Sejak
awal saya curiga, jangan-jangan keterpilihan saya untuk menulis pengantar
antologi puisi ini sebenarnya hanya berdaar satu faktor saja: kebetulan. Di
luar faktor ini, saya sungguh merasa tak punya cukup kemampuan yang bisa
memberi saya hak untuk menulis tentang sastra, apalagi puisi. Tapi, demi
menyempurnakan aroma ‘kebetulan’, tak apalah bila saya memaksakan diri untuk
mencoba menuliskannya.
Yang
segera menggelitik saya adalah: kenapa puisi? Tolong jangan terlalu serius
disikapi. Bisa jadi ini hanya bentuk kenyinyiran belaka. Kenyinyiran yang
iseng, yang muncul karena pandemi kemarin memberi terlalu banyak waktu luang,
tapi tak memberi cukup keberanian untuk mempertanyakan hal-hal mendasar terkait
peradaban, terkait masa depan manusia dan kemanusiaannya.
Sebelum
di-rem secara mendadak oleh Covid-19, kita sedang asyik masyuk dilesatkan oleh
kereta peradaban yang bergerak sangat cepat. Apa yang kemarin dianggap penting,
hari ini bisa diremehkan, dan besok mungkin ditertawakan atau malah dianggap
tidak ada. Hidup serba terburu-buru dan diburu-buru, tanpa tahu lagi apa yang
diburu dan siapa yang memburu. Orang terus didoping untuk mengejar
keinginan, sambil secara bersamaan terus digagapkan untuk mengenali kebutuhan.
Kita
disapu tsunami informasi, bukan untuk ‘tahu’ tapi justru untuk makin ‘tidak
tahu’. Tak ada fokus apa pun, tak ada pegangan apa pun; semua goyah dan tak
punya kepastian; bahkan mungkin ada saatnya nanti apa yang dianggap ‘fokus dan
kepastian’ hidup itu sendiri akan disikapi sebagai takhayul, dan ditertawakan
ramai-ramai.
Akibatnya:
kita di-amnesia-kan; dan ini bukan cuma di tingkat lokal atau nasional, tapi
bahkan di tingkat global. Kita di-amnesia-kan bukan hanya dari soal-soal
penting dan mendasar dari peradaban ini; tapi juga dari kemanusiaan kita
sendiri, dari fitrah kita sebagai manusia. Tak mengherankan bila banyak yang
kemudian lupa bahwa kita manusia. Makhluk super kompleks. Yang kompleksitasnya
setidaknya sejajar dengan kompleksitas semesta, kalau bukan malah lebih.
Makhluk misteri, rahasia; yang disatukannya semua ilmu yang ada tak menjamin
mampu menguaknya.
Laju
peradaban yang awalnya memproklamasikan kematian Tuhan, lantas kematian
manusia; kemarin, dan mungkin sampai kini setelah pandemi datang, sedang
mengejar halusinasi terbesarnya tentang penciptaan trans-human. Manusia
sedang dilambungkan mimpi ‘agung’ mengejar keabadian menurut versinya sendiri,
dengan rekayasa genetika dan artificial intelligence, kecerdasan buatan;
dengan ongkos kerelaan melempar semua sifat manusiawi yang secara sepihak
dianggap kelemahan ke tong sampah.
Di
zaman yang sedemikian dangkal, banal, serba instan, serba pragmatis, delusional
seperti ini; masih pentingkah kehadiran puisi? Bagi sebagian orang, mungkin
bahkan sebagian besar, bicara tentang kebudayaan -dalam kaitan nilai-nilai
memanusia- saja sudah cenderung wegah,
malas, apalagi bicara puisi.
Lantas
untuk apa puisi? Untuk apa ‘budaya’? Mungkin, kalau jujur, jawabannya bisa
bikin sakit hati: puisi cuma romantisme kanak-kanak, dan 'budaya' cuma mimpi ngaco dari para gelandangan yang
terjangkit sindrom dimensia. Bagaimana tidak? Kalau mau istiqomah pada makna
puisi atau sastra (dalam kosa kata banyak bahasa) dan makna asasi 'budaya',
kita selalu akan ditautkan dengan yang ruhaniah, yang sejati, dengan fitrah
manusia dan kemanusiaannya, yang selalu menyimpan rahasia dan hanya bisa
didekati secara rahasia pula; pokoknya dengan semua yang hari-hari ini dengan
massif dipunggungi oleh peradaban yang sebenarnya tak terlalu pantas menyandang
istilah peradaban, tapi lebih tepat perbiadaban.
Sejak
awal perkembangannya, sebenarnya banyak pemikir was-was bahwa pada akhirnya
peradaban ini akan merosot tajam dan dipanglimai oleh para medioker, oleh
barisan kemampo, oleh pasukan
setengah matang; dan rasanya saat ini kita beramai-ramai sedang mengalaminya.
Hidup dan kehidupan semakin kehilangan maknanya. Keinginan berlebih untuk
menafikan ‘yang rahasia’, membuat kehidupan semakin disusutkan menjadi
sekumpulan fakta kering atau paling banter angka-angka, itu pun hanya untuk
yang ‘tampak’ saja, yang ‘lahir’ saja. Orang dipaksa untuk tahu sedikit tentang
banyak hal, yang sedikit itupun sudah merupakan hasil penyuntingan yang ditata
untuk mengarahkan orang pada cara dan sudut pandang tertentu.
Secara
konotatif mau pun denotatif, kita semua adalah anak kandung dari dunia yang
demikian. Anak kandung dunia yang secara sepihak sejak kelahirannya, berani
mengklaim dan menjubahi kehadirannya dengan apa yang dikategorikannya sendiri
sebagai obyektivitas; sesuatu yang bila diburu hingga ke hulunya justru
berkemungkinan memunculkan sejumlah masalah besar. Sejajar dengan matematika,
yang mencoba memahami kenyataan dengan meringkusnya menjadi rumus angka-angka,
dan pada tahap selanjutnya justru memperlakukan rumus-rumus tersebut sebagai
kenyataan itu sendiri; demikian jugalah dunia kata, dunia bahasa yang
seharusnya hanya sekedar penanda, ayat; terperangkap dilemanya sendiri ketika
diperlakukan sebagai kenyataan yang ditandai.
Di
satu sisi, obyektif atau subyektif adalah kategorisasi ciptaan pikiran, yang
pada dasarnya tidak pernah jelas batasnya. Ia dipakai untuk memilah dan memilih
kenyataan yang ditampilkan. Tapi, pada gilirannya, ia malah dipakai untuk
menakar nilai dari kenyataan yang ditampilkan. Dua kategori yang sebenarnya
hanya berguna bila disikapi sekadar sebagai metode perantara ini, secara
diametral malah terus dipertentangkan; sehingga membuat banyak orang sesak
napas ketika harus mengungkap apa dialami, dirasakan, dibayangkan dan
dipikirkannya tentang kenyataan.
Di
sisi lain, pengutamaan apa yang secara sepihak disebut obyektivitas oleh
peradaban ini, telah menghasilkan obyektivikasi kenyataan dengan obyektivikasi
bahasa sebagai medianya. Kenyataan ini, sejajar dengan kenyataan yang
berlangsung di dunia industrial, pada tingkat tertentu membuat orang nyaris
merasa kehilangan eksistensi dan ekspresi personalnya sebagai manusia.
Saya
tidak tahu, dan sungguh tidak perlu tahu: apakah kesadaran tentang inilah yang
mendorong para penulis puisi dalam antologi ini melompat ke ruang yang lebih
pribadi, sunyi dan memberi keleluasaan untuk mengungkap persepsi, ekspresi dan
dialektika personalnya dengan kenyataan? Atau sekaligus ke kesadaran bahasa
yang tidak berpretensi mewakili kenyataan, tapi terus berjuang menjadi sekadar
tanda yang menyisakan ruang rahasia dalam persentuhannya dengan kenyataan? Ke puisi?
Persoalan
yang lebih layak direnungkan adalah apa yang sejak awal saya singgung: apakah
bahasa ‘puisi’, seperti yang digunakan para penulis dalam antologi ini, masih
dipahami oleh masyarakat? Masyarakat yang terjun bebas diseret percepatan
zaman, yang dampaknya secara langsung tampak dalam pemahaman mereka atas
bahasa.
Kenyataan
hari ini menunjukkan pada kita betapa yang namanya bahasa, sebagai alat ucap
utama sastra, sedang mengalami pergeseran makna. ‘Obyektivikasi’ bahasa yang
berlangsung bersamaan dengan perkembangan peradaban, terbukti cenderung
mengurung dan ketat membatasi ruang imaji manusia. Sungguh ironis mengamati
betapa sekarang orang bahkan cenderung tak lagi sepenuhnya memahami bahasa yang
diucapkannya sendiri; dan pada kutub esktrimnya, seperti balik ke zaman pra-sejarah,
malah lebih memilih emoji untuk mewakili dirinya.
Lantas
untuk apa sastra ditulis bila alat ucapnya tak terpahami oleh pembaca? Mungkin,
untuk sekedar hiburan, kita bisa menjawab: setidaknya ia masih berarti bagi
sedikit ‘orang gila’ yang masih setia dan menganggap penting sangkan paraning dumadi, orang-orang
yang meski tertatih-tatih masih mencoba istiqomah memelihara kemanusiaannya
sendiri. Yang percaya bahwa hidup bukan hanya soal jasad, tapi
juga ruhani; bukan cuma peristiwa, tapi juga makna; bukan cuma angka-angka,
tapi juga rasa. Yang
percaya bahwa bahasa adalah penanda untuk terjun ke samudra kenyataan yang tak
terbatas. Bahwa membaca sastra, membaca puisi, bisa menjadi alat untuk
memperkaya pemahaman tentang bagaimana manusia bersentuhan dengan samudra
kenyataan tersebut. Bagi mereka, semoga sastra tidak pernah menjadi tulisan di
atas pasir, apalagi air.
Saya
benar-benar tidak tahu, apakah memang demikian, atau karena saya sedang
mengigau saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar