A.
Sejarah Munculnya Makkiyyah
dan Madaniyyah
Sebelum
mempelajari ilmu Makiyah-Madaniyyahah secara mendalam, penulis mencoba untuk
mencantumkan sejarah teoritis ilmu ini. Kemunculan teori ini dengan ragam
pendekatannya lahir bersamaan dengan awal masa teoritisasi disiplin ilmu
tersebut. Yaitu sekitar abad ke-3 Hijriyah dan hingga mencapai puncak
kematangannnya pada abad ke-5 Hijriyah oleh Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi (430 H.).
Tokoh-tokoh
abad ketiga menghadirkan teoritisasi ilmu ushul tafsir tetapi masih dalam
bentuk yang parsial pada bahasan-bahasan tertentu, seperti; Ali ibn al-Madini
(234 H.) dengan kitab Asbab al-Nuzul, Abu Ubaid Qasim ibn Salam (224 H.) dengan
kitab al-Nasakh wa al-Mansukh dan ilmu Qira’at, Ibnu Qathaibah (276 H.) dengan Musykil al-Qur’an. Kemudian disusul oleh mereka yang hidup di
abad keempat, seperti; Muhammad ibn Khalaf ibn Marzaban (309 H.); al-Hawi
fi ‘Ulum al-Qur’an, Abu
Bakar Muhammad ibn Qasim al-Anbari (338 H.); Ulum al-Qur’an, Abu Bakar
al-Sajastani (330 H.); Gharib al-Qur’an, Selanjutnya gerakan teoritisasi dilanjutkan
pada abad kelima; seperti Abu Bakar al-Baqilani (403 H.); I’jaz al-Qur’an, dan seorang tokoh lagi yang dari karyanya
menurut para ahli lebih dianggap mencakup segala persoalan dalam terminologi
ilmu ini, yaitu; Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi (430 H.) dengan karya monumentalnya
setebal 30 jilid yang masih berupa manuskrip disimpan di Darul Kutub
al-Mishriyyah Kairo dengan judul al-
Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. [1]
Dari
sejarah singkat di atas terlihat secara ekspilit bahwa popularitas teori Makkiyyah dan Madaniy diawali dari masa Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi yang kemudian berkembang dari masa ke masa.
B.
Pengertian dan Teori
Menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah
Dalam
mempelajari al-Qur’an, ilmu Makkiyyah dan Madaniyyah merupakan kajian yang
membedakan fase penting dan memiliki andil dalam membentuk teks al-Qur’an, baik
dari aspek isi maupun struktur. Hal ini membuktikan bahwa teks merupakan hasil
interaksi dengan realitas yang dinamis-historis.[2]
Untuk mengetahui pengertian dan definisi Makkiyyah dan Madaniyyah
kita
merujuk pada konsep yang muncul dan populer dalam studi al-Qur’an. Pada umumnya, para pakar ilmu al-Qur’an
klasik seperti al-Suyuti (w. 911
H.), al-Zarkashi (w.794
H.), yang kemudian diikuti ulama belakangan semisal al-Zarqani dan al-Qattan,
mendefinisikan terminologi Makkiyyah dan Madaniyyah dalam tiga
perspektif, yaitu urutan masa turun (tartib zamani) atau teori historis
(mulahazat zaman al-nuzul), tempat turun (tahdid makani) teori
geografis (mulahazat makan al-nuzul), dan obyek pembicaraan
(ta’yin shakhshi) atau teori subyektif (mulahazat
al-mukhatabin fi al-nuzul) .[3]
Pertama, dari perspektif masa turun atau teori historis, Makkiyyah adalah
ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, sekalipun tidak
turun di Mekkah, dan Madaniyyah
adalah
ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, sekalipun tidak
turun di Madinah, seperti surah al-Nisa
’/4:58
termasuk kategori Madaniyyah kendati
turunnya di Mekkah,
yaitu pada peristiwa Fath al-Makkah yang terjadi setelah hijrah.[4]
Dari perspektif ini, dapat dinyatakan bahwa ayat-ayat yang turun
sebelum hijrah Rasulullah disebut Makkiyyah dan yang muncul setelahnya
disebut Madaniyyah.
Kedua,
dari perspektif
tempat turun atau teori geografis, Makkiyyah adalah ayat-ayat yang
diturunkan di Mekkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah
sekalipun itu terjadi setelah hijrah, kemudian Madaniyyah adalah
ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba’, dan
Sul’a. Definisi ini menurut para ulama seperti al-Zarqani memiliki kelemahan
karena sebab terdapat ayat-ayat tertentu yang tidak diturunkan di Mekkah maupu
Jika melihat definisi ini, ketiga ayat tersebut tidak bisa
dimasukkan ke dalam Makkiyyah
maupun Madaniyyah.[5]
Terlepas
dari kelemahan tersebut, dalam perspektif ini dapat dinyatakan
bahwa ayat-ayat yang muncul di Mekkah dan sekitarnya disebut Makkiyyahdan
yang muncul di Madinah dan sekitarnya disebut Madaniyyah.
Ketiga, dari perspektif obyek pembicaraan atau teori subjektif, Makkiyyah
adalah ayat-ayat yang menjadi
khitab bagi
penduduk Mekkah, kemudian Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab
bagi penduduk Madinah. Definisi ini menurut para
ulama didasarkan atas asumsi bahwa kebanyakan
ayat-ayat al-Qur’an yang dimulai dengan ungkapan ya ayyuha al-nas menjadi
kriteria Makkiyyah mengingat orang-orang
Mekkah banyak yang tidak beriman meskipun ada pula
sebagian yang sudah beriman.
Kemudian ayat-ayat yang dimulai dengan ungkapan ya ayyuha al-ladhina
amanu menjadi kriteria Madaniyyah mengingat orang-orang Madinah banyak
yang beriman meskipun ada pula sebagiannya yang belum beriman. Namun definisi inipun menurut
al-Zarqani juga tidak sepenuhnya tepat, sebab surat al-Baqarah yang termasuk
kategori Madaniyyah memiliki dua ayat (yaitu
ayat 21 dan ayat 168) yang dimulai dengan ungkapan
ya ayyuha al-nas. Selain itu, banyak pula ayat al-Qur’an yang tidak
dimulai kedua ungkapan tersebut, seperti surat
al-Ahzab yang dimulai dengan ya ayyuha al-nabi.[6]
Subhi
al-Salih menambahkan perspektif keempat selain tiga perspektif sebelumnya yaitu
unsur tematis (tabwib mawdu‘i) atau teori content analysis (mulahadat
tadammun al-surah), karena melihat adanya komponen-komponen serupa pada tiga definisi di atas, seperti terkandungnya komponen
masa, tempat, dan orang.[7]
Dari
keempat perspektif Makkiyyah dan Madaniyyah ini, para ulama
umumnya mengunggulkan perspektif yang pertama (masa turun/historis) karena
dianggap lebih tepat untuk pemetaan kronologis revelasi. Dalam bukunya yang berjudul Madkhal ila al-Qur’an
al-Karim, Muhammad Abid al-Jabiri berkaitan dengan pengkategorian antara Makkiyyah dan Madaniyyah memberikan
pernyataan ringkas tentang latar belakang dan sebab-sebab munculnya perbedaan
pandangan dari para ulama, bahwasanya hal tersebut “tidak lain karena
dikembalikan pada fakta sejarah yang terjadi di abad kedua Hijriyah, yaitu
periode dimulainya kodifikasi disiplin ilmu tafsir. Secara umum pandangan para
ulama tertuju pada fenomena-fenomena yang terjadi pada saat itu atau indikasi-indikasi
lain yang tidak dapat diterima secara ilmiah, sebab yang menjadi tendensi mereka
hanyalah dugaan-dugaan dan taksiran-taksiran yang belum dapat dipastikan”.[8]
C.
Metode Pendekatan Dalam
Menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah
Secara
mendasar perbedaan dalam pengkatagorian Makkiyyah-Madaniyyah ini
dilatar-belakangi oleh metode pendekatan yang mereka pergunakan, untuk
mengetahui dan menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah, para ulama bersandar pada
dua cara, yaitu: dengan cara simᾶ’i naqli
(pendengaran murni) dan Qiyᾶsi ijtihᾶdi (kias hasil ijtihad). Cara
pertama didasarkan pada riwayat şahīh dari para sahabat ‘yang hidup dan
menyaksikan pada saat turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang men’erima
dan mendengar dari para sahabat.
Sedangkan cara yang kedua didasarkan pada ciri-ciri Makkiyyah dan Madaniy.
Metode pendekatan yang dipergunakan oleh para ulama dalam penetapan kategori
antara Makkiyyah dan Madaniyyah:
1.
Metode Penukilan Riwayat (al-Manhaj
al-Sima’iy al-Naqliy); maksudnya seorang ahli dalam pengkatagorian ini
bersandar pada penukilan riwayat dari golongan Sahabat; sebab mereka hidup di
masa kenabian dan menyaksikan secara langsung proses diturunkannya wahyu, dan
dari golongan Tabi’in; sebab golongan ini banyak mendapatkan keterangan dari
golongan Sahabat. Metode pendekatan ini banyak diterapkan para ahli dalam penu’lisan
kitab-kitab Asbab al-Nuzul, ‘Ulum al-Qur’an dan Nasakh Mansukh
yang sama sekali tidak pernah diutarakan oleh Rasulullah.
2.
Metode Nalar Analogi (al-Manhaj a’l-Qiyasiy
al-Ijtihadiy); metode pendekatan ini dikembalikan menurut
karakteristik-karakteristik yang terdapat pada setiap katagori Makkiyyah
dan Madaniyyah. Maksudnya apabila pada surat Makkiyyah terdapat
sebuah ayat yang diindikasikan masuk ke dalam katagori Madaniyyah maka
dikatagorikan sebagai ayat Madaniyyah’’, dan apabila pada surat Madaniyyah
terdapat sebuah ayat yang diindikasikan masuk ke dalam katagori Makkiyyah
maka dikatagorikan sebagai ayat Makkiyyah. Jadi, yang dimaksud dengan
metode nalar analogi ini ialah mengelompokkan surat-surat atau ayat-ayat
menurut karakteristik yang dimiliki pada setiap katagori Makkiyyah dan Madaniyyah.
[9]
Dua
metode pendekatan inilah yang dipergunakan oleh para ulama sehingga dalam
penetapan kategori antara Makkiyyah dan Madaniyyah sering kali
terdapat perbedaan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dalam hal ini
sebagaimana juga diungkapkan oleh al-Ja’bari, ia mengatakan bahwa untuk
mengetahui antara Makkiyyah dan Madaniyyah adalah dengan
menggunakan dua metode, yaitu sima’iy (periwayatan) dan qiyasiy (nalar
analogi).[10]
Dalam
implementasinya kedua pendekatan ini sangat erat hubungannya dengan
kecenderungan gaya intelektual para pakar disiplin ilmu ini, dimana gaya
intelektual inipun tidak akan terlepas dari pengaruh sosial-budaya, poitik, dan
geografis di masa kehidupannya masing-masing.
D. Ciri-Ciri Khusus Makkiyyah dan Madaniyyah
Setelah melakukan penelitian terhadap surah Makkiyyah dan
Madaniyyah para ulama membagi ciri-ciri khusus Makkiyyah dan Madaniyyah
agar lebih memudahkan untuk mengklasifikasi kepada kategori Makkiyyah
atau Madaniyyah. Ciri-ciri khusus ini didasarkan atas dua sisi
yaitu : ketentuan dan ciri tema serta gaya bahasanya.
1.
Ciri-ciri khusus surah Makkiyyah.
Ciri-ciri khusus surah Makkiyyah
dilihat dari sisi ketentuan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Setiap surah yang didalamnya terdapat ayat sajdah.
b.
Setiap surah yang didalamnya terdapat lafadz
‘ kalla’, lafadz ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dalam al-Qur’an.
c.
Setiap surah yang mengandung seruan ya ayyuhan nas
dan tidak mengandung seruan ya
ayyuhal ladzina amanu, kecuali surah al-Hajj karena didalamnya terdapat
seruan ya ayyuhal ladzina amanur-ka’u wasjudu. Namun sebagian besar
ulama berpendapat bahwa surah tersebut adalah surat Makkiyyah.
d.
Setiap surah yang menceritakan tentang kisah para Nabi
dan umat terdahulu, kecuali surah al-Baqarah.
e.
Setiap surah yang menceritakan tentang Adam dan
Iblis, kecuali surah al-Baqarah.
f.
Setiap surah yang diawali dengan huruf-huruf
singkatan seperti Alif lam mim, Alif lam Ra, Ha mim dan lain-lainnya,
kecuali surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang surat ar-Ra’d masih
diperselisihkan sebagian menganggap surah Madaniyyah,bukan Makkiyyah.[11]
Adapun ciri-ciri khusus surat Makkiyyah
dilihat dari sisi ciri tema dan gaya bahasanya adalah sebagai berikut:
a.
Ajakan beriman kepada Allah dan hari Akhir
serta gambaran surga beserta kenikmatannya dan neraka beserta siksanya.
b.
Bantahan terhadap argumen-argumen kaum
musyrikin dan penjelasan mengenai kekeliruan mereka terhadap berhala dan
tradisi buruk lainnya.
c.
Ajakan untuk berakhlak mulia dan berpegang pada
syariat islam.[12]
d.
Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat
terdahulu sebagai pelajaran serja sebagai hiburan agar Rasul SAW dan para
pengikutnya tabah dalam menghadapi gangguan.
e.
Suku katanya pendek-pendek, pernyataannya
singkat, argumentatifkarena obyek yang didakwahi banyak yang mengingkari dan
banyak terdapat redaksi sumpah.[13]
f.
Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai
konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak
dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Semisal
dalam surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.
g.
Berisi penjelasan dengan bukti-bukti dan
argumentasi dari alam ciptaan Allah SWT dan percaya kepada para Rasul dan
kitab-kitab suci, hari kiamat dsb.[14]
2.
Ciri-ciri khusus surah Madaniyyah
Ciri-ciri khusus surah Madaniyyah jika dilihat dari sisi ketentuan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Setiap surat berisi tentang kewajiban dan had
(sanksi).
b.
Setiap surah yang menyebutkan orang-orang
munafik, kecuali surah al-‘ankabut.
c.
Terdapat dialog dengan Ahli Kitab.
Sedangkan ciri-ciri khusus surah Madaniyyah dilihat dari segi tema dan gaya bahasanya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a.
Ayat-ayat Madaniyyah kebanyakan mempergunakan
konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan
taat. Semisal dalam surat Al-Ma’idah
b.
Menjelaskan tentang ibadah, muamalah, had,
kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, kaidah
hukum, dan masalah perundang-undangan.
c.
Seruan dan ajakan terhadap ahli kitab baik dari
kalangan Yahudi atau pun Nasrani untuk masuk islam serta penjelasan atas
penyimpangan terhadap kitab-kitab Allah.
d.
Menyingkap perilaku orang munafik dan membuka
kedoknya serta menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama.
e.
Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan
menggunakan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan
sasarannya.[15]
E.
Macam-Macam Makkiyyah
dan Madaniyyah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan macam
surah atau ayat. Sebagian ulama berpendapat jumlah surah Makkiyyah
sebanyak 94 surah, sedang jumlah surah Madaniyyah sebanyak 20 surah,
namun sebagian lain ada yang menyatakan jumlah surah Makkiyyah sebanyak
84 surah dan surah Madaniyyah sebanyak 30 surah. Shahatah dalam karyanya al-Qur’an
wa al-Tafsir menjelaskan, bahwa surah yang disepakati sebagai Makkiyyah
berjumlah 82, dan yang disepakati sebagai Madaniyyah berjumlah 20 surah,
sedangkan sisanya yang berjumlah 12 surah statusnya masih diperselisihkan.
Abdul Djalal memilih menggunakan jalan tengah dengan mengklasifikasikan Makkiyyah
dan Madaniyyah ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Surah Makkiyyah Murni (مكية ﻛﻠﻬﺎ)
Surah Makkiyyah
murni
yaitu surah yang keseluruhan ayatnya berstatus Makkiyyah dan tidak ada
perselisihan tentang status Makkiyyahah tersebut. Jumlah surat Makkiyyah
murni adalah 58 surah yang berisi 2.074 ayat.
2. Surah Madaniyyah Murni ( مدنية
ﻛﻠﻬﺎ)
Surah Madaniyyah
murni yaitu surah yang keseluruhan ayatnya berstatus Madaniyyah dan
tidak ada perselisihan tentang status Madaniyyah tersebut. Surat Madaniyyah
murni berjumlah 18 surah yang memuat 737 ayat.
3. Surah Makkiyyah
yang berisi ayat Madaniyah (مكية فيها مدينة)
Surah Madaniyah yang berisi ayat Madaniyah adalah surah yang kebanyakan ayatnya berstatus Makkiyyah, namun juga terdapat ayat-ayat Madaniyah. Surah yang berstatus demikian berjumlah 32 surah dan mengandung 2699 ayat.
4. Surah Madaniyah
yang berisi ayat Makkiyyah (مدنية فيها مكية)
Surah Madaniyah
yang berisi ayat Makkiyyah adalah
surah yang kebanyakan ayatnya berstatus Madaniyah,
namun juga terdapat ayat-ayat Makkiyyah.
Surah yang berstatus demikian
berjumlah 6 surah dan mengandung 726 ayat.[16]
F.
Faedah Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyah
Adapun faedah
dari penetapan teori Makkiyyah-Madaniyyah sebagaimana diupayakan oleh
para ulama tafsir adalah sebagai berikut:
1. Untuk
membantu dalam menafsirkan al-Qur’an; Sebab dengan mengetahui
tempat-tempat diturunkannya suatu ayat dapat memberi keterangan yang cukup
jelas terhadap kandungan makna ayat tersebut. Sekalipun ada kaidah yang
menyebutkan: "العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب " (landasan penafsiran ialah bersandar pada
bentuk tekstual, dan bukan pada sebab-sebab diturunkannya suatu ayat), tetapi
akan tetap dapat membantu bagi seorang mufassir apabila terjadi
kontradiksi dari hasil penafsiran ayat tersebut dengan ayat-ayat selainnya.
Sehingga dapat mengetahui manakah ayat yang diturunkan pertama, dan manakah
yang diturunkan berikutnya untuk menetapkan kaidah nasakh-mansukh
(penghapusan hukum).
2. Bermanfaat
dalam penyampaian dakwah Islam; sebab dengan mengetahui terma ini maka
seorang da’i dapat mengilustrasikan ruang sosial masyarakat yang terjadi di
masa itu saat diturunkannya suatu ayat, sehingga materi dakwah dengan obyek
yang dituju benar-benar tepat sasaran. Ini merupakan bagian dari hikmah diturunkannya
al-Qur’an secara berangsur-angsur.
3. Untuk
mengetahui sejarah perjalanan Rasul Saw.; sebab dengan teori ini sejarah
perjalanan kehidupan Rasul secara tepat dapat dipetakkan, dan dicermati sebagai
hasil analisa sejarah yang obyektif, yang dapat menghindarkan dari kebohonngan
fakta yang datang dari pihak luar. Sejarah otentik bukan hanya bersumber dari
riwayat-riwayat yang ada, melainkan ditopang dari gambaran setting sosial
masyarakat melalui materi-materi dakwah yang dikembangkan oleh Rasul berdasarkan
ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur tersebut.
4. Untuk
mengetahui situasi dan kondisi lingkungan masyarakat pada waktu turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya masyarakat Mekkah dan Madinah.
5. Untuk
mengetahui uslub-uslub
bahasanya yang berbeda, karena ditujukan kepada golongan-golongan yang berbeda.[17]
[1]Manna’
Khalil al-Qaththan, Mabahits..., 9.
[2]Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 87.
[3] Al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1967), Vol. I, 23; Badr al-Din Muhammad ibn
‘Abd Allah al-Zarkashi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1988), Vol. I, 239; Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Vol. I, 192; dan
Manna Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyad: Manshurat
al-‘Asr al-Hadith, t.th.), 61. Bandingkan
dengan Liliek Channa, Syaiful Hidayat, ‘Ulum al-Qur’an dan Pembelajarannya
(Surabaya: Kopertais IV Press, 2011), 233-240.
[4] Al-Suyuti, al-Itqan, 23; al-Zarkashi, al-Burhan,
239; al-Zarqani, Manahil, 192; dan al-Qattan, Mabahith, 61.
[5] Al-Zarqani, Manahil…, 193. Lihat juga
al-Suyuti, al-Itqan, 23 dan al-Zarkashi , a l-Burhan, 239.
[6] al-Zarqani , Manahil…, 194 dan
al-Qattan, Mabahith, 61.
[7] Subhi al-Salih,
Mabahith.., 168. Lihat Liliek Channa, Syaiful Hidayat, ‘Ulum al-Qur’an,242
[8]Dr.
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, jilid 1, (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, cet. II, 2007) hal. 237
[9] Manna’
Khalil al-Qaththan…,56-57.
[10] Jalaluddin
al-Suyuthi, al-Itqan…,74
[11] Subhi
al-shalih, Mabaḥith..,181-182
[12]Supiana
dan M. Karman, Ulumul Quran, (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), 106-107.
[13]Manna’al-Qattan, Mabahith …, 63-64.
[14]Muhammad
Khudlori, Tarikh Tasyri’ al-Islamy.., 17
[15]Muhammad
Khudlori, Tarikh Tasyri’ al-Islamy…, 87-88.
[16]Suqiyah
Musafa’ah. Amir Maliki. Dkk, Studi al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2011), 109-110.
[17] Manna’ Khalil
al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,…59-60.
Sumber referensi, info selengkapnya https://www.alqalammedialestari.com/2021/09/ulum-al-quran-studi-kompleksitas-al.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar