A.
Al-Naskh, Nasikh
dan Mansukh
1.
Pengertian
al-Naskh
Sebelum
lebih lanjut membahas tentang Nasih Mansukh, maka tentunya harus dipahami dulu pengertian
dari Nasakh itu sendiri. Menurut bahasa kata Al-Naskh setidaknya
memiliki empat macam arti, yaitu:
a.
al-Izalah wa al-I’dam .[1]
Maksudnya
adalah menghapus atau menghilangkan sesuatu, seperti dalam kalimat “Ansakhat al-Shamsu al-dzilla”, yang
artinya adalah matahari itu telah menghilangkan bayangan atau kegelapan.
b.
al-Tahwil ma’a al-Baqa’ fi Nafsih.[2]
Maksudnya
adalah memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya, akan tetapi
barang tersebut masih utuh atau tetap. Seperti dalam kalimat Tanasukh al-Anfus yang
berarti jiwa-jiwa orang yang saling berpindah.
c.
al-Naql min Kitab ila Kitab.[3]
Maksud al-Naskh
berarti menyalin atau mengutip dari satu tulisan ke tulisan yang lain, dengan
tetap adanya persamaan antara kutipan dengan yang dikutip.
d.
Tabdil artinya mengganti.[4]
e.
al-Taghyir wa al-Ibtal ma’a Iqamah al-Syai’ Maqamahu.[5]
Maksudnya
adalah mengubah suatu ketentuan atau hukum dan membatalkannya kemudian
menggantinya dengan ketentuan lain.
Dari empat makna harfiyah diatas, yang
paling relevan digunakan sebagai makna al-Naskh dalam pembahasan Nasikh Mansukh adalah
makna keempat, yaitu mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan
sesuatu yang lain sebagai gantinya (Al-Taghyir wa al-Ibtal ma’a Iqamah al-Shai’ Maqamahu). Sebab makna inilah yang sesuai dengan firman
Allah SWT sebagai dalil yang paling kuat mengenai adanya Al-Naskh dalam al-Qur’an:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير ﴿١۰٦﴾[6]
“Ayat apa saja yang Kami al-Naskh-kan atau yang Kami jadikan (manusia)
melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah itu mengetahui
atas segala sesuatu.”[7]
Adapun menurut istilah para ulama berbeda pendapat
dalam merumuskan pengertian al-Naskh, setidaknya ada empat pendapat, di
antaranya:
1)
إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ
لَاحِقٍ
Al-Naskh adalah membatalkan hukum yang diperoleh dari Nas (ketentuan
dalil), dan dibatalkan dengan ketentua Nas yang datang kemudian.[8]
Definisi di atas
menurut hemat penulis masih bersifat umum dan perlu mengakomodir definisi lain
yang yang telah ditetapkan para ulama.
2)
اَلنَّسْخُ هُوَ رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيٍٍّ بِدَلِيْلًٍ شَرْعِيٍٍّ
Al-Naskh adalah menghapuskan Hukum Syara’ dengan
menggunakan Dalil Syara’ juga.[9]
Menurut al-Zarqani ini merupakan definisi yang paling relevan dan jami’
mani’, karena telah memenuhi
ketentuan-ketentuan dalam pembahasan Nasikh Mansukh. Akan tetapi ulama
lain menganggap bahwa definisi ini belum cukup karena belum dijelaskan adanya
tenggang waktu yang cukup dimana hal tersebut akan berdampak pada timbulnya
keraguan. Oleh karena itu sebagaian ulama ada yang medefinisikan Nasikh
Mansukh dengan definisi yang
lebih lengkap.
3)
اَلنَّسْخُ هُوَ رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعيٍٍِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيًٍّ مَعَ التَّرَاخِيْ
عَلَى وَجْهٍ لَوْلَاهُ لَكاَنَ الْحُكْمُ الْأَوَّلُ ثَابِتاً
Al-Naskh adalah menghapuskan Hukum Syara’ dengan
menggunakan Dalil Syara’ dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan
jika sekiranya tidak ada al-Naskh tentulah hukum yang pertama akan tetap
berlaku.[10]
4)
اَلنَّسْخُ هُوَ رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ
بِالنَّصِّ اللَّاحِقِ
Al-Naskh adalah membatasi keumuman nas terdahulu, atau
membatasi kemutlakan dalilnya dengan nas yang datang kemudian.
Definisi ini dipakai
oleh sebagian ulama yang menolak adanya al-Naskh dalam al-Qur’an. Dengan
definisi ini, mereka memberikan contoh dengan membatasi keumuman lafal al-Muthallaqat
dalam firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ... [11]
“Dan wanita-wanita yang
ditalak itu hendaklah mereka menahan diri (menunggu) sampai tiga kali suci.”[12]
Menurut ayat ini semua
wanita yang dicerai, baik karena ditinggal mati, atau dicerai dalam keadaan
hamil maupun dalam keadaan belum disentuh, harus menahan diri dan tidak boleh
kawin lagi kecuali setelah tiga kali masa suci. Lalu keumuman hukum dalam ayat
tersebut dibatasi dengan adanya ketentuan dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا ﴿٢٢٨﴾[13]
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman
lalu kalian ceraikan mereka sebelum kalian sentuh, maka sama sekali tidak wajib
atas mereka ber’iddah bagi
kalian.”[14]
Dari keempat definisi
tersebut di atas, sebagian besar ulama menggunakan definisi yang ketiga, karena
dianggap sebagai definisi paling jami’ mani’ dan mencakup semua syarat dalam pembahasan Nasikh Mansukh. Karena pada dasarnya al-Naskh
dalam al-Qur’an tidak bisa diterima kecuali memenuhi beberapa
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama. Sedangkan
definisi yang keempat merupakan definisi yang dianggap kurang tepat karena definisi
ini dipakai ulama untuk menolak keberadaan Nasikh Mansukh sebagaimana
penjelasan di atas.
2.
Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut
bahasa berarti yang menghapus, menghilangkan atau yang memindahkan. Sedangkan
dalam istilah nasikh
disandarkan kepada dua hal, yaitu: Pertama, hukum Syara’
atau dalil Syara’ yang menghapus atau menghilangkan hukum
atau dalil Syara’ yang terdahulu, dan kemudian digantikan oleh
hukum baru yang dibawanya. Kedua, nasikh adalah Allah SWT. karena pada hakikatnya yang
menghapus dan menggantikan hukum-hukum Syara’ adalah Allah dan atas
kehendakNya.[15]
Sebagaimana firman Allah SWT:
...إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ ﴿٥٧﴾[16]
“Sesungguhnya penetapan hukum hanyalah hak
Allah, Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”[17]
Sedang Mansukh secara
harfiyah berarti sesuatu yang dihapus, diganti, disalin, atau dihilangkan. Dan
secara istilah Mansukh adalah
hukum Syara’ terdahulu yang dihapus dan diganti dengan hukum Syara’
yang dibawa oleh dalil Syara’ yang datang kemudian.
Seperti
hukum Syara’ yang terkandung dalam ayat al-Qur’an tentang perintah untuk
meninggalkan wasiat kepada keluarga dan para kerabat:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا
عَلَى الْمُتَّقِينَ ﴿١٨٠﴾[18]
“Diwajibkan atas kamu,
apabila maut hendak menjemput salah seorang di antara kamu (jika ia
meninggalkan harta) berwasiatlah untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara
yang baik.”[19]
Ayat ini jelas sekali menerangkan kewajiban
berwasiat bagi mereka yang telah mendekati ajalnya, akan tetapi ayat tersebut
dinaskh dengan ayat tentang hukum waris yang datang kemudian pada surat
al-Nisa’ ayat 11. Dengan demikian telah terjadi al-Naskh pada ayat
tentang perintah berwasiat, maka ayat tersebut disebut sebagai mansukh dan hukum waris yang terkandung dalam surat
al-Nisa’ ayat 11
menjadi nasikh atau yang menghapus dan menggantikan hukum sebelumnya.[20]
3.
Syarat-syarat Nasikh Mansukh
Pembahasan
Nasikh Mansukh termasuk
bagian dari Ilmu al-Qur’an yang banyak menimbulkan kontroversi di antara
ulama-ulama pengkaji al-Qur’an dan Ilmu-ilmunya. Maka dari itu ulama yang
menyetujui adanya al-Naskh dalam al-Qur’an menetapkan beberapa ketentuan
dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, karena pada dasarnya terjadinya al-Naskh
dalam al-Qur’an tidak lain demi kemaslahatan umat. Dengan demikian
pembahasan ini sungguh tidak gampang dan melibatkan peran para ulama terpercaya
(Ijma’ Ulama).
Adapun
beberapa syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh para ulama al-Qur’an
adalah:
a.
Hukum yang di naskh (mansukh) haruslah merupakan hukum Syara’,
bukan berasal dari hukum akal, hukum adat atau hukum buatan manusia. Sedang
yang dimaksud hukum Syara’ disini adalah hukum yang berasal dari
dalil-dalil nas, baik
dari al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW, dengan catatan dalil-dalil
tersebut berhubungan dengan hukum tentang perbuatan mukallaf, baik berupa
kewajiban, larangan atau anjuran.
Dengan demikian selain hukum Syara’
tidak bisa dipakai dalam al-Naskh, contoh: hukum akal yang dibuat oleh
manusia, seperti kaidah dasar dalam Ilmu Usul al-Fiqh “asal dari segala
sesuatu adalah kebebasan”, lalu kemudian kaidah tersebut dihapus dan
digantikan dengan dalil-dalil tentang perintah menjalankan shalat, puasa, zakat
dan lain-lain. Oleh karena asal hukum yang digantikan bukan merupakan hukum Syara’,
maka penghapusan hukum tersebut bukan termasuk dalam pembahasan al-Naskh.[21]
b.
Dalil yang menghapus hukum Syara’ yang
terdahulu (nasikh) juga
harus merupakan dalil Syara’. Tidak dibenar menaskh hukum
Syara’ dengan menggunakan dalil yang berasal dari akal, adat atau
buatan manusia. Dalam syarat ini para ulama berbeda pendapat tentang
dibolehkannya penghapusan hukum dengan menggunakan Ijma’ atau Qiyas, karena
keduanya adalah dalil yang berasal dari ijtihad para ulama. Sebagian ulama yang
memperbolehkan penggunaan Ijma’ dan Qiyas berargumentasi dengan firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
[22]
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian
kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah, dan orang-orang yang memegang
kekuasaan di antara kalian”[23]
Dari
ayat tersebut mereka menafsirkan bahwa Allah memerintahkan untuk mentaati Allah
dan kalam-Nya (al-Qur’an), Rasulullah dan Sunnah-sunnahnya, dan juga perintah
untuk mentaati penguasa (Ulul al-Amr). Dalam hal ini penguasa
ditafsirkan sebagai pemegang kekuasaa yang selalu mengadakan permusyawarahan
dalam segala hal termasuk musyawarah untuk menentukan hukum-hukum (Ijma’
dan Qiyas).[24]
Penggunaan Sunnah sebagai nasikh juga
masih banyak diperdebatkan, hal tersebut disebabkan keaneka ragaman kualitas
dan kuantitas Sunnah. Hadis Ahad dianggap tidak memenuhi syarat Mutawatir
dan tidak bisa dipakai sebagai nasikh. Hal ii dikarenakan al-Qur’an
adalah Mutawatir serta mengandung kebenaran yang mutlak, sedang Hadis Ahad
mengandung dzan, maka tidak mungkin sesuatu yang bersifat dzan
menghapus kebenaran yang mutlak.[25]
c.
Antar nasikh dan mansukh haruslah ada
tenggang waktu beberapa saat setelah ditetapkannya hukum yang pertama. Jadi
antara dalil pertama dan dalil yang datang setelahnya sebagai penghapus dan
pengganti ada tenggang waktu dan tidak bersambung seperti bersambungnya Qayid
dan Muqayyad, juga tidak dibatasi oleh waktu yang membatasi (Ittishal
al-Ta’qit bi al-Muaqqat), karena dengan demikian hukum akan dibatasi oleh
waktu yang membatasinya dan akan berakhir pada waktu yang ditentukan.[26]
Contohnya dalam firman Allah SWT:
...ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ...
[27]
“Dan sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”[28]
Ayat
diatas menjelaskan perintah berpuasa dan batas waktu menjalankannya, yaitu
sampai malam hari. Ayat tersebut tidak bisa dijadikan contoh dalam al-Naskh,
misalnya kalimat pertama dalam ayat (Atimmu al-Shiyam) sebagai mansukh
dan kalimat kedua (ila al-Lail) sebagai nasikh, sebab antara
keduanya tidak ada renggang waktu sehingga tidak memenuhi syarat ketiga
dalam al-naskh.[29]
d.
Antara dalil nasikh dan mansukh
harus ada pertentangan yang nyata dan betul-betul kontradiktif. Hingga keduanya
tidak bisa dikompromikan dan tidak mungkin dilaksanakan secara bersamaan.[30]
e.
Hendaklah kualitas cara dalam menetapkan dalil nasikh
setidaknya sama dengan dalil mansukh atau lebih kuat dan terpercaya.
Sedang apabila dalil nasikh lebih lemah, maka tidak bisa digunakan untuk
menaskh dalil yang lebih kuat.[31]
Dari
persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama
diatas, bisa disimpulkan bahwa permbahasan nasikh mansukh dalam Ilmu al-Qur’an
cukup rumit dan tidak sederhana. Terlebih untuk menentukan dalil-dalil yang
memenuhi persyaratan sebagai nasikh ataupun mansukh. Hal yang
paling penting diketahui adalah penentuan dalil mana yang datang lebih dahulu
dan yang datang kemudian. Harus ada riwayat sahih dari para sahabat
dalam menentukannya, misalnya riwayat dari sahabat yang berbunyi, “ayat ini
diturunkan setelah ayat itu” atau dengan ungkapan, “ayat ini diturunkan
sebelum ayat itu.” Atau bisa juga dengan ungkapan, “ayat ini diturunkan
pada tahun sekian.”[32]
Dengan demikian yang harus diketahuai adalah pengetahuan tentang urutan
turunnya ayat dan bukan urutan pembacaan ayat-ayat tersebut dalam Mushaf, juga pengetahuan
kesejarahan tentang asbab al-nuzul dan kronologi turunnya ayat.[33]
Imam al-Suyuthi menambahkan bahwa al-Naskh tidak
lepas dari pembahasan tentang hukum-hukum syari’at, maka yang terdapat di
dalamnya hanya hal-hal yang berhubungan dengan perintah dan larangan. Adapun
hal-hal yang mengandung janji, hukuman, ancaman dan bahkan berkaitan dengan ushul al-din, akidah
dan akhlak, tidak berlaku al-naskh didalamnya, karena ketentuan
didalamnya sudah jelas dan tidak akan ada pertentangan.[34]
B.
Pandangan Ulama Tentang al-Naskh
al-Naskh adalah bagian dari salah satu pembahasan dalam disiplin
Ilmu Tafsir yang menggambarkan adanya hubungan erat antara turunnya wahyu dan
realitas. Wahyu yang merupakan Kalam Ilahi diturunkan tentunya dengan tujuan
membawa kemaslahatan untuk semua umat manusia dan tidak serta merta turun tanpa
memiliki tujuan yang berarti. Dalam kehidupan manusia yang homogen, universal
dengan ragam budaya dan dimensi waktu yang selalu bergulir, tentunya manusiapun
membutuhkan maslahah yang sesuai dengan dimensi kehidupan yang sedang ia
jalani. Oleh karena itu maslahah yang disajikan
oleh ayat-ayat al-Qur’an pun terus berjalan seiring berkembangnya dimensi
kehidupan manusia.
Hukum-hukum syari’at yang terkandung dalam al-Qur’an memiliki pokok
prinsip dalam implementasinya, yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan umat muslim. Semua perintah dan larangan yang telah
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya selalu menyimpan hikmah dan tujuan mulia. Namun
dikarenakan kebutuhan tiap umat di belahan dunia ini berbeda-beda, hingga suatu
hukum yang cocok untuk suatu kaum pada suatu waktu, terkadang tidak cocok
diterapkan pada kaum lainnya pada waktu yang berlainan. Maka tidak heran jika
Allah yang Maha Mengetahui segala kebutuhan dan kebaikan hambaNya, terkadang
mengubah dan mengganti syaria’at suatu hukum dengan hukum yang datang kemudian,
demi kemaslahatan umat manusia.[35]
Sejak masa sahabat telah muncul semangat untuk
mempelajari al-Qur’an secara lebih mendalam dan termasuk didalamnya adalah pembahasan
al-naskh dan pengkajian ulang tentang hakikatnya. Namun fenomena al-naskh
dalam konteks pemikiran keagamaan, akidah dan syari’at, juga ditengah keyakinan
penuh akan keotentikan dan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
menimbulkan problem yang cukup signifikan dan berakibat pada perdebatan antara
sesama Ulama pengkaji Ilmu al-Qur’an. Salah satu problem yang paling
dipermasalahkan adalah bagaimana mengkompromikan fenomena al-Naskh
dengan konsekuensi yang ditimbulkan, yaitu perubahan hukum dari teks yang telah
diyakini wujudnya telah ada sejak zaman azali di lauh al-mahfuz.[36]
Pada
konteks ini, terjadi perdebatan di antara para ulama, dan pada akhirnya secara
garis besar mereka terbagi menjadi tiga kelompok, kelompok yang menerima,
kelompok yang menolak dan kelompok yang menerima secara akal tetapi tidak
secara Syara’.
1.
Pendapat Ulama tentang al-naskh
Pada lingkungan pengkaji al-naskh oleh
para ulama dari berbagai agama, ada tiga pendapat tentang hukum ditetapkannya al-naskh.
Yaitu:
a.
al-Naskh diterima secara akal maupun secara Syara’.
إِنَّ النَّسْخَ جَائِزٌ عَقْلًا وَوَاقِعٌ سَمْعًا
Sebagaian besar ulama
Islam mengamini pendapat ini sebelum muncul Abu Muslim al-Asfihany dan para
pengikutnya yang tidak meyakini adanya al-naskh dalam al-Qur’an.
Sebagian ulama Nasrani sebelum abad ini juga mempunyai pendapat yang sama
tentang dibolehkannya al-naskh, juga kelompok al-‘Aisuwiyah yang
merupakan bagian dari golongan Yahudi.[37]
Ada beberapa dalil nas yang merupakan penguat keyakinan adanya al-naskh
dalam al-Qur’an, salah satu yang paling populer adalah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِير ﴿١٠٦﴾[38]
“Apa
saja yang Kami nasakh-kan atau
kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darinya atau
yang sebanding dengannya, tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”[39]
Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu, dan semua perbuatan Allah tidak terikat oleh apapun, maka bisa
saja Allah menetapkan suatu hukum pada satu waktu lalu kemudian menggantikannya
dengan hukum yang lain pada waktu yang lain, karena Allah adalah Dzat yang Maha
Mengetahui semua kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian kebenaran adanya
al-naskh dalam al-Qur’an telah jelas adanya, namun walau demikian masih
ada perdebatan tentang beberapa hal mengenai esensi dan hakikat al-naskh,
agar tidak terjadi kebatilan, kesesatan dan tindakan berlebih-lebihan seperti
halnya al-Naskh yang diterapkan oleh Kaum Rafidlah.
Rafidah adalah kaum Syi’ah yang
menganut faham al-bada’ atas Allah SWT. mereka
sangat mendukung adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Akan tetapi ironisnya,
sikap mereka dalam menetapkan al-naskh meluas hingga berlebih-lebihan,
dan tidak jarang mereka menetapkan suatu kebohongan dan kesesatan yang
dinisbahkan kepada Ali ra.[40] Dalam hal ini mereka berpegang teguh pada firman
Allah:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ
وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ﴿٣٩﴾[41]
“Allah menghapuskan apa yang
dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”[42]
b.
al-Naskh tidak bisa diterima, baik secara akal maupun
secara Syara’
(إِنَّ
النَّسْخَ مُمْتَنِعٌ عَقْلًا وَ سَمْعًا)
Ini adalah pendapat seluruh Kaum Nasrani pada
masa sekarang, mereka selalu menyerang dan menyebarkan tuduhan-tuduhan untuk
mencela Agama Islam dengan dalih al-naskh. Dan juga pendapat golongan Sham’uniyyah,
salah satu golongan dalam Agama Yahudi. Mereka menentang adanya al-naskh
dengan alasan tidak adanya hikmah yang terkandung didalamnya.Argumen Kaum
Yahudi ini tidak dibenarkan oleh Jumhur Ulama pendukung al-naskh,
karena Allah tidak mungkin menetapkan sesuatu
dengan sia-sia, dan ini mustahil bagi Allah yang Maha Mengetahui
kemaslahatan umatNya dan Maha Bijaksana.
Pada hakikatnya sebagian Kaum Yahudi pun meyakini
adanya al-naskh, karena mereka mempercayai bahwa syari’at Nabi Musa as.
telah menghapus hukum-hukum syari’at sebelumnya.[43]
Seperti diharamkannya beberapa binatang yang dihalalkan oleh syari’at
sebelumnya, seperti terekam dalam firman Allah SWT:
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ
ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا
إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ ﴿١٤٦﴾[44]
“Dan kepada
orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapi
dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau
yang bercampur dengan tulang.”[45]
Terlepas dari pendapat sesat Kaum Yahudi dan
Nasrani, sebagian Ulama pengkaji Ilmu al-Qur’an yang menolak adanya al-naskh,
mempermasalahkan adanya kesepakatan perubahan hukum-hukum yang dihasilkan dari
ijtihad manusia (Jumhur Ulama pendukung al-naskh), dengan
meyakini isi kandungan ayat dalam surat al-Baqarah ayat 106, sebagai isyarat
adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Akan tetapi sebaliknya, mereka memiliki
pendapat sendiri dalam menafsirkan ayat tersebut, makna kata “ayat” di
sini adalah mukjizat para Nabi, dengan alasan bahwa ayat tersebut diakhiri
dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” yang
menurut mereka mengisyaratkan bahwa makna ayat di sini adalah mukjizat sebagaiamana pendapat Muhammad ‘Abduh). Dari penafsiran
ini, ia berpendapat bahwa yang di naskh adalah mukjizat Nabi-nabi
terdahulu, dan digantikan dengan mukjizat Rasulullah. Dengan demikian argumen
adanya isyarat al-Naskh telah mereka patahkan.[46]
Di sisi lain, penolakan mereka terhadap al-naskh
disebabkan kayakinan mereka akan dua kemustahilan atas Dzat Allah SWT yang
dapat ditimbulkan. Yaitu: pertama, ketidaktahuan, sehingga Dia
perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain. Dan kedua,
ini merupakan kesia-siaan dan permainan belaka.[47]
Mereka juga berpendapat bahwa al-Qur’an terbebas dari segala jenis pertentangan
dan perubahan, Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ
كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا ﴿٦٢﴾[48]
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Qu’ran, kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[49]
Sedangkan adanya al-naskh dalam Al-Qur’an
merupakan wujud adanya ikhtilaf dalam Al-Qur’an,
dan pada akhirnya tersimpulkan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari Allah. Dan
hal ini adalah batil dan tidak benar.
c.
al-Nasakh menurut akal bisa saja terjadi, akan tetapi
menurut Syara’ tidak bisa diterima.
(إِنَّ
النَّسْخَ جَائِزٌ عَقْلًا وَمُمْتَنِعٌ شَرْعًا)
Ini adalah pendapat golongan ‘Inaniyah dari
Kaum Yahudi, dan juga pendapat salah satu Ulama Islam Abu Muslim al-Isfahany
seorang penganut aliran Muktazilah dan orang-orang yang setuju atas
pendapatnya, dengan menggunakan dalil:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ ﴿٤٢﴾[50]
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[51]
Menurut Abu Muslim al-Isfihany, ayat tersebut
menegaskan bahwa hukum-hukum dalam al-Qur’an mengandung kebenaran yang mutlak
dan tidak bisa dibatalkan dan dihapuskan selamanya. Maka jika al-naskh didefinisikan
sebagai pembatalan dan penggantian hukum-hukum syara’ yang telah ada
dengan hukum Syara’ yang datang kemudian, maka jelas beliau menolak
adanya al-naskh.
Argumen Abu Muslim agaknya langsung ditangkis
oleh para pendukung al-naskh, dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak
berbicara tentang “pembatalan” akan tetapi “kebatilan” yang merupakan antonim
dari kalimat kebenaran. Sedang hukum dalam al-Qur’an yang di nasakh
bukan berarti batil kandungannya, akan tetapi karena disebabkan adanya
perkembangan dan kemaslahatan dalam satu waktu yang berbeda dengan waktu
sebelumnya. Dengan demikian baik yang dibatalkan maupun yang membatalkan dalam
hukum syara’, adalah haq, benar dan bukan batil.[52]
2.
Argumentasi Realita al-Naskh
Jumhur Ulama
pendukung al-naskh berpendapat bahwa kebenaran adanya al-naskh dalam
Al-Qur’an bukan tanpa dasar. Baik secara akal maupun syara’ al-naskh bisa
diterima dan dibenarkan. Adapun dalil-dalil yang mendukung pendapat mereka
adalah sebagai berikut:
a. Dalil naqly atau dalil syara’
yang berasal dari nash shahih, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah:
1)
Ayat-ayat al-Qur’an,
yaitu:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٠٦﴾[53]
“Apa
saja yang Kami nasakh-kan atau
kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darinya atau
yang sebanding dengannya, tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”[54]
2)
Banyak realita yang
mengisyaratkan adanya al-naskh. Contoh konkrit datangnya Muhammad
sebagai Nabi terakhir dengan membawa ajaran Agama Islam yang haq untuk
me-naskh agama dan ajaran yang dibawa Nabi-Nabi terdahlu. Contohnya:
dalam kitab Taurat dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Adam as.
untuk mengawinkan anak kembarnya secara bersilang. Akan tetapi Allah
mengharamkan yang demikian itu melalui Nabi-nabi setelahnya.
3)
Dalam Taurat disebutkan
bahwa Allah menghalalkan semua jenis binatang kepada Nabi Nuh sa. dan anak
cucunya, akan tetapi kemudian Allah menurunkan ayat dan mangharamkan beberapa
jenis binatang. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang mengisyaratkan adanya
al-naskh.
4)
Banyak sekali dalil
dari Sunnah Rasulullah yang mengisyaratkan adanya al-naskh dalam al-Qur’an.
Salah satu contoh Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibn Abbas:
عَنْ عِكْرِمَةَ في قوله يمحو الله ما يشاء
ويثبت قَالَ يَنْسَخُ الآيَةَ بِالْآيَةِ فَتُرْفَعُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
أَصْلُ الْكِتَابِ
[55]
Diriwayatkan
dari Ikrimah dalam firman Allah “Allah menghapus dan menetapkan segala sesuatu
yang Ia kehendaki” (al-Ra’d: 39), ia berkata: suatu ayat bisa menaskh
ayat lainnya, dan Allah memiliki Um al-Kitab.
b. Dalil-dalil ‘aqly atas ditetapkannya al-naskh,
yang didasarkan rasionalitas dan kemampuan manusia untuk berfikir.
1)
Menurut akal, kebenaran
adanya al-naskh tidaklah mustahil. Karena al-naskh didasari atas
kebijaksanaan Allah y’ang Maha Mengetahui kemaslahatan umatN’ya.
2)
Jika seandainya al-naskh
tidak mungkin terjadi, maka tentunya syari’at Nabi Muhammad Saw tidak bisa
menggantikan Syari’at Nabi Isa sa. yang datang sebelumnya. Akan tetapi realita
yang ada, syari’at Nabi Muhammad telah menghapus Syari’at sebelumnya. Maka
dengan demikian al-naskh bisa terjadi.
3)
al-Naskh tidak meninggalkan kemudaratan dalam agama, dan semua
yang demikian bisa diterima oleh akal. [56]
3.
Problematika Kontroversi Al-Naskh
Teori al-naskh dalam perkembangan Ilmu al-Qur’an
memang selalu menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang berkepanjangan.
Sebagian ulama menolak adanya al-naskh dalam al-Qur’an, karena pada
dasarnya mereka berkeyakinan bahwa tidak mungkin terdapat penghapusan dalam al-Qur’an
yang telah diyakini keotentikannya. Sedang teori al-naskh yang telah
lama diterapkan, pada dasarnya merupakan respon terhadap teks-teks al-Qur’an
yang secara dzahir terlihat kontradiktif. Hingga teori ini diterapkan
dengan menghapuskan hukum terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.[57]
Kontroversi kembali muncul ketika mereka yang menolak
teori al-naskh dan tidak meyakini adanya penghapusan hukum dalam al-Qur’an,
menganggap bahwa sebagian pembahasan didalamnya merupakan bagian dari tema al-Takhshish
dalam Ilmu al-Qur’an, dan sebagian lainnya seharusnya dibahas pada tema al-Mutlaq
wa al-Muqayyad dan Istithna’.
Lebih parah
lagi kaum ekstrem yang berlebih-lebihan dalam penerapan teori al-naskh
tidak memberi ketentuan batasan didalamnya, mereka terlalu jauh memperluas
pembahasannya hingga terperangkap pada kesesatan dan kebatilan. Hal tersebut
disebabkan kepercayaan mereka akan adanya sifat al-bada’ pada Dzat Allah
dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.[58]
Para
pengingkar adanya al-naskh dalam al-Qur’an terbagi menjadi beberapa
golongan, di antaranya: pertama, yang mengingkari secara akal dan syara’,
yaitu Umat Nasrani. Kedua, yang mengingkarinya secara syara’
akan tetapi mungkin saja terjadi secara akal, mereka adalah sebagian golongan
Yahudi. Ketiga, juga mengingkari secara syara’ dan mengamini
kemungkinannya secara akal, akan tetapi pada golongan ini, gambaran
pengingkarannya hanya secara dzahir lafzy saja. Adapun pengikut golongan
ketiga ini adalah Abu Muslim al-Isfahany dan para pengikutnya.[59]
Golongan
ulama yang menolak adanya al-naskh dalam al-Qur’an secara syara’
walau mungkin saja terjadi secara akal (golongan ketiga), berusaha
mengkompromikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga tidak perlu di naskh.
Kelompok penolak ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahany (w. 322 H), seorang
pakar tafsir yang termasyur dari kalangan Mu’tazilah. Menurut tokoh ini, di
dalam Al-Qur’an tidak terdapat naskh. Mengakui perihal adanya naskh
berarti juga mengakui adanya kebatilan di dalam al-Qur’an.
Hukum-hukum yang
dibawa al-Qur’an bersifat abadi dan berlaku universal. Oleh karena itu, tidak
layak jika di dalam al-Qur’an terdapat naskh. Di samping itu, ayat-ayat
yang dinyatakan saling bertentangan ternyata masih dapat dikompromikan dengan
mulus dan rasional.[60]
Karena
keyakinan tersebut, Abu Muslim dan pengikutnya selalu menganggap contoh-contoh
ayat yang dibahas panjang lebar dalam tema al-naskh tidak benar. Dalam
pandangan mereka tidak pernah ada penghapusan, dan pergantian hukum dalam al-Qur’an,
setiap ayat dari al-Qur’an memiliki pesan tersendiri yang tidak mungkin bisa
dibatalkan. Contohnya dalam ayat perintah untuk berwasiat yang dinasakh
dengan ayat tentang waris, dalam pandangan mereka pada hakikatnya ayat ini
tidak terhapus, karena tidak ada kontradiksi antara keduanya, dalam ayat waris
tidak ada larangan untuk memberikan wasiat kepada orang tua dan kerabat. Al-Thabary
menerangkan dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah orang tua dan kerabat
yang bukan termasuk ahli waris. Muhammad ‘Abduh juga berpendapat bahwa tidak
ada riwayat yang menjelaskan bahwa ayat tentang waris diturunkan setelah ayat
yang memerintahkan untuk berwasiat.[61]
Menurut
Abu Muslim, dalam perkembangan selanjutnya, terdapat kecenderungan yang semakin
luas terhadap doktrin nasikh-mansukh, hingga terjadi perdebatan dan juga silang
pendapat dalam menentukan mana ayat yang nasikh dan mana ayat yang mansukh.
Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama
klasik untuk menekankan jumlah ayat yang mansukh hingga mencapai
bilangan yang mengerikan.[62]
Bukan hanya itu, perdebatan juga terjadi tentang boleh tidaknya pemakaian Hadis
Ahad sebagai nasikh dari ayat-ayat al-Qur’an, dan masih banyak lagi
perdebatan didalamnya. Realitas tersebut menjadi senjata bagi para ulama
pengingkar konsep al-naskh untuk terus meyakini pendirian mereka dalam
menolak adanya konsep al-naskh.
Sedangkan
para pengingkar dari kalangan non muslim, menyuarakan tuduhan-tuduhan yang
lebih keji terhadap konsep ini. Salah satunya Golongan Yahudi yang sama sekali
tidak menerima konsep al-naskh, menyatakan bahwa tidak ada penghapusan
sama sekali dalam syari’at mereka. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa as. tidak terhapus dan terganti
oleh syari’at manapun. Ajarannya masih ada dan terjaga sampai sekarang. Maka
dari itu konsep dihapusnya semua syari’at yang dibawa Nabi-Nabi sebelum Islam
dan digantikan dengan syari’at yang lebih sempurna yaitu syari’at Islam, tidak
benar adanya.[63]
Hal
yang lebih mengkhawatirkan, fenomena adanya al-naskh dalam al-Qur’an
memberikan peluang bagi para Orientalis dalam menyebarkan tuduhan dan celaan
terhadap keotentikan al-Qur’an. Mereka berpendapat bahwa teori nasikh
mansukh merupakan gambaran bahwa Tuhan tidak konsisten dan seringkali
berubah pikiran, hal itu yang menyebabkan banyak terdapat kontradiksi dalam
Kitab suci umat Islam, dan sering terjadi revisi di dalamnya. Apa yang dikemukakan oleh kalangan orientalis
di atas hanya merupakan sampel bahwa teori nasikh dan mansukh menyisakan
problem yang serius. Jika dikatakan hal tersebut kesalahpahaman semata,
logikanya terlalu sederhana. Lebih baik bagi kita untuk mengatakan sebagai
sebuah teori yang diyakini kebenarannya, tampaknya tidak begitu riskan ketika
dihadapkan pada pandangan-pandangan kritis, termasuk pandangan kritis yang
datang dari kalangan umat Islam. Cukuplah meyakini kebatilan pendapat mereka
dan kesia-siaan tuduhan mereka.
C.
Perbedaan al-Naskh dengan al-Takhshish
Sebagaimana diketahui
bahwa al-naskh dari segi istilah adalah menghapuskan hukum syara’
dengan menggunakan dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu. Dari
pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa ketika ada kontradiksi dalam
beberapa perkara, al-naskh bekerja sebagai penghapus hukum yang berlaku
sebelumnya lalu kemudian menggantikannya dengan hukum baru yang datang
kemudian. Sedangkan al-takhshish pada dasarnya hanya
bekerja membatasi keumuman teksnya.
Sekilas melihat
pengertian keduanya, memang terdapat beberapa kemiripan. Akan tetapi jelas saja
keduanya tidak sama. Adapun beberapa sisi kesamaan antara keduanya yang
menyebabkan terjadinya kerancuan adalah:
1.
Bahwa antara al-Naskh
dan al-Takhshish seolah memiliki kesamaaan karena sama-sama membatasi
suatu ketentuan hukum. Walau sebenarnya sangat berbeda, karena al-naskh bekerja
untuk membatasi dengan ketentuan waktu, sedang al-takhshish membatasi
dengan batasan materi didalamnya.
2.
Dalil yang dipakai keduanya
sama-sama menggunakan dalil syara’.
Sedangkan perbedaan keduanya sangat jelas, dan telah
banyak dibahas oleh para pengkaji Ilmu al-Qur’an. Perbedaan antara al-naskh
dan al-takhshish secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:
a.
a-Takhshish
dapat terjadi baik secara ‘aqly maupun naqly, sedangkan al-naskh
hanya boleh terjadi secara naqly. al-Takhshish juga dapat
terjadi dengan menggunakan dalil dari Qiyas
dan Ijma’, sedang dalam al-Naskh tidak bisa diterima.
b.
Dalam pembahasan al-naskh salah satu syarat
terpenting adalah adanya renggang waktu antara dalil nasikh dan dalil
mansukh. Sedangkan dalam teori al-takhshish, dalil yang mentakhsis
boleh saja datang sebelumnya, setelahnya atau mungkin saja datang bersamaan.
c.
Ketentuan hukum yang dibatasi
dengan konsep al- takhshish sudah sejak semula tidak dikehendaki sama
sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapus dengan teori al-naskh,
mulanya dikehendaki dan diterapkan beberapa waktu lamanya. Akan tetapi karena
perubahan situasi dan kondisi, maka ketentuan tersebut harus dihapus dan
digantikan dengan ketentuan lain yang datang setelahnya. Seperti al- takhshish
yang terjadi dalam firman Allah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) [64]
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.”[65]
Ketentuan awal yang dikecualikan oleh firman Allah
diatas, ialah bahwa orang-orang yang beriman, beramal sholeh dan menasehati
kebenaran dan kesabaran berada dalam kerugian. Maka ketentuan demikian yang
akhirnya dikecualikan oleh ayat setelahnya tidak dikehendaki sama sekali.
d.
Dalam konsep al-naskh
dalil nasikh membatalkan kandungan hukum dalam dalil mansukh, sedang
dalam teori al- takhshish tidak terjadi pembatalan hukum, akan tetapi hanya
terjadi pembatasan jangkauan hukum saja.[66]
Dan masih banyak lagi perbedaan lainnya.
D.
Perbedaan al-Naskh dengan al-Bada’
al-Bada’ secara harfiyah memiliki dua makna, yaitu kemunculan
setelah sebelumnya tersembunyi. Atau bisa juga berarti munculnya sesuatu yang
belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan secara istilah al-bada’ adalah
salah satu akidah pokok kaum Syi’ah yang meyakini kemungkinan adanya perubahan
pada kehendak dan ilmu Allah. Akidah
ini merupakan akidah yang sulit untuk dimengerti dan membingungkan, bahkan bagi
penganutnya sekalipun. Singkatnya, salah satu contoh: mereka meyakini jika
Allah memiliki satu keputusan atau ketetapan, dan mengabarkannya kepada Nabi,
kemudian Nabi menyampaikannya kepada umatnya, maka terkadang pada akhirnya
ketetapan itu tidak terlaksana karena Allah telah mengubahnya dengan ketetapan
lainnya.[67]
Dengan
didasari akidah al-bada’, golongan Rafidah sangat meyakini adanya al-naskh
dalam al-Qur’an. Akan tetapi karena pengaruh akidah yang mereka anut, mereka
menerapkan teori al-naskh dalam al-Qur’an dengan tanpa batasan dan
aturan, hingga sering kali berlebih-lebihan dan sangat riskan terjadi
penyelewengan dan penyimpangan di dalamnya.[68]
Dengan demikian
perbedaan keduanya sangat jelas terlihat dan tidak bisa dikait-kaitkan.
Bagaimana bisa menyamakan konsep yang didasari kebijaksanaan untuk memenuhi
kemaslahatan umat dengan konsep kebodohan dan mengandung celaan terhadap Dzat
Allah, Ilmu-Nya dan segala ketentuan-Nya. Para ulama menguraikan perbedaan
keduanya dalam dua hal, yaitu:
Pertama,
Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu, Ia memiliki kekuasaan mutlak untuk menetapkan atau
mengubah hukum-hukumNya sesuai kehendakNya. Akan tetapi yang perlu garis bawahi
bahwa Ilmu Allah bersifat azaly dan tidak akan pernah berubah, yang
berubah adalah ketentuan yang diketahui oleh manusia (ma’lum) setelah
Allah tetapkan. Allah bersabda dalam al-Qur’an:
يَمْحُو
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ÇÌÒÈ [69]
“Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki
dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”[70]
Kedua, Atsar dan
keterangan-keterangan yang mereka nisbahkan kepada Imam-imam ma’shum mereka
tetang terjadinya al-bada’ dalam Ilmu Allah, merupakan kebohongan
dan kesesatan yang mendarah daging dalam akidah mereka. Contohnya
satu keterangan yang mereka nisbahkan kepada Ali bin Abi Talib, ia berkata:
“Jika saja tidak terjadi al-Bada’ (dalam Ilmu Allah), niscaya akan aku
ceritakan semua yang terjadi sampai hari kiamat.” Keterangan ini sama sekali
tidak bisa diterima, Karena sangat mustahil seorang sahabat seperti Ali ra
melontarkan tuduhan atas Dzat Allah.[71]
E.
Pembagian dan Macam-macam al-Naskh
Sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya, al-naskh berlaku pada dalil-dalil syariat
yang berupa nash. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa naskh
hanya ada dalam al-Qur’an atau hadis.
1.
Pembagian al-Naskh
Tercatat dalam beberapa buku Ulum al-Qur’an bahwa Naskh
terbagi menjadi empat macam yaitu:
a.
Naskh Al-Qur’an bi Al-Qur’an (menaskh
ayat al-Qur’an dengan menggunakan ayat al-Qur’an).
Macam al-naskh yang pertama ini telah disepakati
kebenarannya oleh mayoritas ulama. Sebagaimana telah dijelaskan Allah Swt.
dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 101: “Dan apabila Kami mengganti
suatu ayat dengan ayat yang lain.” Contohnya: ayat dalam al-Qur’an menerangkan
tentang istri yang ditinggal mati suaminya,[72]
dalam surat al-Baqarah ayat 240, Allah berfirman:’
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ
غَيْرَ إِخْرَاجٍ 4 [73]
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”[74]
Ayat ini menerangkan tentang masa ‘iddah wanita-wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu selama setahun. Kemudia datang ayat
selanjutnya menaskh hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu surat
al-Baqarah ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا ( [75]
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.”[76]
b.
Naskh al-Qur’an bi al-Sunnah (menaskh
Al-Qur’an dengan menggunakan Sunnah).
Naskh macam yang kedua ini, para ulama berbeda
pendapat tentang kemungkinan adanya. Argumentasi yang diajukan ulama yang
menolak pandangan ini adalah “Allah telah menjelaskan dalam firmanNya bahwa
yang bisa menaskh al-Qur’an adalah yang sebanding dengannya atau yang
lebih baik dari padanya. Sedangkan yang sebanding dengan al-Qur’an hanyalah al-Qur’an
itu sendiri, dan adapunSunnah merupakan Dalil diluar al-Qur’an yang keberadaanya
tidak lebih kuat dari al-Qur’an. Contohnya bahwa ayat wasiat dalam al-Qur’an dinaskh
oleh Sunnah Rasulullah, tidak benar adanya. Karena pada dasarnya yang menaskh
ayat tersebut adalah ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang hukum waris.
Adapun Hadis Nabi, “Sesungguhnya Allah memberikan setiap orang hak-haknya,
maka tidak ada wasiat bagi ahli waris,” bukan sebagai nasikh, akan
tetapi hanya petunjuk untuk merujuk kepada ayat tentang hukum waris”.[77]
Jumhur uama yang berpandang tentang kemungkinan Sunnah menaskh
al-Qur’an, mengklasifikasikannya menjadi dua bagian, yaitu:
1)
Naskh al-Qur’an bi al-Sunnah al-Ahadiyyah
(naskh al-Qur’an dengan menggunakan Hadis ‘Ahad).
Mayoritas ulama tidak memperbolehkankan adanya
hadis Ahad yang bisa menaskh ayat al-Qur’an. Argumentasinya bahwa
al-Qur’an itu mutawatir yang mengandung kebenaran yang pasti (yaqin),
sedang Hadis Ahad mengandung kebenaran yang zan. Dan tidak
dibenarkan menghilangkan hukum yang sudah diketahui secara pasti dengan hukum
yang kebenarannya hanya sebatas praduga saja (madznun).[78]
2)
Naskh al-Qur’an bi al-Sunnah al-Mutawatirah
(naskh al-Qur’an dengan menggunakan Sunnah Mutawatir).
Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
membenarkan kemungkinan adanya Sunnah Mutawatir yang menaskh ayat
al-Qur’an. Karena keduanya adalah wahyu Ilahi yang Allah sampaikan melalui
perantara Rasulullah, dan Allah berfirman:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾[79]
Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[80]
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ﴿٤٤﴾[81]
“Dan
kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[82]
Kedua firman Allah Swt. di atas secara gamblang telah
menjelaskan peran penting Sunnah sebagai penguat dan penafsir semua kandungan al-Qur’an.
Begitu pula peran pentingnya dalam menentukan hukum pada permasalahan yang bersifat
kontradiktif. Pendapat ini diyakini oleh sebagian besar Ulama, seperti Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad.
Namun demikian Imam Syafi’i, Ahl dhahir dan
Imam Ahmad dalam riwayat yang lain menolak pendapat tersebut. Mereka
mendasarkan pendapatnya dengan firman Allah Swt. surat al-Baqarah ayat 106, [83]
yaitu:
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٠٦﴾[84]
Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [85]
Pendapat lain sebagai penguat datang dari Ibn Habib
al-Nisabury, ia mengatakan, “jika Sunnah tersebut jelas diperoleh dari Wahyu Ilahi
melalui perantara Nabi boleh saja dipakai sebagai nasikh, akan tetapi
jika berasal dari ijtihad manusia, jelas tidak bisa digunakan sebagai nasikh
ayat-ayat al-Qur’an.”[86]
Walau terjadi banyak perdebatan tentang hal ini, namun
pada umumnya mereka bersepakat bahwa yang bisa menaskh al-Qur’an adalah wahyu-wahyu
Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran penisbatannya kepada
Nabi Muhammad). Walau ada juga yang masih meragukan apakah Sunnah Rasulullah
termasuk dalam Wahyu Ilahi atau tidak. Akan tetapi secara umum, para ulama
meyakini bahwa sunnah yang berasal dari Rasulullah merupakan Wahyu yang
Allah ilhamkan untuk disampaikan kepada hambaNya.[87]
3)
Naskh Sunnah bi al-Qur’an
(mengganti Sunnah dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an).
Mayoritas Ulama sepakat tentang adanya ayat al-Qur’an
yang menaskh Sunnah. Contohnya perintah untuk menghadap Bait al-Maqdis
yang ditetapkan oleh Sunnah Rasulullah, dan kemudian dinaskh dengan ayat
al-Qur’an memerintahkan untuk menghadap Masjid al-Haram di Makkah dalam firmanNya:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ4 ß[88]
“Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram.”[89]
4)
Naskh Sunnah bi al-Sunnah (mengganti
Sunnah dengan menggunakan dalil dari Sunnah).
Dalam hal ini
para ulama mengklasifikasikan kemungkinannya dalam beberapa bagian, di
antaranya: naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir,
naskh Sunnah Ahad dengan Sunnah Ahad, naskh Sunnah Ahad
dengan Sunnah Mutawatir, dan naskh Sunnah Mutawatir dengan
Sunnah Ahad.
Para ulama memperbolehkan semua kemungkinan diatas,
kecuali adanya kemungkinan Sunnah Mutawatir dinaskh oleh Sunnah
Ahad, dengan alasan sesuatu yang kuat tidak bisa dihapus oleh sesuatu yang
tidak lebih kuat dari padanya.[90]
Inilah
keempat jenis al-naskh yang diyakini kebenarannya oleh sebagian
besar ulama, sedangkan al-naskh dengan menggunakan dalil ‘aqly seperti
Ijma’ dan Qiyas tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan
dalam al-naskh.
2.
Macam-Macam
Pola al-Naskh
Adapun macam-macam al-naskh atau pola-pola yang
terdapat dalam pembahasan al-naskh adalah sebagai berikut:
a.
Menaskh
dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.
Dengan adanya naskh ini, bacaan dan hukum ayat
tersebut telah terhapus dan telah digantikan oleh hukum baru yang datang
setelahnya. Contohnya dihapusnya ayat yang mengharamkan nikah dengan saudara
sesusuan yang telah menyusui kepada satu orang ibu sebanyak sepuluh kali
susuan, kemudian dinaskh dengan ketetapan lima kali susuan. Sebagaimana
telah diisyaratkan dalam Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim, dari
Aisyah ra, beliau berkata: “Adalah termasuk ayat al-Qur’an yang diturunkan,
yaitu ayat yang menerangkan sepuluh kali susuan, yang diketahui itu menjadikan
mahram (haram dinikahi). Maka menjelang wafat Rasulullah SAW ayat-ayat tersebut
masih termasuk yang dibaca dalam al-Qur’an.”
Jelas diterangkan dalam hadis diatas bahwa hukum
sepuluh kali susuan pernah tertulis dalam al-Qur’an dan dibaca oleh para
sahabat hingga menjelang Nabi Muhammad SAW wafat. Dan jelas pula terlihat tidak
adanya ayat tentang hal tersebut dalam Mushaf ‘Utsmany yang kita imani
sekarang, ini menunjukkan bahwa telah terjadi naskh dalam al-Qur’an
dengan mengahapuskan bacaan dan hukumnya sekaligus.[91]
b.
Menaskh hukum
yang berlaku dengan ketetapan bacaannya.
Yaitu dimana bacaan ayatnya masih tertulis dan masih
tetap dibaca, akan tetapi kandungan hukum didalamnya sudah tidak berlaku dan
tidak boleh dipakai lagi karena sudah ada hukum lain yang menghapus dan
menggantikannya. Seperti ayat yang menjelaskan bahwa ‘iddah seorang
perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah setahun. Kemudian dinaskh
dengan ayat lain yang menetapkan masa ‘iddah yang harus dijalani adalah
selama empat bulan sepuluh hari.
c.
Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya.
Yaitu tulisan dalam al-Qur’an
telah dihapus dan tidak terbaca lagi, akan tetapi hukumnya masih berlaku dan
harus diamalkan. Adapun dalil yang menetapkan adanya naskh ini
adalah Hadis dari ‘Umar bin al-Khattab dan Ubay bin Ka’ab
yang berkata:
"
كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ اَلشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا
فَارْجُمُوْهُمَا اَلْبَتَةً نَكَالًا مِنَ اللهِ"
“Termasuk
dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat bahwa orang yang telah tua baik
laki-laki maupun perempuan (bukan lajang) apabila mereka berzina, maka rajamlah
mereka (yaitu dilempari batu sampai mati), sekaligus sebagai balasan dari Allah.”
Jika kita telusuri
dalam al-Qur’an, ayat yang mengisyaratkan hukum tersebut sudah tidak terbaca,
akan tetapi hukum rajam tetap berlaku dengan adanya keterangan dalam Hadis dari
Umar tadi. Naskh dalam bentuk ini pun menimbulkan banyak keraguan di
antara para Ulama. Mereka mempertanyakan apa gunanya menaskh bacaan ayat
sedang hukumnya masih tetap berlaku?
Keraguan ini dijawab oleh Imam Ibnu al-Jauzy dalam
kitabnya Funun al-Afnan fi ‘Ajaibi ‘Ulum al-Qur’an. Beliau menjawab bahwa yang demikian itu untuk menguji
sampai dimana kekuatan umat muslim dalam berupaya menjalankan ajaran Agama
Islam, bahkan walau hanya berdasarkan dugaansebagaimana ketebalan keimanan Nabi
Ibrahim sa. yang menyembelih anaknya hanya dengan berdasarkan petunjuk mimpi.[92]
F.
Hikmah al-Naskh
Allah tidak pernah menetapkan sesuatu tanpa adanya
hikmah yang tersimpan dibaliknya. Dia yang Maha Bijaksana selalu bijak dalam
menetapkan segala jenis ketetapan yang telah terangkum rapi dalam ajaran-ajaran
Islam. Demikian pula ketetapan terjadinya al-naskh dalam al-Qur’an
maupun Sunnah, menyimpan banyak sekali hikmah. Hal ini penting sekali
diketahui, sebab dengan mengetahuinya dapat menenangkan pikiran dan
menenteramkan jiwa juga untuk menghilangkan keraguan. Terlebih dalam pembahasan
ini, banyak sekali pro kontra dan kontroversi didalamnya. Di antara beberapa
hikmah tersebut adalah:
1.
Untuk menunjukkan bahwa syari’at
agama Islam adalah yang paling sempurna, karena telah menghapus dan
menggantikan syari’at yang datang sebelumnya.
2.
Allah selalu menjaga kemaslahatan umat
manusia, agar kebutuhan manusia selalu terjaga dalam semua keadaan sepanjang
zaman
3.
Untuk menjaga agar semua
ajaran Islam selalu relevan dalam segala kondisi dan situasi.
4.
Perkembangan syari’at berada
pada tahap sempurna seiring dengan perkembangan dakwah Islamiyah dan
perkembangan umat manusia.
5.
Untuk menguji keimanan para mukallaf,
apakah dengan adanya perubahan dan penggantian hukum menjadikan mereka
tetap taat, atau malah mengingkarinya.
6.
Apabila pergantian hukum
dalam al-naskh dari yang lebih berat menjadi lebih ringan, bertujuan
untuk memberikan keringanan bagi umat muslim, karena sebagian besar dari
perubahan hukum yang ada, bertujuan untuk meringankan beban mukallaf.
Hal tersebut merupakan bukti bahwa Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang atas
HambaNya.
7.
Apabila perubahan dalam al-Naskh
merupakan pergantian hukum yang mudah menjadi lebih susah, hal tersebut untuk
menambah janji pahala dan balasan oleh Allah atas hambaNya, karena semakin
sukar suatu perintah, maka akan semakin berlipat manfaat, kebaikan dan pahala
didalamnya.
8.
Apabila pengganti di dalamnya merupakan
hukum yang memiliki tingkat beban yang sama, bertujuan untuk menguji keimanan mukallaf.
Jika dia seorang mukmin yang taat maka akan menang, namun jika ia termasuk
orang yang munafik maka ia akan mengingkarinya dan menggantikan kebaikan
menjadi keburukan. [93]
[1] Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqany,
Manahil al-‘Irfan…, 146
[2] Al-Zarqany, Manahil al-‘Irfan...,
146
[3] Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A, ‘Ulum
Al-Qur’an(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 107
[4] Muhammad bin Abdullah al-Zarkashy,
al-Burhan.., 21.
[5] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
108
[6] QS al-Baqarah (2):106
[7] Depag, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, 29.
[8] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
110
[9] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…,
147
[10] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
111
[11] QS
Al-Baqarah (2):228
[12] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya…,55
[13] QS al-Ahzab (33): 49.
[14] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya…, 675.
[15] Manna’ al-Qattan, Mabahith…,
232
[16] QS Al-An’am (6):57
[17] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 157
[18] QS al-Baqarah (2):180
[19] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 44
[20] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…,243
[21] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
115
[22] QS an-Nisa’ (4):59
[23] Depag, Al-Qur’an
dan terjemahnya, 128
[24] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
117. Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 150
[25] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 237
[26]Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 232. Lihat juga Al-Zaqany,
Manahil al-‘Irfan…, 150.
[27] QS al-Baqaarah (2):187.
[28] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 45
[29] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
119
[30] Jamal al-Din Abi al-Farj
‘Abdurrahman bin al-Jauzy, Nawasikh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1405), 23
[31] [31]
Jamal al-Din Abi al-Farj ‘Abdurrahman bin al-Jauzy, Nawasikh al-Qur’an…,
24
[32] Drs. Supiana, M. Ag dan M.
Karman, M. Ag, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), 151
[33] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum
al-Nas Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Terjemah: Khoiron Nahdliyyin,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), 159
[34] Jalal al-Din ‘Abdurrahman bin Abi
Bakar al-Suyuty, al-Itqan…,41
[35] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
134
[36] Nasr Hamid, Mafhum al-Nas…,
153
[37] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…,
155
[38] QS al-Baqarah (2):106
[39] Depag, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, 29.
[40] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 235
[41] QS al-Ra’d, (13):39
[42] Depag,
Al-Qur’an dan Terjemahnya…, 376
[43] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
137
[44] QS al-An’am (6):146
[45] Depa, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, 213.
[46] ‘Abdul Mut’al Muhammad al-Jabary,
La Nuskh fi al-Qur’an, Limadha?, (Kairo: Dar al-Tadamun, 1980), 15.
[47] Dr. M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehiupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1999), 146
[48] Qs an-Nisa’ (4):82
[49] Depag, Al-Qur’an dan
Terjemahnya,132
[50] QS
Fushshilat (41):42
[51] Depag, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, 779
[52] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an…,
146
[53] QS
Al-Baqarah ( 2):106
[54] Depag, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, 29.
[55]
Jamal al-Din Abi al-Farj, Nawasikh
al-Qur’an…, 18.
[56] Jamal al-Din Abi al-Farj, Nawasikh
al-Qur’an…, 14-.19. Lihat juga Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
139. Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 157.
[57] Drs. Mustafa Kamal, M.H, “Kajian
Nasikh Mansukh dalam Studi al-Qur’an,” Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI
Kalimantan, Vol. 6, No.9 (April 2008), 41
[58] Ibid, 44
[59]Ibid, 164
[60] ‘Ataillah, “Sifat Operatif Ayat Al-Qur’an:
Tanggapan terhadap Teori Naskh dalam Al-Qur’an,” dalam Al-Banjary jurnal
Ilmiah Imu-Ilmu Keislaman, Vol. 3, no. 5, (Januari-Juni 2004), 43.
[61] ‘Abdul al-Mutal, La Nuskha fi al-Qur’an…,
72
[62] Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal
Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual,
(Bandung: Mizan, 1992), 29.
[63] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…,
168.
[64] QS. Al-‘Ashr (103):1-3
[65] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 1099.
[66] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,122.
Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 153
[67] Muhammad Kamil al-Hasyimy, Hakikat
Akidah Shi’ah, Terjemah: Prof. Dr. H. M. Rasjidi( Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1989),135-153
[68] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 235
[69] QS. Ar-Ra’d, (13):39
[70] Depag, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 376.
[71] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…,
152-153
[72] Al-Suyuty, al-Itqan…, 44
[73] QS. Al-Baqarah, (2):240
[74] Depag, Al-Qur’an
dan terjemahannya, 59.
[75] QS. Al-Baqarah (2):234.
[76]
Depag, Al-Qur’an
dan terjemahannya, 57.
[77] Al-Zarkashy, al-Burhan…,
22
[78]
Manna Qaththan, Mabahith
fi…, 237.
[79] QS. al-Najm, (53):3-4
[80] Depag,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, 871
[81] QS al-Nahl,(16):44
[82]
Depag,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, 408
[83] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 234
[84] QS.
Al-Baqarah (02); 106.
[85]
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terejemahnya, 29
[86] Al-Suyuty, al-Itqan…, 40
[87] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an…,
148
[88] QS. al-Baqarah, (2):144
[89] Depag, Al-Qur’an
dan terjemahnya, 37
[90] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 237
[91] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…, 238
[92] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
147
[93] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,
148. Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 240. Al-Zaqany, Manahil
al-‘Irfan…, 161. Supiana, M.Karman, Ulum al-Qur’an..., 159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar