Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Bintang yang Menemani Rembulan

 


Bintang yang Menemani Rembulan
Fitria Damayanti

 

Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dengan skala tinggi di bawah laut yang terjadi pukul 00:58:53 UTC pada hari Minggu, 26 Desember 2004, dengan episentrum di lepas barat Sumatera, Indonesia. Gempa yang terjadi tiga hari setelah gempa berkekuatan 8,1 di wilayah tak berpenghuni subantarktik di sebelah barat Kepualauan Auckland, Selandia Baru, dan di sebelah utara Pulau Macquarie, Australia. Gempa yang menyebabkan tsunami besar menghantam Aceh. Tsunami yang kelak akrab di pendengaran kita dengan sebutan tsunami Aceh 2004. Terlepas dari seluruh prediksi para ahli dan apapun penelitian yang dilakukan terhadap bencana alam yang menghantam Aceh, yang tidak memberikan pengaruh banyak. Karena nyatanya bukan segala bentuk prediksi dan penelitian namun krisis kemanusiaan menjadi momok yang bertahun-tahun merusak mental. Karena ternyata banyak yang harus kehilangan tempat tinggal bahkan keluarga.

Terlepas dari dugaan manusia tentang bumi yang sudah tidak lagi mampu menampung miliaran jiwa. Atau bumi tengah murka atas kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia. Terlepas dari itu semua, ada hal yang sejatinya tidak dipahami oleh kebanyakan orang. Karena esok lusa saat mereka mengenang kejadian yang meluluhlantahkan tempat tinggal dan membawa pergi orang-orang tersayang untuk selama-lamanya. Tak masalah mengenang dalam kesedihan karena nyatanya kesedihan itu tak dapat dielakkan. Namun tidak sedikit yang mengenang dalam kebenciaan. Seolah-olah enggan menerima ketentuan Tuhan. Lantas kebenciaan dijadikan pembenaran untuk dapat mengenang. Padahal mengenang dalam kebencian sama halnya dengan berjalan di jalan yang gelap tanpa cahaya, tak menentu arahnya.

Itulah yang dilakukan oleh Maya. Mengenang dalam kebenciaan atas bencana yang menghantam Aceh. Dua hari sebelum bencana terjadi, Ibunya menelepon. Meminta izin padanya untuk boleh mengunjunginya yang tengah berkuliah di salah satu Universitas ternama di Bandung. Maya yang saat itu tengah sibuk dengan tugas serta penelitian akhir tahunnya, tidak mengizinkan orang tuanya berkunjung. Dengan alasan ia sedang mengadakan penelitian di luar kota. Padahal penelitian yang ia kerjakan hanya tinggal merampungkan beberapa laporan dan segera selesai. Karena khawatir kedatangan orang tuanya menggangu kesibukannya, Maya memilih menolak kedatangan kedua orang tuanya.

Kedua orang tua Maya akhirnya mengalah. Karena orang tua manapun selalu paham bagaimana anaknya. Sehingga kunjungan itu dibatalkan hingga tsunami besar menghantam Aceh. Kota kelahiran Maya dan tempat tinggal kedua orang tuanya. Hingga berita itu sampai di telinga Maya, Minggu 26 Desember 2004, pukul 15:30 WIB. Maya tak sadarkan diri beberapa beberapa jam kemudian setelah berita buruk itu menghampirinya. Ketika ia sadar, ia lantas mengambil penerbangan pertama menuju kota kelahirannya. Memastikan bahwa berita yang ia dengar adalah berita bohong. Memastikan bahwa orang tuanya baik-baik saja, tanpa kekurangan apapun. Dan menyambutnya dengan senyum merekah seperti biasanya.

Sayangnya, berita itu benar. Karena saat Maya tiba di kota kelahirannya, pemandangan yang tidak pernah ia jumpai terbentang di depannya. Tak kala itulah Maya menangis menyaksikan apa yang telah terjadi. Menyaksikan rumah yang hancur dan kerusakan skala besar terjadi di mana-mana. Aparat keamanan sibuk menggotong mayat-mayat korban bencana. Tangisan dan teriakan kepedihan terdengar di mana-mana. Sehingga lengkap sudah kepiluan hari itu. Hingga hari-hari berikutnya yang dipenuhi kesedihan di kota itu pasca hantaman tsunami. Maya berusaha mencari kedua orang tuanya. Berusaha melangkah walaupun sejatinya dirinya tidak akan pernah sanggup bila menemukan orang tuanya terluka apalagi tak terselamatkan. Namun ia harus tetap menemukan orang tuanya bagaimanapun keadaan mereka.

Berhari-hari pencarian itu dilakukan. Bahkan semua orang yang Maya temui, ia tanyakan namun orang tuanya juga tidak berhasil ditemukan. Hingga awal tahun 2005 menjadi awal tahun paling buruk bagi Maya. Sangat buruk karena ia tidak berhasil menemukan orang tuanya baik mereka hidup maupun mati. Berbulan-bulan berikutnya ia masih tetap mencari orang tuanya, sayangnya pencarian itu sia-sia. Tuhan memiliki rencana lain yang tidak pernah Maya ketahui. Hingga bulan keenam saat penduduk yang tersisa mulai membangun kembali rumah-rumah mereka dan melanjutkan hidup. Namun Maya malah membangun kebencian dalam dirinya. Benci atas bencana yang membawa pergi orang tuanya. Benci atas bencana yang tidak memberinya kesempatan melihat orang tuanya baik hidup maupun mati. Benci atas bencana yang membuatnya menyesal atas penolakan kunjungan kedua orang tuanya.

Hingga Juli 2016 kebenciaan itu semakin membesar. Kehidupan Maya tak ubahnya mayat hidup. Tak pernah punya tujuan yang jelas akibat kebenciaan yang ia tanam. Akibat ketidakterimaannya atas apa yang terjadi. Hingga pengungsi Rohingya tiba di Aceh. Rohingya adalah Muslim minoritas di Myanmar yang tidak mendapat pengakuan oleh negara Myanmar. Hingga mereka harus hidup dalam pembantaian dan segala bentuk kekejamanan yang tidak manusiawi. Akhirnya Rohingya memilih mengungsi, mengungsi ke tempat yang mau menerima mereka. Perjuangan mereka untuk dapat sampai ke Aceh tidaklah mudah. Banyak saudara dan keluarga yang saling mengorbankan diri untuk menyelamatkan yang lain. Tak sedikit yang meninggal selama di kapal kecil menuju Aceh.

Hingga akhirnya kapal kecil itu berlabuh di Aceh dan disambut baik oleh warga Aceh. Diberikan tempat tinggal dan kebutuhan lainnya, yang sudah mereka anggap seperti saudara mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka telah kehilangan keluarga. Bahkan pengungsi Rohingya menceritatakan bagaimana penyiksaan di Myanmar terus berlangsung. Pembunuhan, pembakaran, bahkan pemerkosaan terjadi di mana-mana. Hingga jeritan tangis di mana-mana dan tetesan darah mewarnai hari-hari mereka. Namun Rohingya tetap bertahan, bertahan menjadi minoritas yang teguh memilih Islam. Karena sejatinya yang dibenci oleh para pembantai Rohingya ialah keteguhan Rohingya memilih Islam. Memilih Islam walau harus disiksa dengan siksa yang tak terperi.

“Maya, perkenalkan ini Khadija salah satu pengungsi dari Rohingya.” Rani menarik tangan Maya dan memperkenalkannya dengan Kahdija. Khadija salah satu pengungsi Rohingya yang usianya sama dengan Maya dan Rani.

Khadija mengulurkan tanganya, “Perkenalkan namaku Khadija!” Uluran tangan Khadija disambut oleh Maya sambil menatap Khadija dengan senyum yang dipaksakan, membalas senyum Khadija.

“Aku Maya!” Hanya kalimat itu yang berhasil dicuapkan oleh Maya dan dibalas anggukan oleh Khadija.

“Senang berkenalan denganmu!” Aksen bicara Khadija sudah cukup baik setelah tinggal selama lima bulan di Aceh. Karena bahasa yang berbeda dengan asalnya membuat pengungsi Rohingya harus belajar bahasa Indonesia, untuk dapat berkomunikasi.

Rani membalas ucapan Khadija, “Maya memang pendiam Khadija. Jadi harap maklum ya!” Ucap Rani sambil terkekeh pelan, yang dibalas tatapan tajam oleh Maya.

Rani menatap Khadija, “Khadija, bisakah kita bercerita banyak hal? Sahabatku ini selain pendiam juga tidak banyak berinteraksi. Kurasa dengan kita saling bercerita akan membantu ia melihat banyak hal tentang dunia. Tentang banyak hal agar dia tidak lagi memilih untuk selalu diam dan menyendiri!” Rani menggenggam tangan Maya, walau Maya tau bahwa baru saja ia telah disindir oleh sahabatnya sendiri.

“Aku akan sangat senang bisa berbagi cerita dengan kalian!” Khadija tersenyum mentap Maya dan Rani. Senyum ketulusan yang membingkai wajah Khadija sungguh memesona. Walaupun sejatinya kesedihan dan penderitaan hidup yang ia tanggung tidaklah sedikit. Namun itu semua tidak membuatnya lupa untuk tersenyum penuh ketulusan.

Senja itu tatkala matahari malas-malasan beranjak menuju kaki langit, mereka bertiga semakin akrab. Beriringan sambil becengkarama menatap momen senja yang memesona. Jingga langit senja seolah tengah berbisik menyaksikan keakraban tiga orang gadis seumuran itu. Walaupun nyatanya Maya lebih banyak diam dan menyaksikan kedua temannya saling tertawa melempar canda. Bersisian dengan kaki telanjang menikmati lembutnya pasir pantai yang seolah-olah membelai kaki mereka. Hembusan angin sore yang melambai-lambai di permukaam kulit. Ombak pantai yang seolah-olah malu-malu menjulur membasuh kaki-kaki yang betah berdiri di tepi pantai. Menatapi matahri yang perlahan-lahan terbenam di kaki langit.

Senja itu Maya tau persis bahwa ia tidak sendiri. Ada Rani yang selalu ada di sampingnya walaupun keberadaan sahabatnya itu lebih sering ia abaikan. Ada Khadija gadis Rohignya yang tetap memilih melanjutkan hidup dengan baik atas seluruh penderitaan yang pernah ia rasakan. Kedua temannya yang sudah menganggapnya sebagai sahabat itu berhasil mengusir kesepiannya. Berhasil pula mengikis kebenciaannya. Mengikis rasa tidak terimanya atas apa yang terjadi pada orang tuanya. Karena Tuhan selalu adil atas seluruh ciptaan-Nya. Bisa jadi kedua orang tuanya pergi tanpa pernah kembali namun Tuhan akan hadirkan yang lain untuk menemani sisa hidup Maya.

“Maya jika tersenyum cantik sekali bukan?” Rani bertanya pada Khadija untuk menggoda Maya yang tanpa sadar tersenyum akan kebersamaan mereka.

   “Tentu saja. Apalagi jika ia lebih banyak bicara. Kuyakin semua orang sangat menyukainya!” Khadija tersenyum polos menatap Rani dan Maya bergantian. Khadija menemukan kebahagiaan barunya. Menemukan mutiaranya. Menemukan sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.

“Benar bukan? Khadija saja mengakuinya!” Rani terus saja menggoda Maya sambil terkekeh pelan. Hingga Maya mendelik pada sahabatnya itu. Rani selalu suka menggoda Maya. Namun sejak bencana besar yang membawa pergi orang tua Maya, jangankan menggoda, mangajak Maya bicara saja sangat sulit.

Senja itu menjadi senja terbaik bagi Maya. Menjadi senja yang membangunkannya dari tidur panjangnya. Menuntunnya ke jalan penuh cahaya yang selama ini selalu gelap menurutnya. Karena ia tidak pernah menyadari keadaan sekitarnya. Terlebih kebenciaan yang begitu dalam membuatnya menutup mata atas banyak hal. Padahal begitu banyak yang peduli padanya. Dan begitu banyak yang lebih menderita darinya. Namun senja itu berhasil membuatnya perlahan mulai mengubah pemikirannya. Mengubah banyak hal padanya. Karena Rani dan Khadija akan dengan senang hati meminjamkan pundaknya pada Maya tatkala gadis itu membutuhkan. Bersedia melalui semuanya bersama Maya karena mereka bersahabat.

Sayangnya, kabar buruk kembali datang. Sejak pertemuan mereka yang mengesankan senja itu, Rani tidak pernah lagi menemui Maya. Biasanya Rani selalu mengunjungi Maya. Memaksa Maya makan dan melakukan banyak hal. Karena Rani adalah sahabat Maya sejak kecil. Sehingga apapun yang terjadi pada Maya maka Rani juga akan ikut merasakannya. Walaupun Maya kerap mengabaikannya, namun itu tidak membuat Rani sedikitpun sedih apalagi berpikir untuk mundur dan meninggalkan Maya sendirian. Karena Rani paham betul hakikat persahabatan sejati.

Dua minggu tidak melihat Rani membuat Maya khawatir. Ia segera menemui Khadija untuk diajak pergi menemui Rani. Khadija yang tengah membantu seorang tua renta terkejut dengan kedatangan Maya.

   “Apakah Rani menemuimu setelah senja itu?” Maya bertanya pada Khadija dengan nada khawatir yang teramat. Khadija hanya membalas dengan anggukan sambil menunduk.

“Kapan? Kenapa ia tidak menemuiku? Sudah dua minggu ia tidak menemuiku!” Itu kalimat terpanjang yang Maya ucapakan setelah kepergian orang tuanya. Matanya sudah berkaca-kaca dan sebentar lagi air matanya akan mulai meluncur di wajahnya.  

“Maafkan aku Maya! Seharunya aku memberitaukan hal ini padamu.” Khadija tidak berani menatap wajah Maya. Ia hanya terus menunduk.

“Apa maksudmu?” Nada suara Maya meninggi pertanda ia sudah tidak sabar lagi atas seluruh kejadian yang membuatnya khawatir.

Khadija mulai mengangkat wajahnya, “Rani sudah pergi untuk selama-lamanya.” Air mata Khadija perlahan keluar tanpa bisa ditahan lagi. Hingga membuat Maya hampir saja terjatuh.

“Kenapa bisa? Kenapa aku tidak tau? Kenapa?” Maya menggoyangkan pundak Khadija. Air matanya mulia mengalir, terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Khadija.

“Rani sudah lama divonis dokter mengindap kanker. Dua hari setelah kita saling bercengkrama di pantai, keadaannya semakin buruk. Aku ingin memberitahumu namun Rani melarangku. Ia tidak ingin kamu sedih lagi setelah kepergiaan orang tuamu. Tepat lima hari setelah hari itu, ia kankernya semakin menyebar dan tak bisa lagi diatasi. Sehingga merenggut nyawanya dan membawanya pergi untuk selama-lamanya. Sebelum ia pergi, ia berpesan tidak boleh memberitahukan apapun padamu. Dan ia memintaku berjanji. Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Terlebih menghadapimu.” Khadija memeluk Maya yang menangis histeris. Hingga tangisan kedua sahabat itu seolah menjadi melodi kesunyian senja itu. Senja paling menyedihkan bagi Maya dan Khadija yang telah ditinggalkan oleh Rani, sahabat terbaik mereka.

Tatkala Maya akan berdamai, Tuhan malah mengambil sahabatnya. Sehingga dirinya kembali membenci. Membenci dirinya yang tidak pernah tau apa-apa tentang sahabatnya sendiri. Membenci dirinya yang kerap mengabaikan Rani yang selalu peduli padanya. Membenci dirinya sendiri yang selalu hidup dalam bayang-bayang masa lalu sehingga melupakan sahabatnya sendiri. Duhai, kebenciaan itu termat dalam. Hingga tak mampu lagi dikikis. Bagaimana akan bisa terkikis jika Maya terus saja berpikir bahwa dirinyalah penyebab semuanya yang terjadi. Dimulai dari kepergian orang tuanya dan juga kepergian Rani, sahabatnya sejak kecil.

Buruknya lagi, tepat lima hari setelah ia mengetahui bahwa Rani telah pergi untuk selama-lamanya. Khadija juga akan pergi, pergi meninggalkan Aceh. Para pengungsi akan dipindahkan ke kota lain yang cukup jauh dari Aceh. Sehingga Maya kembali ditinggalkan lagi dalam kesedihan dan kebenciaan yang dalam. Tak ada lagi pundak tempatnya bersandar. Tak ada lagi seorangpun yang akan peduli padanya. Tak ada lagi tempatnya bercerita tatkala dirinya mulai terbayang masa lalu. Tak ada lagi yang akan mengikis kebenciaannya. Karena Khadija juga akan pergi meninggalkannya. Maya tidak yakin dapat melanjutkan hidupnya setelah apa yang terjadi.

Dua bulan setelah kepergian Khadija. Maya kembali hidup seperti dulu. Hidup tanpa arah bahkan ia tidak pernah lagi keluar dari rumahnya. Menyendiri di dalam rumahnya bahkan tak jarang ia menangis. Menangisi segalanya sehingga kebenciaan itu semakin menguasai dirinya. Tak jarang ia melemparkan apapun yang ada dihadapannya sebagai pelampiasan atas kesedihan dan kebenciaannya. Kebenciaan terhadap dirinya sendiri. Bahkan kerap sekali ia melukai dirinya sebagai bentuk kebenciaannya pada dirinya sendiri. Malang sekali nasib gadis berparas cantik itu.

Tepat saat Maya mencoba untuk bunuh diri, Khadija datang dan lantas mendobrak pintu rumah Maya. Karena Khadija mendapat berita bahwa Maya tidak pernah lagi tampak keluar rumah. Sehingga Khadija memutuskan untuk pergi menemui Maya. Saat itulah Khadija tau bahwa keputusannya pergi meninggalkan Maya adalah salah. Ia memeluk sahabatnya itu dan menggagalkan rencana bunuh diri Maya. Sejak saat itu mereka melalui semuanya bersama. Karena bagi mereka, mereka akan senantiasa berbagi pundak kapanpun dibutuhkan. Dan Khadija akan senantiasa ada di samping Maya hingga kapanpun. Bagaikan bintang yang menemani rembulan tatkala malam menghampiri.


PROFIL PENULIS

Perkenalkan namaku Fitria Damayanti. Kelahiran 30 Desember 1996. Mahasiswa jurusan Sistem Informasi. Membaca dan menulis adalah hobiku. Berharap dapat memberikan kontribusi besar pada Islam. Karena tiada kemuliaan selain Islam. Sangat menyayangi kedua orang tuanya. Dapat dihubungi di Fitria Damayanti Iskandar fitria.damayanti.996@gmail.com (email), @Abdiallah12 (tiwtter).

Sumber buku:  https://www.alqalammedialestari.com/2022/12/tidak-ada-beban-tanpa-pundak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640