Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Makkiyyah dan Madaniyyah

 


A.    Sejarah Munculnya Makkiyyah dan Madaniyyah

Sebelum mempelajari ilmu Makiyah-Madaniyyahah secara mendalam, penulis mencoba untuk mencantumkan sejarah teoritis ilmu ini. Kemunculan teori ini dengan ragam pendekatannya lahir bersamaan dengan awal masa teoritisasi disiplin ilmu tersebut. Yaitu sekitar abad ke-3 Hijriyah dan hingga mencapai puncak kematangannnya pada abad ke-5 Hijriyah oleh Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi (430 H.).

Tokoh-tokoh abad ketiga menghadirkan teoritisasi ilmu ushul tafsir tetapi masih dalam bentuk yang parsial pada bahasan-bahasan tertentu, seperti; Ali ibn al-Madini (234 H.) dengan kitab Asbab al-Nuzul, Abu Ubaid Qasim ibn Salam (224 H.) dengan kitab al-Nasakh wa al-Mansukh dan ilmu Qira’at, Ibnu Qathaibah (276 H.) dengan Musykil al-Qur’an. Kemudian disusul oleh mereka yang hidup di abad keempat, seperti; Muhammad ibn Khalaf ibn Marzaban (309 H.); al-Hawi fi ‘Ulum al-Qur’an, Abu Bakar Muhammad ibn Qasim al-Anbari (338 H.); Ulum al-Qur’an, Abu Bakar al-Sajastani (330 H.); Gharib al-Qur’an, Selanjutnya gerakan teoritisasi dilanjutkan pada abad kelima; seperti Abu Bakar al-Baqilani (403 H.); I’jaz al-Qur’an, dan seorang tokoh lagi yang dari karyanya menurut para ahli lebih dianggap mencakup segala persoalan dalam terminologi ilmu ini, yaitu; Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi (430 H.) dengan karya monumentalnya setebal 30 jilid yang masih berupa manuskrip disimpan di Darul Kutub al-Mishriyyah  Kairo dengan judul al- Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. [1]

Dari sejarah singkat di atas terlihat secara ekspilit bahwa popularitas teori Makkiyyah dan Madaniy diawali dari masa Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi yang kemudian berkembang dari masa ke masa.

 

B.     Pengertian dan Teori Menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah

Dalam mempelajari al-Qur’an, ilmu Makkiyyah dan Madaniyyah merupakan kajian yang membedakan fase penting dan memiliki andil dalam membentuk teks al-Qur’an, baik dari aspek isi maupun struktur. Hal ini membuktikan bahwa teks merupakan hasil interaksi dengan realitas yang dinamis-historis.[2]

Untuk mengetahui pengertian dan definisi Makkiyyah dan Madaniyyah kita merujuk pada konsep yang muncul dan populer dalam studi al-Qur’an.  Pada umumnya, para pakar ilmu al-Qur’an klasik seperti al-Suyuti (w. 911 H.), al-Zarkashi (w.794 H.), yang kemudian diikuti ulama belakangan semisal al-Zarqani dan al-Qattan, mendefinisikan terminologi Makkiyyah dan Madaniyyah dalam tiga perspektif, yaitu urutan masa turun (tartib zamani) atau teori historis (mulahazat zaman al-nuzul), tempat turun (tahdid makani) teori geografis (mulahazat makan al-nuzul), dan obyek pembicaraan (ta’yin shakhshi) atau teori subyektif (mulahazat al-mukhatabin fi al-nuzul) .[3]

Pertama, dari perspektif masa turun atau teori historis, Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, sekalipun tidak turun di Mekkah, dan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, sekalipun tidak turun di Madinah, seperti surah al-Nisa ’/4:58 termasuk kategori Madaniyyah kendati turunnya di Mekkah, yaitu pada peristiwa Fath al-Makkah yang terjadi setelah hijrah.[4] Dari perspektif ini, dapat dinyatakan bahwa ayat-ayat yang turun sebelum hijrah Rasulullah disebut Makkiyyah dan yang muncul setelahnya disebut Madaniyyah.

Kedua, dari perspektif tempat turun atau teori geografis, Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah sekalipun itu terjadi setelah hijrah, kemudian Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba’, dan Sul’a. Definisi ini menurut para ulama seperti al-Zarqani memiliki kelemahan karena sebab terdapat ayat-ayat tertentu yang tidak diturunkan di Mekkah maupu n di Madinah dan sekitarnya. Umpamanya surat al-Tawbah/9:42 diturunkan di Tabuk, surat al-Zukhruf/43:45 diturunkan di Bayt al-Muqaddas, dan surat al-Fath/48:48 diturunkan di tengah perjalanan antara Mekkah dan Madinah.

Jika melihat definisi ini, ketiga ayat tersebut tidak bisa dimasukkan ke dalam Makkiyyah maupun Madaniyyah.[5] Terlepas dari kelemahan tersebut, dalam perspektif ini dapat dinyatakan bahwa ayat-ayat yang muncul di Mekkah dan sekitarnya disebut Makkiyyahdan yang muncul di Madinah dan sekitarnya disebut Madaniyyah.

Ketiga, dari perspektif obyek pembicaraan atau teori subjektif, Makkiyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi penduduk Mekkah, kemudian Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi penduduk Madinah. Definisi ini menurut para ulama didasarkan atas asumsi bahwa kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an yang dimulai dengan ungkapan ya ayyuha al-nas menjadi kriteria Makkiyyah mengingat orang-orang Mekkah banyak yang tidak beriman meskipun ada pula sebagian yang sudah beriman.

Kemudian ayat-ayat yang dimulai dengan ungkapan ya ayyuha al-ladhina amanu menjadi kriteria Madaniyyah mengingat orang-orang Madinah banyak yang beriman meskipun ada pula sebagiannya yang belum beriman. Namun definisi inipun menurut al-Zarqani juga tidak sepenuhnya tepat, sebab surat al-Baqarah yang termasuk kategori Madaniyyah memiliki dua ayat (yaitu ayat 21 dan ayat 168) yang dimulai dengan ungkapan ya ayyuha al-nas. Selain itu, banyak pula ayat al-Qur’an yang tidak dimulai kedua ungkapan tersebut, seperti surat al-Ahzab yang dimulai dengan ya ayyuha al-nabi.[6]

Subhi al-Salih menambahkan perspektif keempat selain tiga perspektif sebelumnya yaitu unsur tematis (tabwib mawdu‘i) atau teori content analysis (mulahadat tadammun al-surah), karena melihat adanya komponen-komponen serupa pada tiga definisi di atas, seperti terkandungnya komponen masa, tempat, dan orang.[7]

Dari keempat perspektif Makkiyyah dan Madaniyyah ini, para ulama umumnya mengunggulkan perspektif yang pertama (masa turun/historis) karena dianggap lebih tepat untuk pemetaan kronologis revelasi.  Dalam bukunya yang berjudul Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, Muhammad Abid al-Jabiri berkaitan dengan pengkategorian antara Makkiyyah dan Madaniyyah memberikan pernyataan ringkas tentang latar belakang dan sebab-sebab munculnya perbedaan pandangan dari para ulama, bahwasanya hal tersebut “tidak lain karena dikembalikan pada fakta sejarah yang terjadi di abad kedua Hijriyah, yaitu periode dimulainya kodifikasi disiplin ilmu tafsir. Secara umum pandangan para ulama tertuju pada fenomena-fenomena yang terjadi pada saat itu atau indikasi-indikasi lain yang tidak dapat diterima secara ilmiah, sebab yang menjadi tendensi mereka hanyalah dugaan-dugaan dan taksiran-taksiran yang belum dapat dipastikan”.[8]

 

C.    Metode Pendekatan Dalam Menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah

Secara mendasar perbedaan dalam pengkatagorian Makkiyyah-Madaniyyah ini dilatar-belakangi oleh metode pendekatan yang mereka pergunakan, untuk mengetahui dan menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah, para ulama bersandar pada dua cara, yaitu: dengan cara sim’i naqli (pendengaran murni) dan Qiyᾶsi ijtihᾶdi (kias hasil ijtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat şahīh dari para sahabat ‘yang hidup dan menyaksikan pada saat turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang men’erima dan mendengar dari para sahabat.  Sedangkan cara yang kedua didasarkan pada ciri-ciri Makkiyyah dan Madaniy. Metode pendekatan yang dipergunakan oleh para ulama dalam penetapan kategori antara Makkiyyah dan Madaniyyah:

1.      Metode Penukilan Riwayat (al-Manhaj al-Sima’iy al-Naqliy); maksudnya seorang ahli dalam pengkatagorian ini bersandar pada penukilan riwayat dari golongan Sahabat; sebab mereka hidup di masa kenabian dan menyaksikan secara langsung proses diturunkannya wahyu, dan dari golongan Tabi’in; sebab golongan ini banyak mendapatkan keterangan dari golongan Sahabat. Metode pendekatan ini banyak diterapkan para ahli dalam penu’lisan kitab-kitab Asbab al-Nuzul, ‘Ulum al-Qur’an dan Nasakh Mansukh yang sama sekali tidak pernah diutarakan oleh Rasulullah.

2.      Metode Nalar Analogi (al-Manhaj a’l-Qiyasiy al-Ijtihadiy); metode pendekatan ini dikembalikan menurut karakteristik-karakteristik yang terdapat pada setiap katagori Makkiyyah dan Madaniyyah. Maksudnya apabila pada surat Makkiyyah terdapat sebuah ayat yang diindikasikan masuk ke dalam katagori Madaniyyah maka dikatagorikan sebagai ayat Madaniyyah’’, dan apabila pada surat Madaniyyah terdapat sebuah ayat yang diindikasikan masuk ke dalam katagori Makkiyyah maka dikatagorikan sebagai ayat Makkiyyah. Jadi, yang dimaksud dengan metode nalar analogi ini ialah mengelompokkan surat-surat atau ayat-ayat menurut karakteristik yang dimiliki pada setiap katagori Makkiyyah dan Madaniyyah. [9]

Dua metode pendekatan inilah yang dipergunakan oleh para ulama sehingga dalam penetapan kategori antara Makkiyyah dan Madaniyyah sering kali terdapat perbedaan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dalam hal ini sebagaimana juga diungkapkan oleh al-Ja’bari, ia mengatakan bahwa untuk mengetahui antara Makkiyyah dan Madaniyyah adalah dengan menggunakan dua metode, yaitu sima’iy (periwayatan) dan qiyasiy (nalar analogi).[10]

Dalam implementasinya kedua pendekatan ini sangat erat hubungannya dengan kecenderungan gaya intelektual para pakar disiplin ilmu ini, dimana gaya intelektual inipun tidak akan terlepas dari pengaruh sosial-budaya, poitik, dan geografis di masa kehidupannya masing-masing.

 

D.    Ciri-Ciri Khusus Makkiyyah dan Madaniyyah

Setelah melakukan penelitian terhadap surah Makkiyyah dan Madaniyyah para ulama membagi ciri-ciri khusus Makkiyyah dan Madaniyyah agar lebih memudahkan untuk mengklasifikasi kepada kategori Makkiyyah atau Madaniyyah. Ciri-ciri khusus ini didasarkan atas dua sisi yaitu : ketentuan dan ciri tema serta gaya bahasanya.

1.      Ciri-ciri khusus surah Makkiyyah.

Ciri-ciri khusus surah Makkiyyah dilihat dari sisi ketentuan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a.    Setiap surah yang didalamnya terdapat ayat sajdah.

b.    Setiap surah yang didalamnya terdapat lafadz ‘ kalla’, lafadz ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dalam al-Qur’an.

c.    Setiap surah yang mengandung seruan ya ayyuhan nas dan tidak mengandung seruan  ya ayyuhal ladzina amanu, kecuali surah al-Hajj karena didalamnya terdapat seruan ya ayyuhal ladzina amanur-ka’u wasjudu. Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa surah tersebut adalah surat Makkiyyah.

d.   Setiap surah yang menceritakan tentang kisah para Nabi dan umat terdahulu, kecuali surah al-Baqarah.

e.    Setiap surah yang menceritakan tentang Adam dan Iblis, kecuali surah al-Baqarah.

f.     Setiap surah yang diawali dengan huruf-huruf singkatan seperti Alif lam mim, Alif lam Ra, Ha mim dan lain-lainnya, kecuali surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang surat ar-Ra’d masih diperselisihkan sebagian menganggap surah Madaniyyah,bukan Makkiyyah.[11]

Adapun ciri-ciri khusus surat Makkiyyah dilihat dari sisi ciri tema dan gaya bahasanya adalah sebagai berikut:

a.    Ajakan beriman kepada Allah dan hari Akhir serta gambaran surga beserta kenikmatannya dan neraka beserta siksanya.

b.    Bantahan terhadap argumen-argumen kaum musyrikin dan penjelasan mengenai kekeliruan mereka terhadap berhala dan tradisi buruk lainnya.

c.    Ajakan untuk berakhlak mulia dan berpegang pada syariat islam.[12]

d.   Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran serja sebagai hiburan agar Rasul SAW dan para pengikutnya tabah dalam menghadapi gangguan.

e.    Suku katanya pendek-pendek, pernyataannya singkat, argumentatifkarena obyek yang didakwahi banyak yang mengingkari dan banyak terdapat redaksi sumpah.[13]

f.     Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Semisal dalam surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.

g.     Berisi penjelasan dengan bukti-bukti dan argumentasi dari alam ciptaan Allah SWT dan percaya kepada para Rasul dan kitab-kitab suci, hari kiamat dsb.[14]

 

2.      Ciri-ciri khusus surah Madaniyyah

Ciri-ciri khusus surah Madaniyyah jika dilihat dari sisi ketentuan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a.       Setiap surat berisi tentang kewajiban dan had (sanksi).

b.      Setiap surah yang menyebutkan orang-orang munafik, kecuali surah al-‘ankabut.

c.       Terdapat dialog dengan Ahli Kitab.

Sedangkan ciri-ciri khusus surah Madaniyyah dilihat dari segi tema dan gaya bahasanya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.       Ayat-ayat Madaniyyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Semisal dalam surat Al-Ma’idah

b.      Menjelaskan tentang ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, kaidah hukum, dan masalah perundang-undangan.

c.       Seruan dan ajakan terhadap ahli kitab baik dari kalangan Yahudi atau pun Nasrani untuk masuk islam serta penjelasan atas penyimpangan terhadap kitab-kitab Allah.

d.      Menyingkap perilaku orang munafik dan membuka kedoknya serta menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama.

e.       Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan menggunakan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.[15]

E.     Macam-Macam Makkiyyah dan Madaniyyah

 Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan macam surah atau ayat. Sebagian ulama berpendapat jumlah surah Makkiyyah sebanyak 94 surah, sedang jumlah surah Madaniyyah sebanyak 20 surah, namun sebagian lain ada yang menyatakan jumlah surah Makkiyyah sebanyak 84 surah dan surah Madaniyyah sebanyak 30 surah. Shahatah dalam karyanya al-Qur’an wa al-Tafsir menjelaskan, bahwa surah yang disepakati sebagai Makkiyyah berjumlah 82, dan yang disepakati sebagai Madaniyyah berjumlah 20 surah, sedangkan sisanya yang berjumlah 12 surah statusnya masih diperselisihkan. Abdul Djalal memilih menggunakan jalan tengah dengan mengklasifikasikan Makkiyyah dan Madaniyyah ke dalam empat kategori, yaitu:

1.      Surah Makkiyyah Murni (مكية ﻛﻠﻬ)

Surah Makkiyyah murni yaitu surah yang keseluruhan ayatnya berstatus Makkiyyah dan tidak ada perselisihan tentang status Makkiyyahah tersebut. Jumlah surat Makkiyyah murni adalah 58 surah yang berisi 2.074 ayat.

2.      Surah Madaniyyah Murni ( مدنية ﻛﻠﻬﺎ)

Surah Madaniyyah murni yaitu surah yang keseluruhan ayatnya berstatus Madaniyyah dan tidak ada perselisihan tentang status Madaniyyah tersebut. Surat Madaniyyah murni berjumlah 18 surah yang memuat 737 ayat.

3.      Surah Makkiyyah yang berisi ayat Madaniyah (مكية فيها مدينة)

 Surah Madaniyah yang berisi ayat Madaniyah adalah surah yang kebanyakan ayatnya berstatus Makkiyyah, namun juga terdapat ayat-ayat Madaniyah. Surah yang berstatus demikian berjumlah 32 surah dan mengandung 2699 ayat.

4.      Surah Madaniyah yang berisi ayat Makkiyyah (مدنية فيها مكية)

Surah Madaniyah yang berisi ayat Makkiyyah adalah surah yang kebanyakan ayatnya berstatus Madaniyah, namun juga terdapat ayat-ayat Makkiyyah. Surah yang berstatus demikian berjumlah 6 surah dan mengandung 726 ayat.[16]

 

F.     Faedah Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyah

Adapun faedah dari penetapan teori Makkiyyah-Madaniyyah sebagaimana diupayakan oleh para ulama tafsir adalah sebagai berikut:

1.      Untuk membantu dalam menafsirkan al-Qur’an; Sebab dengan mengetahui tempat-tempat diturunkannya suatu ayat dapat memberi keterangan yang cukup jelas terhadap kandungan makna ayat tersebut. Sekalipun ada kaidah yang menyebutkan:  "العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب " (landasan penafsiran ialah bersandar pada bentuk tekstual, dan bukan pada sebab-sebab diturunkannya suatu ayat), tetapi akan tetap dapat membantu bagi seorang mufassir apabila terjadi kontradiksi dari hasil penafsiran ayat tersebut dengan ayat-ayat selainnya. Sehingga dapat mengetahui manakah ayat yang diturunkan pertama, dan manakah yang diturunkan berikutnya untuk menetapkan kaidah nasakh-mansukh (penghapusan hukum).

2.      Bermanfaat dalam penyampaian dakwah Islam; sebab dengan mengetahui terma ini maka seorang da’i dapat mengilustrasikan ruang sosial masyarakat yang terjadi di masa itu saat diturunkannya suatu ayat, sehingga materi dakwah dengan obyek yang dituju benar-benar tepat sasaran. Ini merupakan bagian dari hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur.

3.      Untuk mengetahui sejarah perjalanan Rasul Saw.; sebab dengan teori ini sejarah perjalanan kehidupan Rasul secara tepat dapat dipetakkan, dan dicermati sebagai hasil analisa sejarah yang obyektif, yang dapat menghindarkan dari kebohonngan fakta yang datang dari pihak luar. Sejarah otentik bukan hanya bersumber dari riwayat-riwayat yang ada, melainkan ditopang dari gambaran setting sosial masyarakat melalui materi-materi dakwah yang dikembangkan oleh Rasul berdasarkan ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur tersebut.

4.      Untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan masyarakat pada waktu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya masyarakat Mekkah dan Madinah.

5.      Untuk mengetahui uslub-uslub bahasanya yang berbeda, karena ditujukan kepada golongan-golongan yang berbeda.[17]



[1]Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits..., 9.

[2]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 87.

[3] Al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1967), Vol. I, 23; Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Zarkashi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Vol. I, 239; Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Vol. I, 192; dan Manna Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyad: Manshurat al-‘Asr al-Hadith, t.th.), 61. Bandingkan dengan Liliek Channa, Syaiful Hidayat, ‘Ulum al-Qur’an dan Pembelajarannya (Surabaya: Kopertais IV Press, 2011), 233-240.

[4] Al-Suyuti, al-Itqan, 23; al-Zarkashi, al-Burhan, 239; al-Zarqani, Manahil, 192; dan al-Qattan, Mabahith, 61.

[5] Al-Zarqani, Manahil…, 193. Lihat juga al-Suyuti, al-Itqan, 23 dan al-Zarkashi , a l-Burhan, 239.

[6] al-Zarqani , Manahil…, 194 dan al-Qattan, Mabahith, 61.

[7] Subhi al-Salih, Mabahith.., 168. Lihat Liliek Channa, Syaiful Hidayat, ‘Ulum al-Qur’an,242

[8]Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, jilid 1, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, cet. II,  2007) hal. 237

[9] Manna’ Khalil al-Qaththan…,56-57.

[10] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan…,74

[11] Subhi al-shalih, Mabaḥith..,181-182

[12]Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran, (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), 106-107.

[13]Manna’al-Qattan, Mabahith …, 63-64.

[14]Muhammad Khudlori, Tarikh Tasyri’ al-Islamy.., 17

[15]Muhammad Khudlori, Tarikh Tasyri’ al-Islamy…, 87-88.

[16]Suqiyah Musafa’ah. Amir Maliki. Dkk, Studi al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 109-110.

[17] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,…59-60.



Sumber referensi, info selengkapnya https://www.alqalammedialestari.com/2021/09/ulum-al-quran-studi-kompleksitas-al.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640