A.
Pengertian Muhkam
dan Mutasyabih
Muhkam secara etimologi merupakan bentuk isim maf’ul dari suku kata ahkama dengan arti kokoh atau kuat.
Ketika ada kata-kata ’binaun muhkam maka itu berarti bangunan tersebut kokoh, tidak lemah dan tidak memiliki cacat. Sedangkan mutasyabih
secara etimologi adalah bentuk isim fail dari
kata tasyabaha yang berarti saling menyerupai antara yang satu dengan
yang lain.[1]
Jika mengacu pada definisi muhkam dan mutasyabih
secara etimologi ini, maka semua ayat al-Qur’an dapat dikatakan muhkam dengan
pengertian kokoh, tidak lemah dan tidak
memiliki cacat karena al-Qur’an adalah, kokoh, rapi, indah susunannya dan sama
sekali tidak mengandung kelemahan baik dari sisi lafal, rangkaian kalimat
maupun maknanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Surah Hud ayat 1:[2]
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ
حَكِيمٍ خَبِيرٍ﴿١﴾
١
Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu[3]
Demikian juga apabila mengacu pada definisi mutasyabih
secara etimologi yaitu ” saling menyerupai antara yang satu dengan yang lain”,
maka semua ayat al-Qur’an dapat dikatakan mutasyabih jika yang
dimaksudkan ”menyerupai” disini adalah kesamaan ayat dilihat dari sisi balaghah dan i’jaz nya serta sulitnya membedakan mana bagian-bagian al-Qur’an
yang lebih utama. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. Surah Al-Zumar ayat 23
sebagai berikut:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ
تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ
يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ ﴿٢٣﴾[4]
Allah
telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada
baginya seorang pemimpinpun[5]
Namun demikian Allah Swt. juga menyatakan
bahwa Al-Qur’an sebagian dari ayatnya ada yang Muhkam dan sebagian lain
ada yang Mutasyabih sebagaimana firman
Allah Swt. dalam surat Ali Imran ayat 7 sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ
مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ﴿٧﴾[6]
Dialah
yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur´an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[7]
Berdasarkan ayat tersebut di atas an-Naisaburi menyimpulkan 3 pendapat: pertama) Al-Qur’an
semuanya adalah Muhkam sebagaimana Surah Hud ayat 1, Kedua) Al-Qur’an
semuanya Mutasyabih sebagaimana surah al-Zumar ayat 23, Ketiga) Al-Qur’an
sebagian ayatnya ada yang muhkam dan ada juga yang mutasyabih sebagaimana surat
Ali Imran ayat 7. Pendapat ini adalah pendapat yang shahih.[8]
Oleh karenanya sangat wajar jika pengertian muhkam
dan mutasyabih secara
terminologi pun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Berikut merupakan
definisi-definisi muhkam dan mutasyabih:
1. Muhkam ialah ayat-ayat yang dapat diketahui maksudnya, baik
redaksinya yang tjelas tanpa membutuhkan takwil (zuhur) ataupun menggunakan ta’wil (memalingkan lafal dari makna zahir-nya). Adapun mutasyabih ialah ayat-ayat yang
maknanya hanya diketahui oleh Allah semata seperti terjadinya hari kiamat,
keluarnya Dajjal, huruf-huruf yang terputus dalam permulaan surat.
2. Muhkam ialah ayat-ayat yang maknanya jelas, sedangkan mutasyabih
ialah kebalikannya ( ayat-ayat yang maknanya tidak jelas).
3. Muhkam ialah ayat-ayat yang hanya memungkinkan satu arti,
sedangkan mutasyabih ialah ayat-ayat yang memungkinkan lebih dari satu
arti.
4. Muhkam ialah ayat-ayat yang maknanya dapat dinalar (ma’qul al-ma’na), sedangkan mutasyabih adalah kebalikannya
(ayat-ayat yang maknanya tidak dapat dinalar) seperti jumlah bilangan shalat,
pengkhususan puasa pada bulan Ramadan dan
bukan pada bulan Sya’ban.
Demikian ini adalah pendapat al-Mawardi.
5. Muhkam adalah ayat-ayat yang berdiri sendiri dalam menunjukkan
makna (independen), sedangkan mutasyabih ialah ayat-ayat yang tidak bisa
menunjukkan makna dengan sendirinya kecuali dengan adanya penjelasan dari ayat
lain.
6. Muhkam ialah ayat-ayat yang maknanya sesuai dengan redaksi yang
diturunkan, sedangkan mutasyabih ialah ayat-ayat yang tidak dapat
diketahui maknanya kecuali dengan melakukan ta’wil.
7. Muhkam ialah ayat-ayat yang redaksinya (lafal-lafalnya) tidak
terdapat pengulangan, sedangkan mutasyabih adalah kebalikannya.
8. Muhkam ialah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban (faraidl), janji dan ancaman, sedangkan mutasyabih ialah
ayat-ayat tentang kisah-kisah (qasas) dan perumpamaan (amtsal).[9]
Masih banyak lagi definisi yang diajukan oleh
para ulama mengenai hakikat muhkam dan mutasyabih. Namun, menurut
Subhi
al-Salih, pada akhirnya berbagai
pendapat tersebut mengarah pada satu kesimpulan bahwa muhkam bermakna ”jelas”
sedangkan mutasyabih bermakna ’tidak jelas dan untuk memastikan pengertiannya
tidak ditemukan dalil yang kuat. Dengan demikian maka yang termasuk
ayat muhkam ialah ayat yang terang maknanya serta lafalnya yang diletakkan
untuk suatu makna yang kuat dan cepat dipahami. Adapun mutasyabih ialah
ayat-ayat yang bersifat mujmal (global),
yang muawwal (memerlukan ta’wil) dan yang musykil (sulit
dipahami). Sebab, ayat-ayat yang mujmal membutuhkan rincian, ayat-ayat
yang muawwal baru diketahui maknanya setelah dilakukan ta’wil, dan
ayat-ayat yang musykil memiliki makna yang samar dan sulit dimengerti.[10]
B. Pembagian Ayat Mutasyabih
dalam al-Qur’an
Para ulama
menklasifikasikan ayat mutasyabih menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari
segi penyebabnya, mutasyabih dalam al-Qur’an dapat kita klasifikasikan sebagai
berikut :
1. Mutasyabih min jihat al-lafzi, yaitu ketersumbunyian makna disebabkan oleh lafal yang
digunakan. Mutasyabih min jihat al-lafzi ini
terbagi menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih
mufrad adalah tinjauan lafal dari segi keterasingannya (keganjilan
makna/jarang digunakan) seperti lafal ’al-abb’
dalam firman Allah Q.S. ’Abasa (80) : 31; juga dari segi isytirak (satu lafal memiliki lebih dari satu makna) seperti lafal
”al-yamin”
dalam firman Allah Q.S. al-Saffat (37) : 93 yang bisa berarti ”kanan” atau ”sumpah”.
Adapun mutasyabih murakkab ialah tinjauan mutasyabih dari segi susunan
dan rangkaian lafalnya yang adakalanya berupa kalam yang ringkas seperti pada
Q.S. al-Nisa’ (4) :
3, kalam yang luas (ithnab)
seperti pada Q.S. al-Shura [42] :
11, serta nadzam
(pengaturan) kalam seperti pada Q.S. al-Kahfi (18) : 1 dan 2.
2. Mutasyabih min jihat
al-ma’na, yaitu
ketersembunyian makna disebabkan oleh kesamaran makna itu sendiri. Di antara
ayat mutasyabih yang masuk dalam jenis kedua ini, sebagaimana dituturkan
oleh al-Raghib al-Ashfihani, ialah ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat
Allah serta hari kiamat. Ini disebabkan hakikat Allah yang sama sekali tidak
sama dengan makhluknya, juga hakikat kiamat yang tak seorang pun mampu
membayangkannya karena belum pernah ada mata yang melihatnya, telinga yang
mendengarnya serta belum pernah terlintas dalam benak manusia.
3. Mutasyabih min jihat
al-lafzi wa al-ma’na, yaitu ketersembunyian
makna disebabkan oleh lafal dan makna. Para ulama sendiri menuturkan bahwa mutasyabih
dari segi lafal dan makna ini memiliki lima bentuk. Ditinjau dari segi kalimat,
seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul mushrikina[11]; dari segi cara, seperti wujub dan nadb,
misalnya, fankihu ma taba lakum min al-nisa[12]; dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh,
misalnya, ittaqullah haqqa tuqatihi[13]; dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di
sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat
jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab, misalnya wa laisa al-birru
bi an ta’tu al-buyuta min zuhuriha [14], seseorang yang tidak mengetahui tradisi atau
adat-istiadat jahliyah akan kesulitan dalam menafsirkan ayat ini; dan dari segi
syarat yang dengannya suatu perbuatan dapat dianggap sah atau rusak, misalnya
syarat shalat dan nikah. [15]
Dilihat dari segi kemungkinan
mengetahui maknanya, ayat mutasyabih bisa diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Ayat yang tak seorang
manusia pun mampu menjangkau hakikat maknanya seperti pengetahuan tentang
hakikat zat Allah serta sifat-sifatnya, pengetahuan tentang kapan terjadinya
hari kiamat serta hal-hal gaib lainnya sebagaimana firman Allah pada Q.S.
al-An’am (6) : 59 dan Q.S. Luqman (31) : 34.
2. Ayat yang setiap orang
mampu mengetahui dan menyingkap maknanya melalui kajian mendalam seperti
ketersembunyian makna (mutasyabih) disebabkan oleh bentuk kalam yang
terlalu global, luas dan lain sebagainya sebagaimana telah diuraikan di atas.
3. Ayat yang hanya mampu
diketahui dan dijangkau oleh ulama-ulama khusus yang memiliki kedalaman ilmu (al-rasikhuna fi al-’ilm) dan bukan mereka yang awam, seperti ayat-ayat sufistik
yang bisa dicerna oleh orang-orang yang memiliki kejernihan hati serta
kemampuan ijtihad dalam melakukan perenungan terhadap kitab suci al-Qur’an.[16]
Dari ketiga macam ayat mutasyabih
di atas, menurut Muhammad ibn Lathif al-Sabbagh yang
termasuk ayat mutasyabih dalam arti sebenarnya adalah bentuk yang
pertama, yaitu ayat yang tak seorang pun mampu menjangkau hakikatnya. Adapun
lafal-lafal gharib dan
juga bentuk mutasyabih yang bisa dijangkau oleh ulama-ulama yang
memiliki kedalaman ilmu, maka menurut Muhammad ibn Lathif al-Sabbagh yang demikian itu termasuk ayat muhkam, bukan mutasyabih.
Sebab, dalam hal kejelasan dan kemudahan menjangkau maknanya, muhkam
menurut al-Sabbagh
memiliki beberapa tingkatan. Di antaranya ialah ayat yang membutuhkan penalaran
dan perenungan yang lebih jauh supaya seseorang mampu menyingkap makna serta
hakikat yang tersembunyi di dalam ayat tersebut.[17]
C. Sikap Ulama’ Terhadap
Ayat-Ayat Mutasyabih
1.
Kontroversi Memahami Maksud Ayat Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat mengenai
kemungkinan mengetahui maksud atau makna dari ayat mutasyabih, apakah
manusia memiliki kemampuan untuk menjangkau maknanya ataukah hanya Allah semata
yang mengetahuinya ? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat yang mengatakan
bahwa manusia mampu menjangkau makna ayat mutasyabih dan pendapat yang
mengatakan bahwa hanya Allah-lah yang mengetahui makna ayat mutasyabih.
Perbedaan pendapat ini berpangkal pada perbedaan ulama dalam memahami waqaf (tanda berhenti) pada ayat :
... وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ ( ٧ ) [18]
...Padahal
tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[19]
Di antara mereka ada yang memahami bahwa waqaf pada ayat tersebut terletak di lafal jalalah pada wa ma ya’lamu ta’wilahu illa allah sedangkan
wa
al-rasikhuna fi al-ilmi adalah
susunan mubtada’ yang khabar-nya adalah yaquluna, adapun huruf wawu pada ayat tersebut berfungsi sebagai
permulaan kalimat (isti’naf). Pendapat ini diikuti oleh Ubay bin Ka’ab,
Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan lain-lain. Jadi menurut pendapat ini yang bisa
mengetahui makna ayat mutasyabih hanyalah Allah. Sebagian ulama lainnya
memahami bahwa waqaf pada ayat tersebut
terletak pada wa al-rasikhuna fi al-ilmi, sedangkan yaquluna menjadi hal (keterangan keadaan) dan huruf wawu pada ayat tersebut
berfungsi sebagai’athaf (penyambung), dan bukan isti’naf. Jadi menurut pendapat ini manusia juga memiliki
kemampuan untuk mengetahui makna ayat mutasyabih. Pendapat ini diikuti
oleh segolongan orang dan sebagai pemukanya adalah Mujahid. [20]
Dua pendapat tersebut sebenarnya tidak
berbenturan dan bisa dipertemukan. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah
al-Harary, ayat mutasyabih itu terbagi menjadi dua, yaitu mutasyabih
yang maknanya tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah semata dan mutasyabih
yang maknanya dapat diketahui oleh sebagian hamba-hamba Allah yang mendapatkan
pengajaran dari-Nya. Hanya saja al-Harary memberikan contoh yang sedikit
berbeda dengan lainnya, untuk contoh yang pertama seperti kapan kiamat akan
tiba dan kapan Dajjal akan muncul, sedangkan untuk contoh bagian kedua seperti
ayat-ayat terkait dengan sifat-sifat Allah seperti Q.S. Taha (20) : 5 dan Q.S.
al-Fath (48) : 6.[21] Jadi, di sini al-Harary
memasukkan ayat-ayat tentang sifat Allah sebagai ayat mutasyabih yang maknanya
juga bisa dijangkau oleh sebagian hamba-hamba-Nya. Ayat mutasyabih yang
maknanya tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah semata, dalam konteks
pemikiran al-Shatibi dinamakan sebagai mutasyabih haqiqy, sedangkan mutasyabih yang tidak menutup
kemungkinan bagi manusia untuk mengetahui maknanya, dalam konteks pemikiran
al-Shatibi disebut sebagai mutasyabih idafy.[22]
Untuk memperkuat pendapatnya tersebut,
Abdullah al-Harary mengutip perkataan Murtada al-Zabidy, yang ia sendiri
(al-Zabidy) mengutipnya secara langsung dari Abu Nashr al-Qushayri. Al-Zabidy
mengatakan bahwa firman Allah wa ma ya’lamu ta’wilahu illa allah yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat tiba,
sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam tentang kapan kiamat tiba. Jadi mutasyabih dalam konteks ini
mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak
ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang dan akhir semua hal kecuali
Allah. Karenanya Allah berfirman hal yanzuruna illa ta’wilah, yawma ya’ti
ta’wiluh [23], maksudnya (kata ta’wil pada ayat tersebut) ialah mereka tidak menunggu kecuali
datangnya kiamat. Dengan
demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa terdapat dalam
kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang makhluk pun untuk
mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah
ini termasuk penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian ? Bahwa Nabi tidak
mengetahui takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk
mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ? bukankah Allah berfirman (tentang al-Qur’an)
:
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِين[24]
Artinya: dengan bahasa Arab yang jelas.[25]
Berarti kalau menurut logika pendapat mereka ini, maka mereka mesti
mengatakan bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan bi lisanin ‘arabiyyin
mubin, sebab mereka ternyata tidak
memahaminya. Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini ?, dan
jika memang al-Qur’an ini berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang
mengatakan bahwa di dalamnya ada yang tidak diketahui oleh orang Arab padahal al-Qur’an
berbahasa Arab. Jika demikian halnya apa sebutan yang patut untuk pendapat yang
berujung pada pendustaan terhadap Allah ini?
Selanjutnya Al-Zabidi menukil pendapat al-Qusyairi
yang mengatakan “bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat
(tentang takwil) tersebut adalah [ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ
إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ ], seakan Allah menyatakan
"orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman
kepadanya", karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah
mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin
seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan: "Saya
termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya ".[26]
Dari sini jelas bahwa selain ayat-ayat mutasyabih
yang berkaitan dengan hal-hal gaib seperti tibanya kiamat dan keluarnya Dajjal, maka tidak menutup kemungkinan
bagi sebagian hamba-hamba-Nya untuk mengetahui makna dari ayat mutasyabih.
Hamba-hamba yang dimaksud di sini adalah para ulama yang ilmunya mendalam,
mereka mengetahui ta’wil ayat mutasyabih.
Seandainya mereka tidak tahu, niscaya mereka tidak mengetahui pula antara yang nasikh
dan yang mansukh, antara yang halal dan yang haram, antara yang muhkam
dan yang mutasyabih.[27]
Adapun
yang dimaksud al-rasikhuna fi al-’ilm di sini ialah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik
Ibn Anas, yaitu orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang cukup tinggi (’alim) dan mengamalkan (’amil) ilmunya serta
menjadikannya sebagai pedoman. Ada juga yang mengatakan bahwa al-rasyikhuna fi al-’ilm ialah
orang yang ilmunya meliputi empat unsur, yaitu taqwa antara dia dan Allah,
rendah hati (tawadlu’) antara
dia dengan makhluk lainnya, zuhud (asketis) antara dia dengan dunia, dan mujahadah antara dia dengan nafsunya.[28]
2.
Cara Memahami Ayat
Mutasyabih
Menurut al-Shatibi jumlah ayat mutasyabih dalam al-Qur’an tidak
lebih banyak dibanding ayat muhkam. Hal ini disebabkan 3 hal. Pertama,
dalam Q.S. Ali ‘Imran (3) : 7 Allah menyebut ayat muhkam sebagai ’umm al-kitab’, di mana kata ’umm’ ini dalam bahasa arab mempunyai arti
’mayoritas’ (mu’dzam). Jika
ayat muhkam adalah ayat ’mayoritas’ dalam al-Qur’an maka tidak dapat
disanksikan bahwa ayat mutasyabih adalah ayat ’minoritas’. Kedua,
jika jumlah ayat mutasyabih itu jauh lebih banyak dari ayat muhkam niscaya
al-Qur’an banyak mengandung ketidakjelasan, dan dalam kondisi yang demikian ini
maka agak janggal ketika predikat ”penjelas dan petunjuk” itu disematkan pada
kitab suci al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam Q.S Ali ‘Imran (3) : 138, Q.S.
al-Baqarah (2) : 2 dan Q.S. al-Nahl (16) : 44. Ketiga, penelitian dari
seorang mujtahid yang paham bahasa arab beserta seluk beluknya, ketika ia
melakukan kajian mendalam terhadap al-Qur’an niscaya ia akan menemukan bahwa al-Qur’an,
baik dari satuan kata yang digunakan (mufradat) atau rangkaian kalimatnya (tarkib), mayoritas
adalah berupa ayat yang memiliki kejelasan makna.[29] Demikian itu bila
kita meninjau muhkam mutasyabih dari sisi kuantitasnya (jumlah ayat),
adapun bila kita meninjaunya dari sisi kualitas, maka ayat muhkam lebih
banyak berbicara tentang hal-hal usuliyyah (pokok) atau kaidah-kaidah syara’ yang bersifat
universal (qawaid al-syar’i al-kulliyyah), sedangkan mutasyabih berbicara tentang hal-hal yang furu’iyyah (cabang).[30]
Karena ayat muhkam bersifat usul (pokok)
sedangkan mutasyabih bersifat furu’ (cabang),
maka oleh para ulama ayat muhkam ditempatkan pada posisi sebagai induk al-Qur’an
(umm al-kitab), dalam
arti ia merupakan referensi yang dijadikan standar acuan dan rujukan ketika
terjadi ketidakjelasan atau keserupaan. al-Rida berkata, ”barangsiapa yang
mengembalikan ayat mutasyabih dalam al-Qur’an pada ayat muhkam,
niscaya ia akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus”.[31]
Dalam memahami ayat mutasyabih sendiri
biasanya dikenal istilah ta’wil. Ta’wil menurut
mayoritas ulama mutaakhir ialah memalingkan lafal dari kemungkinan makna
yang rajih
(unggul) pada kemungkinan makna yang marjuh (lemah)
karena adanya dalil yang menyertainya.[32] Ta’wil dalam
konteks kaum sunni, lebih banyak digunakan dalam memahami ayat-ayat mutasyabih
yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat tersebut bila diartikan
secara literal akan menimbulkan pengertian bahwa Allah memiliki sifat
kekurangan dan menyerupai makhluk-Nya. menghadapi ayat-ayat ini, kaum sunni
memiliki dua metode, yaitu metode ta’wil ijmaly dan metode ta’wil tafsily.
Ta’wil ijmaly ialah
dengan mengimani ayat-ayat mutasyabih serta meyakini bahwa maknanya bukanlah
sifat-sifat jism (sesuatu yang
memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan
dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Ta’wil ijmaly ini
adalah seperti yang dikatakan oleh al-Syafi'i, “Aku
beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah
dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah ".[33] Jadi, dalam ta’wil ijmaly ini
seseorang tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks ayat mutasyabih,
namun mencukupkan diri dengan menetapkan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan
bagi Dzat-Nya, serta mensucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan
terhadap hal-hal yang baru (makhluk). Metode ini sering juga dikenal dengan
istilah tafwid atau
mazhab salaf, sebab keberadaannya banyak diikuti oleh ulama salaf, yakni ulama
yang hidup pada kurun tiga abad pertama hijriyah. Satu misal dalam al-Qur’an
terdapat ayat berbunyi al-rahman ’ala al-’arsh istawa.[34] Dengan mengikuti
metode ta’wil ijmaly ini
ulama salaf tidak menafsirkan secara khusus tentang arti kata istawa. Istawa menurut
mereka memiliki makna-makna tersendiri yang hanya diketahui oleh Allah dan
tidak mengandung penyerupaan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Mereka mengimani sepenuhnya rahasia kandungan makna ayat-ayat mutasyabih
itu, dan mereka menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah.[35]
Ta’wil
tafsily ialah mentakwil ayat-ayat mutasyabih secara
terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata
tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan
makna literalnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika
dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi menjaga dan
membentengi mereka dari sikap tashbih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai
contoh, firman Allah yang memaki Iblis; ma mana’aka an tasjuda li ma khalaqtu bi yadayya.[36] Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud
dengan al-yadayn adalah al-'inayah (perhatian khusus) dan al-hifz (pemeliharaan dan penjagaan). Contoh lain kata istawa pada ayat al-rahman ’ala al-’arsh
istawa, tidak diartikan dengan
bersemayam atau duduk, tapi kata istawa di
situ diartikan dengan istawla
(menguasai). Metode ta’wil
tafsily ini banyak digunakan oleh ulama khalaf, yakni
ulama yang hidup pada setelah kurun tiga abad pertama hijriyah.[37] Oleh sebab itu ia
sering juga disebut sebagai mazhab khalaf. Mazhab ini berasal dari Imam
Haramain, Abu al-Ma’ali al-Juwaini (w.478 H), dan jamaah zaman berikutnya.[38]
D. Hikmah Adanya Ayat Muhkam
dan Mutasyabih
Para ulama mencoba menggali lebih jauh tentang
hikmah dibalik keberadaan ayat muhkam dan mutasyabih dalam al-Qur’an,
di antaranya ialah :
1.
Mendorong para ulama untuk senantiasa berfikir dan
mengkaji hal-hal yang tersembunyi dalam al-Qur’an, karena sesungguhnya dorongan
untuk mengetahui semua itu merupakan salah satu ibadah yang paling agung.
2.
Memperlihatkan adanya tingkatan derajat (kedudukan) yang
berbeda, antara yang satu dengan yang lain. Sebab, seandainya al-Qur’an
semuanya adalah muhkam niscaya tidak dibutuhkan lagi adanya ta’wil dan
perenungan, dan pada akhirnya kedudukan semua manusia akan sama sehingga
keutamaan orang alim dengan yang bukan alim tidak tampak.
3.
Keberadaan mutasyabih semakin menambah beban manusia
untuk sampai pada tujuan yang ia maksud, dan bertambahnya beban ini secara
otomatis menyebabkan semakin banyaknya pahala yang ia terima.[39]
4.
Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran
pengertian ayat yang jelas.
5.
Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas
dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an
seluruhnya dari sisi Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan
tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
﴿٤٠﴾ [40]
Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik
dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana
lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[41]
[1] Muhammad b. Latif al-Sabbagh, Lamhat
fi ‘Ulum al-Qur’an wa Ittijahat al-Tafsir, (Beirut: al-Maktab al-Islamy,
1990), 152.
[2] Subhi al-Salih, Mabahith..,281.
[3] Subhi al-Salih, Mabahith…, 281
[4] Q.S. Zumar
[39]: 23
[5] Depag,
Al-Qur’an dan Terjemahnya.., 745
[6] QS. Ali Imran (3): 7
[7] Depag, Al-Qur’an
dan terjemahnya.., 76
[8]Al-Zarkasi, al-Burhan..),
Volume 2 Hal. 68
[9] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan.......310.
Lihat pula, Muhammad Abd al-Az{im al-Zarqani, Manahil ‘Irfan..,215-216.
[10] Subhi al-Salih, Mabahith fi
‘Ulum……282. Lihat juga; Salah al-Din Bayyuni Ruslan, al-Qur’an
al-H{akim; Ru’yah Manhajiyyah ……250.
[11] Q.S. al-Taubah (9) : 5.
[12] Q.S. al-Nisa’(4) : 3.
[13] Q.S. Ali ‘Imran (3): 102.
[14] Q.S. al-Baqarah (2) : 189.
[15] Muhammad b. Latif al-Sabbagh, Lamhat
fi ‘Ulum al-Qur’an……157-158. Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil
‘Irfan…..219-221.
[16] Muhammad Abd al-Adzim al-Zarqani,
Manahil ‘Irfan…..222.
[17] Muhammad b. Latif al-Sabbagh, Lamhat
fi ‘Ulum al-Qur’an……158.
[18] Q.S. Ali Imran )3(: 7.
[19] Depag, Al-Qur’an
dan terjemahnya.., 76
[20]
Manna’ al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…..208.
[21] Abdullah al-Harary, al-Syarh
al-Qawim fi Hill Alfaz al-Sirat al-Mustaqim, (Beirut : Dar Mashari’
al-Khairiyyah, 2004), 185-186.
[22]
Muhammad Salim Abu ‘AsI, ‘Ulum al-Qur’an……116. Lihat juga Manna’
al-Qattan Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an…..209-210.
[23] Q.S. al-‘Araf (7) : 53.
[24] Q.S. al-Syu'ara'(26) : 195
[25] Depa, al-Qur’an dan Terjemahnya,
588.
[26] Abdullah al-Harary, al-Syarh
al-Qawim……..189-196. Abdullah al-Harary, Sarih al-Bayan fi Radd ‘ala Man
Khalafa al-Qur’an, Juz 1, (Beirut : Dar al-Masyari’ al-Khairiyyah, t.t.),
65-67.
[27] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan.......311.
[28] Salah al-Din Bayyuni Ruslan, al-Qur’an
al-H{akim……257.
[29] Muhammad Salim Abu ‘AsI, ‘Ulum
al-Qur’an ‘Inda al-Shatibi min Khilali Kitabihi al-Muwafaqat, (Kairo : Dar
al-Basair, 2005), 110-111.
[30]Muhammad Salim Abu ‘AsI, ‘Ulum al-Qur’an..,
113-114.
[31] Hasan Kaz{im Asad, al-Ada’
al-Manhaji fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (Disertasi Konsentrasi Fikih
Universitas Kufah, 2009) 221. Lihat pula, Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan.......313.
[32] Manna’ al-Qattan Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an…..209.
[33] Abdullah al-Harary, al-Sirat
al-Mustaqim, (Beirut : Dar al-Mashari’ al-Khairiyyah, 2002), 63.
[34]
Q.S. Taha (20) : 5.
[35] Subhi al-Salih, Mabahith fi
‘Ulum……285.
[36] Q.S. Sad (38) : 75.
[37] Abdullah al-Harary, al-Sirat
al-Mustaqim…..64.
[38] Subhi al-Salih, Mabahith fi
‘Ulum……284.
[39] Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan.......325.
[40] Q.S.
Fussilat)
41(: 42.
[41] Depag,
Al-Qur’an dan Terjemahnya.., 779.
Sumber referensi, info selengkapnya https://www.alqalammedialestari.com/2021/09/ulum-al-quran-studi-kompleksitas-al.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar