Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Nasikh dan Mansukh

 



A.    Al-Naskh, Nasikh dan Mansukh

1.        Pengertian al-Naskh

Sebelum lebih lanjut membahas tentang Nasih Mansukh, maka tentunya harus dipahami dulu pengertian dari Nasakh itu sendiri. Menurut bahasa kata Al-Naskh setidaknya memiliki empat macam arti, yaitu:

a.         al-Izalah wa al-I’dam .[1]

Maksudnya adalah menghapus atau menghilangkan sesuatu, seperti dalam kalimat Ansakhat al-Shamsu al-dzilla, yang artinya adalah matahari itu telah menghilangkan bayangan atau kegelapan.

b.        al-Tahwil ma’a al-Baqa’ fi Nafsih.[2]

Maksudnya adalah memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya, akan tetapi barang tersebut masih utuh atau tetap. Seperti dalam kalimat Tanasukh al-Anfus yang berarti jiwa-jiwa orang yang saling berpindah.

c.         al-Naql min Kitab ila Kitab.[3]

Maksud al-Naskh berarti menyalin atau mengutip dari satu tulisan ke tulisan yang lain, dengan tetap adanya persamaan antara kutipan dengan yang dikutip.

d.        Tabdil artinya mengganti.[4]

e.         al-Taghyir wa al-Ibtal ma’a Iqamah al-Syai’ Maqamahu.[5]

Maksudnya adalah mengubah suatu ketentuan atau hukum dan membatalkannya kemudian menggantinya dengan ketentuan lain.

Dari empat makna harfiyah diatas, yang paling relevan digunakan sebagai makna al-Naskh dalam pembahasan Nasikh Mansukh adalah makna keempat, yaitu mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya (Al-Taghyir wa al-Ibtal ma’a Iqamah al-Shai’ Maqamahu). Sebab makna inilah yang sesuai dengan firman Allah SWT sebagai dalil yang paling kuat mengenai adanya Al-Naskh dalam al-Qur’an:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير ﴿١۰٦﴾[6]

 

“Ayat apa saja yang Kami al-Naskh-kan atau yang Kami jadikan (manusia) melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah itu mengetahui atas segala sesuatu.”[7]

 

     Adapun menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian al-Naskh, setidaknya ada empat pendapat, di antaranya:

1)          إِبْطَالُ حُكْمٍ مُسْتَفَادٍ مِنْ نَصٍّ سَابِقٍ بِنَصٍّ لَاحِقٍ

Al-Naskh adalah membatalkan hukum yang diperoleh dari Nas (ketentuan dalil), dan dibatalkan dengan ketentua Nas yang datang kemudian.[8]

 

Definisi di atas menurut hemat penulis masih bersifat umum dan perlu mengakomodir definisi lain yang yang telah ditetapkan para ulama.

2)        اَلنَّسْخُ هُوَ رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيٍٍّ بِدَلِيْلًٍ شَرْعِيٍٍّ

 

Al-Naskh adalah menghapuskan Hukum Syara’ dengan menggunakan Dalil Syara’ juga.[9]

 

Menurut al-Zarqani ini merupakan definisi yang paling relevan dan jami’ mani’, karena telah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam pembahasan Nasikh Mansukh. Akan tetapi ulama lain menganggap bahwa definisi ini belum cukup karena belum dijelaskan adanya tenggang waktu yang cukup dimana hal tersebut akan berdampak pada timbulnya keraguan. Oleh karena itu sebagaian ulama ada yang medefinisikan Nasikh Mansukh dengan definisi yang lebih lengkap.

 

3)        اَلنَّسْخُ هُوَ رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعيٍٍِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيًٍّ مَعَ التَّرَاخِيْ عَلَى وَجْهٍ لَوْلَاهُ لَكاَنَ الْحُكْمُ الْأَوَّلُ ثَابِتاً

 

Al-Naskh adalah menghapuskan Hukum Syara’ dengan menggunakan Dalil Syara’ dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan jika sekiranya tidak ada al-Naskh tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.[10]

 

4)        اَلنَّسْخُ هُوَ رَفْعُ عُمُوْمِ النَّصِّ السَّابِقِِ أَوْ تَقْيِيْدُ مُطْلَقِهِ بِالنَّصِّ اللَّاحِقِ

 

Al-Naskh adalah membatasi keumuman nas terdahulu, atau membatasi kemutlakan dalilnya dengan nas yang datang kemudian.

 

Definisi ini dipakai oleh sebagian ulama yang menolak adanya al-Naskh dalam al-Qur’an. Dengan definisi ini, mereka memberikan contoh dengan membatasi keumuman lafal al-Muthallaqat dalam firman Allah SWT:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ... [11]

 

 Dan wanita-wanita yang ditalak itu hendaklah mereka menahan diri (menunggu) sampai tiga kali suci.”[12]

 

Menurut ayat ini semua wanita yang dicerai, baik karena ditinggal mati, atau dicerai dalam keadaan hamil maupun dalam keadaan belum disentuh, harus menahan diri dan tidak boleh kawin lagi kecuali setelah tiga kali masa suci. Lalu keumuman hukum dalam ayat tersebut dibatasi dengan adanya ketentuan dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا ﴿٢٢٨﴾[13]

 

 “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman lalu kalian ceraikan mereka sebelum kalian sentuh, maka sama sekali tidak wajib atas mereka ber’iddah bagi kalian.”[14]

 

Dari keempat definisi tersebut di atas, sebagian besar ulama menggunakan definisi yang ketiga, karena dianggap sebagai definisi paling jami’ mani’ dan mencakup semua syarat dalam pembahasan Nasikh Mansukh. Karena pada dasarnya al-Naskh dalam al-Qur’an tidak bisa diterima kecuali memenuhi beberapa ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama. Sedangkan definisi yang keempat merupakan definisi yang dianggap kurang tepat karena definisi ini dipakai ulama untuk menolak keberadaan Nasikh Mansukh sebagaimana penjelasan di atas.

 

2.        Pengertian Nasikh dan Mansukh

Nasikh menurut bahasa berarti yang menghapus, menghilangkan atau yang memindahkan. Sedangkan dalam istilah nasikh disandarkan kepada dua hal, yaitu: Pertama, hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapus atau menghilangkan hukum atau dalil Syara’ yang terdahulu, dan kemudian digantikan oleh hukum baru yang dibawanya. Kedua, nasikh adalah Allah SWT. karena pada hakikatnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum Syara’ adalah Allah dan atas kehendakNya.[15] Sebagaimana firman Allah SWT:

...إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ ﴿٥٧﴾[16]

 “Sesungguhnya penetapan hukum hanyalah hak Allah, Dia menerangkan kebenaran dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”[17]

 

Sedang Mansukh secara harfiyah berarti sesuatu yang dihapus, diganti, disalin, atau dihilangkan. Dan secara istilah Mansukh adalah hukum Syara’ terdahulu yang dihapus dan diganti dengan hukum Syara’ yang dibawa oleh dalil Syara’ yang datang kemudian.

Seperti hukum Syara’ yang terkandung dalam ayat al-Qur’an tentang perintah untuk meninggalkan wasiat kepada keluarga dan para kerabat:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ ﴿١٨٠﴾[18]

 

 “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput salah seorang di antara kamu (jika ia meninggalkan harta) berwasiatlah untuk kedua orang tua dan kerabat dengan cara yang baik.”[19]

 

Ayat ini jelas sekali menerangkan kewajiban berwasiat bagi mereka yang telah mendekati ajalnya, akan tetapi ayat tersebut dinaskh dengan ayat tentang hukum waris yang datang kemudian pada surat al-Nisa’ ayat 11. Dengan demikian telah terjadi al-Naskh pada ayat tentang perintah berwasiat, maka ayat tersebut disebut sebagai mansukh dan hukum waris yang terkandung dalam surat al-Nisa’ ayat 11 menjadi nasikh atau yang menghapus dan menggantikan hukum sebelumnya.[20]

 

3.        Syarat-syarat Nasikh Mansukh

Pembahasan Nasikh Mansukh termasuk bagian dari Ilmu al-Qur’an yang banyak menimbulkan kontroversi di antara ulama-ulama pengkaji al-Qur’an dan Ilmu-ilmunya. Maka dari itu ulama yang menyetujui adanya al-Naskh dalam al-Qur’an menetapkan beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, karena pada dasarnya terjadinya al-Naskh dalam al-Qur’an tidak lain demi kemaslahatan umat. Dengan demikian pembahasan ini sungguh tidak gampang dan melibatkan peran para ulama terpercaya (Ijma’ Ulama).

Adapun beberapa syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh para ulama al-Qur’an adalah:

a.         Hukum yang di naskh (mansukh) haruslah merupakan hukum Syara’, bukan berasal dari hukum akal, hukum adat atau hukum buatan manusia. Sedang yang dimaksud hukum Syara’ disini adalah hukum yang berasal dari dalil-dalil nas, baik dari al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW, dengan catatan dalil-dalil tersebut berhubungan dengan hukum tentang perbuatan mukallaf, baik berupa kewajiban, larangan atau anjuran.

Dengan demikian selain hukum Syara’ tidak bisa dipakai dalam al-Naskh, contoh: hukum akal yang dibuat oleh manusia, seperti kaidah dasar dalam Ilmu Usul al-Fiqh “asal dari segala sesuatu adalah kebebasan”, lalu kemudian kaidah tersebut dihapus dan digantikan dengan dalil-dalil tentang perintah menjalankan shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Oleh karena asal hukum yang digantikan bukan merupakan hukum Syara’, maka penghapusan hukum tersebut bukan termasuk dalam pembahasan al-Naskh.[21]

b.        Dalil yang menghapus hukum Syara’ yang terdahulu (nasikh) juga harus merupakan dalil Syara’. Tidak dibenar menaskh hukum Syara’ dengan menggunakan dalil yang berasal dari akal, adat atau buatan manusia. Dalam syarat ini para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya penghapusan hukum dengan menggunakan Ijma’ atau Qiyas, karena keduanya adalah dalil yang berasal dari ijtihad para ulama. Sebagian ulama yang memperbolehkan penggunaan Ijma’ dan Qiyas berargumentasi dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ [22]

 

 “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah, dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kalian”[23]

 

Dari ayat tersebut mereka menafsirkan bahwa Allah memerintahkan untuk mentaati Allah dan kalam-Nya (al-Qur’an), Rasulullah dan Sunnah-sunnahnya, dan juga perintah untuk mentaati penguasa (Ulul al-Amr). Dalam hal ini penguasa ditafsirkan sebagai pemegang kekuasaa yang selalu mengadakan permusyawarahan dalam segala hal termasuk musyawarah untuk menentukan hukum-hukum (Ijma’ dan Qiyas).[24]

  Penggunaan Sunnah sebagai nasikh juga masih banyak diperdebatkan, hal tersebut disebabkan keaneka ragaman kualitas dan kuantitas Sunnah. Hadis Ahad dianggap tidak memenuhi syarat Mutawatir dan tidak bisa dipakai sebagai nasikh. Hal ii dikarenakan al-Qur’an adalah Mutawatir serta mengandung kebenaran yang mutlak, sedang Hadis Ahad mengandung dzan, maka tidak mungkin sesuatu yang bersifat dzan menghapus kebenaran yang mutlak.[25]

c.         Antar nasikh dan mansukh haruslah ada tenggang waktu beberapa saat setelah ditetapkannya hukum yang pertama. Jadi antara dalil pertama dan dalil yang datang setelahnya sebagai penghapus dan pengganti ada tenggang waktu dan tidak bersambung seperti bersambungnya Qayid dan Muqayyad, juga tidak dibatasi oleh waktu yang membatasi (Ittishal al-Ta’qit bi al-Muaqqat), karena dengan demikian hukum akan dibatasi oleh waktu yang membatasinya dan akan berakhir pada waktu yang ditentukan.[26] Contohnya dalam firman  Allah SWT:

...ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ... [27]

 

“Dan sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”[28]

 

Ayat diatas menjelaskan perintah berpuasa dan batas waktu menjalankannya, yaitu sampai malam hari. Ayat tersebut tidak bisa dijadikan contoh dalam al-Naskh, misalnya kalimat pertama dalam ayat (Atimmu al-Shiyam) sebagai mansukh dan kalimat kedua (ila al-Lail) sebagai nasikh, sebab antara keduanya tidak ada renggang waktu sehingga tidak memenuhi syarat ketiga dalam al-naskh.[29]

d.        Antara dalil nasikh dan mansukh harus ada pertentangan yang nyata dan betul-betul kontradiktif. Hingga keduanya tidak bisa dikompromikan dan tidak mungkin dilaksanakan secara bersamaan.[30]

e.         Hendaklah kualitas cara dalam menetapkan dalil nasikh setidaknya sama dengan dalil mansukh atau lebih kuat dan terpercaya. Sedang apabila dalil nasikh lebih lemah, maka tidak bisa digunakan untuk menaskh dalil yang lebih kuat.[31]

Dari persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama diatas, bisa disimpulkan bahwa permbahasan nasikh mansukh dalam Ilmu al-Qur’an cukup rumit dan tidak sederhana. Terlebih untuk menentukan dalil-dalil yang memenuhi persyaratan sebagai nasikh ataupun mansukh. Hal yang paling penting diketahui adalah penentuan dalil mana yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian. Harus ada riwayat sahih dari para sahabat dalam menentukannya, misalnya riwayat dari sahabat yang berbunyi, “ayat ini diturunkan setelah ayat itu” atau dengan ungkapan, “ayat ini diturunkan sebelum ayat itu.” Atau bisa juga dengan ungkapan, “ayat ini diturunkan pada tahun sekian.”[32] Dengan demikian yang harus diketahuai adalah pengetahuan tentang urutan turunnya ayat dan bukan urutan pembacaan ayat-ayat tersebut dalam Mushaf, juga pengetahuan kesejarahan tentang asbab al-nuzul dan kronologi turunnya ayat.[33]

Imam al-Suyuthi menambahkan bahwa al-Naskh tidak lepas dari pembahasan tentang hukum-hukum syari’at, maka yang terdapat di dalamnya hanya hal-hal yang berhubungan dengan perintah dan larangan. Adapun hal-hal yang mengandung janji, hukuman, ancaman dan bahkan berkaitan dengan ushul al-din, akidah dan akhlak, tidak berlaku al-naskh didalamnya, karena ketentuan didalamnya sudah jelas dan tidak akan ada pertentangan.[34]

B.       Pandangan Ulama Tentang al-Naskh

al-Naskh adalah bagian dari salah satu pembahasan dalam disiplin Ilmu Tafsir yang menggambarkan adanya hubungan erat antara turunnya wahyu dan realitas. Wahyu yang merupakan Kalam Ilahi diturunkan tentunya dengan tujuan membawa kemaslahatan untuk semua umat manusia dan tidak serta merta turun tanpa memiliki tujuan yang berarti. Dalam kehidupan manusia yang homogen, universal dengan ragam budaya dan dimensi waktu yang selalu bergulir, tentunya manusiapun membutuhkan maslahah yang sesuai dengan dimensi kehidupan yang sedang ia jalani.  Oleh karena itu maslahah yang disajikan oleh ayat-ayat al-Qur’an pun terus berjalan seiring berkembangnya dimensi kehidupan manusia.

Hukum-hukum syari’at yang terkandung dalam al-Qur’an memiliki pokok prinsip dalam implementasinya, yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan umat muslim. Semua perintah dan larangan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya selalu menyimpan hikmah dan tujuan mulia. Namun dikarenakan kebutuhan tiap umat di belahan dunia ini berbeda-beda, hingga suatu hukum yang cocok untuk suatu kaum pada suatu waktu, terkadang tidak cocok diterapkan pada kaum lainnya pada waktu yang berlainan. Maka tidak heran jika Allah yang Maha Mengetahui segala kebutuhan dan kebaikan hambaNya, terkadang mengubah dan mengganti syaria’at suatu hukum dengan hukum yang datang kemudian, demi kemaslahatan umat manusia.[35]

  Sejak masa sahabat telah muncul semangat untuk mempelajari al-Qur’an secara lebih mendalam dan termasuk didalamnya adalah pembahasan al-naskh dan pengkajian ulang tentang hakikatnya. Namun fenomena al-naskh dalam konteks pemikiran keagamaan, akidah dan syari’at, juga ditengah keyakinan penuh akan keotentikan dan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menimbulkan problem yang cukup signifikan dan berakibat pada perdebatan antara sesama Ulama pengkaji Ilmu al-Qur’an. Salah satu problem yang paling dipermasalahkan adalah bagaimana mengkompromikan fenomena al-Naskh dengan konsekuensi yang ditimbulkan, yaitu perubahan hukum dari teks yang telah diyakini wujudnya telah ada sejak zaman azali di lauh al-mahfuz.[36]

Pada konteks ini, terjadi perdebatan di antara para ulama, dan pada akhirnya secara garis besar mereka terbagi menjadi tiga kelompok, kelompok yang menerima, kelompok yang menolak dan kelompok yang menerima secara akal tetapi tidak secara Syara’.   

1.        Pendapat Ulama tentang al-naskh

Pada lingkungan pengkaji al-naskh oleh para ulama dari berbagai agama, ada tiga pendapat tentang hukum ditetapkannya al-naskh. Yaitu:

a.         al-Naskh diterima secara akal maupun secara Syara’.

إِنَّ النَّسْخَ جَائِزٌ عَقْلًا وَوَاقِعٌ سَمْعًا

Sebagaian besar ulama Islam mengamini pendapat ini sebelum muncul Abu Muslim al-Asfihany dan para pengikutnya yang tidak meyakini adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Sebagian ulama Nasrani sebelum abad ini juga mempunyai pendapat yang sama tentang dibolehkannya al-naskh, juga kelompok al-‘Aisuwiyah yang merupakan bagian dari golongan Yahudi.[37]

Ada beberapa dalil nas yang merupakan penguat keyakinan adanya al-naskh dalam al-Qur’an, salah satu yang paling populer adalah:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير ﴿١٠٦﴾[38]

 

“Apa saja yang Kami nasakh-kan atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya, tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[39]

 

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan semua perbuatan Allah tidak terikat oleh apapun, maka bisa saja Allah menetapkan suatu hukum pada satu waktu lalu kemudian menggantikannya dengan hukum yang lain pada waktu yang lain, karena Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui semua kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian kebenaran adanya al-naskh dalam al-Qur’an telah jelas adanya, namun walau demikian masih ada perdebatan tentang beberapa hal mengenai esensi dan hakikat al-naskh, agar tidak terjadi kebatilan, kesesatan dan tindakan berlebih-lebihan seperti halnya al-Naskh yang diterapkan oleh Kaum Rafidlah.

Rafidah adalah kaum Syi’ah yang menganut faham al-bada’ atas Allah SWT. mereka sangat mendukung adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Akan tetapi ironisnya, sikap mereka dalam menetapkan al-naskh meluas hingga berlebih-lebihan, dan tidak jarang mereka menetapkan suatu kebohongan dan kesesatan yang dinisbahkan kepada Ali ra.[40] Dalam hal ini mereka berpegang teguh pada firman Allah: 

يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ﴿٣٩﴾[41]

 

 “Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).[42]

 

b.        al-Naskh tidak bisa diterima, baik secara akal maupun secara Syara’

(إِنَّ النَّسْخَ مُمْتَنِعٌ عَقْلًا وَ سَمْعًا)

Ini adalah pendapat seluruh Kaum Nasrani pada masa sekarang, mereka selalu menyerang dan menyebarkan tuduhan-tuduhan untuk mencela Agama Islam dengan dalih al-naskh. Dan juga pendapat golongan Sham’uniyyah, salah satu golongan dalam Agama Yahudi. Mereka menentang adanya al-naskh dengan alasan tidak adanya hikmah yang terkandung didalamnya.Argumen Kaum Yahudi ini tidak dibenarkan oleh Jumhur Ulama pendukung al-naskh, karena Allah tidak mungkin menetapkan sesuatu  dengan sia-sia, dan ini mustahil bagi Allah yang Maha Mengetahui kemaslahatan umatNya dan Maha Bijaksana.

Pada hakikatnya sebagian Kaum Yahudi pun meyakini adanya al-naskh, karena mereka mempercayai bahwa syari’at Nabi Musa as. telah menghapus hukum-hukum syari’at sebelumnya.[43] Seperti diharamkannya beberapa binatang yang dihalalkan oleh syari’at sebelumnya, seperti terekam dalam firman Allah SWT:

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ ﴿١٤٦﴾[44]

 

“Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.[45]

 

Terlepas dari pendapat sesat Kaum Yahudi dan Nasrani, sebagian Ulama pengkaji Ilmu al-Qur’an yang menolak adanya al-naskh, mempermasalahkan adanya kesepakatan perubahan hukum-hukum yang dihasilkan dari ijtihad manusia (Jumhur Ulama pendukung al-naskh), dengan meyakini isi kandungan ayat dalam surat al-Baqarah ayat 106, sebagai isyarat adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Akan tetapi sebaliknya, mereka memiliki pendapat sendiri dalam menafsirkan ayat tersebut, makna kata “ayat” di sini adalah mukjizat para Nabi, dengan alasan bahwa ayat tersebut diakhiri dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” yang menurut mereka mengisyaratkan bahwa makna ayat di sini adalah mukjizat sebagaiamana pendapat Muhammad ‘Abduh). Dari penafsiran ini, ia berpendapat bahwa yang di naskh adalah mukjizat Nabi-nabi terdahulu, dan digantikan dengan mukjizat Rasulullah. Dengan demikian argumen adanya isyarat al-Naskh telah mereka patahkan.[46]

Di sisi lain, penolakan mereka terhadap al-naskh disebabkan kayakinan mereka akan dua kemustahilan atas Dzat Allah SWT yang dapat ditimbulkan. Yaitu: pertama, ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain. Dan kedua, ini merupakan kesia-siaan dan permainan belaka.[47] Mereka juga berpendapat bahwa al-Qur’an terbebas dari segala jenis pertentangan dan perubahan, Allah berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا ﴿٦٢﴾[48]

 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qu’ran, kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.[49]

 

Sedangkan adanya al-naskh dalam Al-Qur’an merupakan wujud adanya ikhtilaf dalam Al-Qur’an, dan pada akhirnya tersimpulkan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari Allah. Dan hal ini adalah batil dan tidak benar.  

c.         al-Nasakh menurut akal bisa saja terjadi, akan tetapi menurut Syara’ tidak bisa diterima.

(إِنَّ النَّسْخَ جَائِزٌ عَقْلًا وَمُمْتَنِعٌ شَرْعًا)

Ini adalah pendapat golongan ‘Inaniyah dari Kaum Yahudi, dan juga pendapat salah satu Ulama Islam Abu Muslim al-Isfahany seorang penganut aliran Muktazilah dan orang-orang yang setuju atas pendapatnya, dengan menggunakan dalil:

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ ﴿٤٢﴾[50]

 “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[51]

 

Menurut Abu Muslim al-Isfihany, ayat tersebut menegaskan bahwa hukum-hukum dalam al-Qur’an mengandung kebenaran yang mutlak dan tidak bisa dibatalkan dan dihapuskan selamanya. Maka jika al-naskh didefinisikan sebagai pembatalan dan penggantian hukum-hukum syara’ yang telah ada dengan hukum Syara’ yang datang kemudian, maka jelas beliau menolak adanya al-naskh.

Argumen Abu Muslim agaknya langsung ditangkis oleh para pendukung al-naskh, dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang “pembatalan” akan tetapi “kebatilan” yang merupakan antonim dari kalimat kebenaran. Sedang hukum dalam al-Qur’an yang di nasakh bukan berarti batil kandungannya, akan tetapi karena disebabkan adanya perkembangan dan kemaslahatan dalam satu waktu yang berbeda dengan waktu sebelumnya. Dengan demikian baik yang dibatalkan maupun yang membatalkan dalam hukum syara’, adalah haq, benar dan bukan batil.[52]   

2.        Argumentasi Realita al-Naskh

Jumhur Ulama pendukung al-naskh berpendapat bahwa kebenaran adanya al-naskh dalam Al-Qur’an bukan tanpa dasar. Baik secara akal maupun syara’ al-naskh bisa diterima dan dibenarkan. Adapun dalil-dalil yang mendukung pendapat mereka adalah sebagai berikut:

a.       Dalil naqly atau dalil syara’ yang berasal dari nash shahih, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah:

1)        Ayat-ayat al-Qur’an, yaitu:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٠٦﴾[53]

 

“Apa saja yang Kami nasakh-kan atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya, tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[54]

 

2)        Banyak realita yang mengisyaratkan adanya al-naskh. Contoh konkrit datangnya Muhammad sebagai Nabi terakhir dengan membawa ajaran Agama Islam yang haq untuk me-naskh agama dan ajaran yang dibawa Nabi-Nabi terdahlu. Contohnya: dalam kitab Taurat dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Adam as. untuk mengawinkan anak kembarnya secara bersilang. Akan tetapi Allah mengharamkan yang demikian itu melalui Nabi-nabi setelahnya. 

3)        Dalam Taurat disebutkan bahwa Allah menghalalkan semua jenis binatang kepada Nabi Nuh sa. dan anak cucunya, akan tetapi kemudian Allah menurunkan ayat dan mangharamkan beberapa jenis binatang. Dan masih banyak lagi contoh lainnya yang mengisyaratkan adanya al-naskh.

4)        Banyak sekali dalil dari Sunnah Rasulullah yang mengisyaratkan adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Salah satu contoh Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud  dari Ibn Abbas:

عَنْ عِكْرِمَةَ في قوله يمحو الله ما يشاء ويثبت قَالَ يَنْسَخُ الآيَةَ بِالْآيَةِ فَتُرْفَعُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ أَصْلُ الْكِتَابِ [55]

Diriwayatkan dari Ikrimah dalam firman Allah “Allah menghapus dan menetapkan segala sesuatu yang Ia kehendaki” (al-Ra’d: 39), ia berkata: suatu ayat bisa menaskh ayat lainnya, dan Allah memiliki Um al-Kitab.

 

b.      Dalil-dalil ‘aqly atas ditetapkannya al-naskh, yang didasarkan rasionalitas dan kemampuan manusia untuk berfikir.

1)        Menurut akal, kebenaran adanya al-naskh tidaklah mustahil. Karena al-naskh didasari atas kebijaksanaan Allah y’ang Maha Mengetahui kemaslahatan umatN’ya.

2)        Jika seandainya al-naskh tidak mungkin terjadi, maka tentunya syari’at Nabi Muhammad Saw tidak bisa menggantikan Syari’at Nabi Isa sa. yang datang sebelumnya. Akan tetapi realita yang ada, syari’at Nabi Muhammad telah menghapus Syari’at sebelumnya. Maka dengan demikian al-naskh bisa terjadi.

3)        al-Naskh tidak meninggalkan kemudaratan dalam agama, dan semua yang demikian bisa diterima oleh akal. [56]

3.        Problematika Kontroversi Al-Naskh

Teori al-naskh dalam perkembangan Ilmu al-Qur’an memang selalu menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang berkepanjangan. Sebagian ulama menolak adanya al-naskh dalam al-Qur’an, karena pada dasarnya mereka berkeyakinan bahwa tidak mungkin terdapat penghapusan dalam al-Qur’an yang telah diyakini keotentikannya. Sedang teori al-naskh yang telah lama diterapkan, pada dasarnya merupakan respon terhadap teks-teks al-Qur’an yang secara dzahir terlihat kontradiktif. Hingga teori ini diterapkan dengan menghapuskan hukum terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.[57]

Kontroversi kembali muncul ketika mereka yang menolak teori al-naskh dan tidak meyakini adanya penghapusan hukum dalam al-Qur’an, menganggap bahwa sebagian pembahasan didalamnya merupakan bagian dari tema al-Takhshish dalam Ilmu al-Qur’an, dan sebagian lainnya seharusnya dibahas pada tema al-Mutlaq wa al-Muqayyad dan Istithna’.

 Lebih parah lagi kaum ekstrem yang berlebih-lebihan dalam penerapan teori al-naskh tidak memberi ketentuan batasan didalamnya, mereka terlalu jauh memperluas pembahasannya hingga terperangkap pada kesesatan dan kebatilan. Hal tersebut disebabkan kepercayaan mereka akan adanya sifat al-bada’ pada Dzat Allah dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.[58]

Para pengingkar adanya al-naskh dalam al-Qur’an terbagi menjadi beberapa golongan, di antaranya: pertama, yang mengingkari secara akal dan syara’, yaitu Umat Nasrani. Kedua, yang mengingkarinya secara syara’ akan tetapi mungkin saja terjadi secara akal, mereka adalah sebagian golongan Yahudi. Ketiga, juga mengingkari secara syara’ dan mengamini kemungkinannya secara akal, akan tetapi pada golongan ini, gambaran pengingkarannya hanya secara dzahir lafzy saja. Adapun pengikut golongan ketiga ini adalah Abu Muslim al-Isfahany dan para pengikutnya.[59]

Golongan ulama yang menolak adanya al-naskh dalam al-Qur’an secara syara’ walau mungkin saja terjadi secara akal (golongan ketiga), berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga tidak perlu di naskh. Kelompok penolak ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahany (w. 322 H), seorang pakar tafsir yang termasyur dari kalangan Mu’tazilah. Menurut tokoh ini, di dalam Al-Qur’an tidak terdapat naskh. Mengakui perihal adanya naskh berarti juga mengakui adanya kebatilan di dalam al-Qur’an. Hukum-hukum yang dibawa al-Qur’an bersifat abadi dan berlaku universal. Oleh karena itu, tidak layak jika di dalam al-Qur’an terdapat naskh. Di samping itu, ayat-ayat yang dinyatakan saling bertentangan ternyata masih dapat dikompromikan dengan mulus dan rasional.[60]

Karena keyakinan tersebut, Abu Muslim dan pengikutnya selalu menganggap contoh-contoh ayat yang dibahas panjang lebar dalam tema al-naskh tidak benar. Dalam pandangan mereka tidak pernah ada penghapusan, dan pergantian hukum dalam al-Qur’an, setiap ayat dari al-Qur’an memiliki pesan tersendiri yang tidak mungkin bisa dibatalkan. Contohnya dalam ayat perintah untuk berwasiat yang dinasakh dengan ayat tentang waris, dalam pandangan mereka pada hakikatnya ayat ini tidak terhapus, karena tidak ada kontradiksi antara keduanya, dalam ayat waris tidak ada larangan untuk memberikan wasiat kepada orang tua dan kerabat. Al-Thabary menerangkan dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah orang tua dan kerabat yang bukan termasuk ahli waris. Muhammad ‘Abduh juga berpendapat bahwa tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa ayat tentang waris diturunkan setelah ayat yang memerintahkan untuk berwasiat.[61]

Menurut Abu Muslim, dalam perkembangan selanjutnya, terdapat kecenderungan yang semakin luas terhadap doktrin nasikh-mansukh,  hingga terjadi perdebatan dan juga silang pendapat dalam menentukan mana ayat yang nasikh dan mana ayat yang mansukh. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat yang mansukh hingga mencapai bilangan yang mengerikan.[62] Bukan hanya itu, perdebatan juga terjadi tentang boleh tidaknya pemakaian Hadis Ahad sebagai nasikh dari ayat-ayat al-Qur’an, dan masih banyak lagi perdebatan didalamnya. Realitas tersebut menjadi senjata bagi para ulama pengingkar konsep al-naskh untuk terus meyakini pendirian mereka dalam menolak adanya konsep al-naskh.

Sedangkan para pengingkar dari kalangan non muslim, menyuarakan tuduhan-tuduhan yang lebih keji terhadap konsep ini. Salah satunya Golongan Yahudi yang sama sekali tidak menerima konsep al-naskh, menyatakan bahwa tidak ada penghapusan sama sekali dalam syari’at mereka. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. tidak terhapus  dan terganti oleh syari’at manapun. Ajarannya masih ada dan terjaga sampai sekarang. Maka dari itu konsep dihapusnya semua syari’at yang dibawa Nabi-Nabi sebelum Islam dan digantikan dengan syari’at yang lebih sempurna yaitu syari’at Islam, tidak benar adanya.[63]

Hal yang lebih mengkhawatirkan, fenomena adanya al-naskh dalam al-Qur’an memberikan peluang bagi para Orientalis dalam menyebarkan tuduhan dan celaan terhadap keotentikan al-Qur’an. Mereka berpendapat bahwa teori nasikh mansukh merupakan gambaran bahwa Tuhan tidak konsisten dan seringkali berubah pikiran, hal itu yang menyebabkan banyak terdapat kontradiksi dalam Kitab suci umat Islam, dan sering terjadi revisi di dalamnya.  Apa yang dikemukakan oleh kalangan orientalis di atas hanya merupakan sampel bahwa teori nasikh dan mansukh menyisakan problem yang serius. Jika dikatakan hal tersebut kesalahpahaman semata, logikanya terlalu sederhana. Lebih baik bagi kita untuk mengatakan sebagai sebuah teori yang diyakini kebenarannya, tampaknya tidak begitu riskan ketika dihadapkan pada pandangan-pandangan kritis, termasuk pandangan kritis yang datang dari kalangan umat Islam. Cukuplah meyakini kebatilan pendapat mereka dan kesia-siaan tuduhan mereka.

 

C.      Perbedaan al-Naskh dengan al-Takhshish

Sebagaimana diketahui bahwa al-naskh dari segi istilah adalah menghapuskan hukum syara’ dengan menggunakan dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu. Dari pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa ketika ada kontradiksi dalam beberapa perkara, al-naskh bekerja sebagai penghapus hukum yang berlaku sebelumnya lalu kemudian menggantikannya dengan hukum baru yang datang kemudian. Sedangkan al-takhshish pada dasarnya hanya bekerja membatasi keumuman teksnya.

Sekilas melihat pengertian keduanya, memang terdapat beberapa kemiripan. Akan tetapi jelas saja keduanya tidak sama. Adapun beberapa sisi kesamaan antara keduanya yang menyebabkan terjadinya kerancuan adalah:

1.        Bahwa antara al-Naskh dan al-Takhshish seolah memiliki kesamaaan karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum. Walau sebenarnya sangat berbeda, karena al-naskh bekerja untuk membatasi dengan ketentuan waktu, sedang al-takhshish membatasi dengan batasan materi didalamnya.

2.        Dalil yang dipakai keduanya sama-sama menggunakan dalil syara’.

Sedangkan perbedaan keduanya sangat jelas, dan telah banyak dibahas oleh para pengkaji Ilmu al-Qur’an. Perbedaan antara al-naskh dan al-takhshish secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:

a.         a-Takhshish dapat terjadi baik secara ‘aqly maupun naqly, sedangkan al-naskh hanya boleh terjadi secara naqly. al-Takhshish juga dapat terjadi dengan menggunakan dalil  dari Qiyas dan Ijma’, sedang dalam al-Naskh tidak bisa diterima.

b.        Dalam pembahasan al-naskh salah satu syarat terpenting adalah adanya renggang waktu antara dalil nasikh dan dalil mansukh. Sedangkan dalam teori al-takhshish, dalil yang mentakhsis boleh saja datang sebelumnya, setelahnya atau mungkin saja datang bersamaan.

c.         Ketentuan hukum yang dibatasi dengan konsep al- takhshish sudah sejak semula tidak dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapus dengan teori al-naskh, mulanya dikehendaki dan diterapkan beberapa waktu lamanya. Akan tetapi karena perubahan situasi dan kondisi, maka ketentuan tersebut harus dihapus dan digantikan dengan ketentuan lain yang datang setelahnya. Seperti al- takhshish yang terjadi dalam firman Allah:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3) [64]

 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”[65]

 

Ketentuan awal yang dikecualikan oleh firman Allah diatas, ialah bahwa orang-orang yang beriman, beramal sholeh dan menasehati kebenaran dan kesabaran berada dalam kerugian. Maka ketentuan demikian yang akhirnya dikecualikan oleh ayat setelahnya tidak dikehendaki sama sekali.

d.      Dalam konsep al-naskh dalil nasikh membatalkan kandungan hukum dalam dalil mansukh, sedang dalam teori al- takhshish tidak terjadi pembatalan hukum, akan tetapi hanya terjadi pembatasan jangkauan hukum saja.[66]

Dan masih banyak lagi perbedaan lainnya.

 

D.      Perbedaan al-Naskh dengan al-Bada’

al-Bada’ secara harfiyah memiliki dua makna, yaitu kemunculan setelah sebelumnya tersembunyi. Atau bisa juga berarti munculnya sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan secara istilah al-bada’ adalah salah satu akidah pokok kaum Syi’ah yang meyakini kemungkinan adanya perubahan pada kehendak dan ilmu Allah. Akidah ini merupakan akidah yang sulit untuk dimengerti dan membingungkan, bahkan bagi penganutnya sekalipun. Singkatnya, salah satu contoh: mereka meyakini jika Allah memiliki satu keputusan atau ketetapan, dan mengabarkannya kepada Nabi, kemudian Nabi menyampaikannya kepada umatnya, maka terkadang pada akhirnya ketetapan itu tidak terlaksana karena Allah telah mengubahnya dengan ketetapan lainnya.[67]

Dengan didasari akidah al-bada’, golongan Rafidah sangat meyakini adanya al-naskh dalam al-Qur’an. Akan tetapi karena pengaruh akidah yang mereka anut, mereka menerapkan teori al-naskh dalam al-Qur’an dengan tanpa batasan dan aturan, hingga sering kali berlebih-lebihan dan sangat riskan terjadi penyelewengan dan penyimpangan di dalamnya.[68]

Dengan demikian perbedaan keduanya sangat jelas terlihat dan tidak bisa dikait-kaitkan. Bagaimana bisa menyamakan konsep yang didasari kebijaksanaan untuk memenuhi kemaslahatan umat dengan konsep kebodohan dan mengandung celaan terhadap Dzat Allah, Ilmu-Nya dan segala ketentuan-Nya. Para ulama menguraikan perbedaan keduanya dalam dua hal, yaitu:

Pertama, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Ia memiliki kekuasaan mutlak untuk menetapkan atau mengubah hukum-hukumNya sesuai kehendakNya. Akan tetapi yang perlu garis bawahi bahwa Ilmu Allah bersifat azaly dan tidak akan pernah berubah, yang berubah adalah ketentuan yang diketahui oleh manusia (ma’lum) setelah Allah tetapkan. Allah bersabda dalam al-Qur’an:

يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ ÇÌÒÈ [69]

“Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).[70]

 

 Kedua, Atsar dan keterangan-keterangan yang mereka nisbahkan kepada Imam-imam ma’shum mereka tetang terjadinya al-bada’ dalam Ilmu Allah, merupakan kebohongan dan kesesatan yang mendarah daging dalam akidah mereka. Contohnya satu keterangan yang mereka nisbahkan kepada Ali bin Abi Talib, ia berkata: “Jika saja tidak terjadi al-Bada’ (dalam Ilmu Allah), niscaya akan aku ceritakan semua yang terjadi sampai hari kiamat.” Keterangan ini sama sekali tidak bisa diterima, Karena sangat mustahil seorang sahabat seperti Ali ra melontarkan tuduhan atas Dzat Allah.[71]

 

E.       Pembagian dan Macam-macam al-Naskh

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, al-naskh berlaku pada dalil-dalil syariat yang berupa nash. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa naskh hanya ada dalam al-Qur’an atau hadis.

1.        Pembagian al-Naskh

Tercatat dalam beberapa buku Ulum al-Qur’an bahwa Naskh terbagi menjadi empat macam yaitu:

a.         Naskh Al-Qur’an bi Al-Qur’an (menaskh ayat al-Qur’an dengan menggunakan ayat al-Qur’an).

Macam al-naskh yang pertama ini telah disepakati kebenarannya oleh mayoritas ulama. Sebagaimana telah dijelaskan Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 101: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain.” Contohnya: ayat dalam al-Qur’an menerangkan tentang istri yang ditinggal mati suaminya,[72] dalam surat al-Baqarah ayat 240, Allah berfirman:’

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ 4 [73]

 

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”[74]

 

Ayat ini menerangkan tentang masa ‘iddah wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu selama setahun. Kemudia datang ayat selanjutnya menaskh hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu surat al-Baqarah ayat 234:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ( [75]

 

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.”[76]

 

b.        Naskh al-Qur’an bi al-Sunnah (menaskh Al-Qur’an dengan menggunakan Sunnah).

Naskh macam yang kedua ini, para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya. Argumentasi yang diajukan ulama yang menolak pandangan ini adalah “Allah telah menjelaskan dalam firmanNya bahwa yang bisa menaskh al-Qur’an adalah yang sebanding dengannya atau yang lebih baik dari padanya. Sedangkan yang sebanding dengan al-Qur’an hanyalah al-Qur’an itu sendiri, dan adapunSunnah merupakan Dalil diluar al-Qur’an yang keberadaanya tidak lebih kuat dari al-Qur’an. Contohnya bahwa ayat wasiat dalam al-Qur’an dinaskh oleh Sunnah Rasulullah, tidak benar adanya. Karena pada dasarnya yang menaskh ayat tersebut adalah ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang hukum waris. Adapun Hadis Nabi, “Sesungguhnya Allah memberikan setiap orang hak-haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris,” bukan sebagai nasikh, akan tetapi hanya petunjuk untuk merujuk kepada ayat tentang hukum waris”.[77]

Jumhur uama yang berpandang tentang kemungkinan Sunnah menaskh al-Qur’an, mengklasifikasikannya menjadi dua bagian, yaitu:

1)        Naskh al-Qur’an bi al-Sunnah al-Ahadiyyah (naskh al-Qur’an dengan menggunakan Hadis ‘Ahad).

Mayoritas ulama tidak memperbolehkankan adanya hadis Ahad yang bisa menaskh ayat al-Qur’an. Argumentasinya bahwa al-Qur’an itu mutawatir yang mengandung kebenaran yang pasti (yaqin), sedang Hadis Ahad mengandung kebenaran yang zan. Dan tidak dibenarkan menghilangkan hukum yang sudah diketahui secara pasti dengan hukum yang kebenarannya hanya sebatas praduga saja (madznun).[78]

 

2)        Naskh al-Qur’an bi al-Sunnah al-Mutawatirah (naskh al-Qur’an dengan menggunakan Sunnah Mutawatir).

Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad membenarkan kemungkinan adanya Sunnah Mutawatir yang menaskh ayat al-Qur’an. Karena keduanya adalah wahyu Ilahi yang Allah sampaikan melalui perantara Rasulullah, dan Allah berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾[79]

 

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[80]

 

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ﴿٤٤﴾[81]

 

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[82]

 

Kedua firman Allah Swt. di atas secara gamblang telah menjelaskan peran penting Sunnah sebagai penguat dan penafsir semua kandungan al-Qur’an. Begitu pula peran pentingnya dalam menentukan hukum pada permasalahan yang bersifat kontradiktif. Pendapat ini diyakini oleh sebagian besar Ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad.

Namun demikian Imam Syafi’i, Ahl dhahir dan Imam Ahmad dalam riwayat yang lain menolak pendapat tersebut. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan firman Allah Swt. surat al-Baqarah ayat 106, [83] yaitu:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٠٦﴾[84]

 

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [85]

 

Pendapat lain sebagai penguat datang dari Ibn Habib al-Nisabury, ia mengatakan, “jika Sunnah tersebut jelas diperoleh dari Wahyu Ilahi melalui perantara Nabi boleh saja dipakai sebagai nasikh, akan tetapi jika berasal dari ijtihad manusia, jelas tidak bisa digunakan sebagai nasikh ayat-ayat al-Qur’an.”[86]

Walau terjadi banyak perdebatan tentang hal ini, namun pada umumnya mereka bersepakat bahwa yang bisa menaskh al-Qur’an adalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran penisbatannya kepada Nabi Muhammad). Walau ada juga yang masih meragukan apakah Sunnah Rasulullah termasuk dalam Wahyu Ilahi atau tidak. Akan tetapi secara umum, para ulama meyakini bahwa sunnah yang berasal dari Rasulullah merupakan Wahyu yang Allah ilhamkan untuk disampaikan kepada hambaNya.[87]  

3)        Naskh Sunnah bi al-Qur’an (mengganti Sunnah dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an).

Mayoritas Ulama sepakat tentang adanya ayat al-Qur’an yang menaskh Sunnah. Contohnya perintah untuk menghadap Bait al-Maqdis yang ditetapkan oleh Sunnah Rasulullah, dan kemudian dinaskh dengan ayat al-Qur’an memerintahkan untuk menghadap Masjid al-Haram di Makkah dalam firmanNya:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ4 ß[88]

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”[89]

 

4)         Naskh Sunnah bi al-Sunnah (mengganti Sunnah dengan menggunakan dalil dari Sunnah).

Dalam hal ini  para ulama mengklasifikasikan kemungkinannya dalam beberapa bagian, di antaranya: naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir, naskh Sunnah Ahad dengan Sunnah Ahad, naskh Sunnah Ahad dengan Sunnah Mutawatir, dan naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Ahad.

Para ulama memperbolehkan semua kemungkinan diatas, kecuali adanya kemungkinan Sunnah Mutawatir dinaskh oleh Sunnah Ahad, dengan alasan sesuatu yang kuat tidak bisa dihapus oleh sesuatu yang tidak lebih kuat dari padanya.[90]

Inilah keempat jenis al-naskh yang diyakini kebenarannya oleh sebagian besar ulama, sedangkan al-naskh dengan menggunakan dalil ‘aqly seperti Ijma’ dan Qiyas tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan dalam al-naskh.

2.        Macam-Macam Pola al-Naskh

Adapun macam-macam al-naskh atau pola-pola yang terdapat dalam pembahasan al-naskh adalah sebagai berikut:

a.         Menaskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.

Dengan adanya naskh ini, bacaan dan hukum ayat tersebut telah terhapus dan telah digantikan oleh hukum baru yang datang setelahnya. Contohnya dihapusnya ayat yang mengharamkan nikah dengan saudara sesusuan yang telah menyusui kepada satu orang ibu sebanyak sepuluh kali susuan, kemudian dinaskh dengan ketetapan lima kali susuan. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Aisyah ra, beliau berkata: “Adalah termasuk ayat al-Qur’an yang diturunkan, yaitu ayat yang menerangkan sepuluh kali susuan, yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dinikahi). Maka menjelang wafat Rasulullah SAW ayat-ayat tersebut masih termasuk yang dibaca dalam al-Qur’an.”

Jelas diterangkan dalam hadis diatas bahwa hukum sepuluh kali susuan pernah tertulis dalam al-Qur’an dan dibaca oleh para sahabat hingga menjelang Nabi Muhammad SAW wafat. Dan jelas pula terlihat tidak adanya ayat tentang hal tersebut dalam Mushaf ‘Utsmany yang kita imani sekarang, ini menunjukkan bahwa telah terjadi naskh dalam al-Qur’an dengan mengahapuskan bacaan dan hukumnya sekaligus.[91]

b.        Menaskh hukum yang berlaku dengan ketetapan bacaannya.

Yaitu dimana bacaan ayatnya masih tertulis dan masih tetap dibaca, akan tetapi kandungan hukum didalamnya sudah tidak berlaku dan tidak boleh dipakai lagi karena sudah ada hukum lain yang menghapus dan menggantikannya. Seperti ayat yang menjelaskan bahwa ‘iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah setahun. Kemudian dinaskh dengan ayat lain yang menetapkan masa ‘iddah yang harus dijalani adalah selama empat bulan sepuluh hari.

c.         Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya.

Yaitu tulisan dalam al-Qur’an telah dihapus dan tidak terbaca lagi, akan tetapi hukumnya masih berlaku dan harus diamalkan. Adapun dalil yang menetapkan adanya naskh ini adalah Hadis dari ‘Umar bin al-Khattab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata:

" كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ اَلشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلْبَتَةً نَكَالًا مِنَ اللهِ"

 

“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat bahwa orang yang telah tua baik laki-laki maupun perempuan (bukan lajang) apabila mereka berzina, maka rajamlah mereka (yaitu dilempari batu sampai mati), sekaligus sebagai balasan dari Allah.”

 

Jika kita telusuri dalam al-Qur’an, ayat yang mengisyaratkan hukum tersebut sudah tidak terbaca, akan tetapi hukum rajam tetap berlaku dengan adanya keterangan dalam Hadis dari Umar tadi. Naskh dalam bentuk ini pun menimbulkan banyak keraguan di antara para Ulama. Mereka mempertanyakan apa gunanya menaskh bacaan ayat sedang hukumnya masih tetap berlaku?

Keraguan ini dijawab oleh Imam Ibnu al-Jauzy dalam kitabnya Funun al-Afnan fi ‘Ajaibi ‘Ulum al-Qur’an. Beliau menjawab bahwa yang demikian itu untuk menguji sampai dimana kekuatan umat muslim dalam berupaya menjalankan ajaran Agama Islam, bahkan walau hanya berdasarkan dugaansebagaimana ketebalan keimanan Nabi Ibrahim sa. yang menyembelih anaknya hanya dengan berdasarkan petunjuk mimpi.[92]  

F.       Hikmah al-Naskh

Allah tidak pernah menetapkan sesuatu tanpa adanya hikmah yang tersimpan dibaliknya. Dia yang Maha Bijaksana selalu bijak dalam menetapkan segala jenis ketetapan yang telah terangkum rapi dalam ajaran-ajaran Islam. Demikian pula ketetapan terjadinya al-naskh dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menyimpan banyak sekali hikmah. Hal ini penting sekali diketahui, sebab dengan mengetahuinya dapat menenangkan pikiran dan menenteramkan jiwa juga untuk menghilangkan keraguan. Terlebih dalam pembahasan ini, banyak sekali pro kontra dan kontroversi didalamnya. Di antara beberapa hikmah tersebut adalah:

1.    Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama Islam adalah yang paling sempurna, karena telah menghapus dan menggantikan syari’at yang datang sebelumnya.

2.     Allah selalu menjaga kemaslahatan umat manusia, agar kebutuhan manusia selalu terjaga dalam semua keadaan sepanjang zaman

3.    Untuk menjaga agar semua ajaran Islam selalu relevan dalam segala kondisi dan situasi.

4.    Perkembangan syari’at berada pada tahap sempurna seiring dengan perkembangan dakwah Islamiyah dan perkembangan umat manusia.

5.    Untuk menguji keimanan para mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian hukum menjadikan mereka tetap taat, atau malah mengingkarinya.

6.    Apabila pergantian hukum dalam al-naskh dari yang lebih berat menjadi lebih ringan, bertujuan untuk memberikan keringanan bagi umat muslim, karena sebagian besar dari perubahan hukum yang ada, bertujuan untuk meringankan beban mukallaf. Hal tersebut merupakan bukti bahwa Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang atas HambaNya.

7.    Apabila perubahan dalam al-Naskh merupakan pergantian hukum yang mudah menjadi lebih susah, hal tersebut untuk menambah janji pahala dan balasan oleh Allah atas hambaNya, karena semakin sukar suatu perintah, maka akan semakin berlipat manfaat, kebaikan dan pahala didalamnya.

8.     Apabila pengganti di dalamnya merupakan hukum yang memiliki tingkat beban yang sama, bertujuan untuk menguji keimanan mukallaf. Jika dia seorang mukmin yang taat maka akan menang, namun jika ia termasuk orang yang munafik maka ia akan mengingkarinya dan menggantikan kebaikan menjadi keburukan. [93]



[1] Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqany, Manahil al-‘Irfan…, 146

[2] Al-Zarqany, Manahil al-‘Irfan..., 146

[3] Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A, ‘Ulum Al-Qur’an(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 107

[4] Muhammad bin Abdullah al-Zarkashy, al-Burhan.., 21.

[5] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 108

[6] QS al-Baqarah  (2):106

[7] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 29.

[8] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 110

[9] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 147

[10] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 111

[11] QS Al-Baqarah (2):228

[12] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya…,55

[13] QS  al-Ahzab (33): 49.

[14] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, 675.

[15] Manna’ al-Qattan, Mabahith…, 232

[16] QS Al-An’am (6):57

[17] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 157

[18] QS al-Baqarah (2):180

[19] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 44

[20] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…,243

[21] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 115

[22] QS an-Nisa’ (4):59

[23] Depag, Al-Qur’an dan terjemahnya, 128

[24] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 117. Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 150

[25] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 237

[26]Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…,  232. Lihat juga Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 150.

[27] QS al-Baqaarah (2):187.

[28] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 45

[29] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 119

[30] Jamal al-Din Abi al-Farj ‘Abdurrahman bin al-Jauzy, Nawasikh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1405), 23

[31] [31] Jamal al-Din Abi al-Farj ‘Abdurrahman bin al-Jauzy, Nawasikh al-Qur’an…, 24

[32] Drs. Supiana, M. Ag dan M. Karman, M. Ag, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), 151

[33] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Terjemah: Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 159

[34] Jalal al-Din ‘Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuty, al-Itqan…,41

[35] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 134

[36] Nasr Hamid, Mafhum al-Nas…, 153

[37] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 155

[38] QS al-Baqarah (2):106

[39] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 29.

[40] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 235

[41] QS al-Ra’d, (13):39

[42] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, 376

[43] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 137

[44] QS al-An’am (6):146

[45] Depa, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 213.

[46] ‘Abdul Mut’al Muhammad al-Jabary, La Nuskh fi al-Qur’an, Limadha?, (Kairo: Dar al-Tadamun, 1980), 15.

[47] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehiupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), 146

[48] Qs an-Nisa’ (4):82

[49] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya,132

[50] QS Fushshilat (41):42

[51] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 779

 

[52] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an…, 146

[53] QS Al-Baqarah ( 2):106

[54] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 29.

[55] Jamal al-Din Abi al-Farj, Nawasikh al-Qur’an…, 18.

[56] Jamal al-Din Abi al-Farj, Nawasikh al-Qur’an…, 14-.19. Lihat juga Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 139. Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 157. 

[57] Drs. Mustafa Kamal, M.H, “Kajian Nasikh Mansukh dalam Studi al-Qur’an,” Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Vol. 6, No.9 (April 2008), 41  

[58] Ibid, 44

[59]Ibid, 164

[60] ‘Ataillah, “Sifat Operatif Ayat Al-Qur’an: Tanggapan terhadap Teori Naskh dalam Al-Qur’an,” dalam Al-Banjary jurnal Ilmiah Imu-Ilmu Keislaman, Vol. 3, no. 5, (Januari-Juni 2004), 43.

[61] ‘Abdul al-Mutal, La Nuskha fi al-Qur’an…, 72

[62] Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung: Mizan, 1992), 29.

[63] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 168.

[64] QS. Al-‘Ashr (103):1-3

[65] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1099.

[66] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…,122. Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 153

[67] Muhammad Kamil al-Hasyimy, Hakikat Akidah Shi’ah, Terjemah: Prof. Dr. H. M. Rasjidi( Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989),135-153

[68] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 235

[69] QS. Ar-Ra’d, (13):39

[70] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 376.

[71] Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 152-153

[72] Al-Suyuty, al-Itqan…, 44

[73] QS. Al-Baqarah, (2):240

[74] Depag, Al-Qur’an dan terjemahannya, 59.

[75] QS. Al-Baqarah (2):234.

[76] Depag, Al-Qur’an dan terjemahannya, 57.

[77] Al-Zarkashy, al-Burhan…, 22

[78] Manna Qaththan, Mabahith fi…, 237.

[79] QS. al-Najm, (53):3-4

[80] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 871

[81] QS al-Nahl,(16):44

[82] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 408

[83] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 234

[84] QS. Al-Baqarah (02); 106.

[85] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terejemahnya, 29

[86] Al-Suyuty, al-Itqan…, 40

[87] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an…, 148

[88] QS. al-Baqarah, (2):144

[89] Depag, Al-Qur’an dan terjemahnya, 37

[90] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 237

[91] Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 238

[92] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 147

[93] Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an…, 148. Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…, 240. Al-Zaqany, Manahil al-‘Irfan…, 161. Supiana, M.Karman, Ulum al-Qur’an..., 159.   



Sumber referensi, info selengkapnya https://www.alqalammedialestari.com/2021/09/ulum-al-quran-studi-kompleksitas-al.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640