihadapannya sebagai
pelampiasan atas kesedihan dan kebenciaannya. Kebenciaan terhadap dirinya
sendiri. Bahkan kerap sekali ia melukai dirinya sebagai bentuk kebenciaannya
pada dirinya sendiri. Malang sekali nasib gadis berparas cantik itu.
Tepat saat Maya mencoba untuk bunuh diri, Khadija datang dan lantas mendobrak pintu rumah Maya. Karena Khadija mendapat berita bahwa Maya tidak pernah lagi tampak keluar rumah. Sehingga Khadija memutuskan untuk pergi menemui Maya. Saat itulah Khadija tau bahwa keputusannya pergi meninggalkan Maya adalah salah. Ia memeluk sahabatnya itu dan menggagalkan rencana bunuh diri Maya. Sejak saat itu mereka melalui semuanya bersama. Karena bagi mereka, mereka akan senantiasa berbagi pundak kapanpun dibutuhkan. Dan Khadija akan senantiasa ada di samping Maya hingga kapanpun. Bagaikan bintang yang menemani rembulan tatkala malam menghampiri.
PROFIL PENULIS
Perkenalkan namaku Fitria Damayanti. Kelahiran 30 Desember 1996. Mahasiswa jurusan Sistem Informasi. Membaca dan menulis adalah hobiku. Berharap dapat memberikan kontribusi besar pada Islam. Karena tiada kemuliaan selain Islam. Sangat menyayangi kedua orang tuanya. Dapat dihubungi di Fitria Damayanti Iskandar fitria.damayanti.996@gmail.com (email), @Abdiallah12 (tiwtter).
Sumber buku: https://www.alqalammedialestari.com/2022/12/tidak-ada-beban-tanpa-pundak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar