Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

‘Asbab Al-Nuzul

 



A.    Pengertian ‘Asbab Al-Nuzul

Perlu diketahui sebelumnya bahwa kata Asbab yang dimaknai “sebabdalam perspektif ‘ulum al-Qur’an ini berbeda dengan istilah “sebab” dalam hukum kausalitas yang meniscayakan adanya sebuah akibat sebagai respon dari wujud “sebab”. Dalam prespektif ilmu al-Qur’an, sifat “sebab” tidaklah mutlak adanya, walaupun secara empiris terjadi[1]. Dengan kata lain, dalam ‘Ulum al-Qur’an ada atau tidak ada sebuah sebab, ayat al-Qur’an tetap akan diturunkan Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. sebagaimana telah diturunkannya al-Qur’an oleh Allah dari Lauhil Mahfudz ke Baitul Izzah. Sedangkan Asbab al-Nuzul merupakan salah satu di antara cara sekian banyak cara membimbing umat Islam.

Secara etimologis, ‘asbab al-nuzul terdiri dari dua kata, yaitu Asbab, jama’ dari kata sabab yang berarti sebab atau latar belakang dan kata Nuzul yang berarti turun.[2] Adapun secara terminologi ada beberapa pendapat dari beberapa ulama yang otoritatif dibidang ilmu al-Qur’an. Di antaranya:

1.    Menurut Manna’ al-Qattan, asbabun nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.[3]

2.    Sementara Az-Zarqani berpendapat bahwa asbabun nuzul keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya al-Qur’an atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya.

3.    Subhi al-Shalih menyatakan bahwa asbabun nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, dan sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[4]

4.    Menurut al-Wahidi (W. 468 H), asbab al-nuzul adalah sesuatu yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat untuk menjelaskan sebuah hukum ketika waktu kejadian perkara[5]

Dari beberapa devinisi tersebut di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa asbab al-nuzul berhubungan erat dengan peristiwa atau pertanyaan yang terjadi atau muncul sejak diwahyukannya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad baik ketika Nabi Muhammad Saw. Masih berdomisili di Makkah ataupun pasca hijrah ke Madinah. Namun demikian, ada beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki latar belakang sebab jauh sebelum nabi Muhammad diangkat sebagai rasul. Contohnya: surah al-Fil yang turun sebab adanya penyerangan tentara Habasyah ke Makkah. al-Wahidi memasukkan kejadian di atas sebagai sebab turunnya surat al-Fil. Namun, al-Suyuti tidak sependapat dengan al-Wahidi dengan argumen jenjang waktu latar belakang sebab tersebut terjadi yang terlalu lama. Sebaliknya ia menyamakan penyerangan Habasah ke Makkah dengan kisah-kisah lain dalam al-Qur’an, semisal kaum Ad. [6].

 

B.     Latar Belakang dan Pedoman Mengetahui Asbab an-Nuzul

1.    Latar Belakang Asbab an-Nuzul

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa latar belakang Asbab al-Nuzul dapat dirumuskan dalam dua bentuk sebagai berikut:

a.         Peristiwa yang terjadi di kalangan muslim sehingga melatar belakangi turunnya sebuah hukum, atau sebagai bentuk koreksi, jawaban Allah terhadap perbuatan manusia. 

b.        Adanya pertanyaan yang ditujukan kepada Rosulullah terkait problematika masyarakat hingga Allah memerintahkan malaikat untuk menyampaikan sebuah ayat kepada Nabi.[7]

2.    Pedoman Mengetahui Asbab an-Nuzul

Dalam mengetahui asbab al-nuzul para ulama berpedoman pada riwayat yang sahih yang berasal dari Rasulullah Saw. atau dari sahabat. Al-Wahidi membatasi otentisitas asbab al-nuzul pada periwayatan atau pendengaran dari orang-orang yang telah menyaksikan turunnya al-Qur’an, mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut, menganalisis secara pasti kebenaran sebab, dan bersungguh-sungguh dalam proses mendapatkan informasi tersebut[8]. Ketatnya standart otentisitas atau tolak ukur riwayat asbab al-nuzul yang diberikan oleh al-Wahidi tidak lepas dari peran strategis dan signifikannya asbab al-nuzul dalam proses memahami firman Allah. Hal ini disebabkan tidak tertutup kemungkinan terjadi penyimpangan dalam periwayatan sehingga mempengaruhi pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

Oleh karena itu kalangan generasi awal memberikan perhatian besar terhadap asbab al-nuzul seperti yang dikatakan oleh Ibnu Sirin ketika bertanya kepada ‘Ubaidah perihal sebuah ayat. ‘Ubaidah menjawab “bertakwalah kepada Allah dan berhati-hati dalam berbicara tentang al-Qur’an, karena kelompok masyarakat yang mengetahui tentang turunnya al-Qur’an telah tiada”.[9]

Pada tahap selanjutnya kalangan intelektual muslim telah juga banyak menulis tentang asbab al-nuzul terutama kelompok yang memimiliki perhatian di dalam studi ilmu al-Qur’an. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pemuatan materi asbab al-nuzul  di setiap kitab yang membahas ulum al-Qur’an. Bahkan beberapa di antara mereka menyusun sebuah kitab dengan pembahasan khusus terkait asbabun nuzul, seperti al-Wahidi dengan karya berjudul Asbab al-Nuzul Fi al-Qur’an al-Karim, al-Suyuti  (W. 911 H) Lubab al- Naqul Fi Asbab al-Nuzul, dan Imaduddin Muhammad Rosyid yang berusaha menjelaskan urgensitas Asbab al-Nuzul  dalam pemahaman teks di kalangan ulama tafsir dan ushul fiqh dalam sebuah kitab berjudul Asbab al-Nuzul  Wa Atsaruha Fi Bayani al-Nushush.

 

C.    Urgensitas Asbab al-Nuzul

Sebagian kalangan memang ada yang menganggap bahwa kajian tentang asbab al-nuzul  tidak terlalu penting, karena dengan sendirinya akan diketahui bersamaan dengan kajian sejarah, seperti yang diceritakan oleh Imam al-Suyuthi  dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.[10]  Bahkan Nasharudin Baidan  mengutib pernyataan dari Imam al-Thabathaba’i, yang mengingkari adanya asbab al-nuzul  dengan beberapa alasan (1) hadis  yang berkenaan dengan asbab al-nuzul  banyak yang tidak memiliki sanad yang jelas, (2) periwayatan hadis tidak melalui proses al-Tahammul wa al-Ada’, hanya sebatas mengaitkan dengan kejadian-kejadian, dan (3) penulisan hadis  dilakukan beberapa puluh tahun setelah wafat Nabi Muhammad[11].

Namun demikian jika ditinjau dari cara memahami kandungan `al-Qur’an, maka sebetulnya kajian asbab al-nuzul sangat urgen sekali dan tidak bisa diabaikan dalam proses pemahaman seseorang terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Berikut urgensitas asbab al-nuzul dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an:

1.      Terhindar dari kerancuan dalam pemaknaan sebuah ayat

Imam al-Wahidi menyatakan bahwa seseorang tidak akan mampu memahmi al-Qur’an tanpa memahami cerita tentang ayat tersebut dan sebab-sebab turunnya.[12] Pernyataan ini mengindikasikan bahwa sejatinya al-Wahidi menilai penting pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, walaupun pada hakikatnya, asbab al-nuzul hanya membantu pemahaman semata. Hal ini disebabka karena terkadang al-Qur’an, dengan rahasia yang ada di balik semua, menggunakan redaksi kalimat yang sulit dipahami secara eksplisit. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan tentang kronologi ayat dan sebab-sebab diturunkannya. Sebagai contoh, ayat yang berkenaan dengan sa´i antara Shafa dan Marwa. Dalam redaksi ayat tersebut, tidak ada kewajiban Sa´i dalam ibadah haji. Sebagian dari kelompok menafikan kewajiban Sa’i sebab tidak termaktub dalam teks ayat.  Aisyah menolak pendapat ‘Urwah dalam pemahaman demikian tentang sa’i setelah mengetahui sebab turunnya ayat[13].

2.      Mempermudah hafalan atau ingatan

Banyaknya al-Qur’an memuat hukum-hukum agama islam dan kapasitas otak manusia yang tidak semuanya berada di atas level rata-rata, memungkinkan untuk kesulitan dalam pengingatan, sehingga berakibat pada berkurangnya pemahaman. Untuk itu dibutuhkan media lain sebagai pengingat yang mudah diterima oleh akal manusia, yaitu lewat cerita di balik turunnya sebuah ayat tertentu. Dengan menggunakan cerita, diharapkan ingatan manusia tentang sebuah hukum dapat bertahan lama sebab ia bersifat empirik.

3.      Penolakan prakonsepsi hashr sebuah ayat

Imam Syafi’i menjelaskan tentang    ayat قل  لا أجد فيما أوحي محرما[14]  lewat asbab al-nuzul yang ada dalam ayat ini. Ketika kaum kafir menghalalkan apa yang telah diharamkan dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, maka seakan-akan ayat ini menyatakan halal terhadap hal mereka haramkan, dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Padahal tujuannya yaitu menjadikan penetapan keharaman, bukan penetapan kehalalan. Seakan-akan Allah menyatakan tidak ada keharaman kecuali apa yang engkau halalkan dari bangkai, darah, daging anjing dan segala hal yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah.

 

D.    Bentuk-Bentuk Redaksi Asbab al-Nuzul

Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam asbab al-nuzul, dibagi menjadi 2 macam:[15]

1.      Sharih (jelas)

Artinya redaksi dari riwayat tersebut memang sudah jelas menunjukkan asbab al-nuzul dengan indikasi riwayat tersebuat menggunakan redaksi:

a.         سبب نزول هذه الآية هذا (sebab  turunnya ayat ini adalah……)

b.        حدث هذا... فنزلت الآية (Telah terjadi …… maka turunlah ayat)    

c.         سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية (Rasulullah ditanya… maka turunlah ayat )

2.      Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)

Artinya riwayat belum dapat dipastikan sebagai asbab al-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal ini dapat ditemukan jika riwayat dengan menggunakan redaksi:

a.         نزلت هذه الآية فى كذا... (ayat ini turun dalam peristiwa seperti ini….)

b.        احسب هذه الآية نزلت فى كذا...  (saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan) 

c.         ما احسب نزلت هذه الآية الا فى كذا...  (saya kira ayat ini diturunkan kecuali berkenaan dengan .......)[16]

Ulama berbeda pendapat dalam redaksi   نزلت الأية فى كذا. Terkadang redaksi yang demikian termasuk dalam penafsiran makna ayat, namun tidak tertutup kemungkinan merupakan asbab al-nuzul dari sebuah ayat. Untuk mengetahui kejelasan posisi redaksi seperti di atas, diperlukan aspek lain, yaitu ada tidaknya relasi antara ayat al-Qur’an dengan asbab al-nuzul yang dimaksud.

 

Seperti yang ditulis di awal pembahasan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Qur’an memiliki asbab al-nuzul tetapi hanya sebagian saja. Al-Wahidi menyatakan bahwa jumlah ayat al-Qur’an yang dilator belakangi asbab al-nuzul hanya 500 ayat[17]. Hal itu belum termasuk pengulangan ayat disebabkan banyaknya asbab al-nuzul.

E.     Kasus Asbab al-Nuzul dan Cara Tarjihnya

Terdapat dua bentuk yang ada dalam al-Qur’an tentang asbab al-nuzul sebagai mana dijelaskan oleh al-Wahidi.

1.      Terjadi beberapa kasus yang melatarabelakangi turunnya satu ayat. Hal tersebut bisa terjadi karena keagungan pesan yang ingin disampaikan dan akan selalu diingat oleh manusia[18]. Sebagai contoh ayat Wa yasalunaka ‘an ar-Ruh.[19] Ayat ini turun ketika salah seorang Yahudi Madinah bertanya tentang ruh. Tetapi, seperti yang sudah diketahui bahwa ayat ini terdapat pada surat al-Isra’ yang merupakan surat Makkiah. Orang-orang kafir Makkah bertanya tentang Dzilqornain dan ashhab al-kahfi semasa berada di Makkah atas perintah orang-orang Yahudi.

Ketika ditemukan hal yang demikian, maka kita dihadapkan pada beberapa kemungkinan yang terjadi:

a.       Salah satu dari keduanya shahih, dan yang lain tidak, atau keduanya sama-sama shahih, namun yang satu memiliki penguat, sedangkan yang lain tidak. Cara penggunaan dari peristiwa ini adalah asbab al-nuzul   yang menggunakan penguat.

b.      Keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak memiliki penguat, namun bisa digunakan dengan bersamaan, maka cara mentarjih adalah dengan cara mengkompromikan.

c.       Keduanya sahih, tidak memiliki penguat, juga tidak bisa digunakan bersamaan karena jarak waktu sebab-sebab tersebut berjauhan, maka penggunaanya dengan asumsi ayat tersebut turun lebih dari satu kali. [20]

2.      Asbab al-nuzul adalah berbagai macam ayat yang turun dengan satu sebab saja. Hal tersebut kemungkinan terjadi untuk memuaskan hati umat islam yang sedang bertanya-tanya, memperjelas suatu penjelasan. Hal demikian dapat kita lihat dari aduan Ummu Salamah kepada Rasulullah perihal tidak disebutkannya perempuan dalam hijrah, berbeda dengan kaum laki-laki. Menjawab aduan tersebut, Allah menurunkan ayat inna al- muslimina wa al-muslimat dan ayat fa istajaba lakum anni la udhiu amala ámilin minkum min dhakarin aw untha. [21]

 

F.     Kitab-Kitab Asbabun Nuzul

Ilmu asbabun nuzul mempunyai peranan penting dalam memahami ayat. Oleh karenanya mayoritas ulama’ sangat memperhatikan ilmu tentang asbabun nuzul bahkan ada yang menyusun sebuah karya secara khusus. Di antara ulama yang telah menyusun pembahasan tersebut antara lain ‘Ali Ibnu al-Madini guru Imam al-Bukhari r.a. Selain itu, para ulama sering menggunakan pijakan kitab-kitab sebagai refrensi tentang asbabun nuzul, di antaranya adalah:

1.        Asbab al- Nuzul  karangan al-Wahidi

2.        Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karangan al-Suyuti

3.        Asbab al-Nuzul wa al-Qissah al-Furqaniyyah karangan Muhammad bin As’ad al-‘Iraqi

4.        Mukhtasar Asbab al-Nuzul li al-Wahidi karangan Burhan al-Din al-Ja’bari.[22]

Sebelum adanya empat kitab tersebut, sebenarnya para Ulama’ sudah banyak yang telah menulis karya-karya tentang asbabun nuzul, di antaranya:[23]

a.         ‘Ikrimah al-Barbari (w. 107 H) dengan kitabnya Nuzul al-Qur’an

b.        Al-Hasan al-Basri (w. 110 H) dengan kitabnya Nuzul al-Qur’an

c.         Abu Muttorif al-Andalusi (w. 402 H) dengan kitabnya al-Qisas wa al-Asbab allati Nuzila min Ajlih al-Qur’an

d.        Isma’il  al-Naisaburi al-Darir (w. 430 H) dengan kitabnya Asma’ man Nazala fihim al-Qur’an

e.         Abdur Rahman bin al-Jauzi (w. 597 H) dengan kitabnya Asbab al-Nuzul’’’

f.          Ibnu Hajr al-‘Asqalani (w. 852 H) dengan kitabnya al-I’jab bi Bayan al-Asbab

g.        Dan lain-lain



[1] Nashrudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005), 132.

[2] Muhammad Chirzin. Al-Qur’an & Ulumul Quran. (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa. 2003) 30

[3] Manna’ al-Qattan, Mabahith .., 78

[4] Subhi al-Salih, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Qalam li Al-Malayyin, 1988)  132

[5] Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan…,  52  

[6] Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan…,  52  

[7] Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith…, 77

[8] al-Wahidi, Asbab al-Nuzul,  43.

[9] Yusuf Qordowi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an  (Bairut : Muassasah ar-Risalah,  2001),  289.

[10] al-Suyuti, al-‘tqan..,  48.

[11] Baidan, Wawasan Baru,  140.

[12] al-Wahidi, Asbabu al-Nuzul,  41. 

[13] al-Suyuti, al-‘Itqan…,  49.

[14] QS. Al-An’am, (6) 145  

[15] Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith..,76-77

[16]  Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith..,77

[17] al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, 49

[18] Muhammad bin Abdullah az-Zarkasi, al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007),  45.

[19] Al-Qur’an, 17 (al-Isra’) : 85

[20] Muhammad Chirzin. Al-Qur’an & Ulumul Quran. (Yogyakarta: PT DANA BHAKTI PRIMA YASA. 2003) 32-33. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid. Mafhum al-Nas; Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Dar al-Baida’. 1994) cet. II 111-112

[21] Manna’ Khalil al-Qattan. Mabahith…,92.

 

[23] Bassam Al-Jamal, Asbab al-Nuzul. (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, al-Dar al-Bayda’. 2005), 90-95.



Sumber referensi, info selengkapnya https://www.alqalammedialestari.com/2021/09/ulum-al-quran-studi-kompleksitas-al.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640