Bauran Islam dengan Haul Syekh Jangkung
Di wilayah Pati khususnya bagian selatan. Pasti tidak asing dengan wisata religi Syekh Jangkung. Masyarakat dari berbagai kota tentunya datang berbondong-bondong untuk mengharap berkah juga menambah iman. Pada acara khaul yang biasanya diadakan di bulan Rajab, mengundang para khalayak untuk menikmati disetiap acara.
Syekh Jangkung sendiri adalah wali yang bertempat di Desa Kayen. Beliau adalah putra dari Abdullah Asyiq Ibnu Abdul Syakur yang mempunyai nama lain yaitu Ki Ageng Pekiringan, dan ibunya yang bernama Nyai Ageng Dewi Limaran. Dalam cerita yang dikenal dimasyarakat, pasangan suami istri tersebut dulunya tak mempunyai keturunan yang berjenis kelamin laki-laki. Maka dari itu pasangan suami istri tersebut meminta saran kepada Sunan Muria dengan harapan bisa dikaruniai momongan laki-laki. Setelah diketahui dengan tujuan tersebut, Sunan Muria memberi saran agar pasangan suami istri tersebut tetap bersabar dan berdo’a kepada Allah SWT agar segera diberi momongan.
Setelah mendapat saran dari Sunan Muria, pasangan tersebut pun kembali ke Kiringan. Sesampainya di rumah, Nyai Ageng Dewi Limaran bermimpi mendapatkan wangsit dari laki-laki gagah yang sudah beruban rambutnya. Namun tak beberapa lama kemudian, sang istri mulai mengandung dan melahirkan bayi laki-laki yang awalnya diberi nama Syaridin. Yang merupakan gabungan dari kata "sah" dan "ridho". Artinya sah dan mendapatkan ridho Allah SWT.
Dari keluarga Syeh Jangkung yang awalnya dikenal dengan nama Syaridin, mempunyai anak perempuan yang bernama Branjung. Keduanya pernah berselisih, yaitu perihal dari pembagian warisan yang diberikan kepada mereka dari orang tuanya. Sepeninggal kedua orang tuanya, Syaridin atau Syekh Jangkung ini mendapatkan warisan sepetak tanah dengan kakaknya Branjung. Hingga kemudian, Syaridin berkunjung ke rumah kakaknya dan bermaksud ingin menjual tanahnya supaya bisa mencukupi kebutuhan anak dan istrinya dan bisa dibeli oleh kakaknya namun suami dari kakaknya tidak mau membeli. Maka dari itu ia meminta warisan yang diberikan oleh ayahnya. Ia meminta bagian dari warisan tersebut. Akhirnya terjadilah kesepakatan, dimana dalam tanah tersebut terdapat pohon durian yang lebat sekali buahnya, maka dari itu wilayah sekarang bernama "Duren Sawit". Saridin mendapat jatah yaitu ditiap malam hari sedangkan kakaknya mendapatkan jatah di siang hari.
Namun, durian pada umumnya kerap kali jatuh hanya pada malam hari. Oleh karena itu kakak iparnya tak kehabisan akal dan mulai menyamar menjadi harimau, dimana dia akan mengambil durian pada malam hari. Kejadian ini pun juga dirasakan aneh oleh Syaridin, dimana buah durian yang jatuh tiba-tiba hilang. Maka dari itu, guna berjaga-jaga Syaridin membuat senjata dari "pikulan yang ujungnya dilancipkan. Karena rasa penasaran, pada akhirnya ketika durian jatuh, beliau mendatangi dengan cara mengendap-endap, ternyata yang dilhatnya adalah harimau. Kemudian, beliau lansung melempar senjatanya ke badan harimau tersebut. Ketika badan harimau tersebut terkena senjata Syaridin, ia mengeluh kesakitan. Dan ternyata, yang menjadi harimau adalah kakak iparnya. Kejadian ini membuat gempar masyarakat sekitar dan tentunya membuat sedih kakaknya, hal inilah kemudian Syaridin dilaporkan oleh Petinggi Miyono kepada Bupati Pati waktu itu. Dari kejadian tersebut Syaridin diadili dan dihukumi penjara.
Selama beberapa hari di penjara suatu ketika Syaridin bertanya kepada Sipir (penjaga penjara), apakah dirinya boleh pulang….? Kemudian Sipir tersebut menjawab ya boleh apabila bisa. Kemudian Syaridin pulang, dan ternyata Istrinya hampir saja diperkosa oleh Petinggi Miyono. Pada saat yang bersamaan Syaridin muncul, dan diketahui oleh Petinggi Miyono. Kemudian Miyono lari terbirit-birit dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bupati Pati bahwa Syaridin pulang ke rumah dan melarikan diri dari penjara. Tapi belum sampai petinggi Miyono di Kabupaten Pati, Syaridin sudah sampai dan berada di dalam penjara.
Atas peristiwa yang mengejutkan Petinggi Miyono tersebut, diapun juga terkena marah oleh Bupati Pati. Selepas dari itu Syaridin ditambah hukumannya karena membuat jengkel Bupati dengan digantung dan dihukum mati. Dalam proses pemberian hukumnya, Syaridin berperilaku menyebalkan bagi Bupati dan para Sipirnya. Ia kemudian lari dan ditetapkan menjadi buronan. Dengan perasaan yang tak tenang, kemudian ia berguru kepada Sunan Kalijaga, dan diberi nama dengan "Jangkung" yang artinya diikuti kemana perginya dan selalu memberikan petunjuk melalui hati nuraninya.
Pengembaraan pertama yang dilakukan Syekh Jangkung adalah ketika berada pada zaman Kerajaan Mataram dipemerintahan Sultan Agung Anyakrakusuma. Istri Syekh Jangkung meninggal dunia setelah melahirkan putranya yang bernama "Momok". Oleh karena itu Momok dititipkan dan diasuh kakak perempuannya. Untuk memulihkan kesedihannya, ia mengembara ke Rembang dan kemudian dilanjutkan ke daerah Pati bagian Selatan. Di sana ia menuju tempat pengembalaan sapi dan kerbau sambil beristirahat di bawah pohon beringin hingga seperti tertidur. Kemudian ia menetap di sana dan membuat rumah mirip masjid, dan dukuh tersebut diberi nama Dukuh Landoh. Syekh Jangkung menempati Landoh hanya satu tahun, kemudian ia kembali ke tempat asalnya Miyana.
Setahun kemudian ia meminta izin kepada kakaknya, untuk berguru ke Kudus. Sesampainya disana ia diterima oleh Pangeran Kudus, dan menetap menjadi para santri. Tapi dirinya tidak ingin mengaji dan hanya mengisi air di tempat wudhu dan mencari ikan di selokan. Hal itu mengundang perhatian para santri dan Pangeran Kudus. Kemudian pangeran kudus bertanya, “apakah di dalam selokan itu ada ikannya?” jawaban beliau adalah bahwa “setiap air itu ada ikannya”. Tentunya Pangeran memeriksa setiap tempat dan terbukti memang ada ikannya, termasuk salah satunya ada di buah kelapa. Dengan ilmu yang sudah cukup menurut Pangeran Kudus, Syekh Jangkung disuruh pulang. Namun ia tidak mau, kemudian ia malah bertapa di tempat pembuangan hajat, dan mengejutkan banyak orang yang ingin membuang hajat.
Kejadian itu dilaporkan oleh Pangeran Kudus kepada Istrinya. Dan kemudian ia kabur melewati pasar, dan meresahkan penduduk pasar, dan sampailah ia pada wangan (sungai kecil). Kejadian tersebut merupakan salah satu dari serangkaian kejadian yang dialami oleh Syekh Jangkung. Pada akhirnya Syekh Jangkung memiliki beberapa peninggalan yang sampai sekarang terjaga oleh pengurus dan masyarakat sekitar. Diantaranya tentunya ada sumur, pohon asem kemis, dan juga museum tempat barang-barangnya.
Menurut penuturan salah satu juru kunci maqom Syekh Jangkung Kayen, tumbuhnya pohon asem ini disebabkan dulu, Syekh Jangkung bersama Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang sewaktu itu makan bersama setelah bekerja di sawah bersama-sama. Kala itu istri dari Syekh Jangkung mengirim makanan pecel lele dengan sayur asam. Ketika telah usai makan, sayur asam yang dimakan beliau, ada biji yang matang atau sudah masak dan ada biji yang masih mentah. Setelah makan, beliau menanam kedua biji tersebut, biji asam yang sudah dimasak dan yang masih mentah. Dari kejadian tersebut tumbulah pohon asem, yang waktu itu tumbuh di area persawahan yang kini sudah dihuni penduduk. Dinamakan pohon asem kemis karena kejadian tersebut terjadi pada hari kamis. Namun tak ada hujan dan badai pada tahun 2016, pohon asem yang dulunya besar dan berdiri kokoh tumbang dan jatuh di atas rumah warga setempat. Kejadian tersebut sampai viral dan membuat geger warga setempat. Banyak pula yang mengambil serpihan kayunya dengan dalih membawa berkah bagi yang membawanya. Namun, ternyata berdampak buruk bagi warga yang membawanya disebabkan tak bertanya dulu kepada keluarga leluhur. Alhasil, ada yang sebagian stress, gila dan lain-lain. Oleh karena itu warga setempat percaya bahwa, yang bisa memiliki serpihan pohon asem ini hanya boleh dari keluarga leluhur. Namun dari banyaknya yang tumbang, serpihan yang ada masih dijaga dan dirawat dengan baik di depan Masjid Asem Kemis.
Disebrang Masjid Asem Kemis terdapat sumur, yang diyakini juga membawa keberkahan tersendiri. Menurut penduduk setempat, air yang ada di dalam sumur bukanlah air sembarangan. Di dalam air tersebut ada ikan tapi tak berwujud. Konon katanya, bagi yang bisa melihat ikan itu berbentuk kepala dan hanya ada tulang ikannya saja. Sumur tersebut juga tak pernah kering meskipun dimusim kemarau. Kerap kali pengunjung yang berziarah ke Makam Syekh Jangkung untuk tidak lupa mandi di area tersebut. Banyak juga yang menjadikannya obat atau perantara kesembuhan dari Allah SWT. Tak heran apabila suatu ketika, sumur tersebut ramai pengunjung apalagi ketika ada acara khaul. Ikan yang berada dalam sumur tersebut adalah ikan lele yang pernah dimakan Syekh Jangkung. Seperti pohon asam yang tumbuh berasal dari biji asam yang sayurnya dimakan beliau. Ikan lele juga berasal dari makanan pecel lele yang dikirim dari Istri beliau. Kala itu sudah ada sumur dekat area tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Jadi seusai makan, Syekh jangkung menaruh kepala dan tulang ikan lele di dalam sumur tersebut.
Wasiat Syekh Jangkung, Syekh Jangkung berwasiat pada saat beliau menemui ketiga orang istri serta tiga orang putra dan menantunya. Wasiatnya yaitu ketika beliau sudah meninggal dunia semua istrinya agar tetap rukun dan saling asuh mengasuh . jangan sampai bertengkar dan berkhianat. Wasiat selanjutnya yaitu tentang pembagian tanah, tanah yang akan dibagi yaitu tanah Dukuh Landoh. Dukuh Landoh akan diberikan kepada Momok, Pangeran Tirta Kusuma dan Kulup yang masing-masing mendapat tiga bagian. Tetapi Momok lebih suka menjadi orang kaya, maka dia menyarankan kepada ayahnya supaya desa itu dibagi dua saja bersama dengan adiknya. Syekh Jangkung menerima saran tersebut dan mendoakan Momok menjadi orang kaya.
Wasiat Syekh Jangkung yang lain yaitu apabila beliau sudah wafat kerbau "Dhungkur" yang dulunya tidak mau dipekerjakan agar dijadikan sedekah. Dan jenazah Syekh Jangkung supaya dimakamkan disebelah selatan masjid serta dibuatkan rumah. Semua benda pustaka seperti "Kyai" penawar wedhung "Kyai Panji" atau "Kudhisangut Cis Sekarmulih", "Bathok Kuraisin dan "Payung Sultan Agung Anyakrakusuma" agar disimpan didalam rumah itu. Jangan ada yang berani menyimpan atau menggunakannya. Boleh dipinjam jika ada keperluan saja. Akhirnya wasiat itu diingat oleh mereka semua.
Firasat Syekh Jangkung, pada pagi hari setelah menyampaikan wasiat, Syekh Jangkung berpamitan kepada Sultan Agung Anyakrakusuma karena ia akan berpulang ke Rahmatullah. Beliau menitipkan Retno Jinoli dan Pangeran Tirtakusuma kepada Sultan Agung Anyakrakusugma. Dengan ikhlas Sultan pun memenuhi permintaan Syekh Jangkung. Selama semalaman Syekh Jangkung dan Sultan Agung Anyakrakusuma membicarakan tentang ilmu ghoib. Keesokannya Syekh Jangkung berpamitan ke Palembang. Di Palembang Syekh Jangkung menemui Pangeran Palembang dan memberi tau bahwa ia akan pulang ke Rahmatullah. Lalu Syekh Jangkung menemui istri dan dua anaknya. Beliau memberikan nasihat diantaranya tentang: "pawitane wong akrama"
(bekal orang berumah tangga) yaitu, eling (ingat jika telah bersuami), idhep (setia kepada suami), bekti (berbakti kepada suami), satiti (teliti terhadap kekayaan suami), gemi (hemat terhadap kekayaan suami), dan jangan memerintah suami. Bila dipatuhi insyaallah diakhirat akan naik surga.
Keesokan harinya Syekh Jangkung mohon diri untuk ke Makkah. Sesampainya di Makkah Syekh Jangkung bertemu dengan Imam Syafii, Hambali, dan Maliki. Kedatangannya mengabarkan bahwa ia akan berpulang ke Rahmatullah. Keempat imam itu mendoaknnya. Kemudian Syekh Jangkung mohon diri. Kemudian Syekh Jangkung kembali ke Landoh untuk bertemu dengan ketiga istrinya juga para sahabatnya. Dihadapan sahabatnya ia memberikan nasihat bahwa:
1. Seseorang yang memberi perintah itu lebih tinggi daripada orang biasa
2. Bila menjadi petani bersabarlah karena petani itu memberkati
3. Berzakatlah dengan hasil dari harta kalian meskipun sebagian pertanian
Wasiat Syekh Jangkung berakhir pada hari ahad wage 5 Rajab tahun "alip" dengan sengkalan "Tri Rasa Angin Narendra". Tepat pada tanggal tersebut, panembahan Landoh pun pulang ke Rahmatullah. Jenazahnya dimakamkan disebelah selatan masjid sesuai wasiatnya. Rutinan acara yang kerap kali diadakan mendekati bulan Rajab. Dimana para penduduk sekitar kerap kali ikut memeriahkan dengan berbagai acara yang dihadirkan.
1. Tahlilan bersama 7 hari sebelum acara haul.
Biasanya diadakan setiap sore bersama masyarakat juga para jajaran pengurus Maqom Syekh Jangkung. Tahlilan merupakan ciri khas masyarakat Indonesia khusunya yang beragama Islam. Kita tengok ke belakang, dimana sebelum datangnya Islam sudah ada agama Hindu dan Budha dengan khasnya serangkaian acara dalam mengirimkan do'a. contohnya seperti selametan, 3 hari 7 hari, 40 hari, 100 hari dan lain-lain. Namun, ketika Islam mulai datang serangkaian acara tersebut bisa dilestarikan dengan perubahan gaya dalam Islam, yaitu tahlilan.
Tahlilan sendiri merupakan akulturasi dari budaya Islam dengan budaya lokal kita sendiri. Mengingat bahwa Rasulullah SAW dulu juga dalam menyebarkan budaya agama Islam, menelaah terlebih dahulu pada budayanya. Dimana yang harus diseuaikan, dan mana yang harus dibuang. Islam bukanlah agama yang harus menutut segala budaya dihilangkan. Tapi, Islam adalah agama yang bisa disesuaikan dalam segala keadaan. Dengan budaya Indonesia yang khas, Islam bisa datang ke Indonesia dengan mudah tentunya tanpa menghilangkan budaya yang ada.
Pada masa Syekh Jangkung, proses penyebarannya pun ada berbagai kerajaan dari Hindu dan Budha. Dengan latar belakang tersebut, ia juga membenarkan atau menyesuaikan budaya yang sudah lama ada dengan agama Islam. Dengan serangkaian acara dalam rangka mengirim do'a bersama, tentunya tidak menghilangkan khasnya masyarakat yang selalu bergotong-royong.
Menurut ilmu antropologi, tahlilan bisa dibentuk karena akulturasi budaya. Sebab dalam pandangan Koentjaningrat, akulturasi didefinisikan sebagai proses sosial yang berlangsung pada kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu berhadapan dengan budaya asing, dan lambat laun menyebabkan lahirnya bentuk baru dari kedua budaya tersebut yang menghilangkan identitas aslinya.
Pada acara tahlilan bersama yang diterapkan oleh masyarakat Desa Kayen juga menjunjung dua nilai budaya, dimana tetap melestarikan budaya pertama yaitu acara rutinan selametan atau kirim do'a. Juga budaya Islam yang terletak pada susunan atau konsep dalam tahlilan. Bukan sebab apa, namun pribumi dulu juga mudah menyatu dengan Islam dikarenakan mereka para wali menyebarkan Islam dengan budaya dan memiliki ciri khas tersendiri.
2. Acara Kirab
Pada acara ini, masyarakat dengan para pegurus maqom mengadakan kirab untuk melestarikan budaya dulu, juga meningkatkan rasa syukur. Pada acara ini dimulai dengan penyusunan berbagai makanan yaitu dari makanan ringan sampai makanan berat. Ada sayur-sayuran dan buah-buahan, juga berbagai jenis makanan ringan. Maksud dari acara ini adalah mengingatkan kembali rasa syukur kepada sang kuasa juga mencontohkan budaya sedekah seperti ritual sedekah bumi. Kirab ini berbentuk arak-arak, dimana beberapa orang membawa serangkaian makanan yang dibentuk seperti gunung, dan yang lain berdandan seperti keraton. Dimana ada pakaian lengkap dan dandanannya yang seperti zaman dahulu dikarenakan kedekatan beliau dengan keluarga kerajaan sekaligus juga menghargai tamu yang diundang diacara ini. Kemudian setelah itu, arak-arak ini dibawa mengelilingi Desa Kayen. Diharapkan dalam acara ini, untuk bisa bersyukur dan menerima apa yang sudah diberikan dari Allah SWT. Acara ini sebenarnya merupakan acara baru pada serangkaian acara khaul. Dan sekarang menjadi terhenti karena ada kendala di pandemi. Pada acara ini juga mengundang keluarga Keraton dari Solo dan Surakarta untuk menjadi bagian dalam acara ini.
3. Acara Khataman Qur'an
Pada acara ini, yaitu penutupan dalam serangkaian tahlil yang diadakan selama tujuh hari. Acara ini juga dimeriahkan masyarakat dalam mencari keridhoan-Nya pada acara haul. Acara ini diadakan pada hari ke tujuh dimana setelah diadakan kirab pada pagi harinya. Sudah disampaikan di awal bahwa masyarakat Indonesia tak kan lepas dari budaya, yaitu dulu dalam mengiri do'a juga ada beberapa rangkaian acaranya. Maka dari itu Islam menghadirkan cara lain dengan budaya yang sama, yaitu tahlil bersama yang kemudian ditutup dengan khotmil Qur'an.
4. Buka Luwur.
Pada acara ini dimulai dengan antusias masyarakat untuk serangkaian acaranya. Jadi konsepnya adalah, dimana pada maqom Syekh Jangkung sendiri terdapat kelambu. Pada acara ini kelambu akan dilelang dan hasil lelangan tersebut akan diberikan untuk mengurus maqom. Banyak yang berantusias dengan alasan mengambil berkah dari kelambu yang digunakan untuk menutup maqom. Namun biar tidak salah dengan niat, pengurus maqom memberikan semacam penjelasan atau argument dimana tujuan diadakan acara ini untuk berantisipasi dalam memuliakan tempat para guru maupun ulama, juga ambil alih dalam hal bersedekah.
5. Acara pengajian
Pada puncaknya yaitu pada acara pengajian, dimana juga diadakan do'a bersama. Dalam pengajian ini tentunya kita paham bahwa hal ini merupakan konsep Islam dalam ragam dakwahnya. Bersama dengan masyarakat setempat, pengajian dilaksanakan pada malam hari tentunya pada puncaknya. Dalam acara ini, juga diceritakan kembali singkatnya tentang Syekh Jangkung saat dulu. Ada banyak sisi yang bisa diambil, diantaranya mengingat sejarah para ulama bisa dijadikan motivasi untuk lebih baik kedepannya. Tentunya dalam segala hal dan berbagai keadaan. Acara ini berlangsung sampai pada larut malam, dan banyak yang berdatangan. Tidak hanya masyarakat setempat namun juga penduduk dari luar kota maupun luar pulau Jawa.
Laily Fu’adah, M.Pd, dkk, Islam Budaya Lokal Pati Selatan (Pati: Al Qalam Media Lestari, 2022), hlm. 1-16.
Selengkapnya bisa chek sumber buku https://www.alqalammedialestari.com/2022/11/islam-budaya-lokal-pati-selatan-studi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar