5 Sun Try
Penulis: Acep Ilfan, dkk.
Tebal: 387 halaman
Harga: 95.000
Ukuran: 14,5 cm x 20,5 cm
ISBN: 978-602-5744-74-1
H |
arapan
tak pernah sepenuhnya benar! Perjalanan yang seharusnya terasa indah berubah
semenjak 5 menit yang lalu. Suara gemuruh terus bergelegar menembus keheningan
malam yang tak berkesudahan, belum lagi cahaya kilat yang tak henti-henti sejauh
mata memandang. Air pun ikut berkompromi dengan amukan petir malam itu bahkan
ombak laut yang biasanya tenang menjadi seekor singa lapar yang siap menerkam
apa saja yang berada di depannya. Badai
malam itu begitu dahsyat menghantam selat sunda, membuat kapal-kapal yang
berlayar pada malam itu terkekang dalam lautan.
Dari sekian banyak kapal-kapal
yang berlayar, sebuah kapal Fery
bermuatkan sekitar tiga ratusan penumpang dengan beberapa truk dan bus besar
terombang-ambing di tengah lautan. Para kelasi sibuk menenangkan penumpang yang
panik sebagian besar muntah karena mabuk laut. Kapten David yang sedari tadi sibuk memutar
otak untuk keselamatan tiga ratus jiwa yang harus ia pertaruhkan. Malam itu akan timbul dua masalah yang tak
terduga yang jawabannya akan terungkap pada cerita ini.
Di salah satu kabin kapal, Hary
sedang menangis sembari memeluk tiang kapal.
Suara tangisnya sangat parau, yang anehnya suara tangis Hary yang begitu merdu alias merusak dunia
itu tak sama sekali mengganggu
keseriusan Ihsan yang sedang membaca
buku tepat dua senti di sampingnya.
“Hee, Hary... Ente kok nangis? Ganggu ane
lagi tidur aja.” Ujar Acil
yang baru saja bangun dari mimpi indahnya.
Hary
tak menjawab barang sepatah kata pun, malah
menaikkan volume tangisan yang cetar membahana itu.
“Udah jangan dipikirin. Palingan juga takut tenggelam karena badai
begini,” jawab Ahmad dengan simpel.
“Masa iya, Ry?
Ente nangis gara-gara gituan? Takut
tenggelam?” Tanya Acil balik kepada Hary.
“Huuu bukan itu masalahnya, Cil. Ane sama sekali gak takut tenggelam kok.”
“Terus kenapa Ente
nangis?”
“Kalau tenggelam itu kan udah biasa bagi ane, karena bapak ane seorang petani, tapi ane
sedih teringat terpisahnya kisah cinta Jack dan Rose dikarenakan tenggelamnya
kapal Titanic yang legendaris itu.”
“Oooo...” Jawab Acil
datar. Perlu beberapa menit
lamanya otak Acil
memproses kata-kata Hary
barusan.
Tiba-tiba Acil malah ikut menangis sambil memeluk
tiang, tangisannya bahkan jauh lebih sengau dibandingkan Hary.
“Loh, Cil... Ente kok ikutan nangis?”
“Ane
juga sedih, kalau teringat film Titanic itu. Tapi
ya, Ry, apa hubungannya coba bapak Ente petani sama Ente nggak takut tenggelam?”
“Ane
juga gak tau, Cil. Padahal
ane udah suruh bapak ane jadi perompak kapal aja tapi dia
malah memilih menjadi petani, ane
bersyukur mempunyai ibu yang memenuhi keinginan ane menjadi perompak sejati.”
Ketika
Acil dan Hary sedang duet di tiang, datanglah
Fandi mendekati mereka berdua.
“Astagfirullah... Bertakwalah kalian kepada Allah. Apa yang telah terjadi wahai saudara-saudara
seimanku? Mungkin ana
bisa membantunya,” ujar
Fandi.
“Sudahlah... Tenang ini hanya cuaca buruk
biasa.” Ujar Ahmad.
Ihsan
sejenak menatap tajam mata Ahmad.
“Kenapa, San? Sampai
gitu amat natapnya?” Tanya Ahmad heran.
“Oh,”
jawab Ihsan simpel kemudian
kembali membaca buku favorit miliknya.
Ahmad
merasa kesal dengan Ihsan, itu adalah jawaban tersingkat yang pernah
ia dapati semenjak hidup di dunia.
Di
luar cuaca sudah mulai bersahabat. Angin yang tadinya begitu kencang kini sudah
semakin lembut bertiup, bahkan ombak yang tadinya seperti seekor singa yang
kelaparan sekarang telah menjadi seekor kucing yang imut. Intinya keadaan telah
kembali normal.
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan ketenangan
kembali di lautan yang begitu indah ini,”
ujar Fandi.
“Ini semua belum berakhir. Pasti masih ada
masalah yang besar,” ketus
Ahmad dengan kesal.
“DUAAARR!”
Suara tembakan menembus keheningan di
sudut-sudut kapal.
“Suara apaan itu??” Tanya Acil.
Tiba-tiba
keadaan yang tadi telah tenang menjadi ricuh kembali. Dari luar kabin terdengar
seseorang berteriak.
“SEMUANYA
MERUNDUK, TIDAK ADA YANG BERDIRI!” Teriak
seseorang dengan kasarnya dari luar kabin.
“CEPAT!
TELEPON POLISI!”
“DUUAAAR!!”
Suara
tembakan yang kedua tadi hampir aja membuat penyakit gagal ginjal Acil kumat lagi.
“Kan bener... Apa
kata ane tadi, pasti ada masalah baru yang lebih besar.”
Ujar Ahmad tanpa merasa
bersalah sedikit pun.
“Astaghfirullah, wahai teman seagamaku Ahmad. Engkau telah berkata sesuatu yang tidak baik. Ingat! Perkataan itu adalah do’a,” kali ini Fandi yang berbicara.
“Cil, kita terjun ke laut aja yok,” ajak Hary.
“Oke, ane
udah siapin mental nih.”
Di saat keadaan kacau balau seperti itu,
akhirnya yang mereka tunggu selama berhari-hari terwujud. Yaitu mendengar Ihsan berbicara.
“Hmm.”
“Akhirnya Ihsan berbicara,” ujar Hary bangga.
“Ambilin ane
air dong, Ry. Haus nih,” ujar Ihsan.
“Ah! Keadaan seperti ini pun masih aja kau tidak peka, San?”
“GUBRAAK!”
Pintu kabin di dobrak paksa. Mereka semua
terkejut. Seseorang berbadan besar
telah berdiri di depan kabin.
“CEPAT
MENUNDUK!” Ujar salah satu dari
mereka. Sepertinya dia adalah ketua perampok. Badannya kekar, mukanya sangar, jakunnya besar, di tangannya ada tato, “I
LOVE MOM”. Hidup LIMA SUN TRY
berada di genggaman perampok sangar
itu.
“Ana
gak akan menunduk. Karna rukuk dan sujud ana
hanya untuk Rabb semesta alam yang suci yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” jawab Fandi dengan tegasnya.
Sebuah
pistol tertodong ke arah Fandi.
Acil, Hary, secara serentak
memandang Ahmad. Memasang ekspresi “Bantuin Fandi dong, Mad...”
Tanpa
mikir dua kali, dengan
tangkas Ahmad melompati Ihsan yang masih asyik membaca langsung memberikan jurus
tendangan maut miliknya. Yaitu tendangan “ULAR STRES”. Tapi sang perampok tak
kalah cepat menghindar. Ahmad langsung memasang kuda-kuda silat Papua.
“Ayo, Ahmaaad!!”
Teriak Acil.
“Kamu pasti bisaaa!” Balas Hary.
“Semoga Allah senantiasa melindungimu, wahai teman
seperjuanganku,” ujar Fandi.
“Gila, asyik banget ceritanya,” komentar Ihsan gak nyambung sendiri.
“Bersiap lahhh!!” Ahmad bersiap untuk menyerang. Ia melaju
mengepalkan tinju perkasanya. Niat awal sang perampok ingin menghindar, tetapi ia salah langkah. Ahmad berhasil
menendang pistol yang berada di genggaman perampok itu.
Pistol
itu terjatuh ke lantai dekat Acil
berdiri. Ahmad segera mengunci leher sang perompak. Jurus handalan ketika dia
berkelahi sama Acil
sewaktu di pondok.
“Berikan pistolnya, Ciill...” Teriak
Ahmad.
“Jangan! Berikan ke aku aja,” teriak sang perampok.
Acil
bingung mau milih mana. Ini sama sulitnya ketika ia disuruh memilih makan sate
banteng apa minum susu kucing hamil.
“Tentukan pilihanmu, Akhi. Jangan khawatir, Allah masih bersama kita,” ujar Fandi.
Sebenarnya
Acil ingin melemparkan pistol itu kepada Ahmad, tapi melihat jurus yang biasanya Ahmad pakai waktu berantem sama dia, Acil jadi takut.
Akhirnya, pistol itu dilemparkan ke arah Ihsan yang sedang membaca, pistol itu tepat
mengenai jidat Ihsan. Karena
merasa risih, Ihsan
segera mengambil pistol tadi langsung melemparkannya ke laut melalui jendela.
“Apaan sih, ganggu orang aja,” celoteh
Ihsan datar lalu kembali melanjutkan
kegiatan membacanya.
Ahmad
semakin kesal. Saking kesalnya ia tak sadar sang perampok mengeluarkan sebilah
pisau yang disimpannya.
“Ahmaad
awaaas!!” Teriak Hary.
Perampok
itu telah mengayunkan pisau, beruntung Ahmad masih bisa menangkis pisau yang diayunkan
perampok tadi, tetapi tangannya tergores parah sehingga mengalirkan darah segar
dengan deras. Sekejap kemudian sebuah tendangan sudah mendarat di wajah Ahmad. Ia terlempar cukup jauh di lantai.
“Daraah...,” lirih
Ahmad perlahan memandangi lengannya yang
terluka.
Ahmad,
dia fobia terhadap darah.
Sehebat apa pun dia ketika berkelahi,
akan langsung gugur ketika melihat darah yang mengalir. Apa lagi itu darah
miliknya sendiri. Seperti
kata pepatah sehebat apapun orang itu pasti dia mempunyai kelemahan.
Perampok
tadi berdiri, kali ini dia berasa di atas
angin karena telah menaklukan si pendekar lapuk.
“Ya
Allah... Apa tidak ada lagi
masalah yang lebih besar dari pada ini,” ujar Acil mengeluh.
Tiba-tiba
datang lima orang sekawanan perampok yang badannya jauh lebih besar, mukanya
lebih sangar dan di tangan mereka juga
terdapat tato yang bertuliskan “I LOVE
DAD”.
“Astaghfirullah, wahai teman-temanku yang
memiliki keimanan walaupun sebesar biji dzaroh,
kan udah ana bilang kalau perkataan
itu do’a.” Fandi kembali menasihati.
Ahmad sudah tak berdaya. Ia terbaring lemah
menatapi darah demi darah yang mengalir dari lengannya. Sudah tidak ada lagi
yang bisa melawan. Ihsan masih asyik
dengan membaca, Acil dan
Hary ketakutan sambil memeluk tiang, kalau
si Fandi pandainya cuma ceramah doang. Aksinya nol!
Enam
orang perampok itu berjalan mendekat dan
semoga keadaan bisa menjadi lebih baik.
*****
Sudah dua jam berlalu.
Setelah
LIMA SUN TRY pingsan tak sadarkan
diri, kali ini mereka diikat
di tiang-tiang kapal. Bersama para penumpang
lainnya.
“Aduuh, apa yang terjadi nih?” Cetus
Hary.
Di
saat-saat menegangkan seperti itu, Ihsan
masih juga membaca sambil terikat. Tapi masalahnya mulai muncul sekarang, Ihsan bingung bagaimana cara membalikkan
halaman jika tangannya kini terikat.
“Rute kapal sudah dirubah sama bos?” Tanya salah satu perampok yang menjaga para
tawanan kepada temannya.
“Sepertinya udah. Rute utama telah dirubah menuju Kalimantan
Utara,” jawab temannya.
Ihsan
masih terus berusaha membalikkan halaman dengan kakinya. Tetapi tidak juga
berhasil, yang ada kaki Ihsan
malah terkilir. Di otaknya kini terbuat suatu rencana.
“Abang... Abaaang...” Panggil
Ihsan.
Dua
perampok yang menjaga tawanan itu memandang Ihsan.
“Boleh minta tolong?” Ihsan memasang senyum termanisnya, walaupun
sebenarnya pahit.
“Bang, balikin halaman buku itu dong...”
Dua
orang penjaga itu memandangi buku yang berada di bawah Ihsan.
“Buku apa ini?” Salah satu dari penjaga itu mengambil buku
kegemaran Ihsan.
Tapi
semua tak seperti yang dipikirkan Ihsan. Perampok yang sangar itu malah
membawa buku Ihsan.
“Baaang, kembaliin! Itu buku yang menyangkut
dunia akhirat Ihsan,
jangan dibawa...
Ihsan rela mati demi keselamatan buku itu.”
Teriakan
Ihsan tadi tidak dipedulikan. Para penjaga
tadi membawa buku Ihsan.
Ihsan
hanya bisa tertunduk.
Seperti biasanya, emosi Ihsan tidak akan terkendalikan lagi jika
menyangkut tentang buku kegemarannya. Di kepalanya kini tersusun seribu rencana
licik untuk mengambil kembali buku itu.
“Eh, San? Ente baik-baik ajakan?” Tanya Hary.
“Ane
tidak akan pernah diam,
Ry. Jika itu
menyangkut tentang buku ane.”
“Terus Ente ada
rencana?”
“Ane
ada rencana, Cil.
1000% pasti berhasil.”
Ihsan
memandang tajam perampok yang kini sedang tertawa membaca buku Ihsan.
“Hati-hati jika kalian membangunkan singa
yang sedang tertidur,” lirih
Ihsan di dalam hatinya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar