Kami adalah penyedia jasa penerbitan dan percetakan yang telah beroperasi sejak tahun 2016, dan bergabung menjadi anggota IKAPI dengan nomor 258/JTE/2023. Jika Anda memiliki naskah yang masih nganggur, daftar dan terbitkan bukumu sekarang !!!LIHAT PAKET TERBIT- Menulis Untuk Kemanfaatan -

no-pad-v widgetNoTitle noCapSlider

6/slider/Featured/16-9/1480

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A1
25k / bulan
60k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right unavailable col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - A2
25k / bulan
60k / 3 bulan

Alegori Renjana

 


Sejak awal saya curiga, jangan-jangan keterpilihan saya untuk menulis pengantar antologi puisi ini sebenarnya hanya berdaar satu faktor saja: kebetulan. Di luar faktor ini, saya sungguh merasa tak punya cukup kemampuan yang bisa memberi saya hak untuk menulis tentang sastra, apalagi puisi. Tapi, demi menyempurnakan aroma ‘kebetulan’, tak apalah bila saya memaksakan diri untuk mencoba menuliskannya.

Yang segera menggelitik saya adalah: kenapa puisi? Tolong jangan terlalu serius disikapi. Bisa jadi ini hanya bentuk kenyinyiran belaka. Kenyinyiran yang iseng, yang muncul karena pandemi kemarin memberi terlalu banyak waktu luang, tapi tak memberi cukup keberanian untuk mempertanyakan hal-hal mendasar terkait peradaban, terkait masa depan manusia dan kemanusiaannya.

Sebelum di-rem secara mendadak oleh Covid-19, kita sedang asyik masyuk dilesatkan oleh kereta peradaban yang bergerak sangat cepat. Apa yang kemarin dianggap penting, hari ini bisa diremehkan, dan besok mungkin ditertawakan atau malah dianggap tidak ada. Hidup serba terburu-buru dan diburu-buru, tanpa tahu lagi apa yang diburu dan siapa yang memburu. Orang terus didoping untuk mengejar keinginan, sambil secara bersamaan terus digagapkan untuk mengenali kebutuhan.

Kita disapu tsunami informasi, bukan untuk ‘tahu’ tapi justru untuk makin ‘tidak tahu’. Tak ada fokus apa pun, tak ada pegangan apa pun; semua goyah dan tak punya kepastian; bahkan mungkin ada saatnya nanti apa yang dianggap ‘fokus dan kepastian’ hidup itu sendiri akan disikapi sebagai takhayul, dan ditertawakan ramai-ramai.

Akibatnya: kita di-amnesia-kan; dan ini bukan cuma di tingkat lokal atau nasional, tapi bahkan di tingkat global. Kita di-amnesia-kan bukan hanya dari soal-soal penting dan mendasar dari peradaban ini; tapi juga dari kemanusiaan kita sendiri, dari fitrah kita sebagai manusia. Tak mengherankan bila banyak yang kemudian lupa bahwa kita manusia. Makhluk super kompleks. Yang kompleksitasnya setidaknya sejajar dengan kompleksitas semesta, kalau bukan malah lebih. Makhluk misteri, rahasia; yang disatukannya semua ilmu yang ada tak menjamin mampu menguaknya.

Laju peradaban yang awalnya memproklamasikan kematian Tuhan, lantas kematian manusia; kemarin, dan mungkin sampai kini setelah pandemi datang, sedang mengejar halusinasi terbesarnya tentang penciptaan trans-human. Manusia sedang dilambungkan mimpi ‘agung’ mengejar keabadian menurut versinya sendiri, dengan rekayasa genetika dan artificial intelligence, kecerdasan buatan; dengan ongkos kerelaan melempar semua sifat manusiawi yang secara sepihak dianggap kelemahan ke tong sampah.

Di zaman yang sedemikian dangkal, banal, serba instan, serba pragmatis, delusional seperti ini; masih pentingkah kehadiran puisi? Bagi sebagian orang, mungkin bahkan sebagian besar, bicara tentang kebudayaan -dalam kaitan nilai-nilai memanusia- saja sudah cenderung wegah, malas, apalagi bicara puisi.

Lantas untuk apa puisi? Untuk apa ‘budaya’? Mungkin, kalau jujur, jawabannya bisa bikin sakit hati: puisi cuma romantisme kanak-kanak, dan 'budaya' cuma mimpi ngaco dari para gelandangan yang terjangkit sindrom dimensia. Bagaimana tidak? Kalau mau istiqomah pada makna puisi atau sastra (dalam kosa kata banyak bahasa) dan makna asasi 'budaya', kita selalu akan ditautkan dengan yang ruhaniah, yang sejati, dengan fitrah manusia dan kemanusiaannya, yang selalu menyimpan rahasia dan hanya bisa didekati secara rahasia pula; pokoknya dengan semua yang hari-hari ini dengan massif dipunggungi oleh peradaban yang sebenarnya tak terlalu pantas menyandang istilah peradaban, tapi lebih tepat perbiadaban.

Sejak awal perkembangannya, sebenarnya banyak pemikir was-was bahwa pada akhirnya peradaban ini akan merosot tajam dan dipanglimai oleh para medioker, oleh barisan kemampo, oleh pasukan setengah matang; dan rasanya saat ini kita beramai-ramai sedang mengalaminya. Hidup dan kehidupan semakin kehilangan maknanya. Keinginan berlebih untuk menafikan ‘yang rahasia’, membuat kehidupan semakin disusutkan menjadi sekumpulan fakta kering atau paling banter angka-angka, itu pun hanya untuk yang ‘tampak’ saja, yang ‘lahir’ saja. Orang dipaksa untuk tahu sedikit tentang banyak hal, yang sedikit itupun sudah merupakan hasil penyuntingan yang ditata untuk mengarahkan orang pada cara dan sudut pandang tertentu.

Secara konotatif mau pun denotatif, kita semua adalah anak kandung dari dunia yang demikian. Anak kandung dunia yang secara sepihak sejak kelahirannya, berani mengklaim dan menjubahi kehadirannya dengan apa yang dikategorikannya sendiri sebagai obyektivitas; sesuatu yang bila diburu hingga ke hulunya justru berkemungkinan memunculkan sejumlah masalah besar. Sejajar dengan matematika, yang mencoba memahami kenyataan dengan meringkusnya menjadi rumus angka-angka, dan pada tahap selanjutnya justru memperlakukan rumus-rumus tersebut sebagai kenyataan itu sendiri; demikian jugalah dunia kata, dunia bahasa yang seharusnya hanya sekedar penanda, ayat; terperangkap dilemanya sendiri ketika diperlakukan sebagai kenyataan yang ditandai.

Di satu sisi, obyektif atau subyektif adalah kategorisasi ciptaan pikiran, yang pada dasarnya tidak pernah jelas batasnya. Ia dipakai untuk memilah dan memilih kenyataan yang ditampilkan. Tapi, pada gilirannya, ia malah dipakai untuk menakar nilai dari kenyataan yang ditampilkan. Dua kategori yang sebenarnya hanya berguna bila disikapi sekadar sebagai metode perantara ini, secara diametral malah terus dipertentangkan; sehingga membuat banyak orang sesak napas ketika harus mengungkap apa dialami, dirasakan, dibayangkan dan dipikirkannya tentang kenyataan.

Di sisi lain, pengutamaan apa yang secara sepihak disebut obyektivitas oleh peradaban ini, telah menghasilkan obyektivikasi kenyataan dengan obyektivikasi bahasa sebagai medianya. Kenyataan ini, sejajar dengan kenyataan yang berlangsung di dunia industrial, pada tingkat tertentu membuat orang nyaris merasa kehilangan eksistensi dan ekspresi personalnya sebagai manusia.

Saya tidak tahu, dan sungguh tidak perlu tahu: apakah kesadaran tentang inilah yang mendorong para penulis puisi dalam antologi ini melompat ke ruang yang lebih pribadi, sunyi dan memberi keleluasaan untuk mengungkap persepsi, ekspresi dan dialektika personalnya dengan kenyataan? Atau sekaligus ke kesadaran bahasa yang tidak berpretensi mewakili kenyataan, tapi terus berjuang menjadi sekadar tanda yang menyisakan ruang rahasia dalam persentuhannya dengan kenyataan?  Ke puisi?

Persoalan yang lebih layak direnungkan adalah apa yang sejak awal saya singgung: apakah bahasa ‘puisi’, seperti yang digunakan para penulis dalam antologi ini, masih dipahami oleh masyarakat? Masyarakat yang terjun bebas diseret percepatan zaman, yang dampaknya secara langsung tampak dalam pemahaman mereka atas bahasa.

Kenyataan hari ini menunjukkan pada kita betapa yang namanya bahasa, sebagai alat ucap utama sastra, sedang mengalami pergeseran makna. ‘Obyektivikasi’ bahasa yang berlangsung bersamaan dengan perkembangan peradaban, terbukti cenderung mengurung dan ketat membatasi ruang imaji manusia. Sungguh ironis mengamati betapa sekarang orang bahkan cenderung tak lagi sepenuhnya memahami bahasa yang diucapkannya sendiri; dan pada kutub esktrimnya, seperti balik ke zaman pra-sejarah, malah lebih memilih emoji untuk mewakili dirinya.

Lantas untuk apa sastra ditulis bila alat ucapnya tak terpahami oleh pembaca? Mungkin, untuk sekedar hiburan, kita bisa menjawab: setidaknya ia masih berarti bagi sedikit ‘orang gila’ yang masih setia dan menganggap penting sangkan paraning dumadi, orang-orang yang meski tertatih-tatih masih mencoba istiqomah memelihara kemanusiaannya sendiri. Yang percaya bahwa hidup bukan hanya soal jasad, tapi juga ruhani; bukan cuma peristiwa, tapi juga makna; bukan cuma angka-angka, tapi juga rasa. Yang percaya bahwa bahasa adalah penanda untuk terjun ke samudra kenyataan yang tak terbatas. Bahwa membaca sastra, membaca puisi, bisa menjadi alat untuk memperkaya pemahaman tentang bagaimana manusia bersentuhan dengan samudra kenyataan tersebut. Bagi mereka, semoga sastra tidak pernah menjadi tulisan di atas pasir, apalagi air.

Saya benar-benar tidak tahu, apakah memang demikian, atau karena saya sedang mengigau saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Tersedia ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads left available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B1
10k / bulan
25k / 3 bulan

Iklan Tersedia ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9

Iklan Tersedia <a href="wAC">ads right available col-xs-12 col-sm-6 img-16-9</a>
SPACE IKLAN - B2
10k / bulan
25k / 3 bulan

Mungkin Kamu Sukacol-xs-12 col-sm-12 col-md-12 col-lg-10 col-lg-offset-1

8/grid/random/1-1/640