A.
Pengertian ‘Asbab Al-Nuzul
Perlu diketahui sebelumnya bahwa kata Asbab yang dimaknai “sebab” dalam perspektif ‘ulum
al-Qur’an ini berbeda dengan istilah “sebab” dalam hukum kausalitas yang
meniscayakan adanya sebuah akibat sebagai respon dari wujud “sebab”. Dalam
prespektif ilmu al-Qur’an, sifat “sebab” tidaklah mutlak adanya, walaupun
secara empiris terjadi[1].
Dengan kata lain, dalam ‘Ulum al-Qur’an ada
atau tidak ada sebuah sebab, ayat al-Qur’an tetap
akan diturunkan Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. sebagaimana telah
diturunkannya al-Qur’an oleh Allah dari Lauhil Mahfudz ke Baitul
Izzah. Sedangkan Asbab
al-Nuzul merupakan salah satu di antara cara sekian banyak
cara membimbing umat Islam.
Secara etimologis, ‘asbab al-nuzul terdiri dari dua kata, yaitu Asbab, jama’ dari kata sabab yang berarti
sebab atau latar belakang dan kata Nuzul yang
berarti turun.[2] Adapun
secara terminologi ada beberapa pendapat dari beberapa ulama yang otoritatif
dibidang ilmu al-Qur’an. Di antaranya:
1.
Menurut Manna’
al-Qattan, asbabun nuzul adalah peristiwa yang
menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi,
baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.[3]
2.
Sementara Az-Zarqani berpendapat bahwa asbabun nuzul
keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang
sebab-sebab turunnya al-Qur’an atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu
kejadiannya.
3.
Subhi al-Shalih menyatakan bahwa asbabun nuzul adalah sesuatu
yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu
pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, dan sebagai
penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[4]
4.
Menurut al-Wahidi (W. 468 H), asbab al-nuzul adalah
sesuatu yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat untuk menjelaskan sebuah
hukum ketika waktu kejadian perkara[5]
Dari beberapa devinisi tersebut di atas, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa asbab
al-nuzul berhubungan
erat dengan peristiwa atau pertanyaan yang terjadi atau muncul sejak
diwahyukannya al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad baik ketika Nabi Muhammad Saw. Masih berdomisili di Makkah ataupun
pasca hijrah ke Madinah. Namun
demikian, ada beberapa ayat al-Qur’an yang
memiliki latar belakang sebab jauh sebelum nabi Muhammad diangkat sebagai
rasul. Contohnya: surah al-Fil yang turun sebab adanya penyerangan
tentara Habasyah ke Makkah. al-Wahidi memasukkan kejadian di atas sebagai sebab
turunnya surat al-Fil. Namun, al-Suyuti tidak sependapat dengan al-Wahidi dengan
argumen jenjang waktu latar belakang sebab tersebut terjadi yang terlalu lama.
Sebaliknya ia menyamakan penyerangan Habasah ke Makkah dengan kisah-kisah lain
dalam al-Qur’an, semisal kaum Ad. [6].
B.
Latar Belakang dan Pedoman
Mengetahui Asbab an-Nuzul
1.
Latar Belakang Asbab an-Nuzul
Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa latar belakang Asbab al-Nuzul dapat
dirumuskan dalam dua bentuk sebagai berikut:
a.
Peristiwa yang terjadi di kalangan muslim
sehingga melatar belakangi turunnya sebuah hukum, atau sebagai bentuk koreksi,
jawaban Allah terhadap perbuatan manusia.
b.
Adanya pertanyaan yang ditujukan kepada
Rosulullah terkait problematika masyarakat hingga Allah memerintahkan malaikat
untuk menyampaikan sebuah ayat kepada Nabi.[7]
2. Pedoman
Mengetahui Asbab
an-Nuzul
Dalam mengetahui asbab al-nuzul para
ulama berpedoman pada riwayat yang sahih yang berasal dari Rasulullah Saw. atau
dari sahabat. Al-Wahidi
membatasi otentisitas asbab
al-nuzul pada periwayatan atau pendengaran dari
orang-orang yang telah menyaksikan turunnya al-Qur’an,
mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut,
menganalisis secara pasti kebenaran sebab, dan bersungguh-sungguh dalam proses
mendapatkan informasi tersebut[8].
Ketatnya standart otentisitas atau tolak ukur riwayat asbab al-nuzul yang diberikan
oleh al-Wahidi tidak lepas dari peran strategis dan signifikannya asbab al-nuzul dalam
proses memahami firman Allah. Hal ini disebabkan tidak tertutup kemungkinan
terjadi penyimpangan dalam periwayatan sehingga mempengaruhi pemahaman terhadap
ayat-ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu kalangan generasi awal
memberikan perhatian besar terhadap asbab
al-nuzul seperti
yang dikatakan oleh Ibnu Sirin ketika bertanya kepada ‘Ubaidah perihal sebuah
ayat. ‘Ubaidah menjawab “bertakwalah kepada Allah dan berhati-hati dalam
berbicara tentang al-Qur’an, karena
kelompok masyarakat yang mengetahui tentang turunnya al-Qur’an telah tiada”.[9]
Pada tahap selanjutnya kalangan intelektual
muslim telah juga banyak menulis tentang asbab al-nuzul terutama kelompok yang memimiliki perhatian di
dalam studi ilmu al-Qur’an. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan pemuatan materi asbab al-nuzul di setiap kitab yang membahas ‘ulum al-Qur’an. Bahkan beberapa di antara mereka menyusun
sebuah kitab dengan pembahasan khusus terkait asbabun nuzul, seperti al-Wahidi
dengan karya berjudul Asbab
al-Nuzul Fi al-Qur’an al-Karim, al-Suyuti (W. 911 H) Lubab al- Naqul Fi Asbab al-Nuzul, dan Imaduddin Muhammad Rosyid yang berusaha
menjelaskan urgensitas Asbab
al-Nuzul dalam
pemahaman teks di kalangan ulama tafsir dan ushul fiqh dalam sebuah kitab
berjudul Asbab
al-Nuzul Wa Atsaruha Fi Bayani al-Nushush.
C.
Urgensitas Asbab al-Nuzul
Sebagian kalangan memang ada yang menganggap
bahwa kajian tentang asbab al-nuzul
tidak terlalu penting, karena dengan sendirinya akan diketahui bersamaan
dengan kajian sejarah, seperti yang diceritakan oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.[10] Bahkan Nasharudin Baidan mengutib pernyataan dari Imam al-Thabathaba’i,
yang mengingkari adanya asbab al-nuzul
dengan beberapa alasan (1) hadis
yang berkenaan dengan asbab al-nuzul banyak yang tidak memiliki sanad yang
jelas, (2) periwayatan hadis tidak melalui proses al-Tahammul wa al-Ada’,
hanya sebatas mengaitkan dengan kejadian-kejadian, dan (3) penulisan hadis dilakukan beberapa puluh tahun setelah wafat
Nabi Muhammad[11].
Namun demikian jika ditinjau dari cara memahami
kandungan `al-Qur’an, maka sebetulnya kajian asbab al-nuzul sangat urgen sekali dan tidak bisa diabaikan
dalam proses pemahaman seseorang terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Berikut urgensitas asbab al-nuzul dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an:
1.
Terhindar dari kerancuan dalam pemaknaan sebuah
ayat
Imam al-Wahidi menyatakan bahwa seseorang tidak
akan mampu memahmi al-Qur’an tanpa
memahami cerita tentang ayat tersebut dan sebab-sebab turunnya.[12]
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa sejatinya al-Wahidi menilai penting
pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, walaupun pada
hakikatnya, asbab al-nuzul hanya membantu pemahaman semata. Hal ini disebabka
karena terkadang al-Qur’an, dengan
rahasia yang ada di balik semua, menggunakan redaksi kalimat yang sulit
dipahami secara eksplisit. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan tentang
kronologi ayat dan sebab-sebab diturunkannya. Sebagai contoh, ayat yang
berkenaan dengan sa´i antara Shafa dan Marwa. Dalam
redaksi ayat tersebut, tidak ada kewajiban Sa´i dalam ibadah haji.
Sebagian dari kelompok menafikan kewajiban Sa’i sebab tidak termaktub
dalam teks ayat. Aisyah menolak pendapat
‘Urwah dalam pemahaman demikian tentang sa’i setelah mengetahui sebab
turunnya ayat[13].
2.
Mempermudah hafalan atau ingatan
Banyaknya al-Qur’an
memuat hukum-hukum agama islam dan kapasitas otak manusia yang tidak
semuanya berada di atas level rata-rata, memungkinkan untuk kesulitan dalam
pengingatan, sehingga berakibat pada berkurangnya pemahaman. Untuk itu
dibutuhkan media lain sebagai pengingat yang mudah diterima oleh akal manusia,
yaitu lewat cerita di balik turunnya sebuah ayat tertentu. Dengan menggunakan
cerita, diharapkan ingatan manusia tentang sebuah hukum dapat bertahan lama
sebab ia bersifat empirik.
3.
Penolakan prakonsepsi hashr sebuah ayat
Imam Syafi’i menjelaskan tentang ayat
قل لا أجد فيما أوحي محرما[14] lewat asbab al-nuzul yang ada
dalam ayat ini. Ketika kaum kafir menghalalkan apa yang telah diharamkan dan
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, maka seakan-akan ayat ini menyatakan
halal terhadap hal mereka haramkan, dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan.
Padahal tujuannya yaitu menjadikan penetapan keharaman, bukan penetapan
kehalalan. Seakan-akan Allah menyatakan tidak ada keharaman kecuali apa yang
engkau halalkan dari bangkai, darah, daging anjing dan segala hal yang
disembelih dengan tidak menyebut nama Allah.
D. Bentuk-Bentuk Redaksi Asbab al-Nuzul
Dilihat
dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam asbab al-nuzul,
dibagi menjadi 2 macam:[15]
1.
Sharih
(jelas)
Artinya
redaksi dari riwayat tersebut memang sudah jelas menunjukkan asbab al-nuzul dengan
indikasi riwayat tersebuat menggunakan redaksi:
a.
سبب نزول هذه الآية هذا (sebab turunnya ayat ini adalah……)
b.
حدث هذا... فنزلت الآية (Telah terjadi ……
maka turunlah ayat)
c.
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية (Rasulullah ditanya… maka turunlah ayat )
2. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Artinya
riwayat belum dapat dipastikan sebagai asbab
al-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal ini dapat ditemukan
jika riwayat dengan menggunakan redaksi:
a.
نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat
ini turun dalam peristiwa seperti ini….)
b.
احسب هذه الآية نزلت فى كذا... (saya
kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
c.
ما احسب نزلت هذه الآية الا فى كذا... (saya kira ayat ini diturunkan kecuali
berkenaan dengan .......)[16]
Ulama
berbeda pendapat dalam redaksi نزلت
الأية فى كذا. Terkadang
redaksi yang demikian termasuk dalam penafsiran makna ayat, namun tidak
tertutup kemungkinan merupakan
asbab al-nuzul dari sebuah ayat. Untuk mengetahui kejelasan
posisi redaksi seperti di atas, diperlukan aspek lain, yaitu ada tidaknya
relasi antara ayat al-Qur’an dengan asbab al-nuzul yang
dimaksud.
Seperti
yang ditulis di awal pembahasan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Qur’an memiliki asbab al-nuzul tetapi
hanya sebagian saja. Al-Wahidi
menyatakan
bahwa jumlah ayat al-Qur’an yang dilator belakangi
asbab al-nuzul hanya 500 ayat[17].
Hal itu
belum termasuk pengulangan ayat disebabkan banyaknya asbab al-nuzul.
E. Kasus Asbab al-Nuzul dan
Cara Tarjihnya
Terdapat dua bentuk yang ada dalam al-Qur’an tentang asbab al-nuzul sebagai mana dijelaskan oleh al-Wahidi.
1.
Terjadi beberapa kasus yang melatarabelakangi
turunnya satu ayat. Hal tersebut bisa terjadi karena keagungan pesan yang ingin
disampaikan dan akan selalu diingat oleh manusia[18].
Sebagai contoh ayat Wa
yasalunaka ‘an ar-Ruh.[19] Ayat
ini turun ketika salah seorang Yahudi Madinah bertanya tentang ruh. Tetapi,
seperti yang sudah diketahui bahwa ayat ini terdapat pada surat al-Isra’ yang
merupakan surat Makkiah. Orang-orang kafir Makkah bertanya tentang
Dzilqornain dan ashhab
al-kahfi semasa berada di Makkah atas perintah
orang-orang Yahudi.
Ketika ditemukan hal yang demikian, maka kita
dihadapkan pada beberapa kemungkinan yang terjadi:
a.
Salah satu dari keduanya shahih, dan yang lain
tidak, atau keduanya sama-sama shahih, namun yang satu memiliki penguat,
sedangkan yang lain tidak. Cara penggunaan dari peristiwa ini adalah asbab al-nuzul yang menggunakan penguat.
b.
Keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak
memiliki penguat, namun bisa digunakan dengan bersamaan, maka cara mentarjih
adalah dengan cara mengkompromikan.
c.
Keduanya sahih, tidak memiliki penguat, juga
tidak bisa digunakan bersamaan karena jarak waktu sebab-sebab tersebut
berjauhan, maka penggunaanya dengan asumsi ayat tersebut turun lebih dari satu
kali. [20]
2. Asbab al-nuzul adalah
berbagai macam ayat yang turun dengan satu sebab saja. Hal tersebut kemungkinan
terjadi untuk memuaskan hati umat islam yang sedang bertanya-tanya, memperjelas
suatu penjelasan. Hal demikian dapat kita lihat dari aduan Ummu Salamah kepada
Rasulullah perihal tidak disebutkannya perempuan dalam hijrah, berbeda dengan
kaum laki-laki. Menjawab aduan tersebut, Allah menurunkan ayat inna al- muslimina wa al-muslimat dan ayat
fa istajaba lakum anni la
udhiu amala ámilin minkum min dhakarin aw untha. [21]
F. Kitab-Kitab Asbabun Nuzul
Ilmu asbabun nuzul mempunyai peranan penting
dalam memahami ayat. Oleh karenanya mayoritas ulama’ sangat memperhatikan ilmu
tentang asbabun nuzul bahkan ada yang menyusun sebuah karya
secara khusus. Di antara ulama yang telah menyusun pembahasan tersebut antara
lain ‘Ali Ibnu al-Madini
guru Imam al-Bukhari r.a. Selain itu, para ulama sering menggunakan pijakan
kitab-kitab sebagai refrensi tentang asbabun nuzul, di antaranya adalah:
1.
Asbab al- Nuzul karangan al-Wahidi
2.
Lubab al-Nuqul fi Asbab
al-Nuzul karangan
al-Suyuti
3.
Asbab
al-Nuzul wa al-Qissah al-Furqaniyyah karangan Muhammad bin As’ad al-‘Iraqi
4.
Mukhtasar Asbab al-Nuzul li al-Wahidi karangan Burhan al-Din al-Ja’bari.[22]
Sebelum adanya empat kitab tersebut, sebenarnya para Ulama’ sudah banyak yang telah menulis karya-karya tentang asbabun nuzul, di antaranya:[23]
a.
‘Ikrimah al-Barbari (w. 107 H) dengan kitabnya Nuzul al-Qur’an
b.
Al-Hasan
al-Basri (w. 110 H) dengan
kitabnya Nuzul al-Qur’an
c.
Abu
Muttorif al-Andalusi (w. 402 H) dengan
kitabnya al-Qisas wa
al-Asbab allati Nuzila min Ajlih al-Qur’an
d.
Isma’il al-Naisaburi al-Darir (w. 430 H) dengan kitabnya Asma’ man Nazala fihim al-Qur’an
e.
‘Abdur Rahman bin al-Jauzi (w. 597 H) dengan kitabnya Asbab al-Nuzul’’’
f.
Ibnu Hajr
al-‘Asqalani (w. 852 H) dengan
kitabnya al-I’jab
bi Bayan al-Asbab
g.
Dan lain-lain
[1]
Nashrudin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005), 132.
[2] Muhammad Chirzin. Al-Qur’an
& Ulumul Quran. (Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Prima Yasa. 2003) 30
[3] Manna’ al-Qattan, Mabahith .., 78
[4] Subhi al-Salih, Mabahith fi
‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Qalam li Al-Malayyin, 1988) 132
[5]
Jalaluddin al-Suyuti,
al-Itqan…, 52
[6]
Jalaluddin al-Suyuti,
al-Itqan…, 52
[7] Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith…, 77
[8] al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, 43.
[9]
Yusuf Qordowi, Kaifa
Nata’amal Ma’a al-Qur’an (Bairut :
Muassasah ar-Risalah, 2001), 289.
[10]
al-Suyuti, al-‘tqan.., 48.
[11] Baidan, Wawasan Baru, 140.
[12]
al-Wahidi, ‘Asbabu al-Nuzul, 41.
[13]
al-Suyuti, al-‘Itqan…,
49.
[14] QS. Al-An’am, (6) 145
[15] Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith..,76-77
[16] Manna’
Khalil al-Qattan. Mabahith..,77
[17] al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, 49
[18]
Muhammad bin Abdullah az-Zarkasi,
al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007), 45.
[19] Al-Qur’an, 17 (al-Isra’) : 85
[20] Muhammad Chirzin. Al-Qur’an
& Ulumul Quran. (Yogyakarta:
PT DANA BHAKTI PRIMA YASA. 2003) 32-33.
Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid. Mafhum al-Nas; Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut:
al-Dar al-Baida’. 1994) cet. II 111-112
[21] Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith…,92.
[23] Bassam Al-Jamal, Asbab
al-Nuzul. (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, al-Dar al-Bayda’. 2005),
90-95.
Sumber referensi, info selengkapnya https://www.alqalammedialestari.com/2021/09/ulum-al-quran-studi-kompleksitas-al.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar